Selasa, 23 Juli 2013

KAJIAN KRITIS ATAS TAFSIRAN STIGMA NEGATIF KEBERADAAN PELACURAN


Keberadaan pelacuran di kabupaten Banyuwangi pertumbuhannya semakin meningkat. Berdirinya Lokalisasi sebagai tempat penampungan pelacuran di Banyuwangi adalah lokalisasi padang bulan berdiri sejak tahun 1956 selanjutnya berkembang di warung sepanjang, lokalisasi LCM di Ketapang, Lokalisasi Pasiran di Rogojampi, dan lokalisasi di Tumpang Pitu dan lainnya. Semakin meningkatnya perkembangan pelacuran, keberadaannya tidak lepas dari kritik masyarakat.
Keberadaan pelacuran menimbulkan pandangan negatif bagi masyararakat. Stigma banyak di bangun oleh masyarakat yang mengatasnamakan dirinya sebagai tokoh agama. Logika kaum agamawan adalah  bahwa hidup harus diatas  aturan agama, tanpa memperdulikan kehidupan realitas yang ada. Hubungan seksualitas dianggap benar dan sah jika sudah dilakukan sesuai dengan aturan-aturan agama. Pandangan tersebut telah menjadikan mereka sebagai orang yang terbuang secara struktural dan kultural sekaligus.
Pada tahun 2012 masyarakat di dukung Ormas dan Parpol yang bernaung di bawah agama menginginkan penutupan lokalisasi karena sebagai pekerjaan hina dan kotor dan mengganggu masyarakat. Hal yang menarik di kabupaten Banyuwangi, Pemerintah Daerah secara resmi tidak mengeluarkan Surat keputusan Bupati (SK Bupati) tentang melokalisir  pelacuran di lokalisasi. Namun bukti adanya penyuluhan, sosialisasi HIV dan membangun klinik kesehatan, bahkan masa kampanye pemilihan Wakil Rakyat mereka tidak malu mencari dukungan masa . berdasarkan gambaran ini, sebagai bukti kongkrit bahwa pemerintah Banyuwangi ”melegalkan”. Tanpa disadari semua lokalisasi di kabupaten Banyuwangi khusunya Padang Bulan banyak memberikan sumbangsi ekonomi kepada Pemerintah Daerah lewat APBD melalui penarikan Parkir yang relatif mahal, namum Pemerintah Daerah seringkali melakukan razia tidak peri kemanuasiaan, pelecehan seksual, dan tanpa memberikan sebuah solusi. Berdasarkan pengakuan WTS di Lokalisasi Padang Bulan (Linda nama samaran) bahwa “mereka yang duduk dipemerintahan  juga sebagai hidung belang tiap bulan sekali datang kencan dengan saya”. .
Stigma yang dibangun mayarakat Banyuwangi hanya mengenal ”pelacuran wanita”  yang menjadi sorotan sedangkan ”pelacuran laki-laki/ gigolo dan laki-laki hidung belang ” tidak mendapatkan tudingan apapun. Hal inilah yang menyebabkan adanya bentuk manifestasi ketidakadilan gender. Sejarah telah membuktikan sebenarnya pelacuran (prostitusi) tidak dapat diberantas dan sulit untuk ditanggulangi atau ditolelir bahkan berimbas negatif. Jika prostitusi ditekan maka akan mengakibatkan  pertumbuhan prostitusi baru hal ini terjadi dilokalisasi Tumpang Pitu. Menurut Miskawi dan Matali (2009: 36) bahwa “Prostitusi akan semakin  marak dan berkeliaran seperti yang berada di gang-gang kecil, pemukiman, hotel, pusat keramaian kota yang pada akhirnya berimbas pada ketertiban dan kesehatan”.
Ada beberapa hal yang belum pernah dilihat secara bijak bahkan memandang dari satu sudut pandang saja tampa mempersoalkan kultural.  Rata-rata label yang diberikan pada pelacuran sebagai sampah masyarakat dianggap paling tepat, masyarakat yang tanpa moralitas, perusak tatanan sosial, pemuas nafsu yang binal. Tudingan ini tentu saja merupakan hasil konstruksi sosial masyarakat yang merasa dirinya paling normal dan menjaga moralitas.
Namun, disisi lain jarang sekali ada yang mengkaji motif wanita sampai masuk kedunia pelacuran, dinamika yang dialami dan kehidupan berketuhanan (ekspresi rohani) bahkan peranan yang dipandang berdampak positif. Siapa pun tidak akan mengingkari bahwa dunia pelacuran  bukanlah pilihan utama setiap kehidupan sosial manusia. Bahkan, tidak ada seorangpun yang memiliki cita-cita menjadi pelacuran. Namun, kehidupan sosiallah  yang mengantarkan seseorang menjalani kehidupan kelam.
Kaum pelacur ini adalah yang paling rentan dari banyak sisi. Mereka juga paling rentan  terhadap terjangkitnya penyakit kelamin, seperti HIV – AIDS, yang merupakan penyakit yang mematikan. Para pelacur berani mengorbankan diri, masa depan dan kehidupannya tidak lain hanya untuk mendapatkan uang. Padahal hasil kerja kerasnya tidak menjadi miliknya secara utuh, tetapi disisi lain ada yang diuntungkan dari hasil kerja kerasnya.
Berdasarkan latarbelakang diatas perlu dikaji lebih mendalam atas wacana yang ada terkait tafsiran negatif dan perlu di pengkajian kembali dengan Kritis atas tafsiran stigma negatif keberadaan pelacuran dilokalisasi yang dibangun masyarakat, sehingga menghasilkan sebuah pertimbangan-pertimbangan bahwa pelacuran bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang seharusnya mendapatkan pengakuan yang sama. Tidak selayaknya stigma buruk terus dilontarkan pada kelompok yang cenderung termarginalkan ini. Disisi lain, jika pemerintah ingin memberantas Pelacuran juga perlu ada pembinaan dan pemberdayaan agar tidak terperosok dalam dunia kelam.

Peran WTS (Wanita Tuna Susila) dalam Memenuhi Kebutuhan Ekonomi Keluarga

Kesetaraan gender sesungguhnya telah menempatkan posisi kaum wanita pada tingkatan yang sama dengan kaum pria. Kini, kaum wanita telah mendapatkan pengakuan yang sama untuk melakukan berbagai aktivitas publik yang dulu dianggap terlarang untuk dilaksanakan oleh kaum wanita. Dalam kehidupan rumah tangga, keberadaan kaum wanita bukan hanya sebagai penyandang peran domestik (seorang ibu rumah tangga). Namun, kaum wanita juga mendapatkan kesempatan yang sama umtuk melakukan aktivitas sosial ekonomi dan di bidang politik. Menurut Toler (1984:184) pada umumnya, motivasi perempuan untuk bekerja di ranah publik didasari oleh kepentingan ekonomi rumah tangga, mendapatkan kemandirian, belajar menghadapi tantangan sosial ekonomi, dan untuk meningkatkan status sosial ekonominya. Namun, bagi rumah tangga miskin penghasilan seorang perempuan dari usaha ekonomi memberi kesempatan untuk memegang peranan yang penting dalam ekonomi rumah tangga.
            Perubahan persepsi yang semakin baik terhadap perempuan seiring dengan arah kebijakan pembangunan yang menempatkan wanita sebagai target pemberdayaan, sehingga memiliki kontribusi dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di daerah. Adapun program pembangunan yang dikembangkan adalah program peningkatan peranan kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dengan kegiatan pokok pada beberapa aspek, yaitu: pendidikan dan pelatihan ketrampilan perempuan, perlindungan tenaga kerja perempuan, dan pengembangan kelembagaan atau organisasi perempuan (Kusnadi, dkk, 2006:4). Namun demikian, tidak semua kaum wanita terjangkau oleh program pembangunan ini, sehingga masih banyak kaum wanita yang melakukan aktivitas ekonomi yang tidak sesuai dengan keinginan pribadi dan pandangan masyarakat. Salah satunya adalah mereka yang bekerja sebagai WTS.
            Menurut Purwanto (2008:10) salah satu alasan yang melatar belakangi kaum wanita bekerja sebagai WTS adalah masalah ekonomi keluarga. Fakta yang disampaikan Purwanto tersebut telah memberikan gambaran tentang sebagian peran dan resiko menjadi seorang WTS. Kondisi ini sangat dilematis sekali, sebab kebanyakan WTS (Wanita Tuna Susila) distereotip masyarakat sebagai manusia rendah. Sepanjang sejarah peradaban manusia kedudukan WTS tampaknya tidak pernah mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang memiliki kedudukan setara dengan kelompok masysrakat seperti umunnya.
            Menurut Siregar (1982) pandangan masyarakat yang cenderung menyalahkan satu pihak, yaitu WTS, sedangan di lain pihak yaitu pihak laki-laki tidak memperoleh tudingan apapun, maka pandangan masyarakat tersebut terhadap kehidupan WTS pada kenyatannya tetap menunjukkan bahwa WTS tidak diterima kehadirannya dan perlu segera diatasi.
            Masyarakat pada umumnya menyalahkan satu pihak, yaitu para WTS sebagai pihak yang bersalah. Padahal dalam kenyataannya prostitusi sangat tergantung  pada permintaan dan penawaran. Dalam sosial jual beli (transaksi ini) kedua pihak tersebut secara penuh terlibat dan berperan seimbang, selama itu pula prostitusi akan terus berlangsung (Krisna, 1979). Hal ini mengisaratkan bahwa pada kenyatannya keberadaan WTS tidak dapat disalahkan begitu saja.
            Jika dicermati secara mendalam, para WTS juga merupakan bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang seharusnya mendapatkan pengakuan yang sama. Tidak selayaknya stigma baik dan buruk terus dilontarkan pada kelompok yang cenderung termarginalkan ini. Sebenarnya ada beberapa peran penting yang secara implisit telah dimainkan oleh para WTS ini. Termasuk di dalamnya dalam bidang ekonomi bagi kehidupan keluarganya. Secara tidak langsung keberadaan WTS telah menjadi katub penyelamat bagi kehidupan ekonomi keluarganya, terlebih dalam menghadapi permasalahan ekonomi yang kian hari kian memprihatinkan. Namun demikian, peran penting ini tak pernah dilihat secara bijak oleh masyarakat pada umunya. Masyarakat cenderung melihat hanya dari satu sisi yang cenderung subjektif dan menghakimi. Atas dasar pemikiran  inilah maka keberadaan WTS sebagai bagian dari kelompok sosial masyarakat merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji.
            Dalam melakukan aktivitas kerjanya, keberadaan WTS dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan. Pertama, WTS kelas rendahan yang pada umunya berada di jalanan dan rumah-rumah bordir. Kedua, WTS menengah yang berada di bordir-borsdir yang cukup bersihan dan pelayanannya baik. Ketiga, WTS kelas tinggi yang biasanya tinggal di rumahnya sendiri (terselebung) dan hanya menerima panggilan dengan perantara yang cukup rapi dan bayarannya cukup mahal (Soedjono, 1974).
            Biasanya WTS pada golongan kedua melakukan aktivitas kerja dan juga tinggal di sebuah kompleks lokalisasi yang mendapat pengawasan ketat oleh pemerintah. Penempatan WTS di komplek lokalisasi merupakan upaya pemerintah daerah dalam mengurangi dampak negatif akibat aktivitas WTS yang dipandang amoral. Oleh karena itu, biasanya lokalisasi di tempatkan di pinggiran kota agar jauh dari lingkungan masyarakat umum dan dapat diharapkan untuk tidak mempengaruhi masyarakat yang ada di sekitarnya (Soedjono,1974).
            Biasanya lokalisasi berada di sekitar daerah pantai ataupun pegunungan yang jauh dari keramaian kota. Namun demikian lokalisasi juga berada di daerah strategis yang sangat mudah di jangkau oleh akses publik. Salah satu lokalisasi yang berada di daerah yang mudah dijangkau oleh akses publik ini adalah lokalisasi Sumber Loh, yang lebih terkenal dengan sebutan Padang Bulan yang berada di Desa Benelan Kidul Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi. Lokalisasi ini sangat mudah dijangkau oleh masyarakat umum, alasannya lokasinya berada sekitar 17 Km dari pusat kota Banyuwangi. Selain itu, lokalisasi tersebut sangat mudah dijangkau transportasi umum yang siap melayani 24 jam.
            Kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten yang terletak di ujung paling timur di pulau Jawa yang secara administrasi terletak sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah timur Selat Bali, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso. Sehingga tidak salah jika lokalisasi dijadikan tempat persinggahan dari luar Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan hasil pegamatan awal bahwa lokalisasi pengunjungnya tidak hanya berasal dari lokal Banyuwangi, akan tetapi juga berasal dari beberapa kota di  sekitar Banyuwangi, bahkan ada juga wisatawan asing yang menyempatkan diri untuk singgah di lokalisasi di Padang Bulan (Berdasarkan Hasil Observasi Awal 2008).
            Berdasarkan studi awal juga diketahui bahwa lokalisasi Padang Bulan dihuni oleh para WTS yang berasal dari berbagai daerah Jawa Timur. Bahkan ada beberapa WTS yang berasal dari luar Jawa (Madura, Bali, dan Kalimantan). Umunya motif ekonomi menjadi hal yang melatar belakangi mereka sebagai WTS. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan lokalisai memainakan peran penting dalam bidang ekonomi bagi keluarga para WTS. Namun demikian, peran ekonomi yang dimainkan oleh para WTS bagi keluarga sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat pada umumnya. Atas dasar inilah, maka dipandang perlu untuk mengkaji secara mendalam mengenai peran WTS dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonomi keluarganya.


DIBIAYAI DIPA KOPERTIS WILAYAH VII JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN 2009
NOMOR 177.0 / 23 – 04.0 /XV/2009
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL



Minggu, 11 November 2012

SEJARAH, NASIONALISME INDONESIA


               Istilah nasionalisme berasal dari bahasa latin nation. Natio yang berasal dari kata nascor berarti saya lahir. Pada saat itu istilah nascor belum menjadi konsep politik ideologis. Bahkan pada masa kekuasaan Romawi istilah nation digunakan secara pejorative yaitu untuk mengolok-ngolok orang asing. Kemudian pada abad pertengahan istilah nasion diidentikan dengan kelompok pelajar/mahasiswa asing. Sampai dengan akhir abad pertengahan istilah nation belum mempunyai makna ideologis.
            Konsep Negara yang mempunyai kedaulatan ke dalam dan keluar baru muncul pada abad ke XVII. Pada abad 1648 diadakan perjanjian Weatphalia yang menjamin kedaulatan suatau Negara. Untuk itulah perjanjian Westphalia menjadi rujukan awal yang menjadi referensi tentang kedaulatan suatu Negara. Berhubung masyarakat Eropa masih banyak dikuasai oleh keuatan monarki yang absolute pelanggaran kedaulatan sering terjadi. Inggris menjadi pelopor berdirinya Negara modern. Sejak abad ke XII Inggris berhasil nenbatasi kekuasaan raja yang absolute. Namun sebagai suatu Negara bangsa, Inggris baru dapat menerapkannya pada abad ke XVII. Pada saat itu Negara sudah mempunyai batas wilayah yang tegas dengan iseologi nasionalisme. Negara diwajibkan untuk melindungi warga negaranya (Giddens, 1985).
            Di masa revolusi Perancis istilah Nation mulai mempunyai muatan politis ideologis. Hal itu tercermin dalam penamaan parlemen Perancis dengan istilah assemble nationale. Assemble nationale yang sebelumnya snagat akslusif dan dikuasai golongan bangsawan dan agama menjadi relative egaliter. Semua lapisan masyarakat mulai dilibatkan. Muncul golongan ketiga yang menjadi anggota Assemble nationale, berasal dari rakyat, baik dari golongan borjuis maupun rakyat biasa.
            Kondisi tersebut membawa dampak bahwa istilah nation ditafsirkan sebagai bangsa atau penduduk resmi suatu Negara. Kaum bangsawan dan agama yang menguasai kekuasaandengan hidup boros dan korup mulai digugat. Mereka mendirikan The Third estate, Estate ketiga untuk melawan dominasi estate pertama dan kedua. Estate pertama dan kedua dilawan. Kaum bangsawan pendeta telah dianggap sebagai parasit Negara. Estate general yang mewakili bangsa hanyaestate ketiga. Di tahun 1789 Estate ketiga ini mengubah dirinya menjadi nationale assemble. Dewan nasional, Nasionale Assamble ini kemudian menyetujui prinsip-prinsip dasar dari “ Declaration of the rights of man”. Dalam deklarasi hak asasi manusia ini di kalusul ketiga disebutkan bahwa “bangsa pada dasarnya merupakan sumber semua kekuasaan”. Tidak ada individu atau kelompok ya ng memiliki hak untuk memegang kekuasaan yang tidak berasal atau di setujui oleh bangsa.
            Negara kebangsaan atau nasionalisme di Barat secara tegas menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan dari raja ke rakyat. Nasionalisme lebih menggeser kekuasaan yang “magis religious”. Sebagai wakil tuhan, para raja atau kaisar seolah memiliki kekuasaan yang absolute atau mutlak. Akibatnya banyak penyahgunaan kekuasaan, abuse of power. Kekuasaan yang korup dibatasi. Penguasa hanya berkuasa dengan persetujuan yang dikuasai. Di buatlah kontrak social antara penguasa dan yang dikuasa.
            Perkembangan nasionalisme di Barat membawa pengaruh besar terhadap system demokrasi. Kekuasaan tidak ladi boleh ada pad suatu lembaga. Lembaga yang memerintah (eksekutif)harus dipisahkan dengan lembaga yang membuat regulasi atau undang-undang (legislative) dan lembaga yang menjalankan pengadilan dan penegakan hokum (yudikatif). Negara kebangsaan di barat menjadi pelopor Negara hokum yang menggati negara kekuasaan. Kesewenang-wenangan penguasa di batasi. Hak asasi menusia dihormati dan dilindungi.
            Disamping itu konsep nation-stete telah membawa perubahan pada administrasi Negara secara modern. Pemerintah mulai menggunakan suatu birokrasi modern. Birokrasi harus dapat mempertanggung jawabkan administrasi negara, terutama dalam penggunaan uang Negara. Penguasa tidak lagi dapat menggunakan keuangan Negara hanya sekedar untuk kesenangan dan kemewahan. Penghasilan Negara harus dipertanggung jawabkan. Aset Negara sebagai public asset dibedakan dengan asset pribadi, private asset.
            Salah satu yang menonjol dari Negara kebangsaan adalah mulai relative permanennya batas wilayah suatu Negara. Konstituasi tidak tidak hanya membatasi kekuasaan penguasai. Konstitusi juga membatasi luas suatu wilayah Negara. Batas wilayah suatu Negara tidak boleh berubah-ubah setiap saat sesuai dengan kekuatan Negara. Batas wilayah suatu Negara lebih banyak ditentukan oleh perjanjian dengan Negara-negara lain.
            Perkembangan nasionalisme di Perancis yang diwarnai oleh semangat revolusi dengan semboyan liberti, egaliti, dan fraternity cukup terkenal. Walupun dalam kehidupan riil kelompok borjuis relative dominan, kesadaran sebagai suatu bangsa telah menyebar pada rakyat. Sebagai kelompok yang progresif di jamannya, kaum borjuis berhasil mendobrak tatanan feudal yang dikuasai oleh kaum agama dan bangsawan.
            Kepemilikan modal oleh golongan borjuis mampu menjadi alat yang efektif dalam meruntuhkan sendi-sendi ekonomi feudal dan merkantilis. Tatanan politik yang represif ditentang. Mereka berusaha menggantinya dengan tatanan politik yang lebih demokraratis. Negara tidak boleh terlalu campur tangan terhadap kehidupan warga. Warga harus diberi kebabasan, terutama kebebasan berusaha. Penguasa tidak dipilih karena keturunan. Penguasa perlu dipilih memlalui pemilihan umum. Dan penguasa maupun Negara berkewajiban melindungi rakyatnya bukan menindasnya. Dominasi golongan agama dan bangsawan benar-benar ditentang. Kelas bangsawan dan agama tidak lagi dipercaya sebagai pemegang kedaulatan ilahi. Kekuasaan yang bersifat “magis religious” perlu diganti dengan kedaulatan rakyat.
            Dalam perkembangan sejarah, nasionalisme ang pada mulanya diwarnai oleh perbedaan kelas, khususnya kelas bangsawan dan pendeta berhadapan dengan rakyat tidak lagi ditonjolkan. Kaum borjuis berhasil menempa kepentingan bersama suatu bangsa. Garis-garis kelas yang ada dalam suatu bangsa dikaburkan dan dilebur menjadi suatu kepentingan bangsa. Nasionalisme kemudianlebih menonjolkan suatu batas-batas geografis. Kesamaan kewargaan tidak ditentukan oleh sekedar kesamaan bahasa dan cultural. Batas geografis yang menjadi bangsa yang berbeda dengan bangsa yang lain. Perasaan senasib, penggunaan bahasa yang sama atau ras selalu diwadahi oleh wilayah tertentu (Loomba, 2003.
            Perkembangan nasionalisme Barat yang mendominasiaum borjuis yang rakus tersebut tidak ingin ditiru. Tokoh-tokoh pergerakan berusaha memodifikasi nasionalisme Barat sesuai dengan jiwa dan nilai-nilai luhur yang ada. Nasionalisme di Negara jajahan tidak hanya meniru nasionalisme di Barat. Tokoh pergerakan juga berusaha mendifinisikan perbedaannya dengan gagasan-gagasan Barat. Khususnya perbedaan dalam memaknai kebebasan, kemerdekaan dankerhormatan manusia.
            Dalam konteks itulah perkembangan jiwa dan semangat nasionalisme di Indonesia tidak dapat disamakan begitu saja dengan nasionalisme yang berkembang di Barat. Para pendiri Barat.Para pendiri bangsa elakukan “saringan ideologis” dalam membangun nasionalisme yang berbasis pada nilai-nilai luhur yang telah lama ada dan berkembang di nusantara. Nasionalisme juga bukan sekedar alat untuk melawan kolonialisme. Nasionalisme Indonesia bukan sekedar diorientasikan diluar untuk membedakan dengan bangsa lain. Nasionalisme Indonesia juga berorientasi kedalam. Yaitu nasionalisme yang dapat membangaun perasaan dan semangat untuk maju dan meningkatkan kesejahteraan bangsa. Etos kebangsaan yang inklusif, manusiawi, dan berkeadilan serta menghargai motif berprestasi menjadi dambaan.
            Salah satu factor munculnya pemikiran nasionalisme modern di Indonesia adalah lembaga pendidikan modern. Sebagian kecil dari kalangan terdidik membangkitkan kesadaran kritis. Mereka mulai mengalami kegelisahan intelektual. Mereka tidak segan-segan mempertanyakan paspor budaya yang berlaku. Mereka mulai menyadari akan terjadinya proses ketidakadilan, pembodohan dan pemiskinan yang dilakukan oleh imperialism dan kolonialisme.
Mereka melihat realitas masa colonial yang tidak sehat. Mereka mulai menyadari adanya system yang tidak adil. Untuk menentang system tersebut diperlukan cara berjuang yang baru. Perjuangan yang mengandalkan senjata dan nilai-nilai primordial dianggap tidak relefan lagi.
Pemuda pelajar setelah mendapatkan inspirasi dari Wahidin dengan dipelopori oleh Soetomo, Gunawan, Soewarno Cs berhasil merintis berdirinya Budi Utomo. Berangkat dari kondisi inilah mereka kemudian mempertajam perjuangan menjadi pergerakan.  Sejak saat itu kemudian dikenal sebagai jaman pergerakan nasional. Embrio nasionalisme mulai tumbuh dalam dunia perjuangan  bangsa Indonesia (Van Miert, 2003).
Organisasi modern kedua yang muncul dalam memperjuangkan rakyat nusantara adalah sarekat dagang islam (SDI) yang kemudian menjadi sarekat islam. Kemampuan tokoh-tokoh SI memperjuangkan semangat  juang rakyat Indonesia berhasil menyadarkan eksistensi diri dan bangsa yang harus berjuang untuk kemajuan. Salah satunya  berjuang meninggalkan budaya yang dianggap menghambat kemajuan (Shiraisi, 1990 & Simbolon, 1995). SI mengalami kemunduran peran dengan munculnya PKI yang memilih perjuangan secara radikal.
Nasionalisme mengalami penajaman melalui Indische Party (IP) yang memilih gerakan radikal. IP melakukan terobosan secara radikal. Konsep bangsa  yang dikembangkan oleh IP sudah sangat maju. Bangsa tidak ditafsirkan secara etnik. Menurut pimpinan PI, bangsa Hindia adalah warga yang menetap di Kepulauan Hindia. Warga sebangsa  tidak ditentukan  oleh etnis, ras atau agama. Siapa saja yang tinggal dan menetap (blijvers) di Hindia adalah bangsa Hindia. Orang-orang kulit putih yang tinggal menetap (trekkers) dan bolak-balik ke eropa tidak  dapat dikategorikan sebagai suatu bangsa. Hukum yang membagi penduduk Hindia menjadi tiga kelas jelas tidak relevan. Konsep sebangsa menuntut perlakuan hukum yang sama (Geleidgesteld). (Abdullah, 2001).
Dinamika dunia pergerakan  yang pada mulanya lebih mengarah pada primordialisme dan kemudian bergeser menjadi internasionalisme menghasilkan sintesis pemikiran yang mengarah pada nasionalisme. Hal ini tercermin  dari  mulai dominannya   organisasi dan  wacana nasionalisme sejak akhir tahun 1920-an. Wawasan dan wacana kebangsaan mulai menonjolpada akhir tahun 1920-an. Pada tahun 1925 Perhimpunan Indonesia, organisasi pelajar/mahasiswa di belanda berhasil membuat manifesto politik yang dalam mengembangkan nasionalisme berprinsipil pada unity, liberty dan equality. PI mampu menganalisis kolonialisme di indonesia secara mendasar dan memberikan solusi perjuangan yang terdiri dari tiga prinsip, yaitu:
1.    Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilh oleh mereka sendiri,
2.    Dalam memperjuangkan pemerintah sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun, dan
3.    Tanpa persatuan yang kokoh dari berbagai unsur rakyat tujuan perjuangan tidak akan tercapai.
Manifesto politik PI sangat berpengaruh terhadap pergerakan di Indonesia. Nasionalisme yang diusahakan berkembang adalah nasionalisme yang bercirikan keterbukaan (inklusif), yaitu nasionalisme yang tidak tersekat oleh latarbelakang etnis, agama dan bahasa melainkan mendasarkan oleh perasaan senasib dan seperjuangan. Karena kita sama-sama senasib dijajah  oleh Belanda dan mempunyai keinginan kehidupan  yang lebih baik dan sederajat dengan bangsa yang merdeka lainnya itulah kita menciptakan tali persaudaraan sebagai saudara sebangsa dan setanah air (Ingelson,1983).
Kebangsaan sebagai sebuah kontruksi dari sebuah visi yang harus diperjuangkan. Nasionalisme bukan sebuah kenyataan yang telah ditentukan oleh nasib dan takdir. Untuk itu mereka tidak “ bertopang dagu”  melainkan terus berusaha “menyingsingkan lengan baju” demi terwujudnya komunitas baru yang lintas etnis bahkan trans-etnis.
Belajar dari sejarah perkembangan nasionalisme dan kapitalisme yang terjadi di Barat, anak-anak pergerakan tidak ingin nasionalisme yang berkembang di Indonesia didominasi oleh golongan borjuis. Mereka tidak ingin rakyat indonesia menderita dalam tanaman feodalisme dan imperialisme tetap menjadi objek eksploitasi. Hatta menginginkan demokrasi politik yang diterapkan di Indonesia disertai dengan demokrasi ekonomi (Suleman,2010). Nasionalaisme yang dikembangkan adalah nasionalisme kerakyatan. Nasionalisme yang berbasis serta berorientasi pada rakyat.
 Hal tersebut mencerminkan bahwa nasionalisme  di indonesia merupakan counter ideology dari kolonialisme dan imperialisme. Nasionalisme mengugat legitimasi sistem politik yang membiarkan dominasi asing terhadap kaum pribumi. Hubungan kekuasaan  yang meletakkan supordinasi penjajah dan subordinasi kaum pribumi digugat dan ingin dienyahkan. Para pendiri bangsa tidak ingin nasionalisme bangsa indonesia kemudian berubah menjadi nsionalisme sempit, jingoisme atau chauvinisme.
Untuk mencapai sekaligus merealisasikan nasionalisme diatas dibutuhkan kemandiarian politik, budaya dan  ekonomi. Maka wajar kalau pada masa pergerakan nasional usaha yang dilakukan adalah berusaha mencapai kemerdekaan politik agar bangsa kita dapat merdeka dan menentukan nasib bangsanya secara merdeka tanpa dieksploitasi bangsa asing. Perjuangan  anak-anak pergerakan yang berdealektika dengan berbagai peristiwa sejarah dunia pada akhirnya membawa bangsa indonesia mencapai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Karakteristik nasionalisme indonesia menurut Sartono Kartodirjo (1993) mengadung 5 unsur, yaitu kesatuan/persatuan (Unity), kebebasan (liberty), persamaan (equality), kepribadian (personality-individuality), dan prestasi (performance).
Nasionalisme indonesia adalah  nasionalisme yang mendasarkan pada integrasi nasional dengan tetap menjamin kebebasan individu untuk berkembang dan berprestasi. Kerelaan rakyat untuk berjuang dan pantang menyerah demi martabat dan harga diri bangsa cukup menyolok dimasa pergerakan nasional. Golongan intelektual berhasil  melakukan konstruksi yang cerdas  dalam membangun wawasan kebangsaan ke depan. Pengaruh barat diseleksi dan disesuaikan dengan kondisi objektif  yang berkembang di masyarakat. Mereka berusaha membangun nasionalisme  yang tidak menggilas  atau mengorbankan nasib rakyat kebanyakan. Usaha mereka tersebut dibingkai dalam konsep sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Berkat para pemuda di masa pergerakan nasional, kita bangsa indonesia memiliki bahasa persatuan. Tidak banyak bangsa terjajah berhasil merumuskan suatu bahasa nasional. Pada umumnya mereka berusaha meniru dan menggunakan bahasa penjajahan sebagai bahasa nasional. Menggunaan bahasa penjajah mengidentifikasikan dominasi kebudayaan penjajah terhadap negara yang terjajah. Bahasa dalam kehidupan manusia bukan sekedar  alat yang berperan instrumental. Bahasa juga merupakan “mediasi eksitensial”. Bahasa secara langsung mencerminkan lambang watak dan hidup suatu bangsa.
Untuk itulah peran bahasa indonesia sebagai bahasa persatuan berperan vital sebagai bagaian dari  ketahanan kultural. Penggunaan suatu bahasa nasional memudahkan membangun dan memperkokoh jati diri nasioanl. Struktur bahasa indonesia yang egaliter juga sangat cocok  bagi bangsa indonesia secara baik dan benar menjadi kebutuhan. Menurut Kleden (1994) “... bahasa menunjukkan bangsa, maka disiplin berbahasa menunjukkan disiplin hidup kita sebagai bangsa. Oleh Karena itu perbaikan dan pengembangan bahasa tidak terlepas dari perbaikan dan pengembangan cara hidup kita sebagai bangsa yang bertanggung jawab atas nasibnya sendiri”.
            Ironisnya proses aktualisasi nasionaliosme setelah kemerdekaan banyak mengalami pasang surut. Di masa revolusi nasionalisme terkesan lebih heroic. Banyak pemuda, tentara dan rakyat yang terjun ke gelanggang perang melawan Belanda yang ingin menjajah lagi. Disamping itu para politisi juga terus berusaha melakukan diplomasi untuk mempertahankan eksistensi negara RI yang baru berdiri.
            Pasca revolusi nasional upaya melakukan konsolidasi kekuasaan dan aktualisasi nasionalisme menghadapi tangtangan. Kekuatan ekonomi yang masih dikuasai asing. Khususnya Belanda (konskuensi dari KMB) meyebabkan peran pemerintah  banyak mengalami kesulitan. Pada. awal demokrasi terpimpin terjadi pemberontakan PRRI dan Permesta. Pembangunan karakter bangsa digelorakan. Kemandirian bangsa dikumandangkan. Perang dingin berpengaruh  terhadap atmosfir kebangsaan indonesia. Dan era orde baru nasionalisme cenderung bersifat sentralistik dan regimentatif. Negara yang rakus (greedy state) telah menciptakan hegemoni makna. Nasionalisme  yang ada berubah menjadi nasionalisme negara (Abdullah, 2001). Pada masa reformasi wacana nasionalisme makin termarginalisasi. Kebebasan dan globalisasi seolah  telah menjadi m,antra kehidupan.
Menguatnya cara berfikir yang kapitalistik mendorong kebijakan negara makin manjauh dari kepntingan rakyat sebagai warga negara. Istilah liberalisasi. Privatisasi dan deregulasi seolah menjadi mode yang terelahkan. Negara semakin minim dalam campur tangan ekonomi. Menguatnya pengaruh paham neoliberalisme makin membuat kepentingan nasional seolah tidak boleh dinomorsatukan. Kini pengaruh kekuatan ekonomi global makin meningkat. Masyarakat mudah terjebak pada kehidupan yang konsumtif dan hedonistic. Bangsa dan negara Indonesia mudah menjadi sasaran eksploitasi kekuatan-kekuatan ekonomi dunia (falk,1999). Proses homogenisasi rasa  dan hegemoni pemikiran makin meluas dan membahayakan.
Keyataan tersebut membutuhkan keberanian bangsa indonesia dalam mempertanyakan formulasi nasionalisme yang mengalami diskrapensi antara apa yang ada dalam tataran simbolik dengan realitas objektif. Wacana yang menyatakan nasionalisme telah berakhir masih perlu dipertanyakan