Rabu, 09 Mei 2012

Teori Dekonstruksi (Derrida)


Miskawi 
(Pasca UNS Pend. Sejarah)

A.    Latar Belakang
            Sekarang ini kita memasuki era posmodernisme. Kita hidup pada zaman yang mengalami perubahan dramatis. Struktur yang telah bertahan dari generasi ke generasi sedang mengalami keruntuhan, atau diruntuhkan. Sangat sulit mengetahui definisi istilah ‘posmodernisme’, karena jika definisi diartikan sebagai sesuatu yang bisa disepakati, tunggal, dan bulat; maka kesepakatan, ketunggalan, dan kebulatan itulah yang tidak diinginkan oleh posmodernisme. Kita hanya bisa mengira-ngira apa yang menjadi ciri-ciri posmodernisme. Hanya dengan membuat pengelompokan, barulah kita dapat menangkap arti atau definisi posmodernisme.
 Posmodernisme memiliki keragaman gerakan, sebagai akibat akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya. Kategori pertama, adalah gerakan posmodernisnme yang digagas oleh Nietzsche, Derrida, Foucault, Vattimo, Lyotard, dan lain-lain. Gerakan ini menggagas pemikiran-pemikiran yang banyak berurusan dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang populer untuk kelompok ini adalah “dekonstruksi”. Mereka cenderung hendak mengatasi gambaran dunia (worl-view) modern melalui gagasan yang anti world-view sama sekali. Mereka mendekonstruksi atau membongkar segala unsur yang penting dalam sebuah world-view seperti: diri, Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, dsb. Awalnya strategi dekonstruksi ini dimaksudkan untuk mencegah kecenderungan totalitarisme pada segala sistem; namun akhirnya cenderung jatuh ke dalam relativisme dan nihilisme.
            Kategori kedua, posmodernisme adalah segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan dengan memperbarui premis-premis modern di sana-sini saja. Di sini, tetap diakui sumbangan besar modernisme seperti: terangkatnya rasionalitas, kebebasan, pentingnya pengalaman, dsb. Heidegger hanyalah salah satu posmodernis yang masuk kategori kedua ini. Philoshopy of difference yang dinisbatkan kepada Heidegger mengatakan bahwa segala perbedaan antara kepalsuan dan kebenaran, rasional dan irrasional harus diletakkan di luar jangkauan bahasa dan konsep-konsep yang melekat dengannya. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang kita hadapi dalam pengalaman kita di dunia tidak kurang dan tidak lebih dari suatu penafsiran; dan segala sesuatu di dunia ini selalu ditafsiri sesuai dengan nilai-nilai subjektif dalam diri kita. Di sini yang bermain adalah dunia interpretasi yang berbeda-beda. Philosophy of difference kemudian menjadi asas bagi penolakan terhadap kebenaran transenden.
Karakter yang sering disuarakan postmodernisme antara lain adalah pluralisme, heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi,pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi,demistifikasi, delegitimasi serta demistifikasi (Bertens, 1995: 44).
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konteks historis lahirnya teori dekonstruksi?
2.      Bagaimana teori dekonstroksi sebagai kecenderungan baru dalam membaca teks filosofis?
3.      Bagaimana penerapan dan sistematika dekonstruksi?
4.      Bagaimana differance dan metafor dalam teori dekonstruksi Derrida?
5.      Bagaimana pluralitas makna menurut teori dekonstruksi Derrida?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui konteks historis lahirnya teori dekonstruksi Derrida.
2.      Untuk mendeskripsikan teori dekonstroksi sebagai kecenderungan baru dalam membaca teks filosofis.
3.      Untuk mengetahui penerapan dan sistematika dekonstruksi.
4.      Untuk mengetahui differance, metafor dan peranan imajinasi dalam teori dekonstruksi Derrida.
5.      Unntuk mendeskripsikan pluralitas makna menurut teori dekonstruksi Derrida.




BAB II
PEMBAHASAN

Jacques Derrida dikenal sebagai pendasar teori dekonstruksi yang menjadi wacana postmodern. Sebagai pendasar teori, tentunya ada sejumlah ide menyertai perjalanan refleksi intelektualnya, sampai pada akhirnya ia menggagas konsep dekonstruksi. Oleh karena itu, ada beberapa hal pokok yang penulis sajikan untuk memahami konsep dekonstruksi Derrida. Pertama-tama adalah dengan memahami belakang konsep lahirnya dekonstruksinya.
Kemudian, penulis akan menjelaskan beberapa butir pemikiran yang menyertai konsep dekonstruksi antara lain adalah différance dan metafor serta peranan imajinasi di dalamnya. Setelah menjelaskan makna imajinasi di dalam dekonstruksi, terakhir penulis coba mengangkat sebuah tendensi postmodernisme untuk melahirkan filsafat imajinasi sebagai jawaban atau realitas yang selalu ambigu.
1.      Konteks Historis Lahirnya Teori Dekonstruksi.
Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École Normale Supérieure di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004.
Derrida bisa dikatakan seorang penerus Heidegger yang sama-sama mengkritik rasionalisme Barat. Gaya mengkritiknya sering disebut gaya yang tak lazim dalam berfilsafat, seperti menghindari upaya argumentatif dalam membangun proyek filsafat, bermain-main, alusif dan literer. Usaha mengkirtiknya ini menghasilkan suatu pemikiran bahwa filsafat bukan lagi suatu representasi kebenaran. Bahasa lisan adalah instabil yang tidak memungkinkan lagi lahirnya makna yang berbeda berdasarkan konteks. Baginya, segala sesuatu adalah teks dan kenyataan filosofis adalah kenyataan tekstual.
Pemikiran Dekonstruksi Derrida yang memberikan warna bagi dunia postmodernisme, merupakan jawaban atas situasi pemikiran yang dikuasai post-Hegelian yang sangat menekankan metafisika. Dalam “dunia yang lupa akan Ada,” metafisika selalu menjadi tema yang utama dan tetap. Maka, dogma-dogma metafisika dan bahasa-bahasa metafisika yang merupakan tradisi lama menjadi bahan kritikannya.
Dalam karya-karya awalnya, Derrida masuk ke dalam proyek fenomenologi Husserl. Di sini Husserl melanjutkan tradisi metafisika untuk mendapatkan kebenaran sebagai kehadiran pada dirinya. Selain Husserl, Derrida juga memakai beberapa pemikiran Heidegger di mana ada juga beberapa yang dibantahnya. Tetapi Derrida sempat tenggelam dalam pemikiran Heidegger, bahwa pemikiran bukanlah yang menentukan bahasa melainkan bahasalah yang menentukan pikiran. Jika pikiran itu selalu terbatas oleh bahasa yang berhingga yang tidak bisa menjadi ‘master’ maka bisa dikatakan bahwa pikiran dapat menimbulkan masalah-masalah tentang cara-cara berbahasa yang telah ditentukan. Maka, dengan mempelajari pemikiran-pemikiran para filsuf yang berpengaruh, ia menemukan teorinya yang sama sekali bertolak belakang.
2.      Teori Dekonstroksi Sebagai Kecenderungan Baru Dalam Membaca Teks Filosofis.
Derrida yang juga diakui sebagai salah satu tokoh dalam paham “postmodern”, memiliki tradisi medan gagasan yang dikenal dengan “dekonstruksi”. Dekonstruksi merupakan manifestasi dari metode ironi atas wacana maupun teks sebagai wujud dari “Grand Narration”, yang menentukan kelemahan dalam teks yang diteliti dengan fraktur yang terlihat seperti suatu kesatuan. Terlihat, karena teks pada titik tertentu gagal untuk menarik kesimpulan sendiri dari dasar-dasar pikiran yang dibangun dan ditampilkan.
Tradisi gagasan ini juga merupakan reaksi kritis yang turut mengawal penolakan terhadap logosentrisme dengan atribut kebenaran tunggal (cara berpikir oposisi biner) melekat padanya. Nalar dekonstruksi yang ditawarkan Derrida termaktub dalam dua langkah penalaran. Pada langkah yang pertama, dekonstruksi; membalikkan keadaan, dan membuat sisi tertindas menjadi satu dominasi. Namun, tidak berhenti sampai tahap itu, kita tidak akan puas hanya dengan membalik hierarki antara dua sisi yang bertentangan, maupun mengubah salah satu sisi dengan dominasi yang menukik ke bawah dan sebaliknya. Pada langkah yang kedua dalam dekonstruksi, kita melemahkan perbedaan antara kedua sisi yang bertentangan sebagaimana kita juga menggantikan seluruh oposisi yang mendukung gagasan lain. 
Pada langkah yang pertama, melibatkan penghancuran/pembongkaran gambar/tampilan yang sebelumnya mendominasi, mendukung apa yang tersembunyi, dan yang didominasi. Pada langkah yang kedua, melibatkan penghancuran/pembongkaran kedua kutub, tetapi pada saat yang sama juga berlangsung perpindahan pada mereka, dan kesemuanya itu kemudian membangun suatu yang baru dan lebih luas.
Tradisi dekonstruksi Derrida selalu berupaya melakukan pembalikan (kontinuitas) terhadap oposisi biner. Pergantian posisi antara yang menjadi pusat dan prinsip dengan yang bukan prinsip dan berada di luar lengkungan pusat, meletakkan ketelanjangan tetapi tersembunyi, pengungkapan makna-makna yang tersembunyi ke permukaan, merupakan salah satu tujuan dari tradisi gagasan dekonstruksi Derrida.
Bagi Derrida, filsafat harus dilihat pertama-tama sebagai tulisan. Maksudnya, sebagai tulisan filsafat tidak merupakan ungkapan transparan pemikiran secara langsung. Dengan itu, filsafat yang dilihat sebagai tulisan selalu bersifat tekstual. Dekonstruksi Derrida hadir sebagai modus baru dalam membaca teks-teks filosofis, yang adalah cara untuk melacak struktur dan strategi pembentukan makna di balik tiap teks itu. Secara praktis, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi apa yang mendominasi dan menguatkan fundamen hierarki.
Interpretasi yang demikian itu menunjukkan ambisi filsafat pada umumnya untuk melepaskan diri dari statusnya sebagai tulisan dan ingin agar bahasa yang digunakan itu manjadi sarana transparan yang menampilkan makna dan kebenaran real yang bersifat ekstralinguistik. Cara yang biasa ditempuh adalah dengan mengacu pada dasar yang diklaim sebagai eviden dan menata logika sedemikian hingga tampil utuh, koheren dan tidak ambigu. Namun bagi Derrida, semua ambisi dan upaya semacam itu tidak akan pernah mungkin berhasil. Dalam setiap tulisannya dan mungkin dalam setiap karyanya, Derrida selalu meluncurkan proyek dekonstruksi.
Ia sepertinya sangat menyadari akan realitas yang semakin ambigu sehingga hampir tidak pernah setuju dengan pandangan berbagai filsuf. Ia terkesan ingin melihatnya dalam suatu pandangan yang baru. Ia menolak struktur-struktur yang telah dibentuk oleh tradisi rasionalisme Barat. Ia juga terkesan tidak mau menyelesaikan sesuatu dengan sesuatu yang final. Ia menolak adanya pemikiran yang berujung pada akhir yang pasti atau absolut. Ia memberikan wacana yang luas yang terus mengalir dan menjadi bagi manusia tanpa harus terikat dengan narasi yang ada sebelumnya.
Dalam dekonstruksinya Derrida menyatakan bahwa makna tidak pernah hadir sepenuhnya, tetapi selalu tertunda. Untuk menjelaskan hal ini, Derrida menciptakan kata Prancis yaitu differance. Besamaan dengan munculnya konsep differance, perjalanan mendekonstruksi metafisika kehadirannya sampai pada satu titik problematik dalam filsafat Barat tentang metafor serta relasinya dengan kebenaran. Kekuatan metafor bagi Derrida terletak pada kemampuannya dalam menunda kebenaran yang menjadi sentral sejarah metafisika. Lalu, jika kita bertanya dari manakah munculnya metafor? Di sinilah kita mulai dapat menyadari peranan imajinasi dalam menghadirkan metafor itu. Imajinasi adalah kekuatan yang memungkinkan tanda-tanda itu bebas memainkan perannya melampaui logika. Dalam hal ini, Derrida memahami imajinasi sebagai efek dari differance itu sendiri, yang muncul akibat tegangan antara pembatasan perspektif dan keterbukaan, juga antara kejelasan makna dan ambiguitas.
3.      Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi.
Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan.
Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda. Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati.
Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif. Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.”
Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat. Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.  
Oleh karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan untuk kepentingan filosofis. Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar.
Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks. Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama, mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.  
Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama. Dengan langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.
4.      Differance dan Metafor Dalam Teori Dekonstruksi Derrida.
a.      Différance
Pemikiran akan différance merupakan jalan kemungkinan berpikir yang membebaskan tulisan dari interpretasi metafisis, di mana bahasa ditujukkan untuk mengekspresikan makna atau kebenaran kehadiran pada dirinya.  Différance itu memiliki perbedaan dengan différence atau différer. Dalam kamus Prancis kata différer mengandung arti berbeda, bertolak belakang, tidak mempunyai kesamaan (kata kerja intransitif) dan menunda, menangguhkan, mengundurkan waktu (kata kerja transitif) . Kata differance diciptakan Derrida untuk menunjuk bagaimana makna ditirunkan dari penundaan dan tidak pernah hadir sepenuhnya, melainkan selalu tertunda (postponed). Karena itu, différance tidak pernah dapat dijadikan objek ilmu pengetahuan sebab itu tidak tertangkap dengan kehadiran.
Dekonstruksi Derrida bermula dari huruf. Dan hal ini kita saksikan bagaimana Derrida memanipulasi huruf a pada difference untuk memperlihatkan betapa ambigunya sebuah kata yang tampak tunggal dan sederhana. Adanya pemikiran tentang différance merupakan suatu keinginan untuk tidak berada dalam metafisika. Dengan kata lain, Derrida berusaha untuk melebihi metafisika, melampaui pemikiran yang ditandai kehadiran. Maka différance sebenarnya tidak ada, untuk tidak menguraikannya dalam suasana atau kerangka metafisis.
Istilah Différance, dapat dibeakan dalam empat arti yaitu: pertama, différance menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Différance adalah proses penundaan yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli. Kedua, différance adalah gerak yang mendiferensiasikan karena différance bergerak dalam oposisi terhadap konsep-konsep. Ketiga, différance adalah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dalam setiap struktur. Keempat, différance juga dapat menunjukan berlangsungnya perbedaan antara
Différance bagi Derrida juga bukan merupakan suatu asal usul. Bila demikian, ia akan jatuh pada metafisika. Ia jatuh pada identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan tekstual. Dengan pemikiran ini Derrida menolak penjadian différance sebagai suatu makna transendental. Différance juga menganut tekstualitas, menunjuk pada yang lain. Bagi Derrida, tak ada identitas terakhir. Maka bisa dikatakan bahwa realitas itu menunjuk pada yang lain dan tidak pernah berhenti atau berakhir. Di sinilah keradikalan Derrida dalam filsafatnya. Bagi Derrida, tak ada ruang lagi untuk suatu dimensi tak berhingga.
b.       Metafor
Sejarah metaphor menurut Derrida pertama-tama mengandaikan adanya arkhe transendental yang menjadi basis pengetahuan dan asal-usul bahasa. Konsep metafor pertama kali dirumuskan secara gamblang oleh Aristoteles dalam Poetica. Aristoteles menyatakan bahwa metafor terdiri atas pemberian (epiphora) nama (onomatos) atau sesuatu yang sebetulnya milik sesuatu yang lain.
Menurut Aristoteles, sumber arkhe pertama dari metafor adalah alam. Alam memberikan dirinya dalam bentuk metafor. Manusia meniru pergerakan alam dan menciptakan sebuah sistem bahasa yang puitis untuk mendramatisasi kekagumannya pada alam. Dengan kata lain metaphor lahir dari hasrat mimetik untuk meniru sesuatu yang ideal dan tak terbahasakan.
Dalam artikelnya, The Retrait of Metaphor, Derrida mengembangkan gagasan metafor yang dibangun Heidegger. Ada pun metafor yang oleh Heidegger ditampilkan dengan mendekonstruksi metafisika, adalah reaksi terhadap genealogi Nietzsche yang mengutamakan metafor dengan cara melacak akar metaforis pernyataan-pernyatan filosofis.
Dengan dekonstruksi metafisika dan kritiknya atas konsep metaphor yang dibangun Nietzsche itu sebetulnya Heidegger bermaksud untuk mengubah sikap dasar kita dalam memandang bahasa secara umum. Baginya, hubungan yang otentik dengan bahasa, bukanlah hubungan di mana bahasa kita anggap sebagai objek atau sarana belaka dan kita gunakan berdasaran suatu sistem predikasi dan penekanan baku yang ketat dan pasti. Menurut Derrida, bahasa pertama-tama adalah suatu kenyatan terberi yang menyingkapkan sebuah dunia bagi kita sedemikian hingga dunia yang kita pahami selalu berkait erat dengan bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu yang yang kita pahami di luar bahasa.
Derrida kemudian mengubah haluan konsep ini. Bila Heidegger menyerang metafisika dalam pembendaan antara taraf inderawi dan non inderawi, maka Derrida menyerang metafisika dalam pembedaan arti katanya. Bagi Derrida, baik antara ‘bunyi kata’ dan dan artinya, maupun antararti dan antarbunyi kata itu sendiri, pembedaan yang terjadi hanyalah permainan yang bisa dibuat sewenang-wenang.
Akibatnya, arti literal dan arti metaforis tidaklah jelas untuk diketahui. Dekonstruksi memiliki sendi tak tergoyangkan ketika dia menyatakan kemustahilan pereduksian metaphor karena difference telah ‘mengerjai’ makna ‘literal’ yang baku. Segala pernyataan bisa bersifat metaforis bisa juga literal tergantung pada bagaimana kita membedakannya. Dengan kata lain, pembedaan antara yang literal dan yang metaforis sebetulnya tidak ada artinya lagi, sehingga dekonstruksi menemukan bahwa tidak ada yang dinamakan makna literal itu.
5.      Pluralitas Makna Menurut Teori Dekonstruksi Derrida.
Menurut Marvin Harris (1992:153-154) postmodernisme merupakan gerakan intelektual yang (sedikit) bertentangan dengan modernisme. Istilah ini lebih menitikberatkan pemahaman budaya dalam konteks khusus. Postmodernisme juga tidak memiliki paradig­ma penelitian yang lebih istimewa. Bagi Foucault, postmodernisme akan menghubungkan antara ilmu dan alasan. IImu akan mencari “best answer”. Namun, jawaban yang hadir dalam pandangan post modernisme akan menolak generalisasi. Kebenaran, lebih mengandal kan pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak menentu, dan penafsiran.
Salah satu karakteristik postmodernisme adalah tak suka pada makna tunggal sebuah fenomena budaya. Mereka cenderung meman dang budaya itu bermakna banyak (plural). Budaya menyuguhkan makna yang bersifat poliinterpretable, sehingga boleh dimaknai sekehendak hati. Dari sini, realitas budaya dipandang sangat proble matis dan menampilkan makna plural. Pendek kata, postmodernisme seirama dengan kajian pascastrukturalisme. Dia menolak ide struktur sebagai penopang makna yang mapan. Bahkan Strorey (2003:123) menyatakan pascastrukturalisme “mengimani” bahwa makna selalu dalam proses, tak pernah final.
Paham postmodernisme atau dekonstruksi, menolak otoritas sentral dalam pemaknaan budaya. Makna budaya tidak harus tunggal, melainkan bersifat terbuka pada makna yang lain. Makna mungkin ada dalam apa saja, hal-hal yang kecil, yang kurang diperhatikan, kurang disinggung, kemungkinan justru memiliki makna yang besar. Jadi, postmodernisme lebih menolak segala asumsi-asumsi yang membelenggu pemaknaan. Hal ini tidak berarti bahwa postmodernisme hanya ingin menang sendiri, hanya kecewa dengan paradigma penelitian sebelumnya, dan atau hanya tergelincir pada eforia, melain kan memiliki dasar-dasar yang kuat dan logis dalam pemaknaan.
Jika kaum modernis selalu mengandalkan “rahasia makna” budaya dalam sebuah struktur atau teks, postmodernisme tidak demi kian. Kaum postmodernisme justru menghargai ada unsur sejarah, latar belakang, dan unconsciousness di balik fenomena budaya. Hu­bungan statis antara prosisi dengan realitas tidak ada baginya, yang ada adalah penanda yang mengambang terus-menerus dan sukar ditemukan hubungannya. Kodrat pemaknaan tidak stabil secara esen sial. Karena penanda mengambang terus, postmodernisme berusaha mendefinisikan ulang teori yang selama ini dianut, mendekonstruksi realitas, dan berusaha memaknai fenomena budaya berdasarkan plura­litas makna.
Prinsip pengejaran makna menganut konsep relativisme budaya. Tentunya, postmodemisme lalu menolak makna universalitas budaya. Makna budaya tidak harus menjadi milik sekian banyak orang. Biasa saja fenomena budaya hanya bermakna bagi segelintir orang dan individual. Hal ini dapat dipahami melalui pemikiran Derrida. Meskipun dia lebih banyak menyorot pada konteks budaya sebagai teks, khususnya bidang teks sastra, namun tetap menyiratkan pandang an yang luar biasa bagi pengkaji budaya. Menurutnya, teks bukan sekedar kumpulan tanda-tanda, melainkan sebuah “rajutan”, artinya makna teks tersebut tertenun dalam keseluruhan teks.
Bagi Derrida, pencarian makna teks budaya bukan secara logosentrisme, seperti paham strukturalis. Paham logosentrisme sering terdampar pada aspek fonosentrisme, yangmendewakan kata. Budaya, pada mulanya adalah “kata“. Kendati penafsiran tak akan lepas dari kata, namun makna budaya lebih dari sebuah kata. Makna budaya justru tertenun dalam seluruh teks budaya dan tak berdiri sendiri. Makna teks akan berubah dan berkembang terns. Jika demikian, tidak ada yang mampu menjamin kebenaran makna. Kalau demikian, makna budaya bukan milik suatu zaman, melainkan terus berjalan seiring perkembangan budaya itu sendiri. Makna budaya juga bersifat longgar, bukan univocity absolut, melainkan multiplicity of meaning. Dalam kaitan ini Derrida mengenalkan istilah equivocity (berdalih) untuk mengontrol ambiguity. la lebih mendekonstruksi pemikiran “objektif’ ke “subyektif’, yang umum ke individual.
Pemaknaan dalam pandangan pencetus dekonstruksi, Derrida, makna bukan sekedar arti kata, bukan sekedar sign yang disepakati oleh banyak orang, bukan pula arbriter, melainkan tergantung bagai mana orang mengartikannya. Yang terpenting bagi Derrida, yang kemudian dilanjutkan oleh Kristeva, Barthes, dan lain-lain pengalaman empirik sensual manusia difilter oleh ide-idenya yang dalam. Berarti bahasa (teks budaya) itu berada pada dataran proyeksi dari pemfilterannya atas pengalaman empirik tersebut. Makna akan terkait denga kreativitas manusia dalam berbahasa.
















BAB III
PENUTUP

Konsep Derrida tentang dekonstruksi, secara implisit meramalkan suatu kekuatan superfisialitas dalam filsafat. Ramalan ini tersingkap dalam pendiriannya yang secara radikal menolak “logosentrisme ”, yaitu pemikiran tentang “ada sebagai kehadiran”. Kehadiran dalam konsep dekonstruksi Derrida dimengerti sebagai sistem tanda.
Dengan memahami postmodernisme sebagai iklim baru yang diwarnai oleh rekonstruksi dan dekonstruksi realitas, penulis mencoba mendalami salah satu konsep pemikiran postmodern yakni teori dokonstruksi dari Jaques Derrida, seorang filsuf Prancis yang lahir pada tahun 1930 di Alegeria. Derrida datang ke dunia filsafat dengan mempertanyakan metafisika kehadiran-nya para filsuf sebelumnya dan ia membangun konsep dekonstruksi. Melalui teori dekonstruksinya, Derrida menyakini suatu kenyatan bahwa dibalik teks-teks filosofis bukanlah kekosongan, melainkan terdapat sebuah teks lain sebagai suatu jaringan keragaman kekuatan-kekuatan yang tidak jelas pusat referensinya.
Oleh karena itu, dengan lahirnya konsep dekonstruksi tidak berarti bahwa bahwa filsafat kehiangan identitasnya, sebab metafor dapat dipakai sebagai paradigma untuk mengkaji persolan filsafat, irasonalitas dan kebenaran sebagai yang berkarakter tegangan (tensional). Dalam hal ini karakter tensionalitas itu perlu dilihat sebagai tegangan kreatif yang perlu dikaji untuk melihat relevansi filsafat secara baru.
Hidup adalah teks, dan kita di dalamnya, bergulat di dalamnya dan menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Kita menulis kehidupan ini dan mendekonstruksinya bersama imajinasi. Maka bersama Gunawan Muhamad dalam pengantar buku berjudul Derrida karya Muhammad Al-Fayyadl, kita sepakat bahwa teori dekonstruksi sesungguhnya mengajarkan satu nilai kebijaksanan bagi kita untuk selalu bersikap rendah hati untuk tidak memagari diri dengan sebuah kemapanan konsep atau ideologi. Dekonstruksi mengajak kita untuk tidak cepat ’berpuas diri’ dengan sebuah kemapanan tetapi untuk selalu terbuka terhadap segala kenyataan dunia yang tidak pernah absolut. Realitas selalu ambigu dan imajinasi membuka banyak kemungkinan.
DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
Al-Fayadl, Muhammad. Derrida. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Champagne, Roland A. Jacques Derrida. New York, Twayne’s World Authors Series, 1995.
Derrida, Jacques. Writing and Difference, Translated, with an Introduction and Additional Notes by Alan Bass. Chicago: The University of Chicago Press, 1978.
Norris, Christopher. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2003.
Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996.
Suseno, Franz Magnis. Filsafat sebgai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Tedjoworo, H. Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern. Yogyakarta: Kanisius,
2001.


GANDRUNG BANYUWANGI: TINJAUAN KRITIS ATAS TAFSIR (AN) YANG ADA (Teori Hegemoni - Teori Dekonstruksi – Dramaturgi Transendental )Miskawi

PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang
Indonesia memiliki keanekaragaman kebudayaan, mulai dari bahasa dengan dialek yang khas, hukum adat, upacara tradisi,  sistem kekerabatan, kesenian, sistem teknologi dan peralatan, cerita rakyat, nyanyian rakyat. Keanekaragaman tersebut  melahirkan semboyang bhinneka tunggal ika  yang menghargai kemajemukan.
Keanekaragaman budaya menciptakan berbagai bentuk budaya salah satunya adalah kesenian tradisional. Kesenian tradisional yang khas berpengaruh  terhadap kebudayaan nasional, karena kesenian tradisional produk estetis simbolik masyarakat yang berakar pada pengalaman sosio-kultural religius sehingga  mengandung norma-norma dan nilai yang perlu dilestarikan. Karena itu, kesenian tradisional adalah kekhasan kebudayaan nasional sebagai modal berharga  pembeda eksistensi sebuah bangsa.
Realitas menunjukkan bahwa kesenian tradisional sekarat dan mati karena adanya kompetisi budaya yang tidak seimbang, akibatnya produk-produk kesenian global yang lebih menghibur, mudah dicerna, gampang ditiru, dan enak dirasakan telah disebarluaskan oleh media massa yang didukung oleh kapital besar yang membahayakan eksistensi kesenian tradisional. Namun, sebagian ada yang bertahan dengan inovasi mengikuti selera pasar bahkan keluar dari pakem. Menurut  Ahimsa, Putra (dalam Sutarto,2004: 5) bahwa didalam sebuah pakem terdapat simbol-simbol yang mencitrakan nilai filosofis dan pandangan hidup masyarakat jika dibiarkan akan kehilangan jati diri.
Gejala keterpurukan kesenian tradisional tidak boleh dibiarkan agar bangsa ini tidak kehilangan produk budaya yang tak ternilai harganya. Kehilangan dan kerugian yang dimaksud  bukan hanya terkait dengan unsur filosofisnya antara lain norma dan nilai didalamnya, melainkan Eksistensi Kesenian tradisional sebagai kebudayaan nasional, semua ini perlu komitmen bersama untuk melestarikan.
Salah satu daerah atau kawasan yang memiliki karakteristik khas yang menjadi identitas sendiri berada diujung pulau timur Jawa yaitu Kabupaten Banyuwangi.Kabupaten Banyuwangi adalah Wilayah yang sebagaian besar penduduknya asli suku using ini, memiliki kekayaan budaya yang unik, khas dan luar biasa, sehingga Agus Bing dalam majalah Gong edisi 81/VIII/2006 menyebutkan Banyuwangi sebagai “surga budaya di jawa timur”. Lebih lanjut majalah gong memaparkan bahwa Banyuwangi adalah surga yang menawan. Banyuwangi menyerap budaya Bali, Jawa, tersentuh tradisi kepesisiran dan menyimpan khasanah pedalaman yang menyajikan berbagai bentuk kesenian tradisional salah satunya adalah kesenian gandrung.
Kesenian Gandrung adalah salah satu kesenian tertua yang sudah berkembang sejak tahun 1700an. Gandrung sampai saat ini dijadikan sebagai identitas masyarakat using,  maskot pariwisata Banyuwangi dan telah berhasil mempertahankan identitas  yang terwariskan dengan baik dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Perkembangan gandrung dilihat dari sejarahnya sebagai identitas dan sebagai maskot Banyuwangi menuai konflik khususnya Pemerintah Banyuwangi yang berkeinginan kuat untuk menjadikan gandrung sebagai maskot kota Banyuwangi sebagai alat kepentingan politik (hegemoni).  Praktik pemaskotan gandrung itu oleh beberapa calon bupati dari kalangna non Using selalu dipakai sebagai contoh  pemihakan yang berlebihan terhadap kelompok etnis tertentu yang seharusnya  tidak boleh terjadi karena tidak sesuai  dengan kenyataan penduduk Banyuwangi yang plural.
Golongan agamawan yang melihat keberadaan kesenian gandrung adalah hal-hal yang diharamkan tanpa melihat realita yang ada dan nilai-nilai yang terkandung dan tekanan kultural bahwa perempuan seni tradisi dikategorikan sebagai individu yang selalu mendapatkan predikat “miring”dalam masyarakat. Menari dianggap sebagai tingkah laku tercela yang bertentangan dengan agama Islam, terutama mengibing dianggap sebagai kemaksiatan dan dipandang rendah bagi masyarakat.



B.     Naskah Publikasi yang dijadikan tinjauan
No
Nama Pengarang
Judul
Penerbit
Tahun
1
Novi Anoegrajekti
Penari gandrung dan gerak sosial
Srintil
2007

Dalam rangka menciptakan (Citra) kekhasan daerah  berkaitan dengan promosi pariwisata, pemerintah kabupaten Banyuwangi  merealisasikan proyek  pembuatan patung  gandrung  dipajang dibanyak tempat strategis dikota dan  maupun di daerah. Secara eksplesit, konsideran Bupati bernomor 173 tertanggal 31 desember 2002 yang menetapkan proyek ini  menyatakan: “bahwa  dalam rangkah mendorong tumbuhnya  semangat ikut serta memiliki daerah dengan segala kebudayaannya, yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan promosi pariwisata di kabupaten Banyuwangi.
Surak keputusan diatas, direalisasikan di setiap kota dan desa dengan dibuatkan patung gandrung berukuran besar yang berada dipelabuhan ketapang yang melayani penyebrangan ke Pulau Bali ukuran setinggi 1,5 meter diatas sebuah tugu setinggi 2,5 meter dipinggir jalan depan pelabuhan dan tepatnya berhadapan dengan masjid jami’ di Sebrang jalan.
Pembangunan Gandrung sebagai maskot kota kabupaten Banyuwangi menuai protes. Bagi kaum agamawan bahkan tanggapan atas proyek politik dikatakan bahwa gandrung dianggap mengotori tempat suci mereka. Para jamaah masjid mengajukan protes terhadap pemajangan patung dan dianggap pertentangan dengan agama.
Logika kaum agamawan adalah bahwa hidup harus diatas aturan agama, tanpa memperdulikan realitas  kehidupan yang ada. Sebab aturan agama adalah segala-galanya. Ia merupakan aturan yang asasi dan tidak boleh ditolak dalam keadaan apapun. Manusia harus menaati aturan agama tersebut dalam realitas kehidupannya. Orang yang melakukan pembangkangan terhadap aturan agama dianggap sebagai penentang tuhan.  Suatu hal dianggap benar manakalah dilakukan sesuai dengan naturan agama juga. Oleh karena itu pemaskotan gandrung sebagai identitas Banyuwangi dan penari gandrung yang membawa kemaksiatan dianggap bertentangan dengan agama dan keberadaannya perlu diberanguskan.
Upaya protes yang dilakukan masyarakat  dengan melakukan penyerbuan masal oleh para jamaah masjid ke gedung pelabuhan  tempat patung dipajang. Persoalan diatas dapat diselesaikan setelah pihak pelabuhan memindahkan patung itu ke tepi pantai yang tidak terlihat oleh masyarakat umum yang meliwati jalan raya.
Identifikasi gandrung bagi pariwisata daerah Banyuwangi ialah  yang menjadi sorotan publik, diberdebatan, dikritik dan dipersoalkan. Para wakil rakyat DPRD Banyuwangi yang didominasi non – Using mempersoalkan hal tersebut sebagai politik etis yang tidak sesuai dengan kenyataan penduduk dan kebudayaan Banyuwangi yang bersifat plural karena gandrung adalah kesenian using salah satu kelompok etnik di daerah itu.
Angoota di DPRD dari fraksi PPP melihat pemaskotan gandrung itu dari sudut agama. Mereka menolak hal itu karena dipandang bertentangan dengan agama Islam yang dipeluk mayoritas orang Banyuwangi, disamping itu tidak sesuai dengan pluralitas penduduk  Banyuwangi yang majemuk dari sisi etnis.
Para politisi yang mengkritik dan menolak pemaskotan gandrung semakin vokal ketika pemerintah merencanakan pembuatan patung gandrung raksasa berada dari arah utara sebagai pintu selamat datang ke kota Kabupaten Banyuwangi dari arah kabupaten Situbondo tepatnya di tempat objek wisata batu Dodol ukuran setinggi 18 meter diatas sebuah tugu setinggi 2,5 meter dipinggir laut selat Bali yang menelab biaya 2,5 milyar rupiah, mereka semakin vokal meresponnya. Mereka tidak hanya berargumentasi atas dasar agama, moralitas, dan etnisitas, melainkan juga soal pemborosan APBD.
Perdebatan dan kritik dikalangan politisi tersebut berlanjut dan mengarahkan  pada pertentangan politik diantara kelompok elit Banyuwangi, bahkan pada mengkritik kebijakan yang menjadi pemaskotan sebagai komoditas politik untuk dimaikan dalam kampanye pilkada juni 2005 yang lalu. Praktik pemaskotan gandrung itu oleh beberapa calon bupati dari kalangna non Using selalu dipakai sebagai contoh  pemihakan yang berlebihan terhadap kelompok etnis tertentu yang seharusnya  tidak boleh terjadi karena tidak sesuai  dengan kenyataan penduduk Banyuwangi yang plural dan diharamkan oleh agama.
Hal tersebut di ungkapkan oleh KH. Hasyim Syafaat, pemimpin pesantren Blok Agung pesanggaran, misalnya menjelaskan bahwa secara Figh pembuatan patung atau gambar tiga demensi diharamkan karena dipandang menyerupai  pembuatan manusia yang otoritasnya ditangan Tuhan dan akan menimbulkan kekhafiran jika patung-patung itu kemudian dimuliakan dan disembah. Disisi lain, Kaum agamawan juga menolak kesenian gandrung sebagai pementasan kemaksiatan “ laki-laki dan perempuan terlibat menari”. Sasaran ini ditujukan kepada para penari gandrung dan dikucilkan keberadaannya.

C.   Rumusan Masalah Atas Tinjau (An) Yang Ada
             Pertanyaan penting yang akan dijawab dalam tulisan ini, yaitu: pertama: Logika agamawan harus ada dan sesuai dengan aturan agama sehingga gandrung dipandang sebagai hal yang diharamkan tanpa memperdulikan realitas yang ada. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian gandrung perlu di dekontruksi ulang sesuai dengan realitas yang ada pada masyarakat Banyuwangi saat ini. Kedua:Peranan penting penari gandrung dalam upaya mempertahankan identitas Banyuwangi yang dipandang oleh kaum agamawan sebagai perbuatan maksiat

D.      Teori: Analisis Wacana
Analisi wacana dalam permasalahan diatas, menggunakan tiga  kajian teori  Teori Hegemoni, Teori dekonstruksi dan Dramaturgi transendental yang digunakan secara berdampingan guna menghasilkan analisis kajian yang dalam dan objektif atas wacana yang ada. 
1.    Teori Hegemoni
Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ‘eugemonia’. Sebagaimana yang dikemukakan encylclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates) secaara individual misalnya yang dilakukan opleh negara Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar (Hendarto, 1993:73).
Jika dikaitkan pada masa kini, pengertian hegemoni menunjukkan sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu yang bukan hanya sebuah negara kota terhadap negara-negara lain yang berhubungan secara longgar maupun secara ketat terintegrasi dalam negara “pemimpin”. Dalam politik internasional dapat dilihat ketika adanya perang pengaruh pada perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Sovyet yang biasanya disebut sebagai perang untuk menjadi kekuatan hegemonik dunia.
Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah: Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”
Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.
Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan.



2.        Teori dekonstruksi
Teori dekontruksi tidak lepas dari penggagasnya yaitu Derida.Tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks. Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama, mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak. 
Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama. Dengan langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.
Dalam teori derida ini adalah memproklamirkan  kebebasan (pulralitas dan kemajemukan) untuk mengeksplorasi realitas atau teks yang akan membawa pada keragaman makna atau polisemi.
Dalam hal ini teori dekontruksi mencoba untuk mengungkap  makna nilai yang terkandung dalam teks khususnya syair gandrung sebagai upaya pembenaran bahwa gandrung mempunyai banyak nilai yang terkandung didalamnya.

3.        Dramaturgi transendental
Karya erving Goffman yang paling monumental adalah` sentation of self everday life ( 1959)  karya ini berisi tentang  diri dalam   interaksionis simbolik. Ia banyak melihat  hubungan “I” dan ‘Me”, namun  dia berbeda dengan Mead dalam melihat ini. Baginya ketegangan antara “I” dan ‘Me’ dikonsepsikan dengan  ‘ketidak sesuaian antara diri manusiawi kita dan diri kita sebagai hasil sosialisasi. Ketegangan ini terjadi karena terjadi perbedaan antara apa yang kita lakukan  dengan apa yang harapkan  orang lain untuk dilakukan.  Dari pemikirannya lahirlah  teori dramaturgi yang hingga kini masih sangat dikenal.     
Bagi Erving Goffman, diri bukanlah milik actor, melainkan lebih sebagai hasil interaksi dramatis antara actor dengan audien. Diri adalah “pengaruh dramatis yang muncu dari suasana yang ditampilkan’. Aktor dalam drama komedi, misalnya, akan berusaha agar ungkapan-ungkapannya biasa menjadikan orang lain tertawa. Meski demikian, apa yang diungkapkannya itu belum tentu dapat memancing tawa audiens. Oleh karena itu, Tukul Arwana selalu membawa supporter yang cukup banyak untuk memancing tawa penonton. Melalui cara seperti itu, apa yang diinginkan oleh actor ternyata bias bertemu dengan apa yang dilakukan audiens. Inilah yang oleh Goffman disebut sebagai “menagemen pengaruh”.
Di dalam teori dramaturgi, terdapat konsep Front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang). Dalam front stage, Goffman membedakan antara setting dan front personal. Setting mengacu pada pemandangan fisik yang biasanya harus ada jika actor memainkan perannya, sedangkan front personal terdiri dari berbagai macam barang perlengkapan yang bercorak pernyataan perasaan yang menjadi corak hubungan antara actor dan penonton. Dalam pertandingan sepak bola, setting dan front personal terlihat begitu jelas, mulai dari setting lokasi pertandingan, papan score, dan ruang ganti pemain. Di sisi lain, front personal-nya kelihatan dari kesamaan cirri khas antara pemain dengan penonton, seperti koum dan atribut-atribut lainnya.
Gofman membagi front personal menjadi dia: penampilan dan gaya. Penampilan ialah berbagai jenis barang yang mengenalkan kepada kita mengenai status social actor, sementara gaya berfungsi mengenalkan kepada penonton mengenai peran macam apa yang diharapkan actor untuk dimainkan dalam situasi tertentu. Dalam tradisi pertunjukkan, status social actor tampak sangat dominant, demikian pula peran yang mainkan oleh actor tersebut. Peran tarsan dalam komedi, misalnya, sesuai dengan perawakannya yang tinggi besar adalah sebagai lurah atau pejabat;Juju berperan sebagai Bu Lurah atau Ibu pejabat; sedangkan Basuki sebagai pembantu sebagai pembantu karena penampilan fisik atau perawakannya memang cocok untuk peran itu. Untuk menghubungkan antara actor dengan audiens, seorang actor akan mencoba bersikap akrab dengan audiens atau justru melakukan mistifikasi, yakni membatasi jarak social antara dirinya dengan audiens sehingga memunculkan kekaguman dari audiens.
Back stage atau panggung belakang ialah penyembunyian fskta yang sesungguhnya dari actor. Apa yang tampak didepan tidak mesti merupakan yang terjadi di belakang. Ruang ganti atau pemain adalah tempat yang harus disterilkan dari penonton. ada sesuatu yang memang tidak akan ditampakkan ketika actor melakukan perannya dipanggung depan. Selaian dua hal ini, ada juga bidang residual, yakni yang tidak termasuk dalam front stage dan juga back stage. Di ruang ini, seorang actor memainkan dirinya sendiri dalam situasi yang bukan front stage dan back stage.
Selain itu juga terdapat konsep “jarak peran”, yakni suati kondisi dimana actor tidak mampu memerankan perannya secara maksimal sebagai akibat dari banyaknya peran yang harus dimainkan. Didalam memainkan tindakan, seorang actor juga memiliki stigma, yakni apa yang seharusnya dilakukan, bukan apa yang sesungguhnya ingin dilakukan.
Gambaran yang bias ditarik dari pemikiran Goffman adalah bahwa selalu ada tindakan-tindakan imitasi yang diperankan oleh san actor di dalam interaksinya dengan individu lain.
Manusia di dalam kehidupan keseharian adalah seperti drama yang dipentaskan, dimana tindakan yang dilakukan dipanggung depan dan panggung belakang bias saja tidak sama dan bahkan jauh berbeda. Semua orang didalam struktur social akan terkena prinsip dramaturgi ini. Kiai-santri, pejabat-rakyat, pengusaha dan suami-istri akan selalu berada didalam situasi dramaturgis. Tak terkecuali juga para pelacur didalam kehidupannya.
Dan beberapa alasan mengapa teori dramaturgi dianggap penting sebagai pisau analisis tindakan penari gandrung :
pertama, penari gandrung adalah manusia yang hidup didalam dunia yang sering tidak dikehendakinya (keterpaksaan structural) sehingga antara apa yang tanpak didepan dengan apa yang tanpak dibelakang bias berpeluang tidak sama.
Kedua, sebagai seorang actor, penari gandrung harus memiliki kemampuan menyembunyikan identitas diri yang sesungguhnya. Dia harus menjaga jarak social (perasaan dan tindakannya) dengan patner user-nya. Dia tidak boleh terjebak pada perasaannya sebagai dia harus berlakuk professional dibidangnya.
Ketiga, perfomansi yang ditampilkan haruslah menggambarkan sensualitas demikian pula dengan gaya yang ditampilkan harus menggambarkan dunia dramaturgis yang sesungguhnya.
Keempat, meskipun pramunikmat dipanggung depannya adalah seseorang yang di konstruksi oleh masyarakat sebagai penghibur, namun dibelakang panggung tetap saja ada sisi religius yang ditampilkan memlalui tindakan-tindakan ritual yang tetap dipegangnya.
Terkait dengan kenyataan ini maka dramaturgi yang dihadirkan didalam kajian ini adalah dramaturgi-transendental, yaitu dramaturgi yang tidak hanya menampilkan tindakan sehari-hari para aktornya dalam kehidupan profane-duniawi, tetapi juga menyangkut tindakan-tindakannya dalam dimensi esoteris-keberagamaan yang selama ini sering liput dari pengamatan masyarakat.
             
E.       Pembahasan :
Gandrung salah satu kesenian tradisonal yang dalam kajian budaya disebut juga sebagai kesenian rakyat. Gandrung sebagai Kesenian rakyat (tradisional) merupakan produk estetis simbolis masyarakat yang didalamnya banyak terkandung kearifan dan nilai-nilai mulia yang menjadi kebanggan daerah (masyarakat pemilik atau masyarakat pendukungnya) dan mencerminkan identitas daerah.
  Berdasarkan cerita rakyat yang dituturkan secara turun- temurun kesenian Gandrung adalah salah satu kesenian tertua yang sudah berkembang sejak tahun 1700an. Gandrung pada saat itu, tidak sekeder pemenuhan kebutuhan hiburan tetapi sebagai ungkapan sejarah penindasan dan perlawanan masyarakat using. Gandrung sebagai media perjuangan melawan penjajah. Gandrung menyajikan pertunjukan secara keliling ketempat yang satu dan tempat yang lainnya dengan iringan musik sederhana. Pada masa penjajahan Belanda Gandrung berperan sebagai  sebagai mata-mata kaum gerilyawan, menyampaikan pesan-pesan secara simbolik dan mengumpulkan logistik keperluan pasukan-pasukan dipedalaman yang tersingkir oleh Belanda dalam perang puputan bayu terjadi pada tahun 1771-1772.
Pada awalnya gandrung dimainkan oleh laki-laki, bagi masyarakat Using disebut gandrung lanang. Pendapat ini dibenarkan J. Scholte (1927), sampai tahun 1890 nama Gandrung di Banyuwangi ditujukan kepada seorang laki-laki. Para Gandrung tersebut sama dengan para sedati dari Aceh, para runding dari Madura, dan para gemblak dari Jawa. Gandrung lelaki yang penghabisan di Banyuwangi adalah Marsan
Peran gandrung seperti itu masih diingat oleh sebagaian besar warga Banyuwangi. pada dekade 30-an dan abad ke -20. Menurut Abal,  Fatrah (2004 ) mencatat kesaksian yang menarik sebagai berikut:
Pada tahun 1937 saya telah acap kali menonton kesenian gandrung. Yang menarik menonton gandrung itu, pada babak ketiga yang disebut seblang-seblang, sewaktu gandrung melantunkan  dan menendangkan gending-gending tertentu yang harus dibawa.  Banyak orang tua yang menyaksikan tidak dapat menahan isak tangis dan melelehkan air mata. Hal itulah yang seringkali saya tanyakan pada sesepuh mereka sampai menangis sedemikian rupa pada sewaktu menyaksikan peragaan gandrung sewaktu seblangan? Mereka menangis  ingat para korban. Pada waktu seblangan, gending dan peragaan yang disajikan gandrung ada hubungannya pada saat kompeni menyerbu dan merebut Belambangan dar kekuasaan kerajaan mengwi (1767-1782). Lebih lanjut dari keterangan yang saya telusuri, gandrung muncul merupakan alat perjuangan, antara lain untuk menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang terbantai akibat peperangan, menyelamatkan anak-anak yatim piatu korban perang yang keadaanya sangat memperihatinkan, menganjurkan  persatuan dan kesatuan pada sisa-sisa rakyat yang konon tinggal sekitar 500 jiwa, sedang yang tewas, melarikan diri, tertawan atau dibuang oleh kompeni, lebih dari 85.000 jiwa serta menganjurkan  bangkit untuk pengolahan lahan-lahan yang terbengkalai akibat peperangan dan anjuran untuk mengikuti ajaran islam.

            Jika dihubungkan pendapat atas wacana oleh kaum agamawan terhadap kesenian gandrung sebagai kesenian yang diharamkan dan bertentangan dengan Agama islam adalah suatu hal yang kurang pantas. Padahal dalam perkembangannya kesenian gandrung berupaya menyesuaikan dengan perkembangan zaman dengan menggunakan lagu-lagu Islam.
keyakinan pra Islam tidak semua ditolak oleh agama Islam, hal ini pernah dilakukan oleh para Wali Songo dalam penyebaran agama Islam di Indonesia dengan menggunakan media seperti kesenian-kesenian  tradisional yang ada di setiap daerah misalnya wayang dan bahkan upacara selamatan yang bersifat animisme dan dinamisme dalam perkembangannya ketika islam masuk doanya sudah menggunakan doa islam. Jadi Pandangan agamawan hanya melihat dari satu persepektif saja dengan memaksakan dogma apa yang dikatakan menurutnya benar dan tidak mau memahami realita yang ada.
Dilain pihak, Sepanjang sejarah peradaban manusia kedudukan penari sebagai seni pertunjukan tampaknya tidak pernah mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang memiliki kedudukan setara dengan kelompok masyarakat seperti umunnya. Bagi kaum agamawan penari Gandrung distereotip masyarakat sebagai manusia rendah dan memandang Gandrung sebagai pekerjaan murahan yang berhubungan dengan dunia malam yang penuh maksiat dan mengundang dosa karena mempertontonkan lekuk tubuhnya. Tak jarang para penari Gandrung mendapat perlakuan negatif secara seksual dari pencinta ataupun penonton.
Penari gandrung mendapatkan tekanan kultural  dan struktural . tekanan kultural yang dinilai oleh masyarakat sebagai profesi yang nista dan kotor adalah penari penghibur . Pelaku darinya dianggap tak bermoral dan sampah masyarakat. Masyarakat, pada umumnya, menganggap bahwa dalam diri  penari gandrung  tidak terlintas sedikitpun nilai positif, meskipun dari keberadaan mereka tidak sedikit masyarakat yang diuntungkan secara ekonomi, seperti tukang parkir, tukang becak, warung makan dan bahkan disinyalir telah memberikan masukan pada APBD kota atau daerah dimana mereka beroperasi.
Konstruksi stigma minor terhadap penari gandrung ini sebenarnya terbentuk karena masyarakat dalam memandang hanya dari satu aspek saja, yakni aspek profesi mereka yang terejawantah secara lahiriyah. Padahal, mereka juga memiliki aspek lainnya, yakni aspek kemanusian. Sebagai manusia yang tidak hanya butuh untuk memenuhi kebutuhan fisik, namun juga kebutuhan sosial dan integratif.  Mereka juga membutuhkan kasih sayang, rasa pengertian dan bahkan rasa ketuhanan. Namun, karena aspek yang terakhir ini luput dari pandangan masyarakat, maka sisi kemanusiaan mereka terabaikan dan hanya mendapat hukuman moral seperti hujatan, cibiran, dan bahkan diskriminasi dan marjinalisasi baik dalam sosial, politik maupun ekonomi.
Tekanan struktural tersebut pada umumnya datang dari pihak internal  baik dari lingkungan keluarga dan teman satu profesinya. Tekanan struktural akan semakin kuat jika keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Pada saat bapak sebagai kepala keluarga tidak lagi mampu menyangga ekonomi keluarga. Maka, beban ekonomi keluarga jatuh pada ibu dan ketika ibu juga tidak mampu menyangga beban ekonomi maka anak-anak usia dewasa akan menjadi bagian dari tumpuhan ekonomi keluarga. Ada beban ekonomi anak bagi keluarga miskin didalam kehidupan masyarakat. Ketika beban tersebut tidak memperoleh penyaluran yang memadai bahkan ada yang terpaksa menjadi seorang penari gandrung.
Jika dicermati secara mendalam, penari Gandrung juga merupakan bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang seharusnya mendapatkan pengakuan yang sama dan penari Gandrung adalah pahlawan bagi keluarganya. Jadi, Tidak selayaknya stigma baik dan buruk terus dilontarkan pada kelompok yang cenderung termarginalkan ini. Namun demikian, peran penting ini tak pernah dilihat secara bijak oleh masyarakat pada umunya. Masyarakat cenderung melihat hanya dari satu sisi yang cenderung subjektif dan menghakimi
Gambaran agamawan dan pandangan dalam masyarakat Jawa, perempuan dapat dilihat pada ungkapan “swarga nunut neraka katut dan kanca wingking”, karena nasib perempuan dipandang lebih rendah. Perannya dibatasi pada tugas-tugas domestik yaitu sekitar sumur, dapur, dan kasur. Peranan yang demikian dianggap sebagai peranan yang ideal bagi seorang perempuan. Pandangan demikian masih berakar kuat pada sebagian masyarakat jawa dan penolakan terhadap steriotip negatif tersebut terus berlangsung seiring dengan meningkatnya emansipatoris
Perbedaan jenis kelamin juga melahirkan perbedaan gender yang pada akhirnya mengarah kepada marginalisasi perempuan. Hal ini juga ditambahkan oleh Saptari dan Holzner (1997:37) bahwa pada prinsipnya, perbedaan jenis kelamin pada dasarnya merupakan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, merupakan hasil pengkotakan yang dilakukan oleh anggota masyarakat serta dukungan oleh nilai-nilai tertentu, bukan merupakan perbedaan yang disebabkan karena perbedaan biologis semata.
Jika dicermati secara mendalam, penari Gandrung juga merupakan bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang seharusnya mendapatkan pengakuan yang sama dan penari Gandrung adalah pahlawan bagi keluarganya. Jadi, Tidak selayaknya stigma baik dan buruk terus dilontarkan pada kelompok yang cenderung termarginalkan ini. Namun demikian, peran penting ini tak pernah dilihat secara bijak oleh masyarakat pada umunya. Masyarakat cenderung melihat hanya dari satu sisi yang cenderung subjektif dan menghakimi.
Dalam kajian agamawan untuk memandang kasus penari gandrung ini secara komprehensif Kurang tepat jika hanya mencibir, mencemooh, dan menistakan mereka saja dengan tanpa melihat sisi kemanusiaan atau ‘panggung belakang’ mereka. Dan lagi, menurutnya, sikap seperti itu, apalagi menindaknya dengan kekerasan, tidak akan menyelesaikan masalah.
Penari gandrung meskipun di luar nampak acuh akan nilai-nilai religius, di sisi batin mereka ternyata tetap menyimpan harapan-harapan dan kerinduan-kerinduan terhadap belaian kasih Tuhannya. Mereka, meskipun dengan cara dan perwujudan yang berbeda-beda, tetap mempunyai atau menjaga rasa ketuhanan mereka, baik melalui do’a, keimanan, ritual, puasa dan aktif di majelis taklim. Mereka juga menyisihkan sebagian pendapatannya untuk kemaslahatan sesama Menyantuni fakir miskin, menyumbang panti asuhan, infaq di masjid, dan berzakat di hari raya. Itu semua dilakukan dengan kesadaran untuk berbagi, bertenggang rasa, sekaligus mengharap ridha dari Tuhan.
Seburuk apapun penilaian masyarakat pada umunya terhadap penari gandrung, mereka tersebut juga tetap manusia yang masih punya rasa malu, punya keinginan untuk dihargai oleh manusia yang lainnya. Para penari gandrung tersebut tetap saja memiliki hak-hak dasar atau hak asasi yang harus dibela dalam banyak hal. Terutama mana kala dia dilecehkan, teraniaya, dan jika hak-haknya ditindas oleh orang lain maka pemerintah ikut bertanggung dengan nasib mereka yang sampai sekarang dipandang sebelah mata. Mestinya segala bentuk eksploitasi terhadap mereka harus dihentikan.
Namun kenyataannya yang ada di masyarakat tokoh agamawan sudah membangun stigma yang ujung-ujungnya memarginalisasi perempuan gandrung.  Akan tetapi, manusia yang melakukan perbuatan tidak baik lainnya luput dari sebutan ini. Termasuk mereka yang "menjual kebenaran" (kejujuran dan keadilan) yang merupakan nilai-nilai dasar dari kehormatan manusia.  Perbuatan tidak baik lainnya seperti korupsi, kolusi, manipulasi, serta yang banyak melibatkan petinggi negara bahkan ada beberapa partai yang mengatasnamakan agama tidak lepas dari jaringan KKN. bahkan merasa bangga dengan berbagai perilaku kotornya.
Berdasarkan pemahaman ini, bukankah sebutan "orang kotor" terasa semakin tidak adil jika hanya ditujukan pada para penari gandrung Padahal, para koruptor, kolutor, manipulator, dan perilaku "kotor" lainnya yang jelas-jelas menjual kebenaran (kejujuran-keadilan) pada dasarnya juga orang kotor dan yang hasilkan dari barang haram. Dengan demikian - kalau mau jujur mereka pun sebenarnya bisa dianggap telah "hilang kehormatannya".
Ironisnya, di antara mereka yang melakukan berbagai perilaku kotor tersebut malah seringkali (merasa/dianggap) terpandang mulia dan terhormat di mata masyarakat. Sedangkan mereka, melakukannya tidak hanya demi uang, tetapi juga demi jabatan atau kedudukan (kekuasaan). Suatu perbuatan yang dimotivasi bukan karena "keterpaksaan" melainkan karena "keserakahan". Jadi, sekali lagi, bukankah sesungguhnya mereka pun pantas disebut sebagai "manusia kotor" dan dianggap sebagai manusia yang telah "hilang kehormatan" dirinya.
Dalam kesenian gandrung melibatkan melibatkan laki-laki dan perempuan yang saling menari. Namun tidak berlebihan jika dikatakan  bahwa tari berpasangan dalam pertunjukan seni tradisi merupakan media penting untuk belajar menjadi pluralis, belajar hidup dengan perbedaan dan menghargai sesuatu yang berbeda bahkan mungkin berlawanan.
Salah satu tayub di Madura bahwa penari laki-laki dalam pertujukan tayub  datang dari berbagai segmen sosial dan lapisan masyarakat yang majemuk. Mereka terdiri dari kalangan petani, pegawai negeri, polisi dan tentara dengan berbagai level datang dari tempat yang berbeda. Dalam pementasan gandrung juga terdiri dari etnis yang beragam: Jawa, Using, Bali, Bugis–Mandar, Arab dan Cina.
Dengan demikian, tari berpasangan sebenarnya lebih memperlihatkan suatu dialog interaktif antara penari perempuan dan laki-laki yang terbuka kemungkinan saling memberi dan mengontrol. Sekilas dari sudut gerak dan volume tari memang dominasi kekuasaan oleh penari laki-laki, tetapi jika ditengok lebih dalam dan detail ternyata penari perempuan pun juga memperlihatkan hal yang sebaliknya. Ia mampu menunjukkan kekuasaannya atas penari laki-laki dan bahkan penari laki-laki dibuat malu.
Dilihat dari panggung belakang ada beberapa peran penting yang secara implisit telah dimainkan oleh para penari Gandrung ini. Termasuk di dalamnya, Pertama: Media (Syair gending) untuk mengungkapkan perasaan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Using yang berupa realitas sosial yang sangat berpengaruh pada terbentuknya komunitas Using  di Kabupaten Banyuwangi, kedua:  sebagai figur sentral dalam mempertahankan kebudayaan masyarakat Using dan Sebagai Identitas Kabupaten Banyuwangi Sebagai Kota Gandrung dan ketiga: secara tidak langsung keberadaan penari Gandrung  telah menjadi katub penyelamat bagi kehidupan ekonomi keluarganya, terlebih dalam menghadapi permasalahan ekonomi yang kian hari kian memprihatinkan.
Pertama: Media (Syair gending) untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Using yang berupa realitas  sosial yang sangat berpengaruh pada terbentuknya komunitas Using  di Kabupaten Banyuwangi, tidak lepas dari syair gending yang terdiri dari Syair Podho Nonton, Seblang Lukito, Sekar Jenang, Kembang Pepe dan Kembang Dirmo.
Citraan perasaan pada syair gending Gandrung, adalah sebagai berikut:
(Syair Podho Nonton)
Pundhak sempal, yo ro ring lelurung
Molo yo pendihte riko pundak sempal
Lambeyane riko para putra
Para putra, eman
Kejala, eman, ring kedhung lewung
Ya ro, ya jalane rika jala sutra

Artinya:
Bunga pandan patah dijalanan
Ikat pinggangmu adalah bunga patah
Ayunan tanganmu para lelaki
Para lelaki
Terjaring dilubuk yang dalam
Jaringannya adalah jaring sutera
Berdasarkan gambaran diatas peran penari Gandrung lewat gendingnya  menggambarkan keadaan yang sangat menyedihkan yaitu rakyat yang kerja rodi untuk membangun jalan. Cintraan kesedihan dapat dilihat pada kata pundhak sempal “ bunga yang patah”.
Dilain pihak, penari Gandrung lewat gendingnya Podho Nonton juga menyampaikan  rasa kekecewaan, yaitu
Kembang gadhung
Sak gulung ditawa sewu
Nora murah nora larang, yo ro
Kang nawa wong adhol kembang
Wong adhol kembang
Wis barise ring Temenggungan
Artinya:
Bunga Gadhung
Satu ikat ditawar seribu
Tidak muarah tidak mahal
Yang menawar penjuan bunga
Penjuan bunga
Berbaris didaerah temenggungan
Jadi data diatas, menggambarkan tentang kekecewaan rakyat  kepada para penghianat yang telah membuat Pejuang Blambangan mengalami kekalahan. Penghianat digambarkan pada kata Wong adhol kembang, yaitu orang yang menjual kemerdekaan mereka untuk  mendapatkan kesenangan pribadi. Mereka para penghianat itu kemudian bersenang-senang dengan para pejabat yang diganbarkan pada kalimat Wis barise ring Temenggungan . Istilah Temenggungan adalah tempat tinggal pembesar yang saat ini menjadi nama sebuah kelurahan yang letaknya berada dibelakang pendopo kabupaten Banyuwangi.
Penari Gandrung lewat gendingnya Syair Seblang Lukito menyampaikan  rasa Semangat, yaitu
Wis wayahe sawung kukuruyuk
Kakang kakang ngliliro
Wis wayahe, wis wayahe bang bang wetan
Lawang gedhe wonten kang jagi
Wis medalo lawang pembutulan
Artinya
Sudah waktunya ayam berkokok
Kakak- kakak bangunlah
Sudah waktunya fajar menyingsing
Pintu besar ada yang menjaga
Keluarlah dari pintu yang tembus
Data di atas menunjukkan adanya citraan rasa semangat, yaitu rasa semangat yang bangkit untuk melawan penjajah. Rasa semangat terlihat pada kakang, kakang ngeliliro’kakak, kakak bangunlah ‘, yaitu menggugah semangat rakyat Blambangan untuk berjuang. Kalimat wis medalo lawang pembutulan ‘ keluarlah lewat pintu tembus’ juga menggambarkan pada saat perang gerilya. Kata pembutulan ‘tembus’ dapat diartikan dengan jalan terakhir yang harus di tempuh yaitu berperang melawan penjajah.
            Citraan kegembiraan terdapat pada syair gending Gandrung Kembang Dirmo. Data yang mendukung adalah

...............................................
Ganjarane wong kang perang
Wong han perang
Sak sumpinge dikalak ijo
Sumping abang sarang pati
Lare cilik tiba miring
.......................................
Artinya
..........................................
Hadiah untuk orang berperang
Orang yang berperang
Sumpingny dikalak hijau
Sumping merah dibungkus tepung
Anak kecil jatuh kesamping
.............................................
Syair di atas menunjukkan citraan kegembiraan karena menggambarkan pesata yang diadakan rakyat Blambangan untuk menyambut kemenangan para pejuang, seperti pada kalimat ganjarane wong kang perang ‘hadiah untuk orang yang berperang’. Kegembiraan mereka diungkapkan dengan pesta dengan membuat makanan yang dibagikan. Untuk menggambarkan kemeriahan pesta tersebut terdapat kata lare cilik tiba miring ‘anak kecil jatuh ke samping’, yaitu anak – anak kecil yang ikut berebut makanan pada saat pesta penghormatan atas kemenangan para pejuang.
Berdasarkan syair-syair gending Gandrung, penari Gandrung mempunyai peranan penting dalam memberikan sebuah perenungan bagi masyarakat bagaimana perasaan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Using yang berupa realitas sosial yang sangat berpengaruh pada terbentuknya komunitas Using  di Kabupaten Banyuwangi. Jadi tidak salah jika Sutarto (2006) menjelaskan bahwa Gandrung merupakan salah satu jenis kesenian tradisional Using yang  keberadaannya tetap diminati oleh masyarakat. Salah satu keunikan seni gandrung  ialah terpadunya gerakan tari yang dinamis dengan suara instrumen yang beragam  dan bersuara rancak bersahut-sahutan. Dalam pertunjukan gandrung seorang penari  gandrung seringkali melantunkan pantun-pantun Using baik yang terdiri dari dua  larik maupun empat larik. Pantun-pantun tersebut ada yang bernuansa agama dan ada  pula yang bernuansa asmara.
kedua:  sebagai figur sentral dalam mempertahankan kebudayaan masyarakat Using. Tidak dapat dipungkiri bahwa Banyuwangi dijadikan sebagai penanda identitas dan maskot pariwisata atai ikon pariwisata Banyuwangi tidak lepas dari peranan penari gandrung yang sampai saat ini tetaplah eksis. Namun sebaliknya, jika gandrung tidak ada yang meneruskan, menjadi penari gandrung tidak gampang karena resikonya harus dicium, dipeluk, bahkan mendapatkan kritikan oleh masyarakat dan tentunya bayarannya tidak seberapa. Dari sini kalau tidak karena penari gandrung yang saat ini tetap eksis Banyuwangi tidak akan pernah gandrung dijadikan identitas dan maskot kota.
Salah satu contoh bahwa penari Gandrung adalah sebagai figur sentral dalam mempertahankan kebudayaan Banyuwangi. Sejak Desember 2002 sejumlah pejabat di Banyuwangi membentuk sekolah Gandrung sebagai Program pembangunan dan  upaya peningkatan peranan perempuan  di Kabupaten Banyuwangi yaitu  pendidikan dan pelatihan penari Gandrung yang tidak lebih dari sebuah pelatihan regular penari Gandrung yang dijadwalkan satu angkatan pertahun yang dilaksanakan  setiap bulan maret.  Dalam 2 tahun 2003-2004 , telah dilantik 63 calon penari Gandrung yang terbagi dalam dua angkatan.
Srintil  edisi 012/IV/2007,  Gandrung dipilih dan melibatkan perempuan dalam pembangunan yaitu dalam rangka menciptakan (citra) kekhasan daerahnya, Dilain pihak pemerintah Banyuwangi merealisasikan proyek pembuatan patung Gandrung ditempat-tempat strategis. Secara eksplisit, konsideran Surat Keputusan Bupati Nomor 173 tertanggal 31 Desember 2002 yang menetapkan proyek ini menyatakan : “ bahwa dalam rangka mendorong tumbuhnya semangat ikut serta  memiliki daerah dengan segala kebudayaannya, yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan pembangunan di bidang kepariwisataan, maka perlu adanya upaya peningkatan promosi pariwisata di kabupaten Banyuwangi.
Hal tersebut, juga dipaparkan oleh Sajogyo (1983) bahwa Menyertakan wanita dalam proses pembangunan bukanlah berarti suatu tindakan perikemanusiaan yang adil belaka, akan tetapi tindakan ini tidak lain mengajak, mendorong wanita untuk berpartisipasi dalam pembangunan karena merupakan kegiatan yang sangat efesien. Maka, ikut sertanya wanita dalam pembangunan ini berarti pula dapat memanfaatkan  suatu sumber manusiawi yang potensial sangat tinggi dan lebih-lebih dapat mempengaruhi lajunya pertumbuhan ekonomi.
ketiga: secara tidak langsung keberadaan penari Gandrung  telah menjadi katub penyelamat bagi kehidupan ekonomi keluarganya, terlebih dalam menghadapi permasalahan ekonomi yang kian hari kian memprihatinkan. Walaupun. Menurut  Anoeggrajekti  (dalam Srintil, 2003), menuliskan kisah penari Gandrung yaitu Temu (49) , Atik (15), Khusul (24) dan Sunariyah, salah satu alasan yang melatar belakangi Perempuan  bekerja sebagai penari Gandrung juga dikarenakan seolah-olah dikarenakan adanya jaminan  perbaikan kondisi ekonomi keluarga. Penari Gandrung hanya disertai modal suara yang lumayan, tidak harus cantik dan mempunyai ijazah pendidikan. dilain pihak seorang Gandrung harus tahu bahwa salah satu resikonya adalah di cium pemaju, ketika ia tahu, maka Gandrung harus siap dengan cara yang mereka gunakan.  Menurut Temu (49) “Saya sendiri senang yang di paju itu orang yang sudah berkeluarga karena agak sedikit sopan, dibandingkan anak bujangan yang nafsu memburunya kelewat batas. Sudah diperingatkan oleh kluncing juga tidak mengerti. Tari paju juga ada batas-batasnya, tidak nyelenong seperti kerbau saja. Tapi gimana ya, namanya manusia itu berbeda-beda, jadi saya maklumi dan kemampuan mengatur siasat itulah yang paling penting”.
Berdasarkan beberapa peranan diatas, penari gandrung mempunyai peranan yang luar biasa bagi kemajuan Banyuwangi dan sebagai upaya untuk mempertahankan Identitas kebudayaan. Jika seni budaya dapat dikembangkan dan melibatkan perempuan dalam pembangunan  dapat dioptimalkan. Maka, Banyuwangi akan menjadi daerah yang maju dan menjadi daya tarik tersendiri.

F.   Kesimpulan
Stigma yang dibangun oleh pemerintah dan  agamawan hanya memandang dari satu perspektif saja dengan menggunakan dogma-dogma yang dipandang benar tanpa melihat realita yang dan doktrin yang dibangun sebagai pembenaran, dominasi kekuasaan dan disitulah, terjadi hegemoni budaya yang dikemas dalam pola lifestyle yang berpola pada kebudayaan tertentu. Penari gandrung masih mempunyai sisi kemanuasian yang  harus mendapatkan pengakuan yang sama  sebagain dari kelompok sosial. Kesenian gandrung mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan prilaku masyarakat yaitu: nilai perjuangan, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai seni, nilai hiburan, nilai ketrampilan, nilai kepercayaan, nilai agama, nilai kekeluargaan, nilai cinta budaya daerah, nilai ilmu budaya, nilai moral, nilai keindahan, dan nilai persatuan dan nilai pluralisme.

G. Daftar pustaka
Adian, Donny Gahral. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra,
Al-Fayadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS,
Anoeggrajekti, Novi, 2007. Penari Gandrung Dan Gerak Sosial Banyuwangi, Edisi 012.Srintil.  Kajian Perempuan Desantara . Depok .
Gramsci, Antonio .1971. , Selections form the Prision Notebook, edited and translated by Quintin Hoare & Goffrey Nowell Smith, Lawrence and Wishart, London.
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sutrisno, M & Hendar P. 2005. Teori-teori kebudayaan. Yogyakarta: Kanisus
Saptari, R dan Holzner. 1997. Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial. Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Suseno, Franz Magnis. Filsafat sebgai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Tedjoworo, H. 2001. Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern. Yogyakarta: Kanisius.