Rabu, 27 Juni 2012

Bung Karno: Aku Tahu Gerakan Jenderal Soeharto




Aku Tahu Gerakan Jenderal Soeharto
Menjadi seorang Presiden mungkin “tidak terlalu sulit,” tetapi menjadi seorang pemimpin negeri sangatlah tidak mudah. Meraih jabatan sebagai Presiden banyak ditopang oleh kematangan strategi politik, tetapi menjadi pemimpin sebuah negeri sangat membutuhkan kekuatan mental serta kesediaan sakit dan berkorban demi negeri serta rakyat yang dipimpinnya.
Konsep sebagai seorang pemimpin besar telah ditunjukkan secara nyata oleh Presiden Soekarno dalam menyikapi langkah-langkah kudeta Jenderal Soeharto dan kroninya.
TINDAKAN Soeharto menyelewengkan Surat Perintah 11 Maret 1966 sangat menyakiti perasaan Bung Karno. Sejumlah petinggi militer yang masih setia pada Sukarno ketika itu pun merasa geram. Mereka meminta agar Sukarno bertindak tegas dengan memukul Soeharto dan pasukannya. Tetapi Sukarno menolak.
Sukarno tak mau terjadi huru-hara, apalagi sampai melibatkan tentara. Perang saudara, menurut Sukarno, adalah hal yang ditunggu-tunggu pihak asing—kaum kolonial yang mengincar Indonesia–sejak lama. Begitu perang saudara meletus, pihak asing, terutama Amerika Serikat dan Inggris akan mengirimkan pasukan mereka ke Indonesia dengan alasan menyelamatkan fasilitas negara mereka, mulai dari para diplomat kedutaanbesar sampai perusahaan-perusahaan asing milik mereka.
Kesaksian mengenai keengganan Sukarno menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi manuver Soeharto disampaikan salah seorang menteri Kabinet Dwikora, Muhammad Achadi. Saya bertemu Achadi, mantan menteri transmigrasi dan rektor Universitas Bung Karno itu dua pekan lalu di Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat. Achadi bercerita dengan lancar kepada saya dan beberapa teman. Air putih dan pisang rebus menemani pembicaraan kami sore itu.
Komandan Korps Komando (KKO) Letjen Hartono termasuk salah seorang petinggi militer yang menyatakan siap menunggu perintah pukul dari Sukarno. KKO sejak lama memang dikenal sebagai barisan pendukung utama Soekarno. Kalimat Hartono: “hitam kata Bung Karno, hitam kata KKo” yang populer di masa-masa itu masih sering terdengar hingga kini.
Suatu hari di pertengahan Maret 1966, Hartono yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut itu datang ke Istana Merdeka menemui Bung Karno. Ketika itu Achadi sedang memberikan laporan pada Sukarno tentang penahanan beberapa menteri yang dilakukan oleh pasukan yang loyal pada Soeharto.
Mendengar laporan itu, menurut Achadi, Bung Karno berkata (kira-kira), “Kemarin sore Harto datang ke sini. Dia minta izin melakukan pengawalan kepada para menteri yang menurut informasi akan didemo oleh mahasiswa.”
“Tetapi itu bukan pengawalan,” kata Achadi. Untuk membuktikan laporannya, Achadi memerintahkan ajudannya menghubungi menteri penerangan Achmadi. Seperti Achadi, Achmadi juga duduk di Tim Epilog yang bertugas menghentikan ekses buruk pascapembunuhan enam jenderal dan perwira muda Angkatan Darat dinihari 1 Oktober 1965. Soeharto juga berada di dalam tim itu.
Tetapi setelah beberapa kali dicoba, Achmadi tidak dapat dihubungi. Tidak jelas dimana keberadaannya.
Saat itulah Hartono minta izin untuk menghadapi Soeharto dan pasukannya. Tetapi Bung Karno menggelengkan kepala, melarang.
Padahal masih kata Achadi, selain KKO, Panglima Kodam Jaya Amir Machmud, Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adji, dan beberapa panglima kodam lainnya juga bersedia menghadapi Soeharto.
“Bung Karno tetap menggelengkan kepala. Dia sama sekali tidak mau terjadi pertumpahan darah, dan perang saudara.”
Kalau begitu apa yang harus kami lakukan, tanya Achadi dan Hartono.
Bung Karno memerintahkan Hartono untuk menghalang-halangi upaya Soeharto agar jangan sampai berkembang lebih jauh. “Hanya itu tugasnya, Hartono diminta menjabarkan sendiri. Yang jelas jangan sampai ada perang saudara,” kata Achadi.
Menghindari perang saudara inilah sebagai wujud kecintaan Presiden Soekarno terhadap rakyat dan negeri ini. Pantang bagi Bung Karno meneteskan darah diatas negeri ini, apabila hanya akan ditukar dengan sebuah kekuasaan.
Salam Revolusi

Kata Mutiara Bung Karno 5


Tentang imperialisme
• Imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri atau bangsa lain, tapi imperialisme bisa juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain. Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa pengluasan daerah negeri dengan kekerasan senjata sebagai diartikan oleh Van Kol, tetapi juga berjalan dengan “putarlidah” atau cara “halus-halusan” saja, bisa juga berjalan dengan cara “pénétration pacifique”.
[Indonesia menggugat, hlm. 81]
• Menurut keyakinan kami, hilangnya pemerintah asing dari Indonesia, belum tentu juga dibarengi oleh hilangnya imperialisme asing sama sekali.
[Indonesia menggugat, hlm. 81]
• Benar seperti kata Jean Juares, di dalam Dewan Rakyat Perancis terhadap wakil-wakil kaum modal, “Imperialisme itulah penghasut yang besar yang menyuruh berontak; karena itu bawalah ia ke depan polisi dan hakim.” Tapi bukan imperialisme, bukan sahabat-sahabat imperialisme yang kini berada di muka mahkamah tuan-tuan Hakim tetapi kami: Gatot Mangkoeprodjo, Maskoen, Soepriadinata, Sukarno.”
[Indonesia menggugat, hlm. 81]
• Amboi-di manakah kekuatan duniawi yang bisa memadamkan tenaga
sesuatu bangsa. Puluhan, ratusan, ya ribuan “penghasut” dan
“opruieres” dan “ophitser” sudah di bui atau dibuang. Tapi tidaklah
pergerakan yang umurnya lk. 20 tahun itu semakin menjadi besar ?
[Indonesia menggugat, hlm. 70]
• Memang zaman imperialisme modern mendatangkan “kesopanan”,
mendatangkan jalan-jalan tapi apakah itu setimbang dengan bencana
yang disebabkan oleh usaha-usaha partikulir itu?
Indonesia menggugat, hlm. 46
• Sejak adanya “Opendeur Politik”, juga modal Inggeris, juga modal
Amerika, juga modal Jepang, juga modal lain-lain, sehingga
imperialisme di Indonesia kini jadi Internasional.
[Indonesia menggugat, hlm. 51]
• We are often told “Colonialism is dead”. Let us not be deceived or even
soothed by that. I say to you, colonialism is not yet dead. How can we
say it is dead, so long as vast areas of Asia and Africa are un-free. And
I beg of you do not think of colonialism only in the classic form which
we of Indonesia, and our brothers in different parts of Asia and Africa
knew, colonialism has also its modern dress, in the form of economic
control, intellectual control, actual physical control a small, but aliencommunity
within a nation. It is a skillfull and determined enemy, and
it appears in many guises. It does not give up its loot easily, wherever,
whenever and however-it-appears, colonialism is an evil thing, and
one must be eradicated from the earth.
[Pidato Konperensi AA di Bandung pada tahun 1955, hlm. I8-4-´55]
• Soal jajahan, adalah soal “rugi atau untung”, soal ini bukanlah soal
kesopanan atau kewajiban, soal ini ialah soal mencari hidup, soal
Business !.
[Di bawah bendera revolusi, hlm. 51]
• Perang Kemerdekaan Amerika adalah sukses pertama perang melawan
kolonialls di dalam sejarah dunia (di permukaan bumi) Maka penyair
Longfellow menulis:
A cry defiance and not of fear.
A voice in the darkness, a knock at the door.
And a word that shall echo for evermore
[Pidato Konperensi AA di Bandung pada tahun 1955, hlm. I8-4-´55]
• Dalam tahun 1929 itu terlepaslah dari mulut saya kalimat yang
terkenal, “Kaum imperialis, awaslah, jikalau nanti geledek Perang
Pacific menyambar-nyambar dan membelah angkasa …., di situlah
rakyat Indonesia melepaskan belenggu-belenggunya, di situ Rakyat
Indonesia akan Merdeka.
[Kepada bangsaku hlm. 316 ]
• Memang Tuan Hakim, kami membicarakan bahwa Perang Pacific itu
akan datang. Kami harus mengerti, jika bangsa Indonesia tidak segera
menjadi bangsa yang teguh, kami bisa tidak tahan menderitakan
pengaruh ledakan itu.
[Indonesia menggugat, hlm. 164]
• Pergerakan ini ialah antithese imperialisme yang terbikin oleh
imperialisme Beograd. Bukan bikinan “penghasut”, bukan bikinan
“opruieres”, pergerakan ini ialah bikinan kesengsaraan dan kemelaratan
rakyat.
[Indonesia menggugat, hlm. 71]
• Bagaimana hakekatnya “budaya” atau “cultuur” yang didatangkan
inperialisme moderen itu? Stockvis menyebutnya.” rakyat khatulistiwa
yang korat-karit dan diperlakukan tidak semena-mena”.
[Indonesia menggugat, hlm. 72]
• Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya
datangnya Ratu Adil. Dan sering kali kita mendengar di desa sini atau
di desa situ telah muncul seorang “Imam Mahdi”, atau “Heru Cakra”.
Tak lain tak bukan, karena rakyat menunggu dan mengharap
pertolongan.
[Indonesia menggugat, hlm. 75]
• Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya
datangnya Ratu Adil. Dan sering kali kita mendengar di desa sini atau
di desa situ telah muncul seorang “Imam Mahdi”, atau “Heru Cakra”.
Tak lain tak bukan, karena rakyat menunggu dan mengharap
pertolongan.
[Indonesia menggugat, hlm. 75]

Kata Mutiara Bung Karno 4



Tentang kemerdekaan
• Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa yang
jiwanya berkobar-kobar dengan tekad Merdeka, – Merdeka atau mati !.
1 Juni 1945 lahirnya Pancasila
• We want to establish a state, “all for, all”, neither for a single
individual nor for one group, whether it be a group of aristocracy or a
group of wealthy-but, “all for all”.
Kita ingin mendirikan satu Negara “semua buat semua”, bukan satu
Negara untuk satu orang, bukan satu Negara untuk satu golongan,
walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan Negara “semua buat
semua”.
1 Juni 1945 lahirnya Pancasila
• Tokh diberi hak atau tidak diberi hak, tiap-tiap bangsa tidak boleh
tidak, pasti akhirnya bangkit menggerakkan tenaganya, kalau ia sudah
terlalu merasakan celakanya diri teraniaya oleh satu daya angkara
murka. Jangan lagi manusla, jangan lagi bangsa walau cacingpun tentu
bergerak berkelegut-kelegut kalau merasakan sakit.
Indonesia menggugat, hlm. 09
• Indonesia Merdeka hanyalah suatu jembatan walaupun jembatan emas
di seberang jembatan itu jalan pecah dua: satu ke dunia sama rata sama
rasa, satu ke dunia sama ratap sama tangis.
[Mencapai Indonesia Merdeka, 1933]

Kata Mutiara Bung Karno 1



Semakin saya pelajari sosok Soekarno, semakin bingung saya untuk mengatakan siapa Soekarno sebenarnya. Adakah dia seorang orang ulung, bisa saja dia seorang yang revolusionir dalam mengubah wajah negeri ini, atau mungkin dia juga seorang ahli filsafat. Atau dapatkah juga saya katakan bahwa Bung Karno “Kombinasi” dari semuanya.
Berikut ini merupakan kumpulan kata mutiara Bung Karno yang saya pecah menjadi beberapa bagian sesuai isi serta makna yang ada di dalamnya.
Amanat Bung KarnoTentang hubungan internasional
• Politik bebas bukanlah suatu politik yang mencari kedudukan netral jika pecah peperangan; politik bebas bukanlah suatu politik netralitas tanpa mempunyai warnanya Beograd; berpolitik bebas bukanlah berarti menjadi suatu negara penyangga antara kedua blok raksasa.
[KTT NON BLÖK, Beograd 1-9-1961 ]
• Berpolitik bebas berarti pengabdian yang aktip kepada tujuan yang luhur dari kemerdekaan, perdamaian kekal, keadilan sosial dan kemerdekaan untuk merdeka. Ia adalah tekad untuk mengabdi kepada tujuan ini; ia kongruen dengan hati nurani sosial manusia.
[KTT NON BLÖK, Beograd 1-9-1961]
• Politik Non-Blok adalah pembaktian kita secara aktip kepada perjuangan yang luhur untuk kemerdekaan, untuk perdamaian yang kekal, keadilan sosial dan kebebasan untuk Merdeka.
[KTT NON BLÖK, Beograd 1-9-1961]
• Adalah menjadi keyakinan kita bersama kita bahwa, suatu polltik yang bebas merupakan jalan yang paling baik bagi kita masing-masing untuk memberikan suatu sumbangan yang tegas kearah pemeliharaan perdamaian dan pengurangan ketegangan-ketegangan Internasional.
[KTT NON BLÖK, Beograd 1-9-1961]
• “…..kita mempertahankan pendapat bahwa pembentukan blok-blok, apalagi jika berdasarkan kekuatan dan perlombaan persenjataan, hanya mengakibatkan peperangan.”
[KTT NON BLÖK, Beograd 1-9-1961]
• Kita menginginkan satu Dunia Baru penuh dengan perdamaian dankesejahteraan, satu Dunia Baru tanpa imperialisme dan kolonialisme dan exploitation de l’homme par l’homme et de nation par nation.
[Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960]
• Bangsa Indonesia (saya) berjanji pada diri Beograd untuk bekerja mencapai suatu Dunia yang lebih baik, suatu Dunia yang bebas dari sengketa dan ketegangan, suatu Dunia di mana anak-anak dapat tumbuh dengan bangga dan bebas, suatu Dunia di mana keadilan dan kesejahteraan berlaku untuk semua orang. Adakah suatu bangsa
menolak janji semacam itu?”.
[Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960]
• Dengan segala kesungguhan, saya katakan: kami bangsa-bangsa yang baru Merdeka bermaksud berjuang untuk kepentingan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Badan itu hanya dapat menjadi effective, bila Badantersebut mengikuti jalannya sejarah dan tidak mencoba untukmembendung atau mengalihkan ataupun menghambat jalannya.
[Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960]
• Di zaman pembangunan bangsa-bangsa ini telah muncul kemungkinannya, keharusan akan suatu “Dunia” yang bebas dari ketakutan, bebas dari kekurangan, bebas dari penindasan-penindasan
Nasional.
[Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960]
• Bagi suatu bangsa yang baru lahir stau suatu bangsa yang baru lahir kembali milik yang paling berharga adalah “kemerdekaan” dan “kedaulatan”.
[Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960]
• Dunia kita yang satu ini terdiri dari Negara-negara Bangsa, masingmasing sama berdaulat, dan masing- masing berketetapan hati menjaga kedaulatan itu, dengan masing-masing berhak untuk menjaga
kedaulatan itu.
[Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960]
• Dalam hal ini kita tidak hanya berjuang untuk kepentingan kitaBeograd melainkan kita berjuang untuk kepentingan ummat manusia. Seluruhnya, ya perjuangan kita lakukan untuk kepentingan mereka
yang kita tentang..
[Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960]
• Bukanlah pion-pion yang di atas papan catur yang tuan-tuan hadapi. Yang tuan-tuen hadapi adalah manusia, impian-impian manusia, citacita manusla dan hari depan manusia.
[Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960]
• Saya serukan kepada tuan-tuan kepada semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bergeraklah bersama arusnya sejarah, janganlah mencoba membendung arus itu.
[Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960]
• . “Sesuatu” itu kami namakan “Pancasila”, ya “Pancasila” atau Lima Sendi Negara kami. Lima Sendi/Dasar tidaklah langsung berpangkal pada Manifesto komunis ataupun Declaration of Independence. Declaration of Independence memang, gagasan-gagasan dan cita-cita itu mungkin sudah ada sejak berabad-abad telah terkandung dalam bangsa kami. Dan memang tidak mengherankan bahwa paham-paham mengenai kekuatan yang besar dan kejantanan itu telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan Nasional.
[Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960]
• Singkirkan penyelewengan terhadap kemerdekaan dan emansipasi dan ancaman terhadap perdamaian akan lenyap. Tumbangkan Imperialisme dengan segera dengan Beogradnya Dunia akan menjadi suatu tempat yang lebih bersih, suatu tempat yang lebih baik dan suatu tempat yang lebih aman.
[Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960]
• Bangunlah Dunia ini kembali! Banguniah Dunia ini kokoh kuat dan sehat! Bangunlah suatu Dunia di mana semua bangsa hidup dalam Damai dan Persaudaraan. Bangunlah Dunia yang sesuai dengan impian
dan cita-cita ummat manusia.
[Membangun Dunia Kembali To Build The World a New, 30 September 1960]
• Masalah bangsa Asia harus diselesaikan oleh Bangsa Asia Beograd dengan cara-cara Asia. Asian Problems to be solved by themselves in Asian ways.
[Konferensi Maphilindo di Manila 1963]

Kata Mutiara Bung Karno 2



Tentang keadilan
• Maka karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat dan mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechvaardigheid ini yaitu bukan saja persamaan politik, harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama.
[Pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945]
• Apakah kita mau Indonesia MERDEKA, yang kaum Kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup
makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku
oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?.
[Pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945]
• Saya katakan bahwa cita-cita kita dengan keadilan sosial ialah satu
masyarakat yang adil dan makmur, dengan menggunakan alat-alat
industri, alat-alat tehnologi yang sangat modern. Asal tidak dikuasai
oleh sistem kapitalisme.
[Pancasila sebagai dasar negara hlm. 115 ]
• Sosialisme berarti adanya paberik yang kolektif: Adanya industrialisme
yang kolektif. Adanya produksi yang kolektif. Adanya distribusi yang
kolektif. Adanya pendidikan yang kolektif.
[Kepada bangsaku, hlm. 381]
• Dalam hubungan Internasionalpun kemerdekaan merupakan suatu
jembatan, suatu jembatan untuk perjuangan bangsa-bangsa bagi
persamaan derajat untuk pembentukan bangsa-bangsa dan negaranegara
sehingga sanggup berdiri di atas kaki Beograd, politis,
ekonomis,………”
[KTT NON BLOK Beograd, 1- 9 - 1961]
• Masyarakat keadilan sosial bukan saja meminta distribusi yang adil,
tetapi juga adanya produksi yang secukupnya.
[Pidato HUT Proklamasi, 1950]
• Seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai alat yang sedikit.
Bangsa kita yang puluhan juta jiwa yang sudah dimelaratkan, bekerja
bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia.
Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktek.
[Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 85]
• Untuk menjadi “padang usaha” industrialisme, seluruh daerah
Indonesia harus “Ekonomis” satu, dan supaya ekonomisnya menjadi
satu, maka seluruh daerah Indonesia itu “Polltis” harus menjadi satu
pula.
[Kepada bangsaku, hlm. 395]
• Saya teringat akan apa yang dikatakan oleh Perdana Menteri Kim Il
Sung di tahun 1947: “In order to build a democratic state, the
foundation of an independent economy of the nation must be
established ……… without the foundation of an independent economy,
we can either attain independence, nor found the state, nor subsist”.
• “Untuk membangun suatu Negara yang Demokratie, maka satu
ekonomi yang Merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang
Merdeka, tak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tak mungkin kita
tetap hidup”.
[Pidato HUT Proklamasi, 1963]
• Rakyat padang pasir bisa hidup-masa kita tidak bisa hidup! Rakyat
Mongolia (padang pasir juga) bisa hidup masa kita tidak bisa
membangun satu masyarakat adil-makmur gemah ripah loh jinawi, tata
tentram kertaraharja, di mana si Dullah cukup sandang, cukup pangan,
si Sarinem cukup sandang, cukup pangan? Kalau kita tidak bisa
menyelenggarakan sandang-pangan di tanah air kita yang kaya ini,
maka sebenarnya kita Beograd yang tolol, kita Beograd yang maha
tolol.
[Pidato Konperensi Kolombo Plan di Yogyakarta th. 1953]
• Ekonomi Indonesia akan bersifat Indonesia, sistem politik Indonesia
akan bersifat Indonesia masyarakat kami akan bersifat Indonesia, dan
semuanya itu akan didasarkan kokoh kuat atas warisan kulturil dan
spiritual bangsa kami Beograd. Warisan itu dapat dipupuk dengan
bantuan dari luar, dari seberang lautan, akan tetapi bunganya dan
buahnya akan memiliki sifat-sifat kami Beograd. Maka janganlah tuantuan
mengharapkan, bahwa setiap bentuk bantuan yang tuan berikan
akan menghasilkan cerminan dari diri tuan-tuan Beograd.
[Pidato HUT Proklamasi, 1963]
• Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan
mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan
itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu ! Lebih baik makan
gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak.
[Pidato HUT Proklamasi, 1963]
• Gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja, para kawula iyeg
rumagang ing gawe, tebih saking laku cengengilan adoh saking juti.
Wong kang lumaku dagang, rinten dalu tan wonten pedote, labet
saking tan wonten sansayangi margi. Subur kang sarwa tinandur,
murah kang sarwa tinuku. Bebek ayam raja kaya enjang medal ing
panggenan, sore bali ing kandange dewe-dewe. Ucapan-dalang dari
bapaknya-embahnya-buyutnya-canggahnya, warengnya-udeg-udegnyagantung
siwurnya. Bekerja bersatu padu, jauh daripada hasut, dengki,
orang berdagang siang malam tiada hentinya, tidak ada halangan di
jalan. Inipun menggambarkan cita-cita sosialisme.
[Pidato Hari Ibu 22 Desember 1960]
• Dan sejarah akan menulis: di sana di antara benua Asia dan Australia,
antara Lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup satu bangsa
yang mula-mula mencoba untuk kembali hidup sebagai bangsa, tetapi
akhirnya kembali menjadi satu kuli di antara bangsa-bangsa kembali
menjadi : een natie van koelies, en een kolie onder de naties. Maha
Besarlah Tuhan yang membuat kita sadar kembali sebelum kasip.
[Pidato HUT Proklamasi, 1963]
• Suatu bangsa hanyalah menjadi kuat kalau patriotismenya meliputi
patriotisme ekonomi. Ini memang jalan yang benar kearah kekuatan
bangsa, jalan yang jujur, jalan yang tepat.
[Pidato HUT Proklamasi, 1963]
• Kalau bangsa bangsa yang hidup di padang pasir yang kering dan
tandus bisa memecahkan persoalan ekonominya kenapa kita tidak?
Kenapa tidak? Coba pikirkan !
1. Kekayaan alam kita yang sudah digali dan yang belum digali, adalah
melimpah-limpah.
2. Tenaga kerjapun melimpah-limpah, di mana kita berjiwa 100 juta
manusia.
3. Rakyat indonesia sangat rajin, dan memiliki ketrampilan yang sangat
besar, Ini diakui oleh semua orang di luar negeri.
4. Rakyat memiliki jiwa Gotong-royong, dan ini dapat dipakai sebagai
dasar untuk mengumpulkan Funds and forces.
5. Ambisi daya cipta Bangsa Indonesia sangat tinggi di bidang politik
tinggi, di bidang sosial tinggi, di bidang kebudayaan tinggi, tentunya
juga di bidang ekonomi dean perdagangan.
6. Tradisi Bangsa lndonesia bukan tradisi, “tempe”. Kita di zaman
purba pernah menguasai perdagangan di seluruh Asia Tenggara,
pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau
Afrika atau Tiongkok.
[Pidato HUT Proklamasi, 1963]

Bung karno: Puteraku Jang Pertama



SEBENARNYA keadaanku tidak dapat dikatakan sehat ditahun 1943, baik jasmani maupun rohani.
Ketegangan‐ketegangan yang timbul telah mengorek‐ngorek jiwa dan ragaku dengan hebat. Sebagai
penderita malaria yang melarut aku dimasukkan ke rumah sakit selama berminggu‐minggu terusmenerus.
Pada suatu kali, oleh karena tidak ada tempat tidur yang kosong, aku dimasukkan ke Kamar
Bersalin. Perempuan cantik‐cantik dibawa masuk di sebelahku, akan tetapi keadaanku terlalu payah
untuk dapat memperhatikan mereka.
Tambahan lagi aku menderita penyakit ginjal. Kadang‐kadang aku meringkuk dengan kaki rapat ke
badan, oleh karena serangan‐serangan yang tidak tertahankan sakitnya. Adakalanya keluar keringat
dingin, bahkan kadang‐kadang aku tidak dapat berdiri tenang diatas podium. Bukan sekali dua kali terjadi,
bahwa setelah selesai berpidato aku harus merangkak dengan kaki dan tangan masuk kendaraan.
Kehidupan pribadipun tidaklah seperti yang diharapkan. Aku menghadapi persoalan‐persoalan yang
sungguh sungguh berat. Kehidupanku diselubungi oleh goncangan‐goncangan urat syaraf. Hubungan
Inggit denganku tidak baik. Di suatu malam, karena ingin mendapat kata‐kata yang menghibur hati dan
ketenangan pikiran, aku menemani seorang kawan ke sebuah Rumah Geisha. Sekembali di rumah, Inggit
mengamuk seperti orang gila. Dia berteriak‐teriak kepadaku. Barang‐barang beterbangan dan sebuah
cangkir mengenai pinggir kepalaku.
Rupanya persoalan Fatmawati masih mengapung‐apung di antara kami, sekalipun tidak ada kontak
antara Fatmawati denganku. Hubungan pos terputus dan memang ada aku mengirim surat sekali untuk
mengabarkan bahwa kami sudah selamat sampai di Jakarta. Hanya itu. Surat ini kupercayakan kepada
seorang suruhan yang dipercaya yang menitipkannya pula kepada tukang mas dalam perjalanan menuju
Sumatra.
Pada waktu itu kami sudah pindah, karena aku tidak senang tinggal di rumah bertingkat. Di rumah baru ini
anak kami dengan suaminya Asmara Hadi tinggal bersama‐sama dengan kami. Pada akhirnya merekapun
mengaku, bahwa perhubungan antara Inggit denganku tidak mungkin diteruskan lebih lama lagi. “Bu,”
Ratna Djuami menangis di hadapan Inggit pada suatu malam. “Bapak kelihatan sekarang sangat
pencemas dan penggugup. Pikirannya nampaknya kacau. Dan kesehatannya selalu terganggu.”
“Kami kira ini disebabkan kehidupan pribadinya,” sambung Asmara Hadi terus terang. “Kalau sekiranya
dia tidak dibinasakan dalam bidang kehidupan lain, tentu akan lain halnya. Akan tetapi perasaan tidak
bahagia ini yang ditumpukkan ke atas bebannya yang sudah cukup berat itu sangat melemahkan
kekuatannya.”
Aku meminta pengertian Inggit. “Aku sendiri, akan mencarikanmu rumah. Dan aku akan selalu
mengusahakan segala sesuatu yang kauperlukan. Kaupun tahu, diantara kita semakin sering terjadi
pertengkaran dan ini tentu tidak baik untukmu.”
“Ini jalan satu‐satunya, Bu,” Asmara Hadi mengeluh. “Negeri kita memerlukan bapak. Tidak hanya ibu,
ataupun saya maupun Ratna Djuami yang memerlukannya. Dia kepunyaan kita semua. Rakyat
memerlukan bapak sebagai pemimpinnya, tidak yang lain. Dan apa yang akan terjadi terhadap Indonesia,
kalau dia hancur?”
Setelah perceraian telah disepakati bahwa Inggit kembali ke kota kelahirannya. Di pagi itu ia harus pergi
ke dokter gigi dulu. Hatiku senantiasa dekat pada isteriku dan aku tidak akan membiarkannya pergi
seorang diri. Karena itu Inggit kutemani. Hari sudah tinggi ketika kami kembali dalam keadaan letih,
merasa badan kami tidak enak, dan sesampai di rumah kami mendapati serombongan wanita yang akan
bertamu kepada Inggit. Sejam lamanya mereka berkunjung, sekalipun tidak banyak yang dipercakapkan.
Kuingat di waktu itu aku merasakan kegelisahan yang amat sangat. Saat yang melelahkan sekali.
Kemudian aku mengiringkan Inggit ke Bandung, membongkar barang‐barangnya, meyakinkan diri kalaukalau
ada sesuatu yang kurang, lalu aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya ………
Bulan Juni 1943 Fatma dan aku kawin secara nikah wakil. Untuk dapat mengangkutnya beserta
orangtuanya ke Jawa urusannya terlalu berbelit‐belit dan panjang, pun aku tidak bisa segera
menjemputnya ke Sumatra, sedang aku tak mungkin rasanya menunggu leliih lama lagi. Mendadak
timbul keinginanku yang keras untuk kawin. Menurut hukum Islam perkawinan dapat dilangsungkan, asal
ada pengantin perempuan dan sesuatu yang mewakili mempelai laki‐laki. Aku mempunyai lebih daripada
sesuatu itu. Aku mempunyai seseorang. Kukirimlah telegram kepada seorang kawan yang akrab dan
memintanya untuk mewakiliku. la memperlihatkan telegram itu kepada orang tua Fatma dan usul ini
mendapat persetujuan. Pengantin dan wakilku pergi menghadap kadi dan sekalipun dia masih di
Bengkulu dan aku di Jakarta, dengan demikian kami sudah mengikat tali perkawinan.
Di tahun berikutnya Fatmawati melahirkan seorang putera. Aku tidak sanggup menggambarkan
kegembiraan yang diberikannya kepadaku. Umurku sudah 43 tahun dan akhirnya Tuhan Yang Maha
Pengasih mengaruniai kami seorang anak.
Di saat mendengar bahwa Fatma dalam keadaan hamil, maka ibu, bapak dan kakakku perempuan datang
dengan segera dari Blitar. Mereka sangat gembira. Orang tua kami dari kedua belah pihak tinggal dengan
kami di pavilun dekat rumah hingga sang bayi lahir. Bapaklah yang mengawasi segala pekerjaan. Dialah
yang duduk setiap jam memberi petunjuk kepada Fatma, bagaimana ia harus mempersiapkan dirinya.
Selalu aku melihat mereka duduk bersama‐sama dan selalu aku dapat mendengar bapak mengatakan
sesuatu seperti, “Nah, jangan lupa mencatat bedak bayi, pisau kecil untuk pemotong tali pusarnya dan
emban untuk menahan perutmu sendiri.”
Di malam Fatma akan melahirkan kami menjamu tamu‐tamu penting ‐orang Jepang dan orang Indonesia.
Fatmawati sibuk melayani sebagai nyonja rumah, akan tetapi kemudian dia mulai merasa sakit. Aku
sendiri membimbingnya ke kamar dan memanggil dokter. Mulai dari saat itu aku tetap berada di sisinya,
pun tidak tidur barang satu kejap sampai ia memberikan kepadaku seorang putera yang tidak ternilai itu.
Kududuk di atas tempat tidur mendampinginya, memegang tangannya sementara ia melahirkan. Aku
bukanlah orang yang bisa tahan melihat darah, akan tetapi di saat dijadikannya seorang manusia
idamanku ini adalah saat yang paling nikmat dari seluruh hidupku. Jam lima waktu subuh, ketika
terdengar azan dari mesjid memanggil umat untuk menyembah Tuhannya, anakku yang pertama, Guntur
Sukarnoputra, lahirlah.
Tuhan Yang Maha Penyayang dan Maha Bijaksana telah memanjangkan umur bapakku untuk dapat
melihat darah dagingku menginjak dunia ini. Setelah itu ia jatuh sakit. Fatma merawatnya berbulan‐bulan
dengan tekun dan setia hingga ia menghembuskan napas yang penghabisan.
Aku teringat akan “Si Tukang Kebun”, sebuah buku cerita yang kubaca pada waktu masih berumur 13
tahun. Waktu itu aku tidak mengerti maknanya yang lebih dalam. la menceritakan tentang bagaimana
daun‐daun kayu yang sudah coklat dan kering harus jatuh dan memberikan tempatnya kepada pucuk
yang hijau dan baru.
20 tahun kemudian barulah aku mengerti.

Bung Karno: Kolabolator Atau Pahlawan?



MALAM itu aku pergi ke rumah Hatta. Kami mengadakan pertemuan yang pertama guna membicarakan
taktik kami bekerja untuk masa yang akan datang. “Bung Hatta dan saya dimasa yang lalu telah
mengalarni pertentangan yang mendalam,” kataku. “Memang di satu waktu kita tidak berbaik satu sama
lain. Akan tetapi sekarang kita menghadapi suatu tugas yang jauh lebih besar daripada yang dapat
dilakukan oleh salah seorang dari kita. Perbedaan dalam hal partai atau strategi tidak ada lagi. Pada
waktu sekarang kita satu. Dan kita bersatu di dalam perjuangan bersama.”
“Saya setuju,” Hatta menjatakan.
Kami berjabat tangan dengan kesungguhan hati “inilah”, kataku berjanji, “janji kita sebagai Dwitunggal.
Inilah sumpah kita yang jantan untuk bekerja berdampingan dan tidak akan berpecah hingga negeri ini
mencapai kemerdekaan sepenuhnya.”
Bersama‐sama dengan Sjahrir, satu‐satunja orang yang turut hadir, rencana‐rencana gerakan untuk masa
yang akan datang kami susun dengan cepat. Telah disetudjui, bahwa kami akan bekerja dengan dua cara.
Di atas tanah secara terang‐terangan dan di bawah tanah secara rahasia. Yang satu memenuhi tugas yang
tidak dapat dilakukan oleh cara yang lain.
“Untuk memperoleh konsesi‐konsesi politik yang berkenaan dengan pendidikan militer dan jabatanjabatan
pemerintahan bagi orang‐orang kita, kita harus memperlihatkan diri dengan cara kollaborasi.”
kataku.
“Jelaslah, bahwa kekuatan Bung Karno adalah untuk menggerakkan massa,” Hatta menegaskan. “Jadi
Bung Karno harus bekerja secara terang‐terangan.” ,,Betul, Bung Hatta membantu saya. Karena Bung
Hatta terlalu terkenal untuk bisa bekerja di bawahtanah.”
“Biarlah saya,” Sjahrir menyarankan, “untuk mengadakan gerakan bawah tanah dan menyusun bagian
penyadap berita dan gerakan rahasia lainnya.”
Pembicaraan singkat itu, yang berlangsung selama satu jam, mengembangkan suatu landasan yang
begitu ringkas. Dan kelihatannya seolah‐olah dikerjakan dengan sangat saksama, setelah diteliti kembali
20 tahun kemudian. Sebenarnya strategi kami adalah satu‐satunya pilihan yang mungkin dijalankan
ketika itu. Jadi kami tidak mernpunyai pilihan lain. “Inilah kesempatan yang kita tunggu‐tunggu,” kataku
bersemangat. “Saya yakin akan hal ini. Pendudukan Jepang adalah kesempatan yang besar dan bagus
sekali untuk mendidik dan mempersiapkan rakyat kita. Semua pegawai Belanda masuk kamp tawanan.
Sebaliknya jumlah orang Jepang tidak akan mencukupi untuk melancarkan roda pemerintahan di seluruh
kepulauan kita. Tentu mereka sangat mernerlukan tenaga kita. Indonesia segera akan melihat, bahwa
majikannya tidak akan berhasil dengan baik tanpa bantuan kita.”
Aku berjalan hilir mudik ketika berpikir dengan keras, “Akan tetapi rakyat kita harus menderita, lebih dulu,
karena hanya dengan penderitaanlah ia dapat bangkit. Rakyat kita adalah bangsa yang suka damai, mau
senang dan mengalah dan perna’af. Sungguhpun rakyat Indonesia hampir mencapai jumlah 70 juta dan
diperintah oleh hanja 500.000 orang, akan tetapi darah rakyat tidak pernah bergolak sedernikian panas
sehingga sanggup bertempur melawan Belanda. Belanda menenteramkan penguasaannya dengan
memberikan kebaikan‐kebaikan palsu. Jepang tidak.
“Kita tahu, bahwa Jepang tidak segan‐segan memenggal kepala orang dengan sekali ayunan pedangnya.
Kita mengetahui muslihat mereka, memaksa si korban meminum berliter‐liter air dan kemudian
melompat keatas perutnya. Kita sudah mengenal jeritan di tengah malam yang menakutkan yang keluar
dari markas Kenpetai. Kita mendengar prajurit‐prajurit Kenpetai dengan sengaja dalam keadaan mabukmabukan
untuk menumpulkan perasaannya. “Orang Jepang memang keras. Kejam. Cepat melakukan
tindakan kurangajar. Dan ini akan membuka mata rakyat untuk mengadakan perlawanan.
“Mereka juga akan memberikan pada kita kepercayaan terhadap diri sendiri.” Hatta menguraikan.
“Bangsa Asia tidak lagi lebih rendah dari orang Barat.” ,,Kondisi‐kondisi inilah yang akan menciptakan
suatu kebulatan tekad. Kalau rakyat kita betul‐betul digencet, maka akan datanglah revolusi mental.
Setelah itu, revolusi fisik.”
Aku duduk. Melalui lubang sandal aku mengelupas kuku jari kakiku, suatu tanda yang pasti bahwa
pikiranku gelisah. Tanpa kusadari aku mengelupas kuku ibu jari kakiku terlalu dalarn hingga berdarah.
“Kita harus melancarkan gerakan kebangsaan,” kataku berbicara dalam mulut.
“Tidak mungkin,” Hatta membalas. “Mengadakan rapat umum dan berpolitik dalam bentuk apapun
dilarang.”
“Kita tidak bisa membangkitkan semangat rakyat kalau tidak ada pergerakan rakjat,” kunyatakan dengan
tegas. “Saya tidak bisa duduk‐duduk saja di belakang meja secara pasif. Kalau hanya sebagai pemberi
nasehat, itu tidak cukup bagi saya. Harus ada kegiatan. Kita tidak bisa menyuruh rakyat berjuang,
sekalipun dengan diam‐diam, tanpa bimbingan. Kalau saya tidak bisa Membentuk suatu gerakan sendiri,
saya akan mengadakan infiltrasi ke dalarn gerakan yang didukung oleh Jepang. Bagaimana dengan
Gerakan Tiga‐A?”
Gerakan Tiga‐A adalah suatu organisasi yang secara psichologis keliru. la bekerja dengan semboyannya
yang menusuk hati: “Dai Nippon Pemimpin Asia. Dai Nippon Pelindung Asia. Dai Nippon Cahaya Asia”
“Gerakan itu tidak betul,” Sjahrir menggerutu. “Tujuannja tadinya hendak mengumpulkan bahan
makanan dari kita, mengaut kekayaan alam kita dan bahkan juga mengumpulkan tenaga manusia.”
“Akan tetapi gerakan itu tidak memberikan apa‐apa sebagai balasannya,” Hatta menambahkan.
“Ditambah lagi dengan propagandanya yang sangat dibesar‐besarkan, tidak adanya pemimpin bangsa
Indonesia yang duduk dalam pucuk pimpinannya dan ketidaksenangan rakyat yang sernakin meningkat
menyebabkan gerakan itu segera menarik diri. Lebih baik Bung Karno menjauhkan diri dari Gerakan Tiga‐
A.”
“Tidak. Saya pikir, malah saya akan memasukinya.” Kenapa ?” ,,Ya. Untuk merombaknya.”
Di malam pertama aku di Jakarta aku pergi tidur dengan kepala yang pusing, oleh karena pikiranku
gelisah. Hitam putihnya baru diketahui di hari esok. Aku harus menghadap Letnan Jendral Imamura. la
menerimaku di kamar duduknya dalam istana yang putih dan besar itu, bekas istana Gubemur Jendral
Hindia Belanda. Kamar duduk itu sekarang menjadi kamar studiku. Jendral Imamura adalah seorang
Samurai sejati. Kurus, melebihi tinggi orang biasa, bersifat sopan, hormat dan berbudi luhur. Setelah
mempersilakanku duduk, iapun duduk. Sikapnya lurus seperti tongkat.
Aku berbicara dalam bahasa Indonesia. Dia dalam bahasa Jepang. Kami mempunyai juru bahasa. Aku
pergi sendirian tanpa pengikut. Jendral itu dengan ajudannya tentu. Jendral‐jendral selalu punya. Dialah
mula‐mula membuka pembicaraan “Saya memanggil tuan ke Jawa dengan maksud yang baik. Tuan tidak
akan dipaksakan bekerja bertentangan dengan kemauan tuan. Hasil dari pembicaraan kita ‐apakah tuan
bersedia untuk bekerjasama dengan kami atau tetap sebagai penonton saja —samasekali tergantung
kepada tuan sendiri.”
“Boleh saya bertanya, apakah rencana Dai Nippon Teikoku untuk Indonesia?” Menjawab Imamura, “Saya
hanya Panglima Tertinggi dari tentara ekspedisi. Tenno Heika sendirilah yang berhak menentukan,
apakah negeri tuan akan diberi otonomi dalam arti yang luas dibawah lindungan pemerintah‐Nya.
Ataukah akan memperoleh kemerdekaan sebagai negara‐bagian dalam suatu federasi dengan Dai
Nippon. Ataupun menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh. Saya tidak dapat memberikan janji yang
tepat tentang bentuk kemerdekaan yang akan diberikan kepada negeri tuan. Keputusan yang demikian
itu tidak dapat diambil sebelum peperangan ini selesai. Sungguhpun demikian, kami dapat memahami
cita‐cita dan syarat‐syarat tuan, dan ini sejalan dengan cita‐cita kami.” Kalimatku selanjutnya adalah,
“Terimakasih, Jendral. Terima kasih karena tuanlah orang yang mendupak Belanda yang terkutuk itu
keluar. Saya mencobanya selama bertahun‐tahun. Negeri saya mencba selama berabad‐abad. Akan
tetapi Imamura‐lah orang yang berhasil.” ,Boleh saya bercerita, Ir. Sukarno, bagaimana saya menaklukkan
orang Kulit putih yang kuat perkasa itu dari pantai daratan tuan. Dengan gertak. Itulah! Semata‐mata
gertak.”
Wajahku di waktu itu tentu mencerminkan kebingungan, karena Jendral itu berkenan untuk tersenyum
dan kemudian dengan riang menceriterakan kemenangan itu. “Pada waktu tentara saya mendarat di
Jawa, pasukan saya hanya tinggal beberapa batalyon dan saya harus memecah‐mecahnya lagi. Sebagian
mendarat di Jawa Barat, sebagian di Jawa Tengah, sebagian di Jakarta, beberapa lagi di Banten. Yang
langsung dibawah pimpinan saya mendarat di Kalijati. Dan pasukan ini compang‐camping. Orang‐orang
saya punya senapan, tapi tidak punya uniform. Sebelum pendaratan kami, Gubemur Jendral sudah
terbang ke Bandung.”
“Kota itu dilindungi oleh gunung‐gunung, tentu dia menganggap kota itu dapat dipertahankan.” “Betul,”
Imamura mengangguk. “Lalu saya mengadakan hubungan dengan Bandung dan memerintahkannya ke
Kalijati untuk suatu perundingan perdamaian. Dia datang. Dan segera lagi, Saya bemarkas di sebuah
kamar yang kecil. Dengan suara‐suara yang gaduh, tapi tanpa pasukan untuk menyokong keberanian
saya, saya menuntut, ‘Nah, apakah tuan sekarang akan menyerah? Kalau tidak, saya akan membom tuan
sampai lenyap dari permukaan bumi. Dengan demikian dia dengan stafnya segera terburu‐buru dan
menyerah.”
“Dengan sisa tentara yang terpecah‐pecah dan melarat,” kataku kepada penakluk yang menghadapiku,
tuan mengusir orang‐orang yang akan selalu dianggap sebagai penindas‐penindas sejati dari Indonesia.
Saya berterima‐kasih kepada tuan untuk selama‐lamanya.”
Drama yang kupertunjukkan ini mengingatkan daku kepada pahlawan Filipina, Jendral Aguinaldo. Dia
melawan Spanyol selama bertahun‐tahun, dan ketika Amerika menaklukkan bekas penakluk itu, yang
pertama‐tama diucapkan oleh Aguinaldo kepada orang Amerika adalah, “Terima‐kasih.” Kemudian ketika
Amerika Serikat bermaksud hendak tetap berkuasa di Filipina, Aguinaldo menyepakkannya keluar dengan
keras.
“Berapa lama menurut pikiran tuan tentara akan memegang ke kuasaan pemerintahan disini?” tanyaku.
“Terus‐terang saya tidak tahu. Saya tidak mempunyai rencana sampai ke situ.” Nah, dia belum. Tapi aku
sudah punya. Dan aku mulai dengan siasat yang pertama. “Untuk memimpin rakyat kami sesuai dengan
pemerintahan militer, saya memerlukan orang sebagai pembantu pimpinan. Urusan pemerintahan hanya
dapat dilancarkan, kalau orang‐orang Indonesia di tempatkan pada jabatan‐jabatan pemerintahan. Hanya
orang Indonesialah yang mengetahui daerah, bahasa‐bahasa daerah dan adat‐istiadat saudarasaudaranya.”
“Kalau ini pemecahan yang terbaik untuk memajukan kemakmuran dan kesejahteraan, maka orang
Indonesia akan diberi kesempatan untuk ikut dalam menyelesaikan urusan dalam negeri secara
meningkat. Jabatan‐jabatan dalam pemerintahan akan diberikan kepada bangsa Indonesia dengan
segera.”
Kalau dilihat dari konsesi‐konsesi yang diberikan kepadaku di bidang politik, maka kekuasaan berada di
tanganku. Sang Jendral adalah seorang pemimpin militer. la mengetahui tentang senjata. Aku seorang
pemimpin politik. Aku mengetahui tentang pembinaan bangsa. Di dalam tanganku ia seorang bayi.
Kugariskan rencanaku kepada Hatta malam itu juga. “Dengan biaya pemerintah Jepang akan kita didik
rakyat kita sebagai peyjelenggara pemerintahan. Mereka akan dididik untuk memberi perintah tidak
hanya menerima perintah. Rakyat dipersiapkan menjadi kepala. kepala dan administrator‐administrator.
Mereka dididik untuk memegang roda pemerintahan guna suatu hari yang akan datang, pada waktu
mana kita mengambil alih kekuasaan dan menyatakan kemerdekaan. Kalau tidak begitu bagaimana
mungkin kita melengkapkan susunan pemerintahan tanpa personil” Tanpa menunggu jawaban atas
keterangan itu aku melanjutkan, “Dulu setiap kepala adalah orang Belanda dimana‐mana Belanda….
Belanda …… pendeknya setiap satu jabatan diduduki oleh si Belanda buruk!” ,,Dan rakyat kita cukup jadi
pengantar surat saja atau pesuruh,” Hatta menambahkan, “Selalu dalam kedudukan menghambakan diri
Selalu patuh.” ,,Sekarang rakyat yang kurus kering, diinjak‐injak lagi bebal ini akan menjadi pejabatpejabat
dalam pemerintahan. Mereka akan belajar membuat keputusan, mereka akan mempelajari
bagaimana melancarkan tugas, mereka akan mempelajari bagaimana memberikan perintah. Saya sudah
menanamkan bibitnya dan Jepang akan memupuknya.
Aku meludah ke tanah. “Itulah sebabnya mengapa setiap orang yang cerdas membenci Belanda. Orang
Belanda mengharapkan kerjasama kita, akan tetapi tidak sedikitpun memberi kesempatan pada kita yang
menguntungkan dari kerjasama itu. Kalau saya mengingat‐ingat perangai Belarida yang munafik, saya
mau muntah. Apakah yang dikerjakan Belanda untuk kita? Nol besar! Saya menyadari, tentu ada orang
yang menentang saya, karena saya bekerjasama dengan Jepang. Tapi, apa salahnya? Memperalat apa
yang sudah diletakkan di depan saya adalah taktik yang paling baik. Dan itulah sebabnya mengapa saya
bersedia menerimanya.”
Bulan November Gerakan Tiga‐A dibekukan. Bulan Maret aku pertamakali memegang jabatan resmiku
dalam suatu badan baru yang bernama PUTERA. Tokyo menganggap “Pusat Tenaga Rakyat” ini sebagai
alat dari Sukarno untuk mengerahkan bantuan rakyat di garis belakang bagi kepentingan peperangan
mereka. Tapi Sukarno mengartikannya sebagai alat yang nomor dua paling baik untuk melengkapkan
suatu badan penggerak politik yang sempurna.
Sebagai Ketua dari PUTERA tugasku ialah meringankan kesulitan‐kesulitan yang timbul di dalam negeri.
Ambillah misalnya persoalan tekstil yang rumit. Oleh ketiadaan kain rakyat Marhaen memakai baju dari
karung atau bagor. Anak‐anak yang baru lahir dibungkus dengan taplak meja. Aku pergi berkeliling
menyampaikan seruan kepada rakyat desa. Kataku, “Di negeri kita tumbuh semacam tanaman yang
bernama rosella. Seratnya bisa ‐ditenun menjadi kain. Hayo kita tanami rosella. Mari kita tenun kain dari
rosella.”
Rakyat mendengarkan seruanku itu. Kalau rakyat terpaksa mencari akal untuk menutupi kekurangan,
mereka melakukannya. Akan tetapi sementara aku menjalankan gerakan itu, aku memilih patriot‐patriot
yang dipercaya dan memperkerjakannya pada pembesar‐pembesar setempat. Kataku, “Pekerjaan ini
akan lebih berhasil, kalau orang Indonesia ditugaskan untuk melaksanakannya. Ini orangnya, jadikanlah
dia sebagai kepala dari gerakan ini. Saya sendiri menjamin kesetiaannya.”
Kami tidak mempunyai sabun. Kusampaikanlah kepada tetangga kami, supaya membuat sabun dari
minyak kelapa dan abu daun kelapa yang dibakar. Abu itu mengandung bahan kimia yang berbuih jika
dicampur dengan minyak. Kemudian kupilih salah seorang pengikutku yang paling dipercaya, Ialu
kusampaikan kepada pejabat yang berhubungan dengan itu, “Saya mempunyai seorang kawan disini
yang mengetahui bagaimana melakukannya. Tariklah dia untuk mengatasi persoalan tuan.”
Kami tidak punya listrik. Untuk mengatasi ini keluar pulalah seruanku, “Hayo kita tanam jarak. Tanaman
ini mudah tumbuh seperti tanaman pagar. Dari bijinya kita dapat membuat minyak kastroli yang bisa
menyala dengan terang.” Apa sebabnya aku mengetahui hal ini? Oleh karena aku orang Jawa. Oleh
karena keluargaku melarat dan terpaksa memakainya. Oleh karena selama sebagian dari hidupku aku
harus membakar biji jarak karena tidak mampu membeli bola lampu.
Itulah sebabnya mengapa para penakluk memerlukan pimpinan dari daerah yang diduduki itu. Hanya
penduduk aslilah yang tahu, bagainiana memecahkan persoalan penduduk. Musuh tidak dapat
menduduki suatu negeri tanpa bantuan dari pemimpin negeri itu ‐ini selalu‐ dimana saja ‐bilamana saja.
Kami tidak mempunyai obat‐obatan. “Pakailah obat asli peninggalan nenek moyang kita,” aku
menganjurkan. “Untuk penyakit malaria pakailah daun ketepeng. Untuk demam panas buatlah teh dari
alang‐alang.” Rakyat Indonesia sampai sekarang masih menggunakan penemuan‐penemuan ini.
Kekurangan makanan merupakan kesulitan yang paling rumit untuk diatasi. Tentara Jepang merampas
setiap butir beras. Kalau bukan orang penting jangan diharap akan memperolehnya sekalipun satu kilo. Di
Bali orang mati karena kelaparan. Aku berhasil mengumpulkan sejumlah besar biji pepaya dan
membagikannya kepada setiap orang masing‐masing dua butir. Buah‐buahan yang enak ini kemudian
tumbuh di setiap penjuru pulau.
Untuk memerangi kelaparan, maka tentara Jepang membuat jaringan radio yang tetap dengan
menempatkan pengeras suara di setiap desa, sehingga setiap orang yang sebelum itu hanya mendengar
nama Sukarno sekarang dapat mendengar suara Sukarno. “Saudara‐saudara kaum wanita,” terdengar
suara Sukarno mendengung melalui tiap pengeras suara, “Dalam waktu saudara yang terluang,
kerjakanlah seperti yang dikerjakan oleh Ibu Inggit dan saya sendiri. Tanamlah jagung. Di halaman muka
saudara sendiri saudara dapat menanamnya cukup untuk menambah kebutuhan keluarga saudara.” Nah,
karena Sukarno yang mengatakan ini kepada mereka, mereka menanamnya. Dan di setiap halaman
bertunaslah buah jagung. Usaha ini ada ketolongannya.
Mau tidak mau aku harus membelokkan kebencian rakyat terhadap orang Jepang, karena kekurangan
makanan ini. Karena itu aku mengadakan pidato‐pidato seperti ini. “Agen‐agen musuh membisikkan di
telinga saudara, bahwa Dai Nippon yang menjadi sebab kesulitan kita. Itu tidak benar. Berbulan‐bulan
yang lalu dunia mengetahui, bahwa India diamuk oleh kelaparan. Negara‐negara Sekutupun menderita
kemelaratan dan setiap hari rakyat mereka berbaris untuk memperoleh sepotong roti. Jika mereka
mengatakan ‘Tidak’ itu adalah bohong besar. Dan kalau saudara‐saudara percaya kepada berita bohong
ini, maka saudara sama saja seperti katak di bawah tempurung.
Bertahun‐tahun yang lalu Winston Churchil sudah mengeluh tentang kekurangan bahan makanan di
Inggris. Jadi, saudara‐saudara, peperangan mengakibatkan kekurangan dimana‐mana.
“Dulu Belanda mengimpor beras dari Birma dan Muangthai. Akan tetapi kapal‐kapal pengangkut itu
sudah ditenggelamkan ke dasar laut. Kekurangan makanan adalah kejadian yang biasa dalam
peperangan. Akan tetapi siapakah yang bersalah, sehingga kita harus mengimpor beras selama ini?
Belanda. Bukan Dai Nippon Teikoku. Negeri Belanda dengan paksa merubah sawah‐sawah kita menjadi
kebun tebu, tembakau atau hasil lain uang bisa diekspor untuk menggendutkan dirinya sendiri. Maka dari
itu, sampai di hari kita berdiri sendiri bebas dari penghisapan imperialisme kita tergantung kepada impor
beras.”
Aku ditugaskan untuk menyerang Sekutu, memuji negara‐negara As ‐yaitu sekutu Jerman dan Jepang ‐
menimbulkan kebencian terhadap musuh‐musuh kita Inggris, Amerika dan Belanda, dan bantulah Dai
Nippon.” Akan tetapi, sekalipun pidato‐pidatoku diteliti terlebih dulu dengan kaca pembesar oleh Bagian
Propaganda, kalau dipeladjari sungguh‐sungguh ternyatalah bahwa 75% dari isi pidato itu semata‐mata
menanamkan kesadaran nasional.
Misalnya saja, sambil menunjuk kepada seorang prajurit Jepang yang sedang mengawal dengan senapan
dan sangkur, aku berkata, “Lihat, dia menjalankan tugasnya oleh karena dia cinta kepada tanah airnya.
Dia berperang untuk bangsanya. Dia bersedia mati demi kehormatan tanah airnya. Begitupun …. kita
……harus! Kemudian aku menanamkan kepada rakyat tentang kebesaran negeri kami sebelum
mengalami penjajahan. “Kerajaan Majapahit memperoleh kemenangan yang gilang‐gemilang setelah
digembleng dengan penderitaan dalam peperangan‐peperangan melawan Kublai Khan. Sultan Agung
Hanjokrokusumo membikin negara Mataram menjadi negara yang kuat setelah mengalami cobaancobaan
di dalam perang Senapati. Dan orang Islam di jaman. keemasannya barulah menjadi kuat setelah
mengalami Perang Salib. Tuhan Yang Maha Kuasa berfirman dalam Quran: “Ada masa‐masa dimana
kesukaranmu sangat berguna dan perlu.”
Aku pandai memilih kata‐kata sehingga orang‐asing, sekalipun bisa berbahasa Indonesia, tidak dapat
menangkap arti kiasan yang khas menurut daerah. Aku memetik cerita‐cerita dari Mahabharata, oleh
karena 80% dari bangsa Indonesia sudah biasa dengan cerita itu. Mereka tahu, bahwa Arjuna adalah
pahlawan dari Pandawa Lima, dimana kerajaan mereka telah direbut secara licik dalam suatu peperangan
besar. Pandawa Lima ini melambangkan kebaikan. Yang menaklukkan mereka adalah lambang
kejahatan.
Setiap nama mencerminkan watak manusia di dalam pikiran kami. Arjuna perlambang dari pengendalian
diri sendiri. Saudaranya, Werkudara, melambangkan seseorang yang kuat berpegang kepada kebenaran.
Sebutlah Gatutkaca, serta‐merta orang teringat kepada Sukarno. Mendengar Buta Cakil, orang tahu
bahwa itu raksasa yang jahat. Dalam pewayangan maka tokoh‐takoh yang baik selalu duduk di kanan,
yang jahat di sebelah kiri. Muka‐muka yang berwarna keemasan putih atau hitam menunjukkan orang
yang baik‐baik dan yang merah bandit‐banditnya. Dengan mudah sekali aku membawakan jalan
pikiranku dalam perumpamaan ini.
Cara yang lain ialah dengan perlambang hewan. Dari tulisan‐tulisanku yang dibuat sebelum perang rakyat
mengetahui, bahwa aku menganggap negeri Jepang sebagai imperialis modern di Asia. Jadi, dalam masa
inilah aku mencetak satu perumpamaan yang terkenal: “Di bawah Matahari Terbit, manakala Liong
Barongsai dari Tiongkok bekerjasama dengan Gajah Putih dari Muang Thai, dengan Karibu dari Filipina,
dengan Burung Merak dari Birma, dengan Lembu Mandi dari India, dengan Ular Hydra dari Vietnam, dan
sekarang, dengan Banteng dari Indonesia, maka Imperialisme akan hancur lebur dari permukaan benua
kita !”
Menurut cara berpikir orang Indonesia ini cukup jelas. Maksudnya ialah bahwa daerah‐daerah yang
diduduki bersatu dalam tekad untuk melenyapkan agressi. Aku tidak mengatakan kita bekerjasama
dengan Matahari Terbit. Aku mengatakan, kita bekerjasama DIBAWAH Matahari Terbit.
Imamura senang sekali dengan kepandaianku berpidato, yang dianggapnya semata‐mata sebagai alat
untuk dapat mempertahankan daerah takluknya. Ketika aku minta izin untuk “menulis dan berkeliling
guna meringankan kesulitan‐kesulitan di daerah yang tidak bisa didapai”, dia menyediakan surat‐surat
kabar dan pesawat terbang untuk itu. Dia mengizinkanku untuk mengadakan rapat‐rapat raksasa Aku
berpidato dihadapan 50.000 orang dalam suatu rapat, aku berpidato di hadapan 100.000 orang dalam
rapat yang lain. Tidak hanya nama Sukarno, melainkan juga wajah Sukarno telah menjalar ke seluruh
pelosok kepulauan Indonesia. Untuk ini aku harus berterima kasih kepada Jepang. Sekali lagi aku
menggelorakan hati rakyat. Aku membangkitkan semangat rakyat. Aku mengoyak‐oyak kesadaran
rakyat. Dan Dai Nippon semakin memerlukan bantuanku.
Sungguhpun demikian, janganlah orang mengira bahwa karena kedudukan itu keadaanku empuk dan
mewah selama peperangan. Tidak. Kalau rakyat lapar, Sukarnopun lapar. Kalau tidak ada makanan,
Sukarno juga tidak mempunyai makanan. Aku sendiri terpaksa mendari beras untuk memberi makan
keluargaku. Pemimpin dari suatu bangsa pergi ke kampung‐kampung untuk mengumpulkan lima kilo
beras, tak ubahnya dengan rakyat desa yang paling miskin.
Dan pada suatu kali aku tidak lekas memadamkan lampu pada waktu penggelapan. Secelah kecil cahaya
selama satu detik tampak bersinar dari luar yang gelap. Segera setelah aku mematikannya, terdengarlah
suara orang menggedor‐gedor pintu dengan keras. Dengan cepat Inggit menjawabnya dan ia berhadapan
dengan sekelompok Polisi Militer.
“Ada apa?” tanya Inggit gemetar. Kaptennya menggeram, “Siapa yang punya rumah ini?” ,,Saya,” jawab
Inggit. ,,Tidak,” teriaknya, “Kami maksud tuan rumah. Siapa suami nyonya?”
Aku sedang berada jauh di dalam, akan tetapi aku keluar juga Kapten itu membentak‐bentak kepadaku
karena cahaya lampu yang sedetik itu, kemudian tangannya melayang plang …. plang ….. plang ….plang,
kemplangannya dengan cepat melekat di mukaku. Melihat pemandangan itu Inggit berlutut dan menjerit,
“Aduh …. Aduh…. jangan tampar dia. Saya yang harus bertanggung jawab. Itu bukan salahnya. Oooo,
ma’afkanlah dia. Saya yang lalai …… !”
Orang‐orang itu tidak peduli. Mereka lebih mau menghukumku. Mukaku pecah‐pecah. Dari bibir dan
hidungku banyak mengalir darah. Akan tetapi tidaklah aku mengucapkan sepatah kata. Aku tidak
bertahan untuk diriku sendiri. Aku hanya menahankannya dengan tenang sambil berkata kepada diriku
sendiri, “Sukarno, kesakitan yang kaurasakan sekarang hanyalah merupakan kerikil di jalan raya menuju
kemerdekaan. Langkahilah dia. Kalau engkau jatuh karenanya, berdirilah engkau kembali dan terus
berjalan.”
Aku melaporkan kejadian ini kepada Kolonel Nakayama, Kepala Bagian Pemerintahan, dan tentu saja dia
minta maaf dan menyatakan, “Kapten itu tidak mengetahui siapa tuan” dan selanjutnya katanya, “segera
akan diambil tindakan terhadap orang itu”;, akan tetapi orang‐orang itu tetap mengawasiku setiap saat.
Pada suatu kesempatan Imamura berpidato di hadapan rakyat. Sambutan rakyat lembek. Aku
menterjemahkannya dengan semangat yang berkobar‐kobar dan dengan memberikan beberapa putar
balik kata‐kata gaya Sukarno. Rakyatku jadi gila karenanya. Pada setiap ucapan mereka bersorak dan
berteriak dan bertepuk. Hal ini membangkitkan kecurigaan Kenpeitai. Aku diiringkan ke markasnya,
dimana aku dibentak, disenggak dan diancam. Aku merasa yakin dalam diriku, bahwa aku akan
digantung. Tapi untunglah. Seorang juru bahasa yang mereka pakai dibawa masuk untuk menghadapiku.
Akan tetapi orang ini setia kepadaku dan dia menjamin ucapan‐ucapanku. Kemudian setelah mengalami
detik‐detik yang menakutkan selama berjam‐jam aku dibebaskan kembali.
Kemanapun aku pergi, aku diiringi oleh perwira‐perwira Jepang atau menelitiku secara diam‐diam.
Seringkali Kenpeitai datang di waktu yang tidak tertentu. Aku harus menjaga diriku setiap saat. Orang
Jepang tidaklah bodoh. Mereka tidak pernah mempercayaiku sepenuhnya. Kaki tangan kami dalam
gerakan bawah tanah mengabarkan, bahwa ada rencana Jepang untuk membunuh semua pemimpin
bangsa Indonesia. Pun orang mengatakan, bahwa Jepang masih memerlukan tenagaku guna mengambil
hati rakyat untuk kepentingan mereka. Akan tetapi di saat tugas ini selesai, gilirankupun akan datang
pula. Aku senantiasa dalam bahaya.
Berbahaya atau tidak, namun aku tetap mengadakan hubungan rahasia dengan gerakan bawah tanah.
Kadang kadang jauh tengah malam, pada waktu semua lampu sudah padam dan semua orang sudah
menutup pintunya, aku mengadakan pembicaraan di klinik Dr. Suharto. Adakalanya aku mengadakan
kontak dengan seorang penghubung di luar tempat terbuka secara beramah‐tamah, kelihatan tersenum
seolah‐olah kami berbicara dengan senang. Kemudian di hari berikutnya secara berbisik‐bisik tersebarlah
instruksi kepada anggota‐anggota bawah tanah, “Ini boleh kita kerjakan …. ini tidak.” Perintah‐perintah
ini datangnya dariku. Aku sendirilah yang memiliki fakta‐fakta tertentu. Aku merupakan saluran informasi
ke kedua jurusan. Akan tetapi Jepang mempunyai cara‐cara untuk melemahkan semangat seseorang.
Orang yang tertangkap karena memakai bahasa Belanda dipukuli. Perempuan‐perempuan ditarik dari
rumahnya dan diangkut dengan kapal, katanya ke “tempat pendidikan”, tapi kemudian mereka
dijerumuskan ke dalam rumah perzinaan. Laki‐laki dan perempuan yang tidak membungkukkan badan
pada waktu melewati seorang penjaga di jalanan mendapat tamparan. Dari cara hukuman yang demikian
karena kesalahan kecil‐kecil dapatlah orang membayangkan, bagaimana hukuman yang harus dihadapi
oleh orang‐orang yang kedapatan bergerak di bawah tanah. Dan kenyataan ini memaksa orang untuk
bertindak hati‐hati sekali.
Cucunguk ada di mana‐mana. Dengan menyamar sebagai tukang sate mereka berjalan sepanjang waktu,
sambil mendengar‐dengarkan suara titit ….. titit dari radio, yang berarti bahwa ada seseorang yang
sedang menerima ‘atau mengirim berita. Kemenakan Suharto ditangkap karena ketahuan mendengarkan
radio gelap. la dijatuhi hukuman mati. Dr. Suharto, seorang kawan seperjuanganku yang akrab dan kawan
sesungguhnya, tidak minta pertolonganku supaya berusaha melepaskannya, oleh karena dia
menganggap tuduhan itu terlalu berat dan jika aku turut membelanya dapat mendjerumuskan ku ke
dalam bahaya yang besar.
Akan tetapi aku mempunyai mata dan telinga dalam Kenpeitai. Mereka selalu mengetahui sebelumnya,
kalau ada kekeruhan tugas merekalah untuk menyalurkan berita itu kepadaku. Berita disampaikan secara
lisan. Tidak ada yang berani menyatakannya dengan tertulis. Berita itu diteruskannya kepada seorang
agen yang bekerja di Sendenbu, yang kemudian menghubungi pula seorang kawan di PUTERA.
Akhirnya sampailah kabar kepadaku, bahwa telah terjadi penggerebekan dan Dr. Darmasetyawan ini
ditahan dan disiksa. Aku mendengar, bahwa tanggal ia akan menjalani hukuman mati telah ditetapkan.
Dan pada suatu hari Suharto mendapati kemenakannya sudah kembali lagi dan sedang duduk di beranda
depan rumahnya. Semuanya terjadi dengan sangat cepat, tidak dengan ribut‐ribut.
Orang Indonesia mempunyai keluarga yang besar dan ratusan sanak saudara, sehingga berita dapat
berjalan dari desa ke desa ke seluruh pelosok pulau dalam waktu beberapa hari. Cara ini lebih baik
daripada telpon. Dengan cara berita dari mulut ke mulut ini datanglah pesan yang lain: “Pengacara Sujudi
ditahan. Sampaikan kepada Sukarno.” Sujudi telah mengorbankan reputasinya untukku. Di rumahnyalah
aku ditangkap dalam bulan Desember tahun 1929. Aku mengadakan hubungan dengan para pembesar
yang mengurus perkaranya, memberikan diriku sendiri sebagai jaminan untuk menyelamatkan Sujudi.
“Tidak mungkin dia mengadakan komplot menentang Dai Nippon,” aku mempertahankan. “Tuduhan ini
tentu keliru. Sujudi adalah nasionalis yang setia dan takkan mau melawan Dai Nippon yang kami hormati,
karena Nipponlah yang membantu kami untuk kemerdekaan.” Setelah itu ia bebas.
Sampai pula laporan kepadaku bahwa Amir Sjarifuddin, salah seorang pemimpin kami dari gerakan
bawah tanah, selama berminggu‐minggu telah digantung oleh Kenpetai dengan kakinya ke atas. Dia
disuruh meminum air kencingnya sendiri. Dia takkan dapat tahan lebih lama lagi. Aku merundingkan
pembebasannya dengan menegaskan kepada para pejabat yang bersangkutan, “Bebaskan dia atau kalau
tidak, jangan diharap lagi kerjasama dari saya.” Untuk dapat membuat pernyataan seperti itu, sungguhsungguh
diperlukan hati yang kuat. Akan tetapi untuk dapat memandangi keadaan Amir Sjarifuddin
ketika Jepang mengeluarkannya, memerlukan kekuatan hati yang lebih besar lagi. Badannya kurus seperti
lidi. Orang tidak dapat percaja, bahwa seseorang masih sanggup menahankan penderitaan seperti itu dan
masih mungkin keluar daIam keadaan bernyawa.
Aku telah banyak menyelesaikan persoalan‐persoalan demikian ini. Sampai sekarang ia terkubur jauh di
dalam hatiku. Tidaklah kusorak‐sorakkan jasa yang telah kuberikan kepada orang lain dari atas atap
rumah, betapapun juga banyaknya. Selama hidupku aku telah menjalankan amal jariah kepada semua
manusia, apabila aku sanggup melakukannya. Aku tahu. Dan Tuhan pun tahu. Itulah yang penting bagiku.

Bung Karno: Pendudukan Jepang



SEMENTARA itu Jendral Imamura, Panglima Tertinggi tentara pendudukan yang bermarkas besar di
Jakarta, memerintahkan agar para pemimpin bangsa Indonesia membentuk suatu badan pernerintahan
sipil, akan tetapi mereka keberatan dengan alasan, “Kami tidak akan duduk dalam badan apapun tanpa
Bung Karno.”
Imamura lalu mengirim surat kepada Kolonel Fujiyama dan menyatakan “Sebagian besar daripada tentara
pendudukan beserta pimpinan. Yang mengendalikan tentara ini berada di Jawa. Tugas pemerintahan
yang sesungguhnja ada disini dan ternyata urusan sipil tidak berjalan dengan baik. Kami sangat
memerlukan bantuan dari orang jang paling berpengaruh.” Surat itu akhirnya menyimpulkan, “Ini adalah
perintah militer supaya memberangkatkan Sukarno.”
Ketika Fujiyama memerintahkanku segera, berangkat ke Palembang dimana sebuah kapal akan
membawaku ke Jakarta, hatiku menari‐nari gembira. Semenjak pendaratan Jepang di Padang 4 bulan
yang lalu aku mendo’a agar dapat kembali ke pulau Jawa yang tercinta, akan tetapi aku tidak tahu
bagaimana caranya memenuhi keinginan hati ini. Sekaranglah Tuhan mendengarkan do’aku dan
memerintahkanku kembali.
Dekat Palembang kami terlibat dalam suatu kecelakaan. Dua buah kendaraan. Jepang dengan kecepatan
yang penuh bertabrakan dihadapan kami. Satu dari kendaraan itu adalah sebuah jip. Itulah pertamakali
dalam hidupku aku melihat jip. Kendaraan yang satu lagi sebuah truk besar. Kedua perwira. Di dalam truk
itu tergoncang, akan tetapi tidak apa‐apa selain dari babak belur sedikit. Dengan memberanikan diri
mereka cepat‐cepat lari meneruskan perjalanan. Jip itu hancur sama sekali. Penumpangnya, seorang
kapten, mendapat luka parah. Ajudannya terpelanting ke pinggir jalan dan hanya pusing dan terbaring
dibawah sebatang kayu. Sewaktu dia sadar lagi dia menyatakan kepada kami, “Kami perlu segera sampai
di Palembang. Saya bawa Buick ini.”
“Tapi,” protesku, “Ini milik saya. Komandan daerah ini memberikan izin istimewa kepada saya.”
Kutunjukkan sekilas surat tanda milikku. Ini buktinya.”
Sebagian dari “percakapan” ini kami lakukan dengan gerak. Sekalipun melihat surat itu, ajudan itu
menghormat dengan kaku, mengucapkan sesuatu seakan dia berkata, “Ini urusan penting. Ma’af saja.”
Lalu dia pergi membawa kendaraan kami dengan meninggalkan kami terdampar di jalanan itu. Polisi
Militer yang segera datang ke tempat kecelakaan ini mengerti tanda‐tanda pengenalku. Kendaraan
selanjutnya yang kebetulan lewat adalah sebuah truk. Serta merta kendaraan itu disita dan kami
meneruskan perjalanan dengan meninggalkan pemiliknya di pinggir jalan itu.
Kami menambah dua orang penumpang lagi. Seorang Indonesia yang terbanting dari atas truk besar tadi
menggeletak di semak‐semak, mukanya tertelungkup ke tanah bermandi darah yang menggenang. Ia
sudah tidak bernyawa lagi. Aku tidak dapat meninggalkan orang yang malang itu di tengah hutan,
dikelilingi oleh muka‐muka masam. Dengan mengangkat mayat yang berlumuran darah ke atas truk, aku
membawanya untuk dikuburkan sebagaimana mestinya. Yang seorang lagi adalah prajurit Jepang,
ditugaskan untuk membawa kami. Inggit disuruh duduk di sebelahnya. Penumpang lain di belakang, Satusatunya
kesukaran yang kuhadapi ialah mengenai Inggit yang tidak mau duduk di sebelah Jepang.
Akhirnya aku menyelesaikannya dengan meletakkan si Ketuk Satu dan Ketuk Dua di antara Inggit dan
prajurit itu.
Sesampai di Palembang aku menghadapi kesukaran yang lebih banyak. Para pembesar disana tidak
mengizinkan kami meneruskan perjalanan ke Jakarta sebagaimana instruksi yang telah kuterima. Orang
yang bertugas menolakku dengan ucapan singkat, “Dilarang bepergian antara Sumatra dan Jawa.
“Tentu ada kekeliruan pengertian dalam hal ini,” aku memberi alasan. “Perintah ini saya terima dari
komandan atasan saudara sendiri.”
“Sekarang, ini tidak ada perdalanan orang preman antara Sumatra dan Jawa,” dia mengulangi lagi, sambil
berdiri menyuruhku pergi.
Ketika aku bertahan terus dia menekan knop dan aku dihadapkan ke markas Kenpetai yang
menyeramkan. Kenpeitai memutuskan untuk mengadakan pemeriksaan terhadap diriku. “Kami
memerlukan lebih banyak keterangan tentang diri tuan, tuan Sukarno,” kata seorang perwira berperut
buncit melengking, sambil mempermainkan pedang Samurai di tangannya. ‘Kami mendapat keterangan
dari saluran‐saluran kami, bahwa tuan orang yang tidak baik, hatinya tidak bersih terhadap kepentingan
kami.”
“Tidak benar,” aku mendengus tidak sabar. “Saya dapat membuktikan, ketidakbenaran keterangan itu.”
Aku mengeluarkan kartu tanda berkelakuan baik yang diberikan oleh Kolonel Fujiyama kepadaku dan
dapat digunakan dalam keadaan‐keadaan seperti ini. Dia membaca pelahan‐lahan. Kemudian diulangnya
membaca sekali lagi. Dan secarik karton berwama putih inilah yang menyelamatkan jiwaku. Namun
persoalan pengangkutan tidaklah dipercepat. Sekarang dia minta bantuanku lagi untuk menyelesaikan
persoalan setempat sebelum menandatangani surat izin keluar.
Si buncit telah menyarungkan kembali pedang Samurainya. Sambil tersenyum dia berkata, “Kalau betul
tuan orang baik dan dengan maksud‐maksud baik, saya minta tuan mengundurkan keberangkatan dan
membantu kami mengatasi kesukaran‐kesukaran di sini yang disebabkan oleh rakyat tuan yang pandir.
Dia duduk di pinggir meja. Aku di kursi. Kami berhadap‐hadapan dan pada jarak yang dekat mukanya itu
menarik sekali untuk dipelajari. Mulutnya tersenyum, akan tetapi matanya tidak. “Lebih baik kami tidak
menahan tuan dengan paksa, tuan Sukarno,” dia mendesis. “Akan saya bantu dengan apa yang dapat
saya berikan,” jawabku setelah mempertimbangkan, bahwa tidak ada lain yang dapat diuxapkan dalam
suasana demikian itu.
Orang Jepang di Palembang dan aku tidak dapat memperoleh saling pengertian dengan baik. Aku
melakukan satu hal yang tidak mereka senangi sama sekali. Akan tetapi sebaliknya mereka lalu
melakukan banyak hal yang tidak kusukai juga. Aku telah menyaksikan perbuatan‐perbuatan kurang ajar
dan memuakkan dan menyampaikan hal ini kepada mereka. Kukatakan kepada Si buncit, “Seringkali saya
Iihat anak‐buah tuan terlalu mudah melayangkan tangan. Dengan mata kepala saya sendiri saya
menyaksikan mereka berkali‐kali menampar orang Indonesia.”
Aku menahan napas dan berhenti, akan tetapi Si buncit hanya memandang kepadaku, dengan sombong
mengayun‐ayunkan kakinya ‐setiap kali hampir‐hampir mengenai kakiku ‐dan menantikan ucapanku
untuk memberikan kesimpulan. “Pukulan‐pukulan terhadap rakyat kami ini harus dihentikan. Ini bukanlah
jalan untuk menciptakan persahabatan dan membangkitkan kepercayaan rakyat,” aku menegaskan.
“Kalau tuan menghendaki kerjasama dari saya yang baik, tuan hendaknya memperlihatkan kerjasama
pada saya.”
“Itu keliru,” katanya memberungut. “Kelakuan buruk ini dilakukan oleh prajurit‐prajurit Korea. Orang
Korea terkenal dengan sifatnya yang gatal tangan. Prajurit‐prajurit Jepang sikapnya jauh lebih baik.
Mereka tidak pernah bertindak seperti itu.”
“Komandan,” kataku. “Orang Indonesia yang kena pukul tidak membedakan siapa yang bertindak itu.
Soalnya ialah, apakah tindakan ini tidak bisa dihentikan? Dan tidak dilakukan oleh siapapun?”
“Baik, tuan Sukarno, tuan dapat memegang perkataan saya. Para Komandan Batalyon akan
diperintahkan supaya segera menghentikan perbuatan lancang tangan ini.” Sejak itu sikap mereka
berubah.
Sebulan kemudian mereka membebaskanku untuk berangkat, akan tetapi tentara Jepang di Palembang
hanya mempunyai sebuah kapal, yaitu sebuah perahu motor dengan mesin caterpillar. Perahu yang akan
mengarungi lautan ini panjangnya delapan meter, sedangkan penumpangnya terdiri dari seorang kapten,
dua prajurit, Inggit dan aku sendiri, Sukarti, Riwu dan barang‐barang kami, dan sudah tentu Ketuk Satu
dan Ketuk Dua. Aku mencoba untuk mengusahakan kapal yang lebih besar, akan tetapi kepadaku
disampaikan supaya kami menunggu. Yah, menunggu. Aku sudah lima setengah bulan lamanya
menunggu di Sumatra. Cukuplah itu. Sekalipun kapal itu sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai kapal
laut, akan tetapi ini adalah kesempatan pertama yang diberikan kepadaku dan kesempatan ini harus
kupergunakan.
Empat hari empat malam lamanya kami terkatung‐katung di tengah lautan. Kami tidur sambil duduk,
setiap detik dan setiap menit angin laut dan kabut air menyapu muka bumi selama 24 jam dalam sehari.
Pelajaran ini jauh daripada menyenangkan. Ketika kami melalui Selat Bangka membadailah topan yang
keras dan kami harus menahankannya di atas perahu yang terbuka, tanpa secarikpun alat pelindung.
Kemudian perahu motor kami hampir terbalik karena menubruk pulau karang yang rendah. Lagi pula aku
gelisah menghadapi tantangan‐tantangan ini, oleh karena aku tak pernah belajar berenang. Di masa
mudaku sportku dalam air hanya memakai ban dalam yang dipompa, lalu duduk di dalamnya dan
mencebur‐cebur.
Kami membawa sayuran yang telah dimasak, ikan kering dan persediaan lainnya dalam stoples dan nasi
seperiuk, akan tetapi aku tidak dapat makan. Yang masuk ke dalam perutku hanyalah air jeruk sedikit.
Aku terlalu mabuk, sehingga kukira aku akan mati. Kapal kecil kami melambung ke atas dan dihempaskan
lagi oleh gelombang ke bawah, tergoncang, mengoleng‐oleng dan berpusing‐pusing. Dan aku pucat
seperti mayat selama 4 hari itu.
Aku sakit, perutku terasa mual, aku pusing, kepala mengentak‐ngentak, matahari membakarku angus,
kabut air laut membikin bibirku pecah‐pecah, perutku lapar dan badan lemah ‐akh, peduli amat!
Bukankah sekarang aku pulang? Aku sekarang kembali ke Jawa. Karena sangat bersyukur dapat kembali
dalam keadaan hidup dan selamat, kusumbangkan seluruh milikku kepada kapten itu semuanja! Ini
adalah permulaan baru bagiku. Kehidupan baru bagi negeriku. Dan aku ingin memulainya dengan
kesegaran baru.
Lintasan pertama dari tanahku yang tercinta ini terlihat ketika hendak masuk meninggalkan Laut Jawa.
Hari sudah sore dan panas ketika kami menderum‐derum melalui iring‐iringan perahu lajar penangkap
ikan dan sampan‐sampan nelayan yang berbau anyir. Melewati perairan di luar aquarium yang dibuat
didok dan memasuki pelabuhan Pasar Ikan yang sempit, dimana hampir tidak mungkin dua buah perahu
berpapasan. Pasar ikan penuh sesak dengan tempat penjualan hasil dari laut. Airnya kotor. Daun‐daunan,
kepala ikan dan sampah kelihatan mengapung dalam air. Bau anyir dari ikan mati memenuhi udara,
sekitar itu. Akan tetapi, ketika aku dibantu melangkahkan kaki ke tangga batu yang membawaku ke atas
daratan, aku berbicara dalam hatiku, “Alangkah indah pemandangan ini. Seperti tak pernah aku melihat
yang lebih indah seumur hidupku.”
Di darat tak seorangpun yang datang menjemput kami dari kapal. Kuminta pertolongan salah seorang
nelayan untuk menghubungi bekas iparku, Anwar Tjokroaminoto, dan pengacara yang membelaku dulu
di Bandung, yaitu Sartono, dan Hatta yang juga berada di Jakarta. Di ujung dermaga tampak sebuah
kantor emperan. Prajurit penjaganya mempersilakanku masuk dan menjuruhku duduk. Dan kududuklah di
situ. Aku menunggu.
Anwar yang pertama datang. Tuhan melindunginya. Dia datang berlari dengan mata berlinang‐linang.
Kami berpelukan dan mencium satu sama lain tanpa mempedulikan sekitar kami. Pertemuan ini tidak
diiringi dengan pukulan punggung yang keras. Suasananya menggambarkan perasaan syukur yang
diucapkan dengan tidak bersuara. Hanya air mata mengalir ke pipi kami. Seperti kukatakan, kami tidak
banyak mengucapkan kata‐kata. Kami tidak sanggup mengeluarkannya. la tidak bisa lewat dari
kerongkongan. Sebaliknya ia mencucur dari mata kami.
“Bagaimana kabamya Harsono?” tanyaku, suaraku berubah karena terharu.
“Baik.”
“Utari ?”
“Semua baik. Yang lebih penting lagi saya menanyakan bagaimana keadaan Bung Karno.”
“Akupun baik.”
Kami berdiri merenggang dan saling memperhatikan satu sama lain pada jarak satu lengan. Di depannya
ia lihat sekarang seorang laki‐laki yang letih dan kurus, pakai jas putih yang lapang dan celana tidak
berbentuk. Pakaianku sangat ketinggalan jaman. la adalah buatan Darham, penjahit dari Pulau Bunga
yang tinggal denganku, atau hasil sebelum pengasingan.
Anwar memakai jas kuning gading dengan potongan “doublebreast”. Setelah aku menyeka pipi dan
mencium tanah di bawahku, lalu menggosok mataku untuk meyakinkan apakah yang berdiri di depanku
betul‐betul Anwar, bukan pajangan, aku kemudian kembali pada kenyataan. Kuraba‐raba jasnya. “Jasmu
bagus sekali potongannya,” aku memuji.
“Bikinan De Koning,” ia melagak.
Penjahit paling terkenal di Jakarta di waktu Belanda. ! Bagaimana kau membayarnya?”
Dia mengangkat kedua belah tangan seperti corong ke mulutnya dan berbicara langsung ke telingaku.
“Saya masuk dari pintu belakang. Ongkosnya terlalu tinggi, akan tetapi ada seorang kawan yang bekerja
sebagai penjahit pembantu di toko De Koning.” Apa dia mau kira‐kira membikinkan untukku?” ,,Tentu
mau. Kalau Bung Karno sudah senggang sedikit, saya bawa ke sana.”
Seringkali generasi muda menukil kembali ucapan‐ucapan yang abadi dan yang akan hidup terus. Ucapan
yang keluar dalam detik‐detik yang besar di dalam sejarah. Ucapan yang akan menggeletarkan tulang
sumsum, ucapan yang membangkitkan semangat, ucapan yang dituliskan dengan kata‐kata indah seperti
ini di saat pertemuan kami. Akan tetapi sayang, ketika kami bertemu dan setelah aku menanyakan
tentang keadaan Anwar beserta keluarganya, pokok persoalan selanjutnya yang kutanyakan kepadanya
hanyalah mengenai tukang jahitnya. Di minggu itu juga aku pergi menjahitkan pakaian yang pertama
selama bertahun‐tahun.
Setengah jam kemudian Sartono, dan Hatta datang berlarian. Hatta dan aku tidak berkiriman surat
selama bertahun‐tahun. Dan sekalipun banyak yang hendak dikatakan dan banyak yang hendak
ditanyakan, namun masing‐masing kami hanya punya satu pertanyaan untuk yang lain. Hatta membisik,
“Bagaimana pendapat Bung Karno mengenai pendudukan ini?” Aku membisikkan kembali, “Jepang tidak
akan lama disini. Mereka akan kalah dan kita akan hancurkan mereka. Inipun asal kita tidak menentang
mereka secara terang‐terangan.
Kemudian aku bertanya, “Bagaimana, Bung Hatta, bagaimana semangat nasionalisme dari rakyat kita?”
“Semangat rakyat tidak dibinasakan oleh peperangan. Rakyat sudah mulai curiga kepada Jepang yang
menjadi “pembebas” itu dan rakyat sangat menantikan kedatangan Bung Karno.
“Jepang telah menyediakan sebuah rumah bertingka ‐dua dan manis potongannya, terletak di sebuah
jalan raya Jakarta. Rumah itu mempunyai lapangan rumput, beranda, garasi dan perabot lengkap, kecuali
piring‐piring barang pecah belah lainnya yang sudah dibanting‐bantingkan oleh Belanda sebelum
berangkat. Tentunya tidak ada penyambutan kedatanganku kembali pulang, karena tak seorangpun yang
tahu kapan Sukarno, akan sampai. Dan lagi adanya larangan yang keras untuk mengadakan pertemuan.
Sekalipun demikian di dalam rumah kudapati telah ada beberapa anggota dari “Panitia Penyambutan
Bung Karno”. Wajah mereka bersinar dengan kegembiraan yang tenang dan mereka berlutut, lalu
mencium tanganku. Kupegang tangan mereka dengan kuat dalam genggamanku. Aku sangat terharu.
Orang‐orang yang kucintai ini telah ditunjuk untuk mencarikanku rumah tinggal yang cocok.
“Orang Belanda sudah diringkus masuk kamp tawanan,” kata Ahmad Subardjo. “Kalau Bung Karno
berjalan‐jalan, akan melihat banyak rumah‐rumah bagus yang kosong. Isteri saya meneliti sebelah satu
jalan. Isteri Sartono di seberangnya. Dalam beberapa hari saja mereka menemukan rumah ini.” ,,Rumah
ini besar sekali,” kataku sambil memeriksa bagian dalam. “Kami berpendapat, bahwa pemimpin kita tentu
memerlukan ruangan banyak untuk tetamu. Semenjak tersebar berita bahwa Bung Kamo akan datang
dalam waktu tidak lama lagi, rakyat dari desa‐desa, dari gunung, dari tepi pantai dan dari daerah yang
jauh semakin meluap‐luap. Sekalipun dalam keadaan kekurangan, mereka toh sanggup untuk datang dan
melihat sendiri wajah Bung Karno, Mereka tidak percaya bahwa Bung Karno betul‐betul ada disini dan
bebas dan sudah siap lagi untuk menduduki tempat sebagai pahlawan mereka.” Malam itu Inggit dan aku
berjalan‐jalan di sekitar rumah kami yang baru itu. Di jalanan yang lebar dengan di kiri kanannya barisan
pohon‐pohon, yang merupakan daerah elite di Jakarta. Telah panjang waktu berlalu dibelakangku.
Hampir 13 tahun. Masa tahanan dan pembuangan telah berlalu. Dan perang telah terjadi. Tapi syukur, Aku
sudah pulang ke tempatku semula. Aku kembali menjadi pemimpin dari rakyatku. Aku sudah kembali ……

Bung Karno: Jepang Mendarat



UDARANYA panas malam itu, akan tetapi aku berbaring di sana dengan badan gemetar. Aku melihat
sambaran petir ini sebagai gemuruhnya pukulan genderang kebangkitan. Ia adalah tanda berakhirnya
suatu jaman.
Esok paginya aku bangun di waktu subuh dan berjalan dengan tenang sepanjang jalanan kota. Jepang
membuka toko‐toko dengan paksa tanpa ada yang menjaga. Perbuatan ini menggerakkan hati rakyat
untuk menyerbu isi toko‐toko itu. Kesempatan pertama bagi rakyat yang miskin untuk menikmati
kemewahan. Dalam pada itu Jepang dengan cerdik memerintahkan polisi Belanda untuk menertibkan
keadaan di jalan‐jalan, dengan demikian menambah kebencian terhadap kekuasaan kulit putih.
Di setiap jalanan Jepang disambut dengan sorak‐sorai kemenangan.
“Apa sebabnya ini!” tanya Waworuntu.
“Rakyat benci kepada Belanda. Lebih‐lebih lagi karena Belanda lari terbirit‐birit dan membiarkan kita
tidak berdaya. Tidak ada satu orang Belanda yang berusaha untuk melindungi kita atau melindungi negeri
ini. Mereka bersumpah akan bertempur sampai tetesan darah yang penghabisan, tapi nyatanya lari
ketakutan.”
“Coba pikir,” kataku ketika kami melangkah pelahan. “Faktor pertama yang menyebabkan penyambutan
yang spontan ini adalah adanya perasaan dendam terhadap tuan‐tuan Belanda, yang telah dikalahkan
oleh penakluk baru. Kalau engkau membenci seseorang tentu engkau akan mencintai orang yang
mendupaknya keluar. Disamping itu, tuan‐tuan kulit putih kita yang sombong dan maha kuat itu
bertekuk‐lutut secara tidak bermalu kepada suatu bangsa Asia. Tidak heran, kalau rakyat menyambut
Jepang sebagai pembebas mereka.”
Waworuntu, kawan baik dan kawanku yang sesungguhnya, yang sekarang sudah tidak ada lagi, melihat
tenang kepadaku.
“Dan apakah Bung juga menyambutnya sebagai pembebas?
“Tidak! Saya tahu siapa mereka. Saya sudah melihat perbuatan mereka di masa yang lalu. Saya tahu
bahwa mereka orang Fasis. Akan tetapi sayapun tahu, bahwa inilah saat berakhirnya Imperialisme
Belanda. Pun seperti yang saya ramalkan, kita akan mengalami satu periode pendudukan Jepang, disusul
kemudian dengan menyingsingnya fadjar kemerdekaan, dimana kita bebas dari segala dominasi asing
untuk selama‐lamanya.”
Di seberang jalan kami lihat serdadu Jepang memukul kepala seorang Indonesia dengan popor senapan.
“Lalu maksud Bung akan memperalat Jepang” tanya Waworuntu dengan cepat.
Kami terus berjalan. Kami tidak dapat berbuat apa‐apa. “Sudah tentu,” jawabku dengan suara redup.
“Saya mengetahui semua tentang kekurangajaran mereka. Saya mengetahui tentang kelakuan orang
Nippon di daerah pendudukannja — tapi baiklah. Saya sudah siap sepenuhnya untuk menjalani masa ini
selarna beberapa tahun. Saya harus mempertimbangkan dengan akal kebijaksanaan, apa yang dapat
dilakukan oleh Jepang untuk rakyat kita.”
Kita harus berterimakasih kepada Jepang. Kita dapat memperalat mereka. Kalau manusia berada dalam
lobang Kolonialisme dan tidak mempunyai kekuatan yang radikal supaya bebas dari lobang itu atau untuk
mengusir penjajahan, sukar untuk mengobarkan suatu revolusi.
Waworuntu memandangku, matanja terbuka lebar. Kebenaran kata‐kata itu nampak meresap dalam
hatinya. “Coba pikir, Bung,” kataku, “Keadaan chaos, suasana kebingungan dan perasaan yang menyalanyala
ini, ataupun perubahan ini sendiri — perlu sekali guna mencapai tujuan, untuk mana saya
membaktikan seluruh hidupku.” Kami terus berjalan, bungkem. Masing‐masing sibuk dengan pikiran
sendiri. Kemudian kawanku memberikan pendapat, “Mungkin rakyat kita akan selalu memandangnya
sebagai pembebas dan tetap tinggal pro‐Jepang, dan oleh sebab itu akan mempersulit usaha untuk
melepaskan negeri kita dari cengkeramannya.” Tidak mungkin,” jawabku menerangkan. “Pandirlah suatu
bangsa penjajah kalau mereka mengimpikan akan dicintai terus atau mengkhayalkan bahwa masyarakat
yang terjajah akan tetap puas dibawah telapak dominasinya. Tidak pandang betapa lemah, mundur atau
lalimnya penjajah yang lama dan tidak pandang betapa baiknya penjajah yang baru dalam tingkah laku
atau kecerdasannya, maka rakyat yang sekali sudah terjajah selalu menganggap hilangnya dominasi asing
sebagai pembebasan. Inipun akan terjadi disini.”
“Kapan ini akan terjadi ?”
“Kalau kita sudah siap,” kataku ringkas.
Aku tidak mengadakan gerakan. Aku hanya menunggu. Sehari kemudian, Kapten Sakaguchi, Komandan
dari daerah Padang datang ke rumah Waworuntu dan memperkenalkan dirinya. Berbicara dalam bahasa
Perancis, ia berkata, ,,Est‐ce vous pouves parler Francais “
“Oui,” jawabku. ,,Je sais Francais.”
“Je suis Sakaguchi,” katanya.
“Bon,” kataku.
Bungkem sesaat, lalu, ,,Vous etes Ingenieur Sukarno, n’est‐ce pas?”
,,Oui. Vous avez raison.”
Menunjukkan tanda pengenal resminya ia menerangkan, ,,Saya anggota dari Sendenbu, Departemen
Propaganda.”
“Apakah yang tuan kehendaki dari saya?” aku bertanya dengan hati‐hati.
“Tidak apa‐apa. Saya mengetahui bahwa saya perlu berkenalan dengan tuan dan begitulah saya datang.
Hanya itu. Saya datang bukan menyampaikan perintah kepada tuan.” Sakaguchi tersenyum lebar.
Agaknya tidak perlu bagi seorang penakluk untuk bersikap begitu menarik hati karena itu aku bertanya,
“Mengapa tuan justru datang kepada saya?”
“Menemui tuan Sukarno yang sudah terkenal adalah tugas saya yang pertama. Kami mengetahui semua
mengenai tuan. Kami tahu tuan adalah pemimpin bangsa Indonesia dan orang yang berpengaruh.”
“Itukah sebabnya tuan menemui saya disini, dan bukan meminta saya datang ke kantor tuan ?” Betul,” ia
membungkuk. ,,Suatu kehormatan bagi kami untuk menghargai tuan sebagaimana mestinya. Tuan
Sukarno terkenal di seluruh kepulauan ini.”
“Boleh saya bertanya dari mana tuan mendapat keterangan ini ?”
“Tuan lupa, tuan Sukarno, sebelum perang banyak orang Jepang tinggal disini dan banyak yang kembali
kesini dalam tentara Jepang.”
,,Oo.”
“Kami mempunyai jaring mata‐mata yang paling rapi. Kami mengetahui segala‐galanya mengenai semua
orang, begitu pula tempat‐tempatnya. Segera setelah menduduki Bengkulu kami menyelidiki dimana
tuan berada. Tindakan kami, yang pertama‐tama ialah untuk datang kepada tuan.”
“Dan tindakan yang kedua?”
“Menjaga tuan.”
Ketika tentara Jepang datang, Padang mengibarkan bendera Merah Putih. Rakyat menyangka mereka
“dibebaskan”. Setelah berabad‐abad larangan, sungguh menggetarkan hati menyaksikan bendera kami
Sang Merah‐Putih yang suci itu melambai‐lambai dengan megahnya. Akan tetapi tidak lama, segera
keluar pengumuman yang ditempelkan di pohon‐pohon dan di depan toko‐toko, bahwa hanyalah
bendera Matahari Terbit yang boleh dikibarkan. Serentak dengan kejadian ini, yang terasa sebagai suatu
tamparan, Jepang menguasai surat‐surat kabar. “Pembebasan” kota Padang tidak lama umurnya.
Aku pergi ke kantor Sakaguchi dan minta agar perintah penurunan bendera itu diundurkan. “Perintah ini
sangat berat untuk kami terima dan akan mempersulit keadaan,” kataku. “Kalau tidak dilakukan secara
sebijaksana mungkin hal ini dapat memberi akibat yang serius untuk kedua belah pihak.”
Sakaguchi menunjukkan bahwa ia mengerti persoalan itu, akan tetapi memperingatkan. “Barangkali, tuan
Sukarno, hendaknya jangan terlalu menunda‐nunda hal ini.”
Ini adalah hari yang gelap bagi rakyat dan bagi Sukarno. Mula‐mula aku pergi ke mesdjid dan aku
sembahyang. Kemudian dalam suatu rapat aku menginstruksikan kepada saudara‐saudaraku untuk
menurunkan bendera sampai “datang waktunya dimana kita dapat mengibarkan bendera kita sendiri,
bebas dari segala dominasi asing.”
Setiap bendera turun ke bawah. Aku benci kepada Hitler, akan tetapi kejadian ini dengan tidak sadar
mengingatkan daku pada salah satu ucapannya: Gross sein heisst es Massen bewegen k.nnen” Besarlah
seseorang yang mampu menggerakkan massa untuk bertindak. Kalau bukan Sukarno yang berbicara,
mungkin mereka akan berontak, karena terlalu tiba‐tiba seperti tersentak dari tidur mereka menyadari,
bahwa putera‐putera dari negara Matahari‐Terbit bukanlah pahlawan‐pahlawan sebagaimana mereka
bayangkan. Dan aku kuatir akan terjadinya pemberontakan. Kami adalah rakyat yang tidak
berpengalaman untuk pada saat itu biasa menendang kekuatan yang terlatih baik seperti tentara Jepang.
Tiga hari kemudian Sakaguchi datang lagi. Sekali lagi kami berbicara dalam bahasa Perancis. Berbulanbulan
kemudian aku baru mengetahui, bahwa Sakaguchi pandai berbahasa Indonesia. “Monsicur
Sukarno,” katanya
“Saya membawa pesan. Le Commandant de Bukittinggi memohon kehadiran tuan.”
“Memohon?” aku mengulangi.
“Oui, Monsieur. Memohon.”
Dari sikap kapten Sakaguchi yang merendah jelaslah, bahwa ketakutan Belanda akan menjadi kenyataan.
Jepang akan mengusulkan agar supaya aku bekerja dengan mereka. Komandan dari divisi yang kuat itu
yang memasuki kota Padang di malam pendaratan adalah Kolonel Fujiyama, Komandan Militer kota
Bukittinggi. Dialah yang minta disampaikan supaja “memohon” tuan Sukamo untuk datang.
Tuan Sukarnopun datang.
Kami berangkat dengan kereta api dan dengan cepat tersiar kabar, bahwa Sukarno ada dalam kereta api.
Mereka yang berada dalam gerbong kami menyampaikan kepada gerbong‐gerbong yang lain. Ketika
berhenti di Padang panjang setiap orang di pelataran stasiun mulai bersorak memanggil Sukarno.
Gerbong kami diserbu orang, sehingga aku terpaksa mengeluarkan kepalaku di jendela dan berpidato
dengan singkat untuk menenangkan rakyat. Tak satupun dari ini yang tidak berkesan pada Sakaguchi.
Jauhnya satu setengah jam perjalanan ke kota pegunungan yang sejuk itu. Pusat dari Minangkabau ini
terkenal dengan bendinya yang riang menyenangkan dan digunakan sebagai alat angkutan di jalanan
yang mendaki. Dan ia terkenal dengan rumah adat bergonjong bewarna‐warni, simbolik daripada seni
bangunan Minangkabau.
Bukittinggi adalah kota yang sangat penting. Letaknya strategis, dan hanya dapat dicapai dari tiga
jurusan, dan letaknya di daerah pegunungan itu sedemikian, sehingga penduduknya menguasai semua
lalu lintas keluar masuk. Markas Kolonel Fujiyama, gedung besar bekas kepunyaan seorang Belanda yang
kaya, pun terletak secara strategis. Letaknya ketinggian di atas puncak Lembah Ngarai, sebuah lembah
yang dalam dengan bukitnya yang tinggi pada kedua belah sisinya berbentuk dinding batu terjal dan
gundul menjulang kea tas. Di bawah, di dalam lembah itu merentang seperti pita sebuah sungai yang
dengan seenaknya mencari jalannya sendiri. Di sekeliling Ngarai itu tumbuh pepohonan dan tumbuhan
menghijau dengan lebat. Kalau orang memandang keluar, dari jendela rumah Fujiyama, beribu‐ribu kaki
jauhnya ke bawah terlihatlah suatu pemandangan indah yang sangat mengagumkan.
Disanalah aku mengadakan pertemuan yang sampai sekarang tidak banyak orang mengetahuinya, akan
tetapi sesungguhnya merupakan pertemuan yang maha penting. Pertemuan yang sangat besar artinya.
Pertemuan yang menentukan strategiku selanjutnya selama peperangan. Pertemuan yang sampai
sekarang memberikan cap kepadaku sebagai “Kollaborator Jepang”
Komandan Fujiyama berbicara dalam bahasanya. Di dalam ruangan itupun hadir seorang juru bahasa
berkebangsaan Amerika yang dibawa mereka ke Singapura. “Tuan Sukarno,” kata Fujiyama sambil
menyilakanku duduk. “Peperangan ini bertujuan untuk membebaskan Asia dari penaklukan kolonialisme
Barat.”
Aku menyadari, bahwa mereka sedang menduga isi hatiku dan aku memilih kata‐kataku dengan hati‐hati
sekali. Setiap patah kata yang keluar dari mulutku akan mereka saring, mereka timbang‐timbang dan
mereka uji. Aku mengetahuinya. “Orang Jepang mempunyai satu semboyan yang berbunyi, ‘Asia. Bebas’.
Benarkah ini?” tanjaku setelah beberapa saat.
“Ya, tuan Sukarno,” sahutnya sambil menyodorkan rokok kepadaku. “Itu benar.”
Dengan lamban kuisap rokok itu dan kemudian berkata seperti tidak acuh, “Dan apakah tuan bermaksud
hendak berpegang pada semboyan itu?”
“Ya, tuan Sukarno, kami akan berpegang pada semboyan itu,” katanya memandang kepadaku dengan
teliti.
“Yah, kalau begitu, apakah tuan berpendapat bahwa Indonesia adalah satu bagian dari Asia?”
“Tentu, tuan Sukarno.”
Aku menarik napas panjang. “Kalau demikian, saya dapat menarik kesimpulan bahwa tujuan tuan juga
hendak membebaskan Indonesia, betulkah itu?”
Belum sampai satu debaran jantung antaranya, “Ya, tuan Sukarno. Tepat sekali.”
Sementara berlangsung pembicaraan tingkat tinggi ini seorang pradjurit Jepang berperawakan kecil
beringsut menyuguhkan air teh. Syarafku sangat tegang dan aku mencarik‐carik kuku jariku, suatu
kebiasaanku kalau sedang gelisah. Kami menunggu sampai bunyi mangkok teh yang gemerinting tidak
terdengar lagi. Bahkan setelah pradjurit itu pergi, bunyi gemerincing seolah‐olah masih saja mengapung
di udara yang hening. Setidak‐tidaknya, dalam diriku. Gigiku dan tulang‐belulangku semua gemerincing.
Hidup atau matinya tanah airku tergantung kepada sukses atau tidaknya pembicaraan ini.
Setelah dia pergi, Fujiyama kemudian melanjutkan. “Di dalam rangka pengertian inilah kami ingin
mengetahui, apakah tuan mempunyai keinginan untuk memberikan bantuan kepada tentara Dai Nippon.”
“Dengan cara bagaimana ?”
“Dalam memelihara ketenteraman.”
“Bolehkah saya bertanya, bagaimana caranya saya seorang diri dapat memelihara ketenteraman untuk
tentara Jepang?”
Panglima Tentara ke 25 dari Angkatan Darat Keradjaan Jepang ini tersenjum. Pada tingkatannya mereka
banyak melakukan seperti ini. “Kami mengetahui, bahwa Sukarno sendirilah yang menguasai massa
rakyat.
Karena itu, cara yang paling mudah untuk mendekati rakyat adalah mendekati Sukarno. Tugas kami
bukanlah untuk mendekati rakyat Indonesia yang berjuta‐juta. Tugas kami adalah untuk memenangkan
satu orang Indonesia. Yaitu, tuan sendiri. Harapan kami agar tuan mendekati rakyat yang jutaan itu untuk
kami.”
Sikapnya memperlihatkan dengan jelas, bahwa dia harus memenangkan Sukarno. Di luar, di jalanan
rakyat kami tidak lagi bersorak‐sorai begitu keras menyambut rakyatnya. Kegembiraan yang pertama
sudah mulai luntur. Dia tahu, kalau dia berbalik menentangku dan melukaiku dengan salah satu jalan,
kalau dia mendoba‐doba memaksaku, seluruh rakyat akan bangkit melawannya. Jepang memerlukan
tenagaku dan ini kuketahui. Akan tetapi akupun memerlukan mereka guna mempersiapkan negeriku
untuk suatu revolusi.
Ini tidak ubahnya seperti permainan volley. Hanya yang dipertarungkan itu adalah kemerdekaan. Kolonel
Fujiyama pertama memukul bola. Sekarang giliranku. Tuhan, aku mendo’a dalam hati, tunjukkanlah
kepadaku, jalan yang benar.
“Nah,” kataku. “Sekarang saya mengetahui apa yang tuan inginkan, saya kira tuan mengetahui keinginan
saya.”
“Tidak, tuan Sukarno, saya tidak tahu. Apakah sesungguhnya yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia.?”
“Merdeka.”
“Sebagai seorang patriot yang mencintai rakyatnya dan menginginkan kemerdekaan mereka, tuan harus
menyadari bahwa Indonesia Merdeka hanya dapat dibangun dengan bekerja sama dengan Jepang,” ia
membalas.
“Ya,” aku mengangguk. “Sekarang sudah jelas dan terang bagi saya bahwa tali hidup kami berada di
Jepang …… Maukah pemerintah tuan membantu saya untuk kemerdekaan Indonesia?”
“Kalau tuan menjanjikan kerjasama yang mulak selama masa pendudukan kami, kami akan berikan janji
yang tidak bersyarat untuk membina kemerdekaan tanah air tuan.”
“Dapatkah tuan menjamin bahwa, selama saya bekerja untuk kepentingan tuan, saya juga diberi
kebebasan bekerja untuk rakyat saya dengan pengertian, bahwa tujuan saya jang terakhir adalah di satu
waktu ……. dengan salah‐satu jalan …….. membebaskan rakyat dari kekuasaan Belanda —
maupun Jepang?”
“Kami menjamin. Pemerintah Jepang tidak akan menghalang‐halangi tuan.”
Aku memandang kepadanya. Kami saling berpandangan. Saling menakar isi‐hati satu sama lain.
“Jadi, tuan Sukarno,” ia melanjutkan menyatakan pengakuannya dengan hati‐hati. “Saya seorang
penguasa pemerintahan. Negeri tuan adalah suatu bangsa dengan latar kebudayaan, keturunan, agama
dan berbagai adat kebiasaan Jawa, Bali, Hindu, Islam, Buddha, Belanda, Melayu, Polynesia, Tiongkok,
Filipina, Arab dan lain‐lain. Negeri tuan terbentang luas. Perhubungan dari satu ke tempat lain sukar.
Tugas saya adalah untuk mengendalikan daerah ini dalam keadaan tertib dan lancar dengan segera. Cara
yang paling tepat ialah dengan memelihara ketenteraman rakyat dan menjalankan segala sesuatu dengan
harmonis. Untuk mencapai tujuan ini, kepada saya disampaikan bahwa saya harus bekerja dengan
Sukarno. Sebaliknya saya menjanjikan kerjasama yang resmi dan aktif di dalam bidang politik.”
Mau tidak mau aku harus mempercayai orang yang berperawakan kecil ini, oleh karena aku melihat kunci
persoalan ada di tangannya. “Baiklah,” kataku. “Kalau ini yang tuan janjikan, saya setuju. Saya akan
berikan bantuan saya sepenuhnya. Saya akan menjalankan propaganda untuk tuan. Tapi hanya kalau ia
berlangsung menurut garis menuju pembebasan Indonesia dan hanya dengan pengertian, bahwa sambil
bekerjasama dengan tuan sayapun berusaha untuk memperoleh kemerdekaan bagi rakyat saya.”
“Setuju,” katanja.
“Jjuga dengan pengertian bahwa janji, dalam mana saya tetap tidak dikekang dalam usaha saya yang
tidak henti‐hentinya untuk nasionalisme, tidak hanya diketahui oleh tuan sendiri melainkan juga oleh
seluruh Komando Atasan.”
“Pemerintah saya tentu akan diberitahu mengenai hal itu. Di atas dasar inilah kita bekerjasama, saling
bantu‐membantu satu sama lain.”
Sebagai kelanjutan dari pertemuan yang bersejarah ini yang berlangsung selama dua jam, mereka
menjajikan sukiyaki. Inilah pertama kali aku mencobanya. Dan rasanya enak sekali, kukira.
Keinginan mereka untuk bersikap ramah‐tamah tidak berakhir sampai disini saja. Aku tidak disuruh pergi,
melainkan ditanyai kapan bermaksud hendak pulang. “Setelah menunjukkan bahwa aku sudah siap, aku
diiringkan sampai di luar. Disana Sakaguchi memandangku dengan muka berseri, “Izinkan kami untuk
menyediakan kendaraan untuk tuan,” dan menunjuk ke arah sebuah mobil Buick hitam berkilat.
Kendaraan seperti ini tidak banyak terdapat di Bukittinggi, jadi ini sudah pasti diambil dari seorang
saudagar kaya dan dimanapun ia berada disaat ini, tentu ia tidak dapat melakukan perjalanan pakai
kendaraan.
“Buick ini adalah untuk tuan,” Sakaguchi membungkuk dengan hormat, “Diserahkan kepada tuan selama
tuan menghendakinya.”
Kusampaikan padamu, kawan, aku sungguh‐sungguh bangga. Inilah aku, baru saja lepas dari
pembuangan, sebuah Buick yang cantik menantikanku. Sudah tentu ia tidak ada bensin. Isinya hampir
tidak cukup untuk dilarikan ke Padang. Mereka telah memberikan kehormatan kepadaku, mereka
memberiku makan dan mereka telah memberiku kendaraan —akan tetapi tidak ada bensin.
Kawan‐kawan — dan mereka yang bukan kawanku, akan tetapi yang kuharapkan dapat memahami
Sukarno lebih baik setelah membaca buku ini — ini adalah pertamakali aku menceritakan kisahku tentang
bagaimana, bilamana dan dimana, dan mengapa aku mengambil keputusan untuk menyeret diriku
berdampingan dengan Jepang. Boneka ….. pengkhianat ….. aku tahu semua kata‐kata itu. Akan tetapi
jika tidak dengan syarat, bahwa mereka turut membantu dalam usaha mencapai kebebasan negeriku, aku
pasti takkan melakukannya. Sampai kepada detik ini hal ini tak pernah diterangkan sebagaimana
mestinya. Dunia luar tidak mengerti. Mereka hanya tahu Sukarno seorang collaborator. Bagiku untuk
menuntut lebih banyak lagi kebebasan‐kebebasan politik, aku terpaksa mengerjakan berbagai hal yang
merobek‐robek jantungku. Dengan hati yang berat aku melakukannya. Kalau aku tidak menepati janjiku,
mereka tidak akan menepati janji mereka pula.
Di suatu pagi Sakaguchi datang kepadaku. Dia menyenangkan, akan tetapi keras. “Kami menghadapi
persoalan beras yang rumit,” katanya dengan berkerut. “Nampaknya beras di Padang susah. Sebenarnya
hampir tidak ada. Saya memberi peringatan kepada tuan, kalau orang Jepang tidak dapat beras, orang
Indonesia tidak akan dapat apa‐apa. Bukanlah keinginan kami untuk mengambil dengan kekerasan dari
orang‐orang yang mengendalikannya, oleh karena tindakan ini akan menimbulkan kekacauan dan
bertentangan dengan cara kerjasama yang kita usahakan. Setidak‐tidaknya cara yang baik, yang sampai
sekarang telah kita coba untuk melakukannya. Tentu ada jalan lain, tuan Sukarno, karena saya yakin tuan
mengetahui. Saya menyarankan, supaya tuan mendesak rakyat kepala batu agar berpikir sedikit.”
Aku segera minta bantuan saudagar‐saudagar beras. Kuterangkan, bahwa aku memerlukan sekian ton
dan segera! Yah, selama masih Sukarno yang memintanya, aku memperolehnya. Sebanyak yang kuminta
dan secepat yang kuingini. Memenuhi permintaanku berarti memecahkan persoalan setiap orang. Jepang
terhindar dari kelaparan. Bangsa Indonesia terhindar dari siksaan.
Suatu krisis yang lain ialah mengenai kehidupan seks dari para prajurit Jepang. Rupanya mereka tidak
memperoleh apa‐apa selama beberapa waktu. Ini adalah semata‐mata persoalan mereka, akan tetapi
mereka berada di tanah airku. Perempuan yang mereka inginkan untuk dirusak adalah perempuanperempuan
bangsaku. Suku Minangkabau orang yang ta’at beragama. Perempuannya dididik dan
dibesarkan dengan hati‐hati sekali. Kuperingatkan kepada Fujiyama, “Kalau anak buah tuan mencobacoba
berbuat sesuatu dengan anak‐anak gadis kami, rakyat akan berontak. Tuan akan menghadapi
pemberontakan besar di Sumatra.”
Aku menginsyafi, bahwa aku tidak dapat membiarkan tentara Jepang bermain‐main dengan gadis
Minang. Dan akupun menginsyafi, bagaimana sikap Jepang kalau persoalan ini tidak dipecahkan, dan aku
akan dihadapkan pada persoalan yang lebih besar lagi.
Kuminta pendapat seorang kiai. “Menurut agama Islam,” kataku memulai, “Laki‐laki tidak boleh
bercintaan dengan gadis, kalau dia tidak bermaksud mengawininya. Ini adalah perbuatan dosa.”
“Itu benar,” katanya.
Aku tidak seratus persen pasti bagaimana harus mengucapkan maksudku, karena itu aku berpikir
sebentar, lalu berkata, “Mungkinkah aturan ini dikesampingkan dalam keadaan keadaan tertentu?”
“Tidak. Tidak mungkin. Untuk Bung Karno sendiripun tidak mungkin,” protes orang alim itu dengan kaget.
Kemudian kubentangkan rencana itu. “Semata‐mata sebagai tindakan darurat, demi nama baik anakanak
gadis kita dan demi nama baik negeri kita, saya bermaksud hendak menggunakan layanan dari para
pelacur di daerah ini. Dengan demikian orang‐orang asing itu dapat memuaskan hatinya dan tidak akan
menoleh untuk merusak anak gadis kita.”
“Dalam keadaan‐keadaan yang demikian,” kata orang alim itu dengan ramah, “sekalipun seseorang harus
membunuh, perbuatannya tidak dianggap sebagai dosa.”
Dengan berpegang kepada jaminan ini, bahwa rencanaku tidak akan ditafsirkan sebagai dosa yang besar,
maka aku mendatangi para pelacur. “Saya tidak akan menyarankan saudara‐saudara untuk melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaanmu,” aku menegaskan, “akan tetapi rencana ini sejalan
dengan pekerjaan saudara‐saudara sendiri.” “Saya dengar, Jepang kaya‐kaya dan royal dengan uang,”
salah seorang tertawa gembira, nampaknya senang dengan usulku ini. “Benar,” aku menyetujui. ,,Mereka
juga punya jam tangan dan perhiasan lainnya.”
“Saya menganggap rencana ini saling menguntungkan dalam segala segi,” ulas perempuan yang jadi juru
bicara. “Tidak hanya kami akan menjadi patriot besar, tapi ini juga suatu perjanjian yang
menguntungkan.”
Kukumpulkanlah 120 orang di satu daerah yang terpencil dan menempatkan mereka dalam kamp yang
dipagar tinggi sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi
tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam setiap kunjungan kartunya dilubangi. Barangkali cerita ini tidak
begitu baik untuk dikisahkan. Maksudku, mungkin nampaknya tidak baik bagi seorang pemimpin dari
suatu bangsa untuk menyerahkan perempuan. Memang, aku mengetahui satu perkataan untuk memberi
nama jenis manusia seperti itu. Akan tetapi persoalannya sungguh‐sungguh gawat ketika itu, yang dapat
membangkitkan bencana yang hebat. Karena itu aku mengobatinya dengan cara yang kutahu paling baik.
Hasilnyapun sangat baik, kutambahkan keterangan ini dengan senang hati. Setiap orang senang sekali
dengan rencana itu.
Oleh karena Jepang memerlukan tenagaku untuk memecahkan setiap persoalan pemerintahan, mereka
senantiasa berusaha supaya aku tidak kekurangan apa‐apa. Fujiyama menawarkan apa saja. Semua
tawaran kutolak. Aku menerima hanya yang perlu‐perlu saja.
Tugasku dalam menghubungi rakyat menghendaki untuk berkeliling mendatangi masyarakat yang jauhjauh.
Dalam mengadakan perjalanan keliling ini sudah tentu aku memercikkan harapan‐harapan kepada
kepala‐kepala setempat. Dan kepada rakyat. Dan menghidupkan kesadaran nasional mereka untuk hari
depan. Perjalanan ini memerlukan bensin.
Fujiyama dalam waktu‐waktu tertentu membekaliku dengan satu drum isi 200 liter. Diapun memberikan
kartu panjang yang dicoret‐coret dalam bahasa Jepang dengan memberikan keterangan, kalau pergi ke
tempat ini‐ini dan dijalan ini‐ini, aku akan diberi persediaan bensin. Sungguhpun demikian aku menjaga,
agar meminta tidak lebih daripada yang diperlukan. Seringkali orang‐orangku masuk duapuluh kilometer
ke daerah pedalaman untuk mencari gudang bensin yang disembunyikan oleh Belanda. Aku mencoba
setiap sesuatu dan segala sesuatu supaya tidak bergantung lebih banyak kepada Jepang. Tidak lupa
Fujiyama setiap kali bertanya, “Apakah tuan Sukarno memerlukan uang?”
Dan kujawab dengan, “Tidak, terimakasih. Rakyat memberikan segala‐galanya kepada saya. Ketika saya
sakit baru‐baru ini, tersebarlah berita kepada rakyat. Di jalan‐jalan terdengarlah rakyat meneruskan berita
dari yang satu kepada yang lain, ‘Hee, tablet calcium Bung Karno sudah habis. Dia memerlukan lagi. Coba
carikan.’ Dan dalam waktu satu jam diantarkanlah satu botol lagi kerumahku.
“Darimana diperolehnya?” dia bertanja tak acuh.
“Saya tidak tahu,” jawabku tak acuh pula. Yang tidak kusampaikan kepadanya ialah, bahwa di Padang
banyak orang Tionghoa punya toko yang bisa mencarikan apa saja kalau mereka mau. Dan kalau untuk
Sukarno mereka mau.
“Baiklah, apakah tuan Sukarno perlu rumah tempat tinggal yang lain?”
Dan aku menjawab, “Tidak, terimakasih. Saya tinggal di rumah Waworuntu tidak membayar. Rumah itu
cukup buat kami. Saya tidak memerlukan perlakuan yang istimewa.”
“Bolehkah saya membantu tuan dengan ajudan sebagai pembantu tuan?”.
“Tidak usah, terimakasih. Bangsa lain tidak dapat memahami cara bantuan kami yang diberikan dengan
sukarela, namun itulah cara kami. Saya mempunyai lebih dari cukup tenaga pembantu.” Seorang
wartawan setempat menjadi supirku. Namanya Suska. Suska, ketika buku ini ditulis, adalah Dutabesar
Indonesia di India. Seorang lagi yang pernah menjadi ketua Partindo dari daerah berdekatan bersedia
secara sukarela untuk memberikan tenaga tanpa bayaran. Gunadi, orang dari Bengkulu, bekerja sebagai
sekretaris penuh tanpa gaji.
Karena ia tidak dapat membujukku kecuali dengan bensin, maka Kolonel Fujiyama kemudian,
menanyakan kepada yang lain‐lain apa yang kuperlukan. Mereka selalu kuberitahu supaya menjawab,
“Terimakasih, Bung Karno tidak memerlukan apa‐apa. Rakyat memberikan apa saja yang diperlukannya.”
Aku tidak banyak minta, jadi kalau menuntut sesuatu biasanya aku memperolehnya. Dan tidak lama
kemudian aku mau tidak mau memulai dengan tuntutan. Tanggal 1 Maret Jepang menyerbu pulau Jawa
dengan cara yang sama seperti Sumatra: Belanda lari puntang‐panting. Jepang sekarang berkuasa atas
seluruh kepulauan Indonesia. Segera terasa kesombongan mereka.
Sebagai balasannya mulailah timbul kegiatan gerakan bawah tanah dari para nasionalis yang sangat anti
Jepang. Beberapa orang yang terlibat dalam sabotase dan permusuhan secara terang‐terangan ditangkap
oleh Polisi Rahasia yang sangat ditakuti. Salah satu dari yang malang ini kukenal baik. Namanya Anwar.
Orang ini disiksa. Kenpeitai ingin menjadikannya sebagai contoh perbuatan jahat, oleh karena dialah
orang subversif yang pertama‐tama ditangkap, Jepang mencabut kuku jarinya.
Aku cepat‐cepat pergi ke Bukittinggi dan menyimpan tasku di rumah Munadji seorang kawan, dan pergi
menemui para pembesar. Sementara itu pencuri memasuki rumah Munadji dan melarikan barangku yang
sedikit itu, karena aku tidak pernah punya barang banyak. Melayanglah tasku itu, di dalamnya kalung
emas kepunyaan Inggit dengan liontin pakai berlian.
Di Bukittinggi, kalau Sukarno mengagumi sesuatu maka pemilik toko memaksanya untuk menerima
barang itu tanpa bayaran. Di Bukittinggi, mereka hanya mau memberikan dan tidak mau menerima
sesuatu dariku. Jadi polisi menduga, pencuri itu tentu orang pendatang. Menjalarlah dari mulut ke mulut
bahwa Bung Karno menjadi korban pencurian dan dua hari kemudian harta itu kembali secara ajaib.
Untuk menghindari hukuman, si pencuri seorang Tionghoa bernama Lian, mengatur dengan seorang alim
untuk menyembunyikan barang itu di sudut sebidang sawah, setelah mana orang alim itu harus pergi
kesana untuk mendo’a dan …… lihat! dia menemukan milik Bung Karno. Begitulah kejadiannya .
Dua hari telah berjalan aku kembali memperjuangkan persoalan Anwar kepada Jepang. Kataku, “Saya
kenal baik kepadanya. Selama tuan menepati janji untuk kerjasama dengan aspirasi nasional Indonesia,
dia dan orang‐orang nasionalis yang lain tidak akan berkomplot menentang tuan. Dia hanya salah terima
mengenai penurunan bendera Merah Putih dan peristiwa‐peristiwa lain yang terjadi sebagai pertanda dari
pemutusan janji tuan. Dia tidak bermaksud apa‐apa terhadap tuan pribadi. Kalau tuan mengeluarkannya,
saja yakin saya dapat menggunakan tenaganya dengan baik. Saya sendiri memberikan jaminan akan jiwa
patriotismenya.”
Dua jam setelah kunjungan yang kedua ini mereka melepaskannya.