Minggu, 29 Juli 2012

SEBUAH ALASAN: ORBA KE ORBA

OPINI.
1. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan. Masa pemerintahan Orde Baru banyak terjadi penyimpangan, misalnya asas kekeluargaan menjadi nepotisme, kolusi dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat Pembukaan UUD 1945 serta batang tubuh UUD 1945.

2. Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas atau landasan ideologis tertentu (dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia). Tanpa landasan ideologis yang jelas, maka gerakan reformasi akan mengarah pada anarkisme, disintegrasi bangsa, dan akhirnya jatuh pada suatu kehancuran bangsa dan negara Indonesia, sebagaimana yang terjadi di Uni Sovyet dan Yugoslavia.

3. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu kerangka structural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformasi. Reformasi pada prinsipnya merupakan gerakan untuk mengadakan suatu perubahan untuk mengembalikan pada suatu tatanan struktural yang ada karena adanya suatu penyimpangan. Maka reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem negara demokrasi bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2). Reformasi harus mengembalikan dan melakukan perubahan ke arah sistem negara hukum dalam arti yang sebenarnya sebagaimana terkandung dalam penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas dari penguasa, serta legalitas dalam arti hukum. Oleh karena itu, reformasi sendiri harus berdasarkan pada kerangka hukum yang jelas. Selain itu, reformasi harus diarahkan pada suatu perubahan ke arah transparansi dalam setiap kebijaksanaan dalam setiap kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara karena hal tersebut merupakan manifestasi bahwa rakyatlah sebagai asal mula kekuasaan negara dan untuk rakyatlah segala aspek kegiatan negara.

4. Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan ke arah kondisi serta keadaan yang lebih baik, Perubahan yang dilakukan dalam reformasi harus mengarah pada suatu kondisi kehidupan rakyat yang lebih baik dalam segala aspeknya, antara lain di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan beragama. Dengan kata lain, reformasi harus dilakukan ke arah peningkatan harkat dan martabat .rakyat Indonesia sebagai manusia.

5. Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etika sebagai manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.

HAM : ORBA vs Reformasi

OPINI 



Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa . Hak asasi manusia meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak-hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Demikianlah rumusan hak asasi manusia sebagaimana tertuang pada pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia vide Tap MPR No.XVII/MPR/1998 .
Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia yang isinya dikutip di atas dibuat di di tahun yang sama ketika pelanggaran HAM berat yang terjadi di tanah air. Kerusuhan 13-15 Mei 1998 meletus di beberapa kota. Ribuan jiwa meninggal,  puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Pada tanggal 13-14 November 1998 terjadi pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini dikenal sebagai tragedi Semanggi I . Prahara pada tahun 2008 tersebut menjadi peristiwa bersejarah yang membawa Indonesia pada babak baru perjalanan bangsa. Peristiwa ini tak dapat dipisahkan dari rangkaian krisis moneter yang telah berlangsung sejak juli 1997 yang dimulai dari Thailand dan menyebar kebeberapa negara lain termasuk di Indonesia dan Korea Selatan. Penjarahan  dan pembakaran berbagai fasilitas umum terjadi dimana-mana. Pembunuhan yang disertai tindakan yang biadab seperti pemerkosaan terhadap etnis tertentu terjadi diberbagai daerah. Keadaan di ibukota negara Jakarta mencekam begitu juga yang terjadi di daerah-daerah seluruh Indonesia. Salah satu tuntutan yang kemudian muncul pada saat itu adalah turunkan Soeharto dan adili para kroni-kroninya yang dianggap telah bersalah kepada rakyat.
Kerusuhan yang berlangsung beberapa hari tersebut telah banyak memakan korban jiwa dan materi.
Bila dibandingkan dengan kerusuhan-kerusuhan sebelumnya kerusuhan Mei 1998 merupakan kerusuhan terburuk yang pernah terjadi di Indonesia. Dalam kerusuhan tersebut, menurut TPGF, korban meninggal sebanyak 1.217 orang, luka-luka 91 orang, dan hilang 31 orang . untuk menghindari adanya korban jiwa dan materi yang semakin banyak, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 Presiden Soeharto membacakan pidato tentang pengunduran dirinya dan secara konstitusional memberikan jabatan presiden kepada  Wakil Presiden BJ Habibie untuk melanjutkan tampuk kekuasaan di Indonesia.
Dari pemerintahan Presiden Habibie inilah kemudian reformasi digulirkan dengan agenda-agenda perbaikan  di berbagai bidang kehidupan beebangsa baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan maupun pertahanan dan keamanan.
Masa pemerintahan Presiden BJ Habibie menjadi titik tonggak dimulainya reformasi. Reformasi tersebut menggenggam agenda besar untuk mengembalikan hak-hak rakyat yang telah lama dirampas pada masa Orde Baru. Salah satu agenda utama reformasi adalah penegakkan HAM, yang meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak-hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan. Dalam agenda itulah reformasi digulirkan hingga saat ini .
Rumusan Masalah
Melihat masih banyaknya kekerasan dan pelanggaran HAM pasca reformasi, secara subjektif kita boleh berpendapat bahwa agenda reformasi tersebut masih jauh dari cita-cita. Bahkan, dalam beberapa aspek, tidak tampak adanya perubahan yang berarti dalam kaitannya dengan penegakkan HAM. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijabarkan pelaksanaan penegakan HAM yang terjadi sejak masa reformasi dibandingkan dengan pelaksanaan penegakan HAM pada masa Orde Baru. Pertanyaannya adalah apakah terjadi perubahan yang berarti ke arah yang positif terhadap penegakan HAM di Indonesia.
Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak-hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia karena martabatnya sebagai manusia dan bukan diberikan oleh masyarakat atau negara.  Semua manusia sebagai manusia memiliki martabat dan derajat yang sama dan dengan demikian memiliki hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang sama. Menurut Szabo tujuan hak asasi manusia adalah memepertahankan hak-hak manusia dengan sarana kelembagaan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat Negara dan pada waktu yang bersamaan mendorong perkembangan pribadi manusia yang multidimensional. ( Szabo, dlm. Vasak, Unesco Courier, 1997, vol.1, hal 11.)
Dalam kaitannya dengan pengertian atau notion HAM dapat dibedakan antara an mordefinisi yuridis, politis, ddalam deklarasi politik adalah Deklarasi umum hak-hak asasi yang diterima pada bulan Desember 1948. Tidak ada perbedaan hakiki antara UUD 1945, Ketetapan no.II/MPR/1978 disatu pihak dan Deklarasi Universal HAM, yang ditetapkan oleh PBB. Namun, secara de facto para pendiri bangsa ( Founding Father) yang merumuskan UUD 1945 tidak mau memasukkan apa yang termuat dalam Deklarasi Universal karena apa yang termuat didalamnya dirasa tidak sesuai dengan watak ideologi bangsa Indonesia.
HAM sebagaimana yang dipahami didalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul pada abad ke-20 seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah cirri menonjol. Pertama, supaya kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas sebagai hak. Kedua, hak-hak ini dianggap universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah   bahwa hak itu merupakan hak internasional. Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya didalam system adat atau system hukum dinegara-negara tertentu. Keempat, hak asasi manusia dipandang norma-norma yang penting, dimana dalam deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie right. Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah.
Secara eksplisit hak-hak asasi dalam UUD 1945 itu sebagai hak-hak warga Negara dalam pasal-pasal 27, 28, 29, 30, 31, 33, dan tentu  saja dalam Pembukaan UUD 1945. Di masa orde baru, semangat dan jiwa yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara  murni dan konsekuen mendorong pengurus MPRS  untuk mengadakan langkah-langkah guna membenahi dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh G 30 S/PKI.
Hak-hak warga Negara di Indonesia diakui dan dijunjung tinggi tetapi dalam kerangka solidaritas Indonesia, dalam konteks gotong royong. Masalah-masalah yang tumbuh berkisar HAM di Indonesia cukup kompleks, baik secara teoritis maupun yuridis terdapat tiga macam pandangan:
  1. Kelompok yang pertama berpendirian : Indonesia dengan ideology Pancasila menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, dan peradaban. Kecuali itu UUD 1945 secara eksplisit menjamin sejumlah hak fundamental untk para warga Negara.

  2. Kelompok yang kedua : Menentang HAM, sebab menurut mereka HAM menyusahkan penyelenggara pemerintahan yang beriktikad baik.

  3. Kelompok yang ketiga: Mempertahankan HAM, mereka menunjukkan adanya fakta yang membuktikan adanya pelanggaran terhadap HAM. Mereka berusaha menyadarkan rakyat akan hak-hak fundamental mereka.
Menurut Prof. Padmo Wiyono suatu hak kemanusiaan sebenarnyja baru menjadi permasalahan apabila seseorang berada dalam lingkungan manusia lainnya. Rumusan hak-hak manusia dikaitkan dengan hasrat bangsa Indonesia untuk membangun Negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan kemanusiaan. HAM oleh suatu Negara diakui secara hukum dapat dirumuskan dan dibagi menjadi dua kategori:
1.    Hak-hak yang hanya dimiliki oleh para warga Negara dari Negara yang bersangkutan ( hak-hak warga Negara).
2.    Hak- hak yang pada dasarnya dimiliki semua yang berdomisili di Negara yang bersangkutan.

Masa Orde Baru

Sejak PKI berhasil ditumpas, Presiden Soekarno belum bertindak tegas terhadap G 30 S/PKI. Hal ini menimbulkan ketidaksabaran di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Pada tanggal 26 Oktober 1965 berbagai kesatuan aksi seperti KAMI, KAPI, KAGI, KASI, dan lainnya mengadakan demonsrasi. Mereka membulatkan barisan dalam Front Pancasila. Dalam kondisi ekonomi yang parah, para demonstran menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Oleh karena itu presiden memberi mandat kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Mandat itu dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru .
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat “koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno. Orde Baru tersebut berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar. Dalam beberapa aspek, HAM terjamin. Tetapi dalam beberapa aspek lainnya, HAM tidak dilindungi.
Penegakan HAM pada Orde Baru
Orde Baru membawa banyak perubahan positif pada penegakan HAM. Perubahan-perubahan tersebut antara lain menyangkut aspek politik, ekonomi, dan pendidikan.

a.    Politik

Salah satu kebijakan politik yang mendukung persamaan HAM terhadap masyarakat Indonesia di dunia internasional adalah didaftarkannya Indonesia menjadi anggota PBB lagi pada tanggal 19 September 1966. Dengan mendaftarkan diri sebagai anggota PBB, hak asasi manusia Indonesia diakui persamaannya dengan warga negara di dunia. Ini menjadi langkah yang baik untuk membawa masyarakat Indonesia pada keadilan dan kemakmuran.
b.    Ekonomi
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Dalam hal ekonomi, masyarakat mendapatkan hak-hak mereka untuk mendapatkan hidup yang layak. Program transmigrasi, repelita, dan swasembada pangan mendorong masyarakat untuk memperoleh kemakmuran dan hak hidup secara layak.
c.    Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, masa Orde Baru menampilkan kinerja yang positif. Pemerintah Orde Baru bisa dianggap sukses memerangi buta huruf dengan beberapa program unggulan, yaitu gerakan wajib belajar dan gerakan nasional orang tua asuh (GNOTA). Dengan demikian, masyarakat Indonesia mendapatkan hak asasinya untuk mendapatkan pendidikan.
Pelanggaran HAM pada Orde Baru
Harus diakui pada masa Orde Baru dari segi pembangunan fisik memang ada dan keamanan terkendali, tetapi pada masa Orde Baru demokrasi tidak ada, kalangan intelektual dibelenggu, pers di daerah di bungkam, KKN dan pelanggaran HAM terjadi di mana-mana . Secara garis besar ada lima keburukan Orde Baru, yaitu: kekuasaan pemerintah yang absolut, rendahnya transparansi pengelolaan negara, lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat, hukum yang diskriminatif, dan dan lemahnya perlindungan HAM.
a.     kekuasaan pemerintah yang absolut
Suharto, presiden Republik Indonesia ke-2, menduduki tahta kepresidenan Indonesia selama 32 tahun. Itu berarti, Suharto telah memenangkan sekitar enam  kali pemilihan umum (Pemilu). Pada waktu itu, kekuasaan Suharto didukung oleh partai Golongan Karya yang dibayang-bayangi oleh Partai Demokasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Tampak jelas dalam pemerintahan Suharto di mana pemerintahan dijalankan secara absolut. Presiden Suharto mengkondisikan kehidupan politik yang sentralistik untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu hak sebagai warga negara untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan menjadi hak yang sulit didapatkan tanpa melakukan kolusi dan nepotisme.
b.    rendahnya transparansi pengelolaan
Rendahnya transparansi pengelolaan negara juga menjadi salah satu keburukan pemerintahan Orde Baru. Transparansi merupakan bentuk kredibilitas dan akuntabilitasnya. Suatu undang-undang tidak mengikat jika tidak diundangkan melalui lembaran negara. Suatu sidang pengadilan dianggap tidak sah apabila tidak dibuka untuk umum. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga peneliti yang menyangkut kepentingan masyarakat harus dipublikasikan. Pada masa Orde Baru, hak penyiaran dikekang. Berita-berita televisi dan surat kabar tidak boleh membicarakan keburukan-keburukan pemerintahan, kritik terhadap pemerintah, dan berita-berita yang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan nasional.
Keuangan negara juga menjadi rahasia internal pemerintahan. Hutang negara menjadi terbuka jelas pun saat krisis dunia melanda. Indonesia tidak mampu membayar hutang luar negeri yang bertumpuk-tumpuk. Lebih dari itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang menurun tajam memaksa perusahaan-perusahaan memecat sebagian karyawannya untuk mengurangi biaya produksi. Bahkan, banyak perusahaan tumbang dan gulung tikar karena negara tidak mampu membayar hutang luar negeri. Bila dirunut lebih dalam, semua itu berakar dari rendahnya transparasi pemerintah terhadap masyarakat.
c.    Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat
Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat menjadi salah satu keburukan Orde Baru. Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi semacam boneka yang dikendalikan oleh pemimpin negara. Dalam hal ini, aspirasi-aspirasi dan keinginan rakyat tidak mampu diwujudkan oleh pemerintah. Program-program pemerintah seperti LKMD, Inpres desa tertinggal, dan seterusnya, menjadi semacam program penjinakan yang dilakukan oleh penguasa agar rakyat miskin tidak berteriak menuntut hak-hak mereka.
d.    Hukum yang diskriminatif
Hukum yang diskriminatif menjadi keburukan Orde Baru selanjutnya. Hukum hanya berlaku bagi masyarakat biasa atau masyarakat menengah ke bawah. Pejabat dan kelas atas menjadi golongan yang kebal hukum. Hak masyarakat untuk mendapatkan perlakukan yang sama di depan hukum menjadi hal yang sangat langka. Hak asasi sosial dilanggar oleh pemerintah.
Beberapa kekurangan sistem orde baru dapat dirangkum dengan enam poin, yaitu:
  • semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme,

  • pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat,

  • munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua,

  • kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya,

  • bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin),

  • kritik dibungkam dan oposisi diharamkan,

  • kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel,

  • penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program “Penembakan Misterius” (petrus), dan

  • tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya).
Perlindungan HAM dalam Orde Baru memang dirasa masih lemah. Berita mengenai penembakan misterius terhadap musuh-musuh negara —-termasuk  teroris, menjadi catatan hitam Orde Baru. Diskriminasi terhadap hak-hak asasi kaum minoritas dan Chinese pun menjadi pelanggaran HAM yang tidak bisa dilupakan. Meski demikian, Orde Baru memperlihatkan peran yang besar untuk menjaga stabilitas nasional. Stabilitas nasional ini memungkinkan negara untuk menjaga terlaksananya pelaksanaan perlindungan HAM bagi masyarakat.
Periode Reformasi
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997 . Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total.
Periode Reformasi diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Penegakan HAM pada Masa Reformasi
Orde reformasi membawa banyak perubahan ke arah yang lebih baik. Beberapa perubahan positif yang dibawa oleh reformasi pada periode jabatan presiden B.J. Habibie adalah:
a.     Kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
•    UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
•    UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
•    UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
Kebijakan dalam bidang politik ini membawa pengaruh pada tata politik yang adil. Hak warga negara untuk mendapatkan kedudukan di bidang politik dan pemerintahan menjadi terbuka. DPR dan MPR mulai berfungsi dengan baik sebagai aspirasi rakyat untuk memperoleh hak-hak mereka.
b.     Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perbankan menjadi sektor yang penting untuk menjaga stabilitas ekonomi. Masalah utang negara dan inflasi menyebabkan masyarakat tidak berdaya untuk memperoleh kehidupan yang layak. Bank Indonesia menjadi pusat keuangan negara untuk mengatur aliran uang demi stabilitas ekonomi rakyat.
c.     Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP). Dengan pers, masyarakat dapat menyerukan aspirasi mereka. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi secara jelas dan terbuka pun mulai dibuka.
d.     Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
Beberapa Pelanggaran HAM pada Masa Reformasi
Sekalipun terdapat berbagai pembenahan, di masa reformasi masih terjadi banyak pelanggaran HAM. Dalam beberapa hal, HAM sudah cukup ditegakkan. Tetapi dalam beberapa hal lain,  pelanggaran HAM justru semakin marak setelah masa reformasi berlangsung. Berikut ini adalah beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa reformasi.
a.    Kebijakan Yang Anti Rakyat Miskin
Dalam pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi sosial dan budaya, kinerja pemerintah sangat lemah. Pemahaman aparat pemerintah terhadap hak asasi, baik di lembaga eksekutif  – termasuk aparat penegak hukum maupun di lembaga legislatif menjadi hambatan utama bagi pelaksanaan instrumen-instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi. Pemahaman yang lemah terhadap hak asasi manusia, dan lemahnya komitmen untuk menjalankan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak telah berdampak pada meluasnya pelanggaran HAM, khususnya terhadap warga yang lemah secara ekonomi, sosial dan politik. Ini diperparah dengan kebijakan/strategi ekonomi pasar yang pro-modal kuat yang telah membawa dua dampak di bidang aturan hukum/perundangan. Pertama, aturan hukum telah diskriminatif terhadap kaum miskin dan secara sistematis menghilangkan hak-hak dasar kaum miskin; Kedua, diabaikannya/ tidak dijalankannya hukum dan peraturan yang secara substansial berpihak pada kelompok miskin
b.    Meningkatnya Pengangguran dan Masalah Perburuhan
Di antara regulasi yang disusun sepanjang tahun 2000 hingga 2006, paling tidak ada tiga perundang-undangan yang selama tahun 2007 selalu mewarnai seluruh dinamika perburuhan. Perundang-undangan itu adalah UUNo 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh, UU No 13 tahun 2003, dan UU No. 2 tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI. Ketiga Undang-undang itu kemudian menjadi roh sistem perburuhan di Indonesia. Melalui UU No 13 tahun 2003, pemerintah mengundang para investor untuk membuka lapangan kerja dengan mengurangi “perlindungan” terhadap buruh. Tingkat upah yang tinggi di Indonesia sering dipandang membebani kaum pengusaha sehingga mereka menuntut agar biaya tersebut ditekan.Alih-alih mengurangi jumlah pengangguran, justru PHK massa dilegalkan. Akibat PHK tersebut, ribuan buruh ikut menambah jumlah pengangguran. Berdasarkan survey yang dilakukan BPS, pada bulan Oktober 2005 tingkat pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 11,6 juta oarang atau 10,84% dari angkatan kerja yang ada yaitu 106,9 juta orang. Angka ini jauh lebih tinggi 700.000 dibandingkan awal tahun 2005. Kemudian pada Februari 2006 angka pengangguran mencapai 11,10 juta orang (10,40%). Sementara itu, pada bulan Februari 2007, jumlah pengangguran terbukti tetap masih tinggi yaitu sekitar 10,55 juta dengan tingkat pengangguran terbukamencapai 9,75%. Hingga pertengahan tahun 2007, masih ada 60.000 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belum terselesaikan. Nilai pesangon dari seluruh kasus tersebut mencapai sekitar 500 milyar rupiah. Salah satu di antaranya adalah kasus PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI). Selama kasus belum terselesaikan, agar tetap hidup, puluhan ribu buruh tersebut kemudian bekerja lagi dengan sistem kerja baru yang mencekik. Pada tahun 2007 buruh kembali diresahkan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menurutnya akan mengatasi berbagai klausul kontroversial dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut. Paket rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK). Singkatnya, paket-paket RPP tersebut mengandung arti melestarikan sistem kontrak dan outsorcing dan mempertegas pelegalan PHK. Dengan demikian perjuangan kaum buruh menuntut hak-hak normatifnya akan semakin jauh dari realitas.
c.    Terabaikannya hak-hak dasar rakyat
Rubrik Fokus dalam Harian Kompas membuat deskripsi secara detail mengenai fenomena kemiskinan paling kontemporer di negeri ini . Ulasan Fokus ini antara lain menyebutkan bahwa pemerintah sudah semestinya merasa malu! Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah yang sangat luas dan kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang kondusif, tanah yang subur, dan selama puluhan tahun rajin berutang miliaran dollar AS ke berbagai negara dan lembaga internasional, kok bisa sampai rakyatnya mengalami busung lapar atau mati kelaparan. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi, angka kematian ibu, anak putus sekolah, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat pendapatan,dan berbagai indikator kesejahteraan lainnya, lebih buruk. Bahkan dibandingkan Vietnam pun Indonesia kalah. Merebaknya kasus busung lapar dan sejumlah penyakit lain yang diakibatkan oleh kemiskinan, juga menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan kesehatan sebagai hak paling dasar minimum rakyat. Meskipun tidak semua kasus malnutrisi adalah akibat faktor ekonomi, kasus busung lapar yang mengancam sekitar 1,67 juta atau delapan persen dari total anak balita di Indonesia diakui terkait erat dengan rendahnya daya beli dan akses masyarakat miskin ke pangan. Masih tingginya tingkat kelaparan di masyarakat menunjukkan ada yang tidak beres dengan kebijakan pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan pembangunan memang telah berubah. Pemenuhan hak dasar rakyat merupakan salah satu komitmen yang tertuang dalam Strategi Pembangunan Nasional 2004-2005. Namun pada kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga sekarang sepertinya belum berubah dimana pembangunan masih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan.
Kesimpulan
Melihat seluruh kenyataan yang ada penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa HAM di Indonesia sangat memprihatinkan dan masih sangat minim penegakannya. Sekalipun terjadi perubahan ketika bangsa Indonesia memasuki masa reformasi, tetapi toh tidak banyak perubahan yang terjadi secara signifikan. Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti : Telah terjadi krisis moral di Indonesia, Aparat hukum yang berlaku sewenang-wenang, Kurang adanya penegakan hukum yang benar, dan masih banyak sebab-sebab yang lain.
Maka untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu :
1.    Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi,
2.    Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang,
3.    Sanksi yang tegas bagi para pelanggara HAM, dan
4.    Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat.
Penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi juga tanggungjawab semua umat manusia. Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati manusia. Melanggar dan menciderai HAM berarti juga menciderai kasih dan kebaikan Allah bagi umat manusia.
Daftar Pustaka

Sumber: http://filsafat.kompasiana.com
  • Adnan Buyung Nasution, 2006, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

  • Bindar Gultom, 2010, Pelanggaran HAM dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

  • Fadli Zon, 2009, Setelah politik bukan panglima sastra: polemik hadiah Magsaysay bagi Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: Institute for Policy Studies.

  • Lalu Misbah Hidayat, 2007, Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden : Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

  • Majelis Permusyawaratan Rakyat, Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia, Tap MPR No.XVII/MPR/1998.

  • Muljono, Pudji (ed.), 2003, Hak Asasi Manusia (Suatu Tunjauan Teoritis dan aplikasi), Jakarta: Restu Agung.

  • Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (Indonesia), 2003, Krisis masa kini dan Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

  • Saraswati, L. G. dan Rocky Gerung, Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus, 2006, Jakarta: Filsafat-UI Press.

  • Sofian Munawar Asgart, 2011, Kemiskinan, Pemiskinan, dan Demokratisasi, KOMPAS.com, 6 Juni 2011, diakses pada 9 Desember 2011 pukul 17.42.

  • Todung Mulya Lubis, 2005, Jalan panjang hak asasi manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

  • Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 1999, Fakta tragedi Semanggi: analisis hukum, sosial-politik, moral, Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

ORBA vs REFORMASI (dalam sebuah ingatan)

Tulisan ini saya tulis karena Saya sering mendengar dari orang-orang tua disekitar Saya yang mengatakan akan keindahan cerita dimasa lalu dimana dimasa lalu keadaan masyarakat begitu tenang dan toleran dengan keadaan.

Saya sering mendengarkan cerita kalau pada jaman orde baru keamanan di masyarakat sangat baik berbeda dengan pemerintahan sekarang dimana dimana-mana sering terjadi konflik horisontal dan konflik vertikal. Hal tersebut sering diungkapkan oleh para orang yang usianya telah lewat   jaman orde lama, orde baru dan sekarang orde reformasi.

Pada jaman orde lama dan orde baru kondisi keamanan masyarakat mampu dikendalikan. Setiap ada kegiatan yang mencurigakan maka akan ada intel ditingkat desa (babinsa) yang segera melaporkan ke pihak keamanan diatasnya yakni petugas yang ada di kecamatan. Dengan sistem keamanan tang tersusun rapi terutama dalam hal pelaporan maka informasi sekecil apapun akan mendapatkan reaksi dari pihak yang berwenang. Pada jaman orde baru banyak terjadi penangkapan kepada orang-orang tertentu berdasarkan laporan, walaupun laporan tidak jelas pun akan diapresiasi untuk melegalkan sebuah tindakan fisik baik kekerasan maupun penangkapan. Banyak orang pada  jaman orde baru yang ditangkap kemudian dihajar atau bahkan banyak ditemukan mayat di pasar, tepi jalan atau tempat keramaian lainnya. Pembunuhan merupakan hal yang biasa untuk melegalkan sebuah aksi pengamanan. Tujuan dari pembuangan mayat-mayat dari orang-orang yang diduga pengacau keamanan yaitu tidak lain hanya ingin memberikan tanda kepada masyarakat luas bahwa inilah akibat dari seseorang yang tidak patuh terhadap suatu hukum negara. Orang dahulu begitu takut untuk melihat mayat atau menjadi mayat, mereka masih berpikir akibat jika nanti dirinya  terjadi apa-apa.

Operasi intelijen pada jaman dahulu terkenal dengan istilah petrus (penembak misterius). Biasanya korban dari petrus adalah preman-preman, yang penguasa pada jaman tersebut menyebutnya dengan istilah sampah masyarakat. Penculikan merupakan hal yang menjadi lumrah dilakukan dan kemudian pagi harinya korban penculikan tersebut ditemukan dalam keadaan menjadi mayat yang tergeletak ditempat-tempat umum yang mudah dijangkau oleh masyarakat.

Diakui bahwa keamanan pada saat itu terjaga dalam kondisi baik. Jarang sekali ada pergerakan-pergerakan dalam masyarakat yang mengancam keamanan. Masyarakat biasa melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa ada rasa takut akibat adanya ancaman keamanan. Masyarakat menjadi tenang seolah seperti sebuah negeri dongeng yang tenang dan tenteram. Tetapi menurut para penganut aliran HAM (Hak Asasi Manusia) keadaan semacam itu banyak menimbulkan keadaan yang justru mengarah kepada indikasi pelanggaran HAM. Misalnya penangkapan yang dilakukan oleh pihak penguasa kepada masyarakat tanpa bukti-bukti yang kuat dan tanpa proses hukum terlebih dahulu namun tiba-tiba orang yang ditangkap dan mati.

Sedangkan pada era sekarang yang terkenal dengan era reformasi memiliki nilai yang berbeda. Kebebasan menjadi slogan andalan bagi pengelola bangsa ini. Masyarakat diberikan kebebasan oleh penguasa untuk bertindak sesuai dengan kemampuan dan keinginannya. Ide dan perbuatan dipergunakan oleh masyarakat untuk ikut berpartisipasi mengisi buku harian negara ini dengan tinta yang akan menjadikan huruf demi huruf, kata demi kata dan kalimat demi kalimat apakah itu sesuai dengan judul halaman muka buku atau malah justru tulisan tersebut keluar konteks dari judul buku tersebut. Ada masyarakat yang mampu untuk mengapresiasikan dirinya sendiri, mengolah bakat dan kemampuannya untuk dirinya dan untuk orang lain. Ada juga masyarakat yang tidak pandai mengelola kebebasan yang telah diberikan oleh penguasa. Akibatnya masyarakat era reformasi merupakan masyarakat yang terdiri dari tiga kubu yakni kanan, kiri dan netral.

Pengklasifikasian tersebut sudah lumrah terutama dalam sebuah negara yang tidak bisa satu paham. Lihat Negara Korea Utara dimana kita sulit untuk bisa melihat pertentangan yang terjadi di kalangan internal pengelola negara tersebut. Apa yang diputuskan oleh pemimpin negara Korut tersebut jarang ada yang menentang, semua berjalan pada satu jalan yang telah dibuat oleh pemerintahan setempat. Sehingga presiden disana merupakan tokoh kunci dalam sebuah pengambil keputusan. Bayangkan jika keputusan yang harus ditetapkan menyangkut banyak hal. Untuk memutuskan sesuatu mungkin akan memerlukan waktu yang banyak, padahal Korut memiliki jutaan penduduk. Akan sangat menyita waktu jika segala sesuatu hanya diputuskan oleh satu orang saja. Tetapi keuntungannya adalah negara dalam keadaan yang stabil jauh dari rong-rongan politik. Nampak oleh mata dari luar seolah tidak terjadi apa-apa, namun orang yang tidak suka dengan pemerintah juga semakin banyak karena banyak kepentingan orang lain yang dipaksakan. Ibaratnya seperti api yang membakar tumpukan alang-alang, maka dari luar akan nampak kehitaman, tenang, tetapi justru sebenarnya adalah didalam sekam tersebut terjadi bara api yang luar biasa yang bisa bertahan berhari-hari.

Keadaan untuk saat ini di Indonesia hampir setiap hari terjadi konflik yang dengan tegas dimunculkan oleh media ke permuakaan. Mulai dari ujung provinsi paling barat sampai dengan provinsi paling timur Indonesia dinamika masyarakat Indonesia menghiasi media pemberitaan nusantara.

Ini juga menurut orang tua, sekarang jamannya serba bebas. Anak muda tidak hormat lagi kepada orang tua, anak buah tidak loyal lagi kepada pimpinan, murid selalu membangkang kepada gurunya, istri/suami yang menghianati pasangannya, petani yang mengolok-olok pemerintahan, buruh yang berani memberontak kepada pengusaha, perampok yang tega menembak mati korbannya, serta kelompok teroris yang berani memperlihatkan bom mainannya kepada aparat pemerintah dan keamanan, dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang lainnya.

Bagi sebagian golongan orang tua, hal ini disebut dengan "jaman edan", yaitu suatu jaman dimana segalanya serba terbalik dari tata nilai jaman dahulu misalnya budaya narkoba dan budaya seks bebas serta kegiatan pornografi dan pornoaksi. Kejahatan menyebar dimana-mana dan dilakukan secara terang-terangan pada waktu siang bolong. Moral hazard terjadi dimana-mana, baik oleh aparat pemerintah maupun dari kalangan rakyat biasa. Penegakan hukum hanya tergantung pada kekuatan kekuasaan, semakin berkuasa maka akan semakin kebal terhadap hadangan hukum, tetapi untuk rakyat jelata hukum bergitu menjerat.

Masyarakat sekarang masih belajar mengenai makna dari kata kebebasan. Karena pada jaman sekarang ini banyak orang yang salah mengartikan kebebasan. Kebebasan dianggap suatu hal yang tidak memiliki tanggung jawab. Kebebasan diartikan sebagai suatu hal yang digunakan untuk memperkuat posisi pribadi maupun golongan. Masih banyak orang yang tidak memiliki jiwa keberagaman. Banyak orang yang belum sadar kalau pada saat ini mereka hidup dalam suatu lingkungan dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Sehingga berpikirnya masih komunal tidak universal, mementingkan diri dan golongan, berdampak jangka pendek untuk memperkuat posisi tidak bisa memahami keadaan, kaku dan cenderung mendupak orang lain.


Sumber: http://yumantoko.blogspot.com

ORBA KE REFORMASI


  • 1. KATA SAMBUTAN 
  • Saya percaya, bahwa tidak ada calon presiden yang mampu memperbaiki kesejahteraan rakyat Indonesia tanpa melakukan perubahan terhadap system. Perubahan terhadap system inilah yang kemudian saya sebut dengan Tujuh Pilar Reformasi. Kita tentu saja ingin mengubah system Orde Baru. Pada masa lalu kita melihat “kuningisasi” di mana-mana. Saya kira sebagian besar para pemimpin partai kita ini masih terjebak dalam alam pikiran yang sama: suka bikin “merahisasi” di mana apa-apa bikin merah. Suka bikin “hijaunisasi”, “birunisasi” dan macam-macamlah. Yang menurut saya, ini suatu pembodohan terhadap masyarakat. Yang seharusnya dijual adalah ide, konsep, atau pikiran-pikiran yang matang. Bukan bendera. Bukan symbol. Bukan pula pengerahan masa. 
  • KATA PENGANTAR 
  •  Kalau majelis tidak mampu menjalankan kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang harus mengambilnya kembali. Oleh sebab itu, pemilihan presiden dan waki presiden pun bisa dikembalikan kepada kedaulatan rakyat melalui suatu pemilihan yang diselenggarakan secara langsung dan demokratis. Dengan demikian, rakyat akhirnya akan bisa memilih seorang presiden yang baru manakala rakyat menghendaki. Dan mungkin saja, rakyat keliru memilik seorang pemimpin yang ‘lebih jelek’. Akan tetapi, dengan adanya jaminan pembatasan masa kepemimpinan, rakyat tidak perlu kehilangan harapan akan datangnya pemimpin baru. Dan betapapun ‘baiknya’ seorang Presiden, dia tidak boleh diberi kesempatan untuk membangun absolutisme: dia harus berhenti sesuai dengan kontraknya, tidak lebih dari dua kali periode. Produk-produk yang dibuat Indonesia dengan menggunakan mesin-mesin dan teknologi asing, dengan tenaga kerja yang lemah dan tidak produktif, telah menjadi produk-produk yang mahal di dunia, yang mengakibatkannya idak mampu bersaing di pasar global. Maka, sebagai akibatnya, justru produk-produk asinglah yang masuk ke Indonesia. Mekea lebih bagus, lebih berkualitas, dan lebih murah. Hanya dengan tingkat perlindungan yang tinggi yang juga membebani rakyat dan ekonomi rakyat, maka produk-produk yang mahal itu terpaksa dimakan sendiri oleh bangsa Indonesia untuk menghindarkan parbrik-pabrik milik para konglomerat itu dari kebangkrutan. Di lembaga perwakilan rakyat nyata sekali penyelewengan terhadap UUD 1945 telah terjadi. Para wakil rakyat di majelis yang dinyatakan sebagai pelaksana ‘sepenuhnya’ kedaulatan rakyat ternyata hanya sebagian kecil saja yang dipilih oleh rakyat. Selebihnya ditetapkan oleh kekuasaan sendiri. Belum lagi system seleksi oleh kekuasaan terhadap para calon wakil rakyat yang akan dipilih, tidak lain adalah upaya untuk ‘menjaring’ mereka yang ‘pro-kekuasaan’. Sebagai akibatnya, selain lembagaini tidak mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah, lembaga ini juga ikut serta mendukung, dalam melestarikan kekuasaan dnegan menolak adalanya calon presien lebih dari satu. Turut sertanya penguasa dalam melaksanakan Pemilu, dengan bantuan para jaksa sebagai Pengawas Pemilu, dan para alat negara, polisi dan militer, telah memberikan
  • 2. kejelasan tersendiri, bahwa memang pemilu telah direkayasa untuk memenangkan kendaraan politik penguasa. Di sini ada dua unsure yang bekerja bersama-sama, yaitu totaliterisme dan sentralisme. 1. Totaliterisme, semua kelompok kekuatan masyarakat harus tunduk kepada kekuasaan, dan mereka yang tidka tunduk harus dimusuhi. Mereka yang tidak tunduk dan berbeda pendapat harus dianggap sebagai musuh kekuasaan, baik secara pidana maupun secara perdata. 2. Sentralisme, semua kebijaksanaan harus mengikuti ‘perintah’ dari pusat kekuasaan, tidka ada kemerdekaan daerah untuk berbeda dari perintah pusat. Dengan sentralisme, tidak mungkin kebijaksanaan pemerintah puat mampu menjangkau seluruh wilayah negeri pada saat yang tepat. Apalagi negeri ini sangat luas dan terbagi-bagi atas berbagai adat-istiadat, potensi kekayaan alam dan keadaan geografi. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi dan otonomi. Justru persatuan dan kesatuan ini muncuul secara alamiah karena ada saling ketergantungan di antara daerah- daerah. Tiadanya saling ketergantungan antardaerah selain kepada pusat kekuataan justru akan menimbullam perpecahan. Soviet Uni ‘runtuh’ karena sentralisme. Demikian pula Jerman Timur, Yugoslavia, dan banyak negara Eropa Timur lainnhya ‘runtuh’ gara-gara sentralisme. 
  • PERLUNYA GERAKAN REFORMASI TOTAL KEDUA. Pikiran-pikiran tentang reformsai system Ode Baru yang dibawa oleh gerakan reformasi total hanya berhasil memaksa Presiden Soeharto mundur pada tangal 1 Mei 1998. akan tetapi gerakan reformasi telah melakukan kesalahan besar, ketika harus memilih antara menolak kepemimpinan Habibie, karena Habibie adalah bagian dari Orde Baru dan Soeharto, dan memberi kesempatan kepada Habibie sebgai sosok kepemimpinan baru. Pilihan terhadap alternative kedua mengakibatkan gerakan reformasi menjadi terhenti, dan bahkan terpecah, dan mulai kehilangan arah. Gebyar pembangunan Soeharto ternyata hanya fatamorgana, kerena harus membayar mahal dengan hutang asing yang sulit dibayar kembali, dengan kekayaan alam Indonesia yang rusak dan semakin menipis, serta dengan kemiskinan dan keterbelakangan yan gmenyatu dengan kehidupan sebagian besar bangsa. Gemerlapnya pembanguan Soeharto hancur karena tidak dibangun di atas dasar fondasi kebangsaan yang kuat dan benar. DPR/ MPR hasil pemilu 1999 tidak lebih baik daripada DPR/ MPR pada masa Soeharto. Bukan “wakil rakyat” yang terpilih, tetapi sekali lagi “wakil partai”. Pemilihan presiden/ wakil presiden oleh MPR itu dinilai sangat tidak demokratis dan berindikasi rekayasa, karena sengaja menghilangkan beberapa persyaratan pemilihan, “sehat jasmani-rohani” dan perlunya “perdebatan visi dan misi di antara calon-calon.” Bahkan, cara pemilihan mereka bertentangan dengan konstitusi (Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 8 UUD 1945), karen adilakukan secara bertahap (presiden dulu, lalu wakil presiden), sehingga mereka bukan satu pasangan dan bukan dalam satu paket.
  • 3. Menyadari ini, mestinya Orde Baru dan para pemimpinnya menyadari kesalahannya dengan tidak tampil(mungkin untuk sementara) dalam panggung politik, sampai reformasi terwujud. Para elit politik Jerman Timur juga melakukan tindakan “ksatria” tersebut dengan tidak tampil dalam panggung politik, paling tidak untuk sementara waktu, dan menyerahkan kepemimpinan Jerman Bersatu kepada para elit politik Jerman Barat. Mereka menyadari kesalahannya selama 55 tahun menggunakan system sentralisme Blok Timur yang ternyata salah. 
  •  sumber: http://www.slideshare.net

Selasa, 03 Juli 2012

Peristiwa 3 Juli 1946 : Menguak Kudeta Pertama Dalam Sejarah Indonesia




Judul buku : Peristiwa 3 Juli 1946 : Menguak Kudeta Pertama Dalam Sejarah Indonesia 
Penulis : Yuanda Zahra
Terbit : November 2008
Penerbit : Media Pressindo
Tebal buku : 292 halaman
Berat buku : 335 gram
ISBN : 9797880311
Harga buku : Rp. 30.000
Kondisi : Baru (segel)

Sinopsis

Buku yang ditulis M. Yuanda Zara, alumnus Ilmu Sejarah UGM, ini hendak mengatakan hal serupa ihwal “Peristiwa 3 Juli 1946”. Persis sebagaimana “aksi” 1 Oktober 1965 yang lazim disingkat G30S, kemelut 3 Juli 1946 itu pun dinamai sesuai dengan tanggal kejadiannya. Pada tanggal itu, sebagian sejarawan mencatatnya sebagai kudeta pertama dalam sejarah Indonesia. Meski, sebenarnya teramat riskan menyebutkan kata “pertama”. Karena pada situasi revolusi, meluncurnya ancaman kudeta sesungguhnya menjadi layak dan biasa.

Bagi pembaca awam, kehadiran buku bertema Peristiwa 3 Juli 1946 ini bisa jadi merupakan asupan pengetahuan baru tentang sejarah Republik. Walau tetap menjadi wacana intelektual di dalam dan luar negeri, kisahnya tak tercantumkan dalam kurikulum sekolah. Selama Orde Baru, Peristiwa 3 Juli 1946 dicoret sebagai bagian sejarah revolusi kita. Seturut dengan pencoretan nama Tan Malaka sebagai pahlawan revolusi, dominannya gerakan tokoh pejuang beraliran kiri dianggap sebagai ancaman bangunan pemerintahan Orde Baru.