Selasa, 23 Juli 2013

KAJIAN KRITIS ATAS TAFSIRAN STIGMA NEGATIF KEBERADAAN PELACURAN


Keberadaan pelacuran di kabupaten Banyuwangi pertumbuhannya semakin meningkat. Berdirinya Lokalisasi sebagai tempat penampungan pelacuran di Banyuwangi adalah lokalisasi padang bulan berdiri sejak tahun 1956 selanjutnya berkembang di warung sepanjang, lokalisasi LCM di Ketapang, Lokalisasi Pasiran di Rogojampi, dan lokalisasi di Tumpang Pitu dan lainnya. Semakin meningkatnya perkembangan pelacuran, keberadaannya tidak lepas dari kritik masyarakat.
Keberadaan pelacuran menimbulkan pandangan negatif bagi masyararakat. Stigma banyak di bangun oleh masyarakat yang mengatasnamakan dirinya sebagai tokoh agama. Logika kaum agamawan adalah  bahwa hidup harus diatas  aturan agama, tanpa memperdulikan kehidupan realitas yang ada. Hubungan seksualitas dianggap benar dan sah jika sudah dilakukan sesuai dengan aturan-aturan agama. Pandangan tersebut telah menjadikan mereka sebagai orang yang terbuang secara struktural dan kultural sekaligus.
Pada tahun 2012 masyarakat di dukung Ormas dan Parpol yang bernaung di bawah agama menginginkan penutupan lokalisasi karena sebagai pekerjaan hina dan kotor dan mengganggu masyarakat. Hal yang menarik di kabupaten Banyuwangi, Pemerintah Daerah secara resmi tidak mengeluarkan Surat keputusan Bupati (SK Bupati) tentang melokalisir  pelacuran di lokalisasi. Namun bukti adanya penyuluhan, sosialisasi HIV dan membangun klinik kesehatan, bahkan masa kampanye pemilihan Wakil Rakyat mereka tidak malu mencari dukungan masa . berdasarkan gambaran ini, sebagai bukti kongkrit bahwa pemerintah Banyuwangi ”melegalkan”. Tanpa disadari semua lokalisasi di kabupaten Banyuwangi khusunya Padang Bulan banyak memberikan sumbangsi ekonomi kepada Pemerintah Daerah lewat APBD melalui penarikan Parkir yang relatif mahal, namum Pemerintah Daerah seringkali melakukan razia tidak peri kemanuasiaan, pelecehan seksual, dan tanpa memberikan sebuah solusi. Berdasarkan pengakuan WTS di Lokalisasi Padang Bulan (Linda nama samaran) bahwa “mereka yang duduk dipemerintahan  juga sebagai hidung belang tiap bulan sekali datang kencan dengan saya”. .
Stigma yang dibangun mayarakat Banyuwangi hanya mengenal ”pelacuran wanita”  yang menjadi sorotan sedangkan ”pelacuran laki-laki/ gigolo dan laki-laki hidung belang ” tidak mendapatkan tudingan apapun. Hal inilah yang menyebabkan adanya bentuk manifestasi ketidakadilan gender. Sejarah telah membuktikan sebenarnya pelacuran (prostitusi) tidak dapat diberantas dan sulit untuk ditanggulangi atau ditolelir bahkan berimbas negatif. Jika prostitusi ditekan maka akan mengakibatkan  pertumbuhan prostitusi baru hal ini terjadi dilokalisasi Tumpang Pitu. Menurut Miskawi dan Matali (2009: 36) bahwa “Prostitusi akan semakin  marak dan berkeliaran seperti yang berada di gang-gang kecil, pemukiman, hotel, pusat keramaian kota yang pada akhirnya berimbas pada ketertiban dan kesehatan”.
Ada beberapa hal yang belum pernah dilihat secara bijak bahkan memandang dari satu sudut pandang saja tampa mempersoalkan kultural.  Rata-rata label yang diberikan pada pelacuran sebagai sampah masyarakat dianggap paling tepat, masyarakat yang tanpa moralitas, perusak tatanan sosial, pemuas nafsu yang binal. Tudingan ini tentu saja merupakan hasil konstruksi sosial masyarakat yang merasa dirinya paling normal dan menjaga moralitas.
Namun, disisi lain jarang sekali ada yang mengkaji motif wanita sampai masuk kedunia pelacuran, dinamika yang dialami dan kehidupan berketuhanan (ekspresi rohani) bahkan peranan yang dipandang berdampak positif. Siapa pun tidak akan mengingkari bahwa dunia pelacuran  bukanlah pilihan utama setiap kehidupan sosial manusia. Bahkan, tidak ada seorangpun yang memiliki cita-cita menjadi pelacuran. Namun, kehidupan sosiallah  yang mengantarkan seseorang menjalani kehidupan kelam.
Kaum pelacur ini adalah yang paling rentan dari banyak sisi. Mereka juga paling rentan  terhadap terjangkitnya penyakit kelamin, seperti HIV – AIDS, yang merupakan penyakit yang mematikan. Para pelacur berani mengorbankan diri, masa depan dan kehidupannya tidak lain hanya untuk mendapatkan uang. Padahal hasil kerja kerasnya tidak menjadi miliknya secara utuh, tetapi disisi lain ada yang diuntungkan dari hasil kerja kerasnya.
Berdasarkan latarbelakang diatas perlu dikaji lebih mendalam atas wacana yang ada terkait tafsiran negatif dan perlu di pengkajian kembali dengan Kritis atas tafsiran stigma negatif keberadaan pelacuran dilokalisasi yang dibangun masyarakat, sehingga menghasilkan sebuah pertimbangan-pertimbangan bahwa pelacuran bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang seharusnya mendapatkan pengakuan yang sama. Tidak selayaknya stigma buruk terus dilontarkan pada kelompok yang cenderung termarginalkan ini. Disisi lain, jika pemerintah ingin memberantas Pelacuran juga perlu ada pembinaan dan pemberdayaan agar tidak terperosok dalam dunia kelam.

Peran WTS (Wanita Tuna Susila) dalam Memenuhi Kebutuhan Ekonomi Keluarga

Kesetaraan gender sesungguhnya telah menempatkan posisi kaum wanita pada tingkatan yang sama dengan kaum pria. Kini, kaum wanita telah mendapatkan pengakuan yang sama untuk melakukan berbagai aktivitas publik yang dulu dianggap terlarang untuk dilaksanakan oleh kaum wanita. Dalam kehidupan rumah tangga, keberadaan kaum wanita bukan hanya sebagai penyandang peran domestik (seorang ibu rumah tangga). Namun, kaum wanita juga mendapatkan kesempatan yang sama umtuk melakukan aktivitas sosial ekonomi dan di bidang politik. Menurut Toler (1984:184) pada umumnya, motivasi perempuan untuk bekerja di ranah publik didasari oleh kepentingan ekonomi rumah tangga, mendapatkan kemandirian, belajar menghadapi tantangan sosial ekonomi, dan untuk meningkatkan status sosial ekonominya. Namun, bagi rumah tangga miskin penghasilan seorang perempuan dari usaha ekonomi memberi kesempatan untuk memegang peranan yang penting dalam ekonomi rumah tangga.
            Perubahan persepsi yang semakin baik terhadap perempuan seiring dengan arah kebijakan pembangunan yang menempatkan wanita sebagai target pemberdayaan, sehingga memiliki kontribusi dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di daerah. Adapun program pembangunan yang dikembangkan adalah program peningkatan peranan kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dengan kegiatan pokok pada beberapa aspek, yaitu: pendidikan dan pelatihan ketrampilan perempuan, perlindungan tenaga kerja perempuan, dan pengembangan kelembagaan atau organisasi perempuan (Kusnadi, dkk, 2006:4). Namun demikian, tidak semua kaum wanita terjangkau oleh program pembangunan ini, sehingga masih banyak kaum wanita yang melakukan aktivitas ekonomi yang tidak sesuai dengan keinginan pribadi dan pandangan masyarakat. Salah satunya adalah mereka yang bekerja sebagai WTS.
            Menurut Purwanto (2008:10) salah satu alasan yang melatar belakangi kaum wanita bekerja sebagai WTS adalah masalah ekonomi keluarga. Fakta yang disampaikan Purwanto tersebut telah memberikan gambaran tentang sebagian peran dan resiko menjadi seorang WTS. Kondisi ini sangat dilematis sekali, sebab kebanyakan WTS (Wanita Tuna Susila) distereotip masyarakat sebagai manusia rendah. Sepanjang sejarah peradaban manusia kedudukan WTS tampaknya tidak pernah mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang memiliki kedudukan setara dengan kelompok masysrakat seperti umunnya.
            Menurut Siregar (1982) pandangan masyarakat yang cenderung menyalahkan satu pihak, yaitu WTS, sedangan di lain pihak yaitu pihak laki-laki tidak memperoleh tudingan apapun, maka pandangan masyarakat tersebut terhadap kehidupan WTS pada kenyatannya tetap menunjukkan bahwa WTS tidak diterima kehadirannya dan perlu segera diatasi.
            Masyarakat pada umumnya menyalahkan satu pihak, yaitu para WTS sebagai pihak yang bersalah. Padahal dalam kenyataannya prostitusi sangat tergantung  pada permintaan dan penawaran. Dalam sosial jual beli (transaksi ini) kedua pihak tersebut secara penuh terlibat dan berperan seimbang, selama itu pula prostitusi akan terus berlangsung (Krisna, 1979). Hal ini mengisaratkan bahwa pada kenyatannya keberadaan WTS tidak dapat disalahkan begitu saja.
            Jika dicermati secara mendalam, para WTS juga merupakan bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang seharusnya mendapatkan pengakuan yang sama. Tidak selayaknya stigma baik dan buruk terus dilontarkan pada kelompok yang cenderung termarginalkan ini. Sebenarnya ada beberapa peran penting yang secara implisit telah dimainkan oleh para WTS ini. Termasuk di dalamnya dalam bidang ekonomi bagi kehidupan keluarganya. Secara tidak langsung keberadaan WTS telah menjadi katub penyelamat bagi kehidupan ekonomi keluarganya, terlebih dalam menghadapi permasalahan ekonomi yang kian hari kian memprihatinkan. Namun demikian, peran penting ini tak pernah dilihat secara bijak oleh masyarakat pada umunya. Masyarakat cenderung melihat hanya dari satu sisi yang cenderung subjektif dan menghakimi. Atas dasar pemikiran  inilah maka keberadaan WTS sebagai bagian dari kelompok sosial masyarakat merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji.
            Dalam melakukan aktivitas kerjanya, keberadaan WTS dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan. Pertama, WTS kelas rendahan yang pada umunya berada di jalanan dan rumah-rumah bordir. Kedua, WTS menengah yang berada di bordir-borsdir yang cukup bersihan dan pelayanannya baik. Ketiga, WTS kelas tinggi yang biasanya tinggal di rumahnya sendiri (terselebung) dan hanya menerima panggilan dengan perantara yang cukup rapi dan bayarannya cukup mahal (Soedjono, 1974).
            Biasanya WTS pada golongan kedua melakukan aktivitas kerja dan juga tinggal di sebuah kompleks lokalisasi yang mendapat pengawasan ketat oleh pemerintah. Penempatan WTS di komplek lokalisasi merupakan upaya pemerintah daerah dalam mengurangi dampak negatif akibat aktivitas WTS yang dipandang amoral. Oleh karena itu, biasanya lokalisasi di tempatkan di pinggiran kota agar jauh dari lingkungan masyarakat umum dan dapat diharapkan untuk tidak mempengaruhi masyarakat yang ada di sekitarnya (Soedjono,1974).
            Biasanya lokalisasi berada di sekitar daerah pantai ataupun pegunungan yang jauh dari keramaian kota. Namun demikian lokalisasi juga berada di daerah strategis yang sangat mudah di jangkau oleh akses publik. Salah satu lokalisasi yang berada di daerah yang mudah dijangkau oleh akses publik ini adalah lokalisasi Sumber Loh, yang lebih terkenal dengan sebutan Padang Bulan yang berada di Desa Benelan Kidul Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi. Lokalisasi ini sangat mudah dijangkau oleh masyarakat umum, alasannya lokasinya berada sekitar 17 Km dari pusat kota Banyuwangi. Selain itu, lokalisasi tersebut sangat mudah dijangkau transportasi umum yang siap melayani 24 jam.
            Kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten yang terletak di ujung paling timur di pulau Jawa yang secara administrasi terletak sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah timur Selat Bali, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso. Sehingga tidak salah jika lokalisasi dijadikan tempat persinggahan dari luar Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan hasil pegamatan awal bahwa lokalisasi pengunjungnya tidak hanya berasal dari lokal Banyuwangi, akan tetapi juga berasal dari beberapa kota di  sekitar Banyuwangi, bahkan ada juga wisatawan asing yang menyempatkan diri untuk singgah di lokalisasi di Padang Bulan (Berdasarkan Hasil Observasi Awal 2008).
            Berdasarkan studi awal juga diketahui bahwa lokalisasi Padang Bulan dihuni oleh para WTS yang berasal dari berbagai daerah Jawa Timur. Bahkan ada beberapa WTS yang berasal dari luar Jawa (Madura, Bali, dan Kalimantan). Umunya motif ekonomi menjadi hal yang melatar belakangi mereka sebagai WTS. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan lokalisai memainakan peran penting dalam bidang ekonomi bagi keluarga para WTS. Namun demikian, peran ekonomi yang dimainkan oleh para WTS bagi keluarga sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat pada umumnya. Atas dasar inilah, maka dipandang perlu untuk mengkaji secara mendalam mengenai peran WTS dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonomi keluarganya.


DIBIAYAI DIPA KOPERTIS WILAYAH VII JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN 2009
NOMOR 177.0 / 23 – 04.0 /XV/2009
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL