Istilah nasionalisme
berasal dari bahasa latin nation.
Natio yang berasal dari kata nascor
berarti saya lahir. Pada saat itu istilah nascor
belum menjadi konsep politik ideologis. Bahkan pada masa kekuasaan Romawi
istilah nation digunakan secara pejorative
yaitu untuk mengolok-ngolok orang asing. Kemudian pada abad pertengahan istilah
nasion diidentikan dengan kelompok
pelajar/mahasiswa asing. Sampai dengan akhir abad pertengahan istilah nation
belum mempunyai makna
ideologis.
Konsep
Negara yang mempunyai kedaulatan ke dalam dan keluar baru muncul pada abad ke
XVII. Pada abad 1648 diadakan perjanjian Weatphalia yang menjamin kedaulatan
suatau Negara. Untuk itulah perjanjian Westphalia menjadi rujukan awal yang
menjadi referensi tentang kedaulatan suatu Negara. Berhubung masyarakat Eropa
masih banyak dikuasai oleh keuatan monarki yang absolute pelanggaran kedaulatan
sering terjadi. Inggris menjadi pelopor berdirinya Negara modern. Sejak abad ke
XII Inggris berhasil nenbatasi kekuasaan raja yang absolute. Namun sebagai
suatu Negara bangsa, Inggris baru dapat menerapkannya pada abad ke XVII. Pada
saat itu Negara sudah mempunyai batas wilayah yang tegas dengan iseologi
nasionalisme. Negara diwajibkan untuk melindungi warga negaranya (Giddens,
1985).
Di
masa revolusi Perancis istilah Nation mulai
mempunyai muatan politis ideologis. Hal itu tercermin dalam penamaan parlemen
Perancis dengan istilah assemble nationale. Assemble nationale yang sebelumnya
snagat akslusif dan dikuasai golongan bangsawan dan agama menjadi relative
egaliter. Semua lapisan masyarakat mulai dilibatkan. Muncul golongan ketiga
yang menjadi anggota Assemble nationale, berasal dari rakyat, baik dari
golongan borjuis maupun rakyat biasa.
Kondisi
tersebut membawa dampak bahwa istilah nation ditafsirkan sebagai bangsa atau
penduduk resmi suatu Negara. Kaum bangsawan dan agama yang menguasai
kekuasaandengan hidup boros dan korup mulai digugat. Mereka mendirikan The
Third estate, Estate ketiga untuk melawan dominasi estate pertama dan kedua.
Estate pertama dan kedua dilawan. Kaum bangsawan pendeta telah dianggap sebagai
parasit Negara. Estate general yang mewakili bangsa hanyaestate ketiga. Di
tahun 1789 Estate ketiga ini mengubah dirinya menjadi nationale assemble. Dewan
nasional, Nasionale Assamble ini kemudian
menyetujui prinsip-prinsip dasar dari “
Declaration of the rights of man”. Dalam deklarasi hak asasi manusia ini di
kalusul ketiga disebutkan bahwa “bangsa
pada dasarnya merupakan sumber semua kekuasaan”. Tidak ada individu atau
kelompok ya ng memiliki hak untuk memegang kekuasaan yang tidak berasal atau di
setujui oleh bangsa.
Negara
kebangsaan atau nasionalisme di Barat secara tegas menunjukkan adanya
pergeseran kekuasaan dari raja ke rakyat. Nasionalisme lebih menggeser
kekuasaan yang “magis religious”.
Sebagai wakil tuhan, para raja atau kaisar seolah memiliki kekuasaan yang
absolute atau mutlak. Akibatnya banyak penyahgunaan kekuasaan, abuse of power. Kekuasaan yang korup
dibatasi. Penguasa hanya berkuasa dengan persetujuan yang dikuasai. Di buatlah
kontrak social antara penguasa dan yang dikuasa.
Perkembangan
nasionalisme di Barat membawa pengaruh besar terhadap system demokrasi.
Kekuasaan tidak ladi boleh ada pad suatu lembaga. Lembaga yang memerintah
(eksekutif)harus dipisahkan dengan lembaga yang membuat regulasi atau
undang-undang (legislative) dan lembaga yang menjalankan pengadilan dan
penegakan hokum (yudikatif). Negara kebangsaan di barat menjadi pelopor Negara
hokum yang menggati negara kekuasaan. Kesewenang-wenangan penguasa di batasi.
Hak asasi menusia dihormati dan dilindungi.
Disamping
itu konsep nation-stete telah membawa
perubahan pada administrasi Negara secara modern. Pemerintah mulai menggunakan
suatu birokrasi modern. Birokrasi harus dapat mempertanggung jawabkan
administrasi negara, terutama dalam penggunaan uang Negara. Penguasa tidak lagi
dapat menggunakan keuangan Negara hanya sekedar untuk kesenangan dan kemewahan.
Penghasilan Negara harus dipertanggung jawabkan. Aset Negara sebagai public asset dibedakan dengan asset
pribadi, private asset.
Salah
satu yang menonjol dari Negara kebangsaan adalah mulai relative permanennya
batas wilayah suatu Negara. Konstituasi tidak tidak hanya membatasi kekuasaan
penguasai. Konstitusi juga membatasi luas suatu wilayah Negara. Batas wilayah
suatu Negara tidak boleh berubah-ubah setiap saat sesuai dengan kekuatan Negara.
Batas wilayah suatu Negara lebih banyak ditentukan oleh perjanjian dengan
Negara-negara lain.
Perkembangan
nasionalisme di Perancis yang diwarnai oleh semangat revolusi dengan semboyan liberti, egaliti, dan fraternity cukup terkenal. Walupun dalam
kehidupan riil kelompok borjuis relative dominan, kesadaran sebagai suatu
bangsa telah menyebar pada rakyat. Sebagai kelompok yang progresif di jamannya,
kaum borjuis berhasil mendobrak tatanan feudal yang dikuasai oleh kaum agama
dan bangsawan.
Kepemilikan
modal oleh golongan borjuis mampu menjadi alat yang efektif dalam meruntuhkan
sendi-sendi ekonomi feudal dan merkantilis. Tatanan politik yang represif
ditentang. Mereka berusaha menggantinya dengan tatanan politik yang lebih
demokraratis. Negara tidak boleh terlalu campur tangan terhadap kehidupan
warga. Warga harus diberi kebabasan, terutama kebebasan berusaha. Penguasa
tidak dipilih karena keturunan. Penguasa perlu dipilih memlalui pemilihan umum.
Dan penguasa maupun Negara berkewajiban melindungi rakyatnya bukan menindasnya.
Dominasi golongan agama dan bangsawan benar-benar ditentang. Kelas bangsawan
dan agama tidak lagi dipercaya sebagai pemegang kedaulatan ilahi. Kekuasaan
yang bersifat “magis religious” perlu
diganti dengan kedaulatan rakyat.
Dalam
perkembangan sejarah, nasionalisme ang pada mulanya diwarnai oleh perbedaan
kelas, khususnya kelas bangsawan dan pendeta berhadapan dengan rakyat tidak
lagi ditonjolkan. Kaum borjuis berhasil menempa kepentingan bersama suatu
bangsa. Garis-garis kelas yang ada dalam suatu bangsa dikaburkan dan dilebur
menjadi suatu kepentingan bangsa. Nasionalisme kemudianlebih menonjolkan suatu
batas-batas geografis. Kesamaan kewargaan tidak ditentukan oleh sekedar
kesamaan bahasa dan cultural. Batas geografis yang menjadi bangsa yang berbeda
dengan bangsa yang lain. Perasaan senasib, penggunaan bahasa yang sama atau ras
selalu diwadahi oleh wilayah tertentu (Loomba, 2003.
Perkembangan
nasionalisme Barat yang mendominasiaum borjuis yang rakus tersebut tidak ingin
ditiru. Tokoh-tokoh pergerakan berusaha memodifikasi nasionalisme Barat sesuai
dengan jiwa dan nilai-nilai luhur yang ada. Nasionalisme di Negara jajahan
tidak hanya meniru nasionalisme di Barat. Tokoh pergerakan juga berusaha
mendifinisikan perbedaannya dengan gagasan-gagasan Barat. Khususnya perbedaan
dalam memaknai kebebasan, kemerdekaan dankerhormatan manusia.
Dalam
konteks itulah perkembangan jiwa dan semangat nasionalisme di Indonesia tidak
dapat disamakan begitu saja dengan nasionalisme yang berkembang di Barat. Para
pendiri Barat.Para pendiri bangsa elakukan “saringan ideologis” dalam membangun
nasionalisme yang berbasis pada nilai-nilai luhur yang telah lama ada dan
berkembang di nusantara. Nasionalisme juga bukan sekedar alat untuk melawan
kolonialisme. Nasionalisme Indonesia bukan sekedar diorientasikan diluar untuk
membedakan dengan bangsa lain. Nasionalisme Indonesia juga berorientasi
kedalam. Yaitu nasionalisme yang dapat membangaun perasaan dan semangat untuk
maju dan meningkatkan kesejahteraan bangsa. Etos kebangsaan yang inklusif,
manusiawi, dan berkeadilan serta menghargai motif berprestasi menjadi dambaan.
Salah
satu factor munculnya pemikiran nasionalisme modern di Indonesia adalah lembaga
pendidikan modern. Sebagian kecil dari kalangan terdidik membangkitkan
kesadaran kritis. Mereka mulai mengalami kegelisahan intelektual. Mereka tidak
segan-segan mempertanyakan paspor budaya yang berlaku. Mereka mulai menyadari
akan terjadinya proses ketidakadilan, pembodohan dan pemiskinan yang dilakukan
oleh imperialism dan kolonialisme.
Mereka melihat realitas
masa colonial yang tidak sehat. Mereka mulai menyadari adanya system yang tidak
adil. Untuk menentang system tersebut diperlukan cara berjuang yang baru.
Perjuangan yang mengandalkan senjata dan nilai-nilai primordial dianggap tidak
relefan lagi.
Pemuda pelajar setelah
mendapatkan inspirasi dari Wahidin dengan dipelopori oleh Soetomo, Gunawan,
Soewarno Cs berhasil merintis berdirinya Budi Utomo. Berangkat dari kondisi
inilah mereka kemudian mempertajam perjuangan
menjadi pergerakan. Sejak saat itu kemudian dikenal sebagai jaman
pergerakan nasional. Embrio nasionalisme mulai tumbuh dalam dunia
perjuangan bangsa Indonesia (Van Miert,
2003).
Organisasi modern kedua
yang muncul dalam memperjuangkan rakyat nusantara adalah sarekat dagang islam
(SDI) yang kemudian menjadi sarekat islam. Kemampuan tokoh-tokoh SI
memperjuangkan semangat juang rakyat
Indonesia berhasil menyadarkan eksistensi diri dan bangsa yang harus berjuang
untuk kemajuan. Salah satunya berjuang
meninggalkan budaya yang dianggap menghambat kemajuan (Shiraisi, 1990 &
Simbolon, 1995). SI mengalami kemunduran peran dengan munculnya PKI yang
memilih perjuangan secara radikal.
Nasionalisme mengalami
penajaman melalui Indische Party (IP) yang memilih gerakan radikal. IP
melakukan terobosan secara radikal. Konsep bangsa yang dikembangkan oleh IP sudah sangat maju.
Bangsa tidak ditafsirkan secara etnik. Menurut pimpinan PI, bangsa Hindia
adalah warga yang menetap di Kepulauan Hindia. Warga sebangsa tidak ditentukan oleh etnis, ras atau agama. Siapa saja yang
tinggal dan menetap (blijvers) di
Hindia adalah bangsa Hindia. Orang-orang kulit putih yang tinggal menetap (trekkers) dan bolak-balik ke eropa
tidak dapat dikategorikan sebagai suatu
bangsa. Hukum yang membagi penduduk Hindia menjadi tiga kelas jelas tidak
relevan. Konsep sebangsa menuntut perlakuan hukum yang sama (Geleidgesteld). (Abdullah, 2001).
Dinamika dunia
pergerakan yang pada mulanya lebih
mengarah pada primordialisme dan kemudian bergeser menjadi internasionalisme
menghasilkan sintesis pemikiran yang mengarah pada nasionalisme. Hal ini
tercermin dari mulai dominannya organisasi dan wacana nasionalisme sejak akhir tahun
1920-an. Wawasan dan wacana kebangsaan mulai menonjolpada akhir tahun 1920-an.
Pada tahun 1925 Perhimpunan Indonesia, organisasi pelajar/mahasiswa di belanda
berhasil membuat manifesto politik yang dalam mengembangkan nasionalisme
berprinsipil pada unity, liberty dan equality. PI mampu menganalisis
kolonialisme di indonesia secara mendasar dan memberikan solusi perjuangan yang
terdiri dari tiga prinsip, yaitu:
1.
Rakyat
Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilh oleh mereka
sendiri,
2.
Dalam
memperjuangkan pemerintah sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak
manapun, dan
3.
Tanpa
persatuan yang kokoh dari berbagai unsur rakyat tujuan perjuangan tidak akan
tercapai.
Manifesto politik PI sangat
berpengaruh terhadap pergerakan di Indonesia. Nasionalisme yang diusahakan
berkembang adalah nasionalisme yang bercirikan keterbukaan (inklusif), yaitu
nasionalisme yang tidak tersekat oleh latarbelakang etnis, agama dan bahasa
melainkan mendasarkan oleh perasaan senasib dan seperjuangan. Karena kita
sama-sama senasib dijajah oleh Belanda
dan mempunyai keinginan kehidupan yang
lebih baik dan sederajat dengan bangsa yang merdeka lainnya itulah kita
menciptakan tali persaudaraan sebagai saudara sebangsa dan setanah air
(Ingelson,1983).
Kebangsaan sebagai sebuah
kontruksi dari sebuah visi yang harus diperjuangkan. Nasionalisme bukan sebuah
kenyataan yang telah ditentukan oleh nasib dan takdir. Untuk itu mereka tidak “ bertopang dagu” melainkan terus berusaha “menyingsingkan lengan baju” demi terwujudnya komunitas baru yang
lintas etnis bahkan trans-etnis.
Belajar dari sejarah
perkembangan nasionalisme dan kapitalisme yang terjadi di Barat, anak-anak
pergerakan tidak ingin nasionalisme yang berkembang di Indonesia didominasi
oleh golongan borjuis. Mereka tidak ingin rakyat indonesia menderita dalam
tanaman feodalisme dan imperialisme tetap menjadi objek eksploitasi. Hatta
menginginkan demokrasi politik yang diterapkan di Indonesia disertai dengan
demokrasi ekonomi (Suleman,2010). Nasionalaisme yang dikembangkan adalah nasionalisme kerakyatan. Nasionalisme
yang berbasis serta berorientasi pada rakyat.
Hal tersebut mencerminkan bahwa
nasionalisme di indonesia merupakan counter ideology dari kolonialisme dan
imperialisme. Nasionalisme mengugat legitimasi sistem politik yang membiarkan
dominasi asing terhadap kaum pribumi. Hubungan kekuasaan yang meletakkan supordinasi penjajah dan
subordinasi kaum pribumi digugat dan ingin dienyahkan. Para pendiri bangsa
tidak ingin nasionalisme bangsa indonesia kemudian berubah menjadi nsionalisme
sempit, jingoisme atau chauvinisme.
Untuk mencapai sekaligus merealisasikan nasionalisme diatas
dibutuhkan kemandiarian politik, budaya dan
ekonomi. Maka wajar kalau pada masa pergerakan nasional usaha yang
dilakukan adalah berusaha mencapai kemerdekaan politik agar bangsa kita dapat
merdeka dan menentukan nasib bangsanya secara merdeka tanpa dieksploitasi
bangsa asing. Perjuangan anak-anak
pergerakan yang berdealektika dengan berbagai peristiwa sejarah dunia pada
akhirnya membawa bangsa indonesia mencapai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945.
Karakteristik nasionalisme
indonesia menurut Sartono Kartodirjo (1993) mengadung 5 unsur, yaitu
kesatuan/persatuan (Unity), kebebasan
(liberty), persamaan (equality), kepribadian (personality-individuality), dan prestasi (performance).
Nasionalisme indonesia
adalah nasionalisme yang mendasarkan
pada integrasi nasional dengan tetap menjamin kebebasan individu untuk
berkembang dan berprestasi. Kerelaan rakyat untuk berjuang dan pantang menyerah
demi martabat dan harga diri bangsa cukup menyolok dimasa pergerakan nasional.
Golongan intelektual berhasil melakukan
konstruksi yang cerdas dalam membangun
wawasan kebangsaan ke depan. Pengaruh barat diseleksi dan disesuaikan dengan
kondisi objektif yang berkembang di
masyarakat. Mereka berusaha membangun nasionalisme yang tidak menggilas atau mengorbankan nasib rakyat kebanyakan.
Usaha mereka tersebut dibingkai dalam konsep sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi.
Berkat para pemuda di masa
pergerakan nasional, kita bangsa indonesia memiliki bahasa persatuan. Tidak
banyak bangsa terjajah berhasil merumuskan suatu bahasa nasional. Pada umumnya
mereka berusaha meniru dan menggunakan bahasa penjajahan sebagai bahasa
nasional. Menggunaan bahasa penjajah mengidentifikasikan dominasi kebudayaan
penjajah terhadap negara yang terjajah. Bahasa dalam kehidupan manusia bukan
sekedar alat yang berperan instrumental.
Bahasa juga merupakan “mediasi eksitensial”. Bahasa secara langsung
mencerminkan lambang watak dan hidup suatu bangsa.
Untuk itulah peran bahasa
indonesia sebagai bahasa persatuan berperan vital sebagai bagaian dari ketahanan kultural. Penggunaan suatu bahasa
nasional memudahkan membangun dan memperkokoh jati diri nasioanl. Struktur
bahasa indonesia yang egaliter juga sangat cocok bagi bangsa indonesia secara baik dan benar
menjadi kebutuhan. Menurut Kleden (1994) “... bahasa menunjukkan bangsa, maka
disiplin berbahasa menunjukkan disiplin hidup kita sebagai bangsa. Oleh Karena
itu perbaikan dan pengembangan bahasa tidak terlepas dari perbaikan dan
pengembangan cara hidup kita sebagai bangsa yang bertanggung jawab atas
nasibnya sendiri”.
Ironisnya
proses aktualisasi nasionaliosme setelah kemerdekaan banyak mengalami pasang
surut. Di masa revolusi nasionalisme terkesan lebih heroic. Banyak pemuda,
tentara dan rakyat yang terjun ke gelanggang perang melawan Belanda yang ingin
menjajah lagi. Disamping itu para politisi juga terus berusaha melakukan
diplomasi untuk mempertahankan eksistensi negara RI yang baru berdiri.
Pasca
revolusi nasional upaya melakukan konsolidasi kekuasaan dan aktualisasi
nasionalisme menghadapi tangtangan. Kekuatan ekonomi yang masih dikuasai asing.
Khususnya Belanda (konskuensi dari KMB) meyebabkan peran pemerintah banyak mengalami kesulitan. Pada. awal
demokrasi terpimpin terjadi pemberontakan PRRI dan Permesta. Pembangunan
karakter bangsa digelorakan. Kemandirian bangsa dikumandangkan. Perang dingin
berpengaruh terhadap atmosfir kebangsaan
indonesia. Dan era orde baru nasionalisme cenderung bersifat sentralistik dan
regimentatif. Negara yang rakus (greedy state) telah menciptakan hegemoni
makna. Nasionalisme yang ada berubah
menjadi nasionalisme negara (Abdullah, 2001). Pada masa reformasi wacana
nasionalisme makin termarginalisasi. Kebebasan dan globalisasi seolah telah menjadi m,antra kehidupan.
Menguatnya cara berfikir
yang kapitalistik mendorong kebijakan negara makin manjauh dari kepntingan
rakyat sebagai warga negara. Istilah liberalisasi. Privatisasi dan deregulasi
seolah menjadi mode yang terelahkan. Negara semakin minim dalam campur tangan
ekonomi. Menguatnya pengaruh paham neoliberalisme makin membuat kepentingan
nasional seolah tidak boleh dinomorsatukan. Kini pengaruh kekuatan ekonomi
global makin meningkat. Masyarakat mudah terjebak pada kehidupan yang konsumtif dan hedonistic. Bangsa dan negara Indonesia mudah menjadi sasaran
eksploitasi kekuatan-kekuatan ekonomi dunia (falk,1999). Proses homogenisasi
rasa dan hegemoni pemikiran makin meluas
dan membahayakan.
Keyataan tersebut
membutuhkan keberanian bangsa indonesia dalam mempertanyakan formulasi
nasionalisme yang mengalami diskrapensi antara apa yang ada dalam tataran
simbolik dengan realitas objektif. Wacana yang menyatakan nasionalisme telah
berakhir masih perlu dipertanyakan