Keberadaan pelacuran di kabupaten Banyuwangi
pertumbuhannya semakin meningkat. Berdirinya Lokalisasi sebagai tempat penampungan pelacuran di
Banyuwangi adalah lokalisasi padang bulan berdiri sejak tahun 1956 selanjutnya
berkembang di warung sepanjang,
lokalisasi LCM di Ketapang, Lokalisasi Pasiran di Rogojampi, dan lokalisasi di
Tumpang Pitu dan lainnya. Semakin meningkatnya
perkembangan pelacuran, keberadaannya tidak lepas dari kritik masyarakat.
Keberadaan pelacuran menimbulkan pandangan negatif bagi
masyararakat. Stigma banyak di bangun oleh masyarakat yang mengatasnamakan
dirinya sebagai tokoh agama. Logika kaum agamawan adalah bahwa hidup harus diatas aturan agama, tanpa memperdulikan kehidupan
realitas yang ada. Hubungan seksualitas dianggap benar dan sah jika sudah
dilakukan sesuai dengan aturan-aturan agama. Pandangan
tersebut telah menjadikan
mereka sebagai orang yang terbuang secara struktural dan kultural sekaligus.
Pada tahun 2012 masyarakat di dukung Ormas dan Parpol yang bernaung di bawah agama menginginkan
penutupan lokalisasi karena sebagai pekerjaan hina dan kotor dan mengganggu
masyarakat. Hal yang menarik di
kabupaten Banyuwangi, Pemerintah Daerah secara resmi tidak mengeluarkan Surat keputusan Bupati (SK Bupati) tentang melokalisir pelacuran di lokalisasi. Namun bukti adanya penyuluhan, sosialisasi HIV dan membangun klinik kesehatan, bahkan masa
kampanye pemilihan Wakil Rakyat mereka tidak malu mencari dukungan masa .
berdasarkan gambaran ini, sebagai
bukti kongkrit bahwa pemerintah Banyuwangi ”melegalkan”.
Tanpa disadari semua lokalisasi di
kabupaten Banyuwangi khusunya Padang Bulan banyak memberikan sumbangsi ekonomi
kepada Pemerintah Daerah lewat APBD melalui penarikan Parkir yang relatif mahal,
namum Pemerintah Daerah seringkali melakukan razia tidak peri kemanuasiaan,
pelecehan seksual, dan tanpa
memberikan sebuah solusi. Berdasarkan
pengakuan WTS di Lokalisasi Padang Bulan (Linda nama samaran) bahwa “mereka yang duduk dipemerintahan juga sebagai hidung belang tiap
bulan sekali datang kencan dengan saya”. .
Stigma yang dibangun mayarakat
Banyuwangi hanya mengenal
”pelacuran wanita” yang menjadi sorotan
sedangkan ”pelacuran laki-laki/ gigolo dan laki-laki hidung belang ” tidak
mendapatkan tudingan apapun. Hal inilah yang menyebabkan adanya bentuk
manifestasi ketidakadilan gender.
Sejarah
telah membuktikan sebenarnya pelacuran (prostitusi) tidak dapat diberantas dan
sulit untuk ditanggulangi atau ditolelir bahkan berimbas negatif. Jika prostitusi ditekan
maka akan mengakibatkan pertumbuhan
prostitusi baru hal ini terjadi dilokalisasi Tumpang Pitu. Menurut Miskawi dan
Matali (2009: 36) bahwa “Prostitusi akan
semakin marak dan berkeliaran seperti
yang berada di gang-gang kecil, pemukiman, hotel, pusat keramaian kota yang
pada akhirnya berimbas pada ketertiban dan kesehatan”.
Ada beberapa hal yang belum pernah dilihat secara
bijak bahkan memandang dari satu sudut pandang saja tampa mempersoalkan kultural. Rata-rata label yang diberikan pada pelacuran sebagai sampah masyarakat dianggap paling
tepat, masyarakat yang tanpa moralitas, perusak tatanan sosial, pemuas nafsu
yang binal. Tudingan ini tentu saja merupakan hasil
konstruksi sosial masyarakat yang merasa dirinya paling normal dan menjaga moralitas.
Namun, disisi lain jarang
sekali ada yang mengkaji motif wanita sampai masuk kedunia pelacuran, dinamika
yang dialami dan kehidupan berketuhanan (ekspresi rohani) bahkan peranan yang
dipandang berdampak positif. Siapa pun tidak akan mengingkari bahwa dunia
pelacuran bukanlah pilihan utama setiap
kehidupan sosial manusia. Bahkan, tidak ada seorangpun yang memiliki cita-cita
menjadi pelacuran. Namun, kehidupan sosiallah
yang mengantarkan seseorang menjalani kehidupan kelam.
Kaum pelacur ini adalah yang
paling rentan dari banyak sisi. Mereka juga paling rentan terhadap terjangkitnya penyakit kelamin,
seperti HIV – AIDS, yang merupakan penyakit yang mematikan. Para pelacur berani
mengorbankan diri, masa depan dan kehidupannya tidak lain hanya untuk
mendapatkan uang. Padahal hasil kerja kerasnya tidak menjadi miliknya secara
utuh, tetapi disisi lain ada yang diuntungkan dari hasil kerja kerasnya.
Berdasarkan latarbelakang
diatas perlu dikaji lebih mendalam atas wacana yang ada terkait tafsiran negatif
dan perlu di
pengkajian kembali dengan
Kritis atas tafsiran stigma negatif keberadaan pelacuran dilokalisasi yang dibangun masyarakat, sehingga menghasilkan sebuah
pertimbangan-pertimbangan bahwa pelacuran bagian dari kelompok sosial dalam
masyarakat yang seharusnya mendapatkan pengakuan yang sama. Tidak selayaknya
stigma buruk terus dilontarkan pada kelompok yang cenderung termarginalkan ini.
Disisi lain, jika pemerintah ingin memberantas Pelacuran juga perlu ada
pembinaan dan pemberdayaan agar tidak terperosok dalam dunia kelam.