Kesetaraan gender sesungguhnya telah
menempatkan posisi kaum wanita pada tingkatan yang sama dengan kaum pria. Kini,
kaum wanita telah mendapatkan pengakuan yang sama untuk melakukan berbagai
aktivitas publik yang dulu dianggap terlarang untuk dilaksanakan oleh kaum
wanita. Dalam kehidupan rumah tangga, keberadaan kaum wanita bukan hanya
sebagai penyandang peran domestik (seorang ibu rumah tangga). Namun, kaum
wanita juga mendapatkan kesempatan yang sama umtuk melakukan aktivitas sosial
ekonomi dan di bidang politik. Menurut Toler (1984:184) pada umumnya, motivasi
perempuan untuk bekerja di ranah publik didasari oleh kepentingan ekonomi rumah
tangga, mendapatkan kemandirian, belajar menghadapi tantangan sosial ekonomi,
dan untuk meningkatkan status sosial ekonominya. Namun, bagi rumah tangga
miskin penghasilan seorang perempuan dari usaha ekonomi memberi kesempatan
untuk memegang peranan yang penting dalam ekonomi rumah tangga.
Perubahan persepsi yang semakin baik terhadap perempuan
seiring dengan arah kebijakan pembangunan yang menempatkan wanita sebagai
target pemberdayaan, sehingga memiliki kontribusi dalam upaya meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia di daerah. Adapun program pembangunan yang
dikembangkan adalah program peningkatan peranan kaum perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat dengan kegiatan pokok pada beberapa aspek, yaitu: pendidikan dan
pelatihan ketrampilan perempuan, perlindungan tenaga kerja perempuan, dan
pengembangan kelembagaan atau organisasi perempuan (Kusnadi, dkk, 2006:4).
Namun demikian, tidak semua kaum wanita terjangkau oleh program pembangunan
ini, sehingga masih banyak kaum wanita yang melakukan aktivitas ekonomi yang
tidak sesuai dengan keinginan pribadi dan pandangan masyarakat. Salah satunya
adalah mereka yang bekerja sebagai WTS.
Menurut Purwanto (2008:10) salah satu alasan yang melatar
belakangi kaum wanita bekerja sebagai WTS adalah masalah ekonomi keluarga. Fakta
yang disampaikan Purwanto tersebut telah memberikan gambaran tentang sebagian
peran dan resiko menjadi seorang WTS. Kondisi ini sangat dilematis sekali,
sebab kebanyakan WTS (Wanita Tuna Susila) distereotip masyarakat sebagai
manusia rendah. Sepanjang sejarah peradaban manusia kedudukan WTS tampaknya
tidak pernah mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari kelompok sosial dalam
masyarakat yang memiliki kedudukan setara dengan kelompok masysrakat seperti
umunnya.
Menurut Siregar (1982) pandangan masyarakat yang
cenderung menyalahkan satu pihak, yaitu WTS, sedangan di lain pihak yaitu pihak
laki-laki tidak memperoleh tudingan apapun, maka pandangan masyarakat tersebut terhadap
kehidupan WTS pada kenyatannya tetap menunjukkan bahwa WTS tidak diterima
kehadirannya dan perlu segera diatasi.
Masyarakat pada umumnya menyalahkan satu pihak, yaitu
para WTS sebagai pihak yang bersalah. Padahal dalam kenyataannya prostitusi
sangat tergantung pada permintaan dan
penawaran. Dalam sosial jual beli (transaksi ini) kedua pihak tersebut secara penuh
terlibat dan berperan seimbang, selama itu pula prostitusi akan terus
berlangsung (Krisna, 1979). Hal ini mengisaratkan bahwa pada kenyatannya
keberadaan WTS tidak dapat disalahkan begitu saja.
Jika dicermati secara mendalam, para WTS juga merupakan
bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang seharusnya mendapatkan
pengakuan yang sama. Tidak selayaknya stigma baik dan buruk terus dilontarkan
pada kelompok yang cenderung termarginalkan ini. Sebenarnya ada beberapa peran
penting yang secara implisit telah dimainkan oleh para WTS ini. Termasuk di dalamnya
dalam bidang ekonomi bagi kehidupan keluarganya. Secara tidak langsung
keberadaan WTS telah menjadi katub penyelamat bagi kehidupan ekonomi
keluarganya, terlebih dalam menghadapi permasalahan ekonomi yang kian hari kian
memprihatinkan. Namun demikian, peran penting ini tak pernah dilihat secara
bijak oleh masyarakat pada umunya. Masyarakat cenderung melihat hanya dari satu
sisi yang cenderung subjektif dan menghakimi. Atas dasar pemikiran inilah maka keberadaan WTS sebagai bagian
dari kelompok sosial masyarakat merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji.
Dalam melakukan aktivitas kerjanya, keberadaan WTS dapat
dikelompokkan menjadi tiga golongan. Pertama, WTS kelas rendahan yang pada
umunya berada di jalanan dan rumah-rumah bordir. Kedua, WTS menengah yang
berada di bordir-borsdir yang cukup bersihan dan pelayanannya baik. Ketiga, WTS
kelas tinggi yang biasanya tinggal di rumahnya sendiri (terselebung) dan hanya
menerima panggilan dengan perantara yang cukup rapi dan bayarannya cukup mahal
(Soedjono, 1974).
Biasanya WTS pada golongan kedua
melakukan aktivitas kerja dan juga tinggal di sebuah kompleks lokalisasi yang
mendapat pengawasan ketat oleh pemerintah. Penempatan WTS di komplek lokalisasi
merupakan upaya pemerintah daerah dalam mengurangi dampak negatif akibat
aktivitas WTS yang dipandang amoral. Oleh karena itu, biasanya lokalisasi di
tempatkan di pinggiran kota agar jauh dari lingkungan masyarakat umum dan dapat
diharapkan untuk tidak mempengaruhi masyarakat yang ada di sekitarnya
(Soedjono,1974).
Biasanya lokalisasi berada di
sekitar daerah pantai ataupun pegunungan yang jauh dari keramaian kota. Namun
demikian lokalisasi juga berada di daerah strategis yang sangat mudah di
jangkau oleh akses publik. Salah satu lokalisasi yang berada di daerah yang
mudah dijangkau oleh akses publik ini adalah lokalisasi Sumber Loh, yang lebih
terkenal dengan sebutan Padang Bulan yang berada di Desa Benelan Kidul
Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi. Lokalisasi ini sangat mudah
dijangkau oleh masyarakat umum, alasannya lokasinya berada sekitar 17 Km dari
pusat kota Banyuwangi. Selain itu, lokalisasi tersebut sangat mudah dijangkau
transportasi umum yang siap melayani 24 jam.
Kabupaten Banyuwangi merupakan
kabupaten yang terletak di ujung paling timur di pulau Jawa yang secara
administrasi terletak sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo,
sebelah timur Selat Bali, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia
dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso.
Sehingga tidak salah jika lokalisasi dijadikan tempat persinggahan dari luar
Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan hasil pegamatan awal bahwa lokalisasi
pengunjungnya tidak hanya berasal dari lokal Banyuwangi, akan tetapi juga
berasal dari beberapa kota di sekitar Banyuwangi,
bahkan ada juga wisatawan asing yang menyempatkan diri untuk singgah di
lokalisasi di Padang Bulan (Berdasarkan Hasil Observasi Awal 2008).
Berdasarkan studi awal juga diketahui
bahwa lokalisasi Padang Bulan dihuni oleh para WTS yang berasal dari berbagai
daerah Jawa Timur. Bahkan ada beberapa WTS yang berasal dari luar Jawa (Madura,
Bali, dan Kalimantan). Umunya motif ekonomi menjadi hal yang melatar belakangi
mereka sebagai WTS. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan lokalisai memainakan
peran penting dalam bidang ekonomi bagi keluarga para WTS. Namun demikian,
peran ekonomi yang dimainkan oleh para WTS bagi keluarga sering dipandang
sebelah mata oleh masyarakat pada umumnya. Atas dasar inilah, maka dipandang
perlu untuk mengkaji secara mendalam mengenai peran WTS dalam memenuhi
kebutuhan sosial ekonomi keluarganya.
DIBIAYAI DIPA
KOPERTIS WILAYAH VII JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN 2009
NOMOR 177.0 / 23
– 04.0 /XV/2009
DIREKTORAT
JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
DEPARTEMEN
PENDIDIKAN NASIONAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar