Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang melekat pada diri
manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa . Hak asasi manusia meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga,
hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak-hak
berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan yang tidak boleh
diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Demikianlah rumusan hak asasi
manusia sebagaimana tertuang pada pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia
Indonesia vide Tap MPR No.XVII/MPR/1998 .
Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia yang isinya dikutip di atas dibuat di
di tahun yang sama ketika pelanggaran HAM berat yang terjadi di tanah
air. Kerusuhan 13-15 Mei 1998 meletus di beberapa kota. Ribuan jiwa
meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Pada
tanggal 13-14 November 1998 terjadi pembunuhan terhadap beberapa
mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa
ini dikenal sebagai tragedi Semanggi I . Prahara pada tahun 2008
tersebut menjadi peristiwa bersejarah yang membawa Indonesia pada babak
baru perjalanan bangsa. Peristiwa ini tak dapat dipisahkan dari
rangkaian krisis moneter yang telah berlangsung sejak juli 1997 yang
dimulai dari Thailand dan menyebar kebeberapa negara lain termasuk di
Indonesia dan Korea Selatan. Penjarahan dan pembakaran berbagai
fasilitas umum terjadi dimana-mana. Pembunuhan yang disertai tindakan
yang biadab seperti pemerkosaan terhadap etnis tertentu terjadi
diberbagai daerah. Keadaan di ibukota negara Jakarta mencekam begitu
juga yang terjadi di daerah-daerah seluruh Indonesia. Salah satu
tuntutan yang kemudian muncul pada saat itu adalah turunkan Soeharto dan
adili para kroni-kroninya yang dianggap telah bersalah kepada rakyat.
Kerusuhan yang berlangsung beberapa hari tersebut telah banyak memakan korban jiwa dan materi.
Bila dibandingkan dengan kerusuhan-kerusuhan sebelumnya kerusuhan Mei
1998 merupakan kerusuhan terburuk yang pernah terjadi di Indonesia.
Dalam kerusuhan tersebut, menurut TPGF, korban meninggal sebanyak 1.217
orang, luka-luka 91 orang, dan hilang 31 orang . untuk menghindari
adanya korban jiwa dan materi yang semakin banyak, akhirnya pada tanggal
21 Mei 1998 pukul 09.00 Presiden Soeharto membacakan pidato tentang
pengunduran dirinya dan secara konstitusional memberikan jabatan
presiden kepada Wakil Presiden BJ Habibie untuk melanjutkan tampuk
kekuasaan di Indonesia.
Dari pemerintahan Presiden Habibie inilah kemudian reformasi digulirkan
dengan agenda-agenda perbaikan di berbagai bidang kehidupan beebangsa
baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan maupun pertahanan dan
keamanan.
Masa pemerintahan Presiden BJ Habibie menjadi titik tonggak dimulainya
reformasi. Reformasi tersebut menggenggam agenda besar untuk
mengembalikan hak-hak rakyat yang telah lama dirampas pada masa Orde
Baru. Salah satu agenda utama reformasi adalah penegakkan HAM, yang
meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak
keadilan, hak kemerdekaan, hak-hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak
kesejahteraan. Dalam agenda itulah reformasi digulirkan hingga saat ini .
Rumusan Masalah
Melihat masih banyaknya kekerasan dan pelanggaran HAM pasca reformasi,
secara subjektif kita boleh berpendapat bahwa agenda reformasi tersebut
masih jauh dari cita-cita. Bahkan, dalam beberapa aspek, tidak tampak
adanya perubahan yang berarti dalam kaitannya dengan penegakkan HAM.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijabarkan pelaksanaan penegakan
HAM yang terjadi sejak masa reformasi dibandingkan dengan pelaksanaan
penegakan HAM pada masa Orde Baru. Pertanyaannya adalah apakah terjadi
perubahan yang berarti ke arah yang positif terhadap penegakan HAM di
Indonesia.
Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak-hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia karena
martabatnya sebagai manusia dan bukan diberikan oleh masyarakat atau
negara. Semua manusia sebagai manusia memiliki martabat dan derajat
yang sama dan dengan demikian memiliki hak-hak dan kewajiban- kewajiban
yang sama. Menurut Szabo tujuan hak asasi manusia adalah memepertahankan
hak-hak manusia dengan sarana kelembagaan terhadap penyalahgunaan
kekuasaan yang dilakukan oleh aparat Negara dan pada waktu yang
bersamaan mendorong perkembangan pribadi manusia yang multidimensional. (
Szabo, dlm. Vasak, Unesco Courier, 1997, vol.1, hal 11.)
Dalam kaitannya dengan pengertian atau notion HAM dapat dibedakan antara
an mordefinisi yuridis, politis, ddalam deklarasi politik adalah
Deklarasi umum hak-hak asasi yang diterima pada bulan Desember 1948.
Tidak ada perbedaan hakiki antara UUD 1945, Ketetapan no.II/MPR/1978
disatu pihak dan Deklarasi Universal HAM, yang ditetapkan oleh PBB.
Namun, secara de facto para pendiri bangsa ( Founding Father) yang
merumuskan UUD 1945 tidak mau memasukkan apa yang termuat dalam
Deklarasi Universal karena apa yang termuat didalamnya dirasa tidak
sesuai dengan watak ideologi bangsa Indonesia.
HAM sebagaimana yang dipahami didalam dokumen-dokumen hak asasi manusia
yang muncul pada abad ke-20 seperti Deklarasi Universal, mempunyai
sejumlah cirri menonjol. Pertama, supaya kita tidak kehilangan gagasan
yang sudah tegas sebagai hak. Kedua, hak-hak ini dianggap universal,
yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Salah
satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah
bahwa hak itu merupakan hak internasional. Ketiga, hak asasi manusia
dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan
penerapannya didalam system adat atau system hukum dinegara-negara
tertentu. Keempat, hak asasi manusia dipandang norma-norma yang penting,
dimana dalam deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut
sebagai prima facie right. Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan
kewajiban bagi individu maupun pemerintah.
Secara eksplisit hak-hak asasi dalam UUD 1945 itu sebagai hak-hak warga
Negara dalam pasal-pasal 27, 28, 29, 30, 31, 33, dan tentu saja dalam
Pembukaan UUD 1945. Di masa orde baru, semangat dan jiwa yang bertekad
untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
mendorong pengurus MPRS untuk mengadakan langkah-langkah guna membenahi
dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan
oleh G 30 S/PKI.
Hak-hak warga Negara di Indonesia diakui dan dijunjung tinggi tetapi
dalam kerangka solidaritas Indonesia, dalam konteks gotong royong.
Masalah-masalah yang tumbuh berkisar HAM di Indonesia cukup kompleks,
baik secara teoritis maupun yuridis terdapat tiga macam pandangan:
- Kelompok yang pertama berpendirian : Indonesia dengan ideology
Pancasila menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, dan peradaban.
Kecuali itu UUD 1945 secara eksplisit menjamin sejumlah hak fundamental
untk para warga Negara.
- Kelompok yang kedua : Menentang HAM, sebab menurut mereka HAM menyusahkan penyelenggara pemerintahan yang beriktikad baik.
- Kelompok yang ketiga: Mempertahankan HAM, mereka menunjukkan
adanya fakta yang membuktikan adanya pelanggaran terhadap HAM. Mereka
berusaha menyadarkan rakyat akan hak-hak fundamental mereka.
Menurut Prof. Padmo Wiyono suatu hak kemanusiaan sebenarnyja baru
menjadi permasalahan apabila seseorang berada dalam lingkungan manusia
lainnya. Rumusan hak-hak manusia dikaitkan dengan hasrat bangsa
Indonesia untuk membangun Negara yang bersifat demokratis dan yang
hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan kemanusiaan. HAM oleh suatu
Negara diakui secara hukum dapat dirumuskan dan dibagi menjadi dua
kategori:
1. Hak-hak yang hanya dimiliki oleh para warga Negara dari Negara yang bersangkutan ( hak-hak warga Negara).
2. Hak- hak yang pada dasarnya dimiliki semua yang berdomisili di Negara yang bersangkutan.
Masa Orde Baru
Sejak PKI berhasil ditumpas, Presiden Soekarno belum bertindak tegas
terhadap G 30 S/PKI. Hal ini menimbulkan ketidaksabaran di kalangan
mahasiswa dan masyarakat. Pada tanggal 26 Oktober 1965 berbagai kesatuan
aksi seperti KAMI, KAPI, KAGI, KASI, dan lainnya mengadakan demonsrasi.
Mereka membulatkan barisan dalam Front Pancasila. Dalam kondisi ekonomi
yang parah, para demonstran menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Oleh karena itu presiden memberi mandat kepada Letjen Soeharto untuk
memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Mandat itu dikenal sebagai
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Keluarnya Supersemar
dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru .
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di
Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat “koreksi total”
atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno. Orde Baru tersebut
berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,
ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek
korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara
rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar. Dalam beberapa aspek,
HAM terjamin. Tetapi dalam beberapa aspek lainnya, HAM tidak dilindungi.
Penegakan HAM pada Orde Baru
Orde Baru membawa banyak perubahan positif pada penegakan HAM.
Perubahan-perubahan tersebut antara lain menyangkut aspek politik,
ekonomi, dan pendidikan.
a. Politik
Salah satu kebijakan politik yang mendukung persamaan HAM terhadap
masyarakat Indonesia di dunia internasional adalah didaftarkannya
Indonesia menjadi anggota PBB lagi pada tanggal 19 September 1966.
Dengan mendaftarkan diri sebagai anggota PBB, hak asasi manusia
Indonesia diakui persamaannya dengan warga negara di dunia. Ini menjadi
langkah yang baik untuk membawa masyarakat Indonesia pada keadilan dan
kemakmuran.
b. Ekonomi
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan
utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang
didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat.
Dalam hal ekonomi, masyarakat mendapatkan hak-hak mereka untuk
mendapatkan hidup yang layak. Program transmigrasi, repelita, dan
swasembada pangan mendorong masyarakat untuk memperoleh kemakmuran dan
hak hidup secara layak.
c. Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, masa Orde Baru menampilkan kinerja yang
positif. Pemerintah Orde Baru bisa dianggap sukses memerangi buta huruf
dengan beberapa program unggulan, yaitu gerakan wajib belajar dan
gerakan nasional orang tua asuh (GNOTA). Dengan demikian, masyarakat
Indonesia mendapatkan hak asasinya untuk mendapatkan pendidikan.
Pelanggaran HAM pada Orde Baru
Harus diakui pada masa Orde Baru dari segi pembangunan fisik memang ada
dan keamanan terkendali, tetapi pada masa Orde Baru demokrasi tidak ada,
kalangan intelektual dibelenggu, pers di daerah di bungkam, KKN dan
pelanggaran HAM terjadi di mana-mana . Secara garis besar ada lima
keburukan Orde Baru, yaitu: kekuasaan pemerintah yang absolut, rendahnya
transparansi pengelolaan negara, lemahnya fungsi lembaga perwakilan
rakyat, hukum yang diskriminatif, dan dan lemahnya perlindungan HAM.
a. kekuasaan pemerintah yang absolut
Suharto, presiden Republik Indonesia ke-2, menduduki tahta kepresidenan
Indonesia selama 32 tahun. Itu berarti, Suharto telah memenangkan
sekitar enam kali pemilihan umum (Pemilu). Pada waktu itu, kekuasaan
Suharto didukung oleh partai Golongan Karya yang dibayang-bayangi oleh
Partai Demokasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Tampak jelas
dalam pemerintahan Suharto di mana pemerintahan dijalankan secara
absolut. Presiden Suharto mengkondisikan kehidupan politik yang
sentralistik untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu hak sebagai warga
negara untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan menjadi hak yang
sulit didapatkan tanpa melakukan kolusi dan nepotisme.
b. rendahnya transparansi pengelolaan
Rendahnya transparansi pengelolaan negara juga menjadi salah satu
keburukan pemerintahan Orde Baru. Transparansi merupakan bentuk
kredibilitas dan akuntabilitasnya. Suatu undang-undang tidak mengikat
jika tidak diundangkan melalui lembaran negara. Suatu sidang pengadilan
dianggap tidak sah apabila tidak dibuka untuk umum. Penelitian yang
dilakukan oleh lembaga peneliti yang menyangkut kepentingan masyarakat
harus dipublikasikan. Pada masa Orde Baru, hak penyiaran dikekang.
Berita-berita televisi dan surat kabar tidak boleh membicarakan
keburukan-keburukan pemerintahan, kritik terhadap pemerintah, dan
berita-berita yang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan nasional.
Keuangan negara juga menjadi rahasia internal pemerintahan. Hutang
negara menjadi terbuka jelas pun saat krisis dunia melanda. Indonesia
tidak mampu membayar hutang luar negeri yang bertumpuk-tumpuk. Lebih
dari itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang menurun tajam
memaksa perusahaan-perusahaan memecat sebagian karyawannya untuk
mengurangi biaya produksi. Bahkan, banyak perusahaan tumbang dan gulung
tikar karena negara tidak mampu membayar hutang luar negeri. Bila
dirunut lebih dalam, semua itu berakar dari rendahnya transparasi
pemerintah terhadap masyarakat.
c. Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat
Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat menjadi salah satu keburukan
Orde Baru. Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat
menjadi semacam boneka yang dikendalikan oleh pemimpin negara. Dalam hal
ini, aspirasi-aspirasi dan keinginan rakyat tidak mampu diwujudkan oleh
pemerintah. Program-program pemerintah seperti LKMD, Inpres desa
tertinggal, dan seterusnya, menjadi semacam program penjinakan yang
dilakukan oleh penguasa agar rakyat miskin tidak berteriak menuntut
hak-hak mereka.
d. Hukum yang diskriminatif
Hukum yang diskriminatif menjadi keburukan Orde Baru selanjutnya. Hukum
hanya berlaku bagi masyarakat biasa atau masyarakat menengah ke bawah.
Pejabat dan kelas atas menjadi golongan yang kebal hukum. Hak masyarakat
untuk mendapatkan perlakukan yang sama di depan hukum menjadi hal yang
sangat langka. Hak asasi sosial dilanggar oleh pemerintah.
Beberapa kekurangan sistem orde baru dapat dirangkum dengan enam poin, yaitu:
- semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme,
- pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya
kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan
karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat,
- munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua,
- kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran
yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya,
- bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin),
- kritik dibungkam dan oposisi diharamkan,
- kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel,
- penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program “Penembakan Misterius” (petrus), dan
- tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya).
Perlindungan HAM dalam Orde Baru memang dirasa masih lemah. Berita
mengenai penembakan misterius terhadap musuh-musuh negara —-termasuk
teroris, menjadi catatan hitam Orde Baru. Diskriminasi terhadap hak-hak
asasi kaum minoritas dan Chinese pun menjadi pelanggaran HAM yang tidak
bisa dilupakan. Meski demikian, Orde Baru memperlihatkan peran yang
besar untuk menjaga stabilitas nasional. Stabilitas nasional ini
memungkinkan negara untuk menjaga terlaksananya pelaksanaan perlindungan
HAM bagi masyarakat.
Periode Reformasi
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis
moneter tahun 1997 . Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus
memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus
memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus
meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok
menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang
digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah
perbaikan ekonomi dan reformasi total.
Periode Reformasi diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi
Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Pada tanggal 21 Mei 1998
Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI
dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa
ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde
Reformasi.
Penegakan HAM pada Masa Reformasi
Orde reformasi membawa banyak perubahan ke arah yang lebih baik.
Beberapa perubahan positif yang dibawa oleh reformasi pada periode
jabatan presiden B.J. Habibie adalah:
a. Kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket
undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang
lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
• UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
• UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
• UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
Kebijakan dalam bidang politik ini membawa pengaruh pada tata politik
yang adil. Hak warga negara untuk mendapatkan kedudukan di bidang
politik dan pemerintahan menjadi terbuka. DPR dan MPR mulai berfungsi
dengan baik sebagai aspirasi rakyat untuk memperoleh hak-hak mereka.
b. Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor
perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perbankan menjadi sektor yang
penting untuk menjaga stabilitas ekonomi. Masalah utang negara dan
inflasi menyebabkan masyarakat tidak berdaya untuk memperoleh kehidupan
yang layak. Bank Indonesia menjadi pusat keuangan negara untuk mengatur
aliran uang demi stabilitas ekonomi rakyat.
c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat
kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari
berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik
secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan
pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers
dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha
Penerbitan (SIUP). Dengan pers, masyarakat dapat menyerukan aspirasi
mereka. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi secara jelas dan
terbuka pun mulai dibuka.
d. Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu
multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu
tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain masa
pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha
Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah
Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor
Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di
bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa
mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor
Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur
mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste
dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
Beberapa Pelanggaran HAM pada Masa Reformasi
Sekalipun terdapat berbagai pembenahan, di masa reformasi masih terjadi
banyak pelanggaran HAM. Dalam beberapa hal, HAM sudah cukup ditegakkan.
Tetapi dalam beberapa hal lain, pelanggaran HAM justru semakin marak
setelah masa reformasi berlangsung. Berikut ini adalah beberapa kasus
pelanggaran HAM yang terjadi pada masa reformasi.
a. Kebijakan Yang Anti Rakyat Miskin
Dalam pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi sosial dan
budaya, kinerja pemerintah sangat lemah. Pemahaman aparat pemerintah
terhadap hak asasi, baik di lembaga eksekutif – termasuk aparat penegak
hukum maupun di lembaga legislatif menjadi hambatan utama bagi
pelaksanaan instrumen-instrumen HAM internasional yang sudah
diratifikasi. Pemahaman yang lemah terhadap hak asasi manusia, dan
lemahnya komitmen untuk menjalankan kewajiban menghormati, melindungi,
dan memenuhi hak telah berdampak pada meluasnya pelanggaran HAM,
khususnya terhadap warga yang lemah secara ekonomi, sosial dan politik.
Ini diperparah dengan kebijakan/strategi ekonomi pasar yang pro-modal
kuat yang telah membawa dua dampak di bidang aturan hukum/perundangan.
Pertama, aturan hukum telah diskriminatif terhadap kaum miskin dan
secara sistematis menghilangkan hak-hak dasar kaum miskin; Kedua,
diabaikannya/ tidak dijalankannya hukum dan peraturan yang secara
substansial berpihak pada kelompok miskin
b. Meningkatnya Pengangguran dan Masalah Perburuhan
Di antara regulasi yang disusun sepanjang tahun 2000 hingga 2006, paling
tidak ada tiga perundang-undangan yang selama tahun 2007 selalu
mewarnai seluruh dinamika perburuhan. Perundang-undangan itu adalah UUNo
21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh, UU No 13 tahun 2003, dan UU No. 2
tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI. Ketiga Undang-undang itu kemudian
menjadi roh sistem perburuhan di Indonesia. Melalui UU No 13 tahun
2003, pemerintah mengundang para investor untuk membuka lapangan kerja
dengan mengurangi “perlindungan” terhadap buruh. Tingkat upah yang
tinggi di Indonesia sering dipandang membebani kaum pengusaha sehingga
mereka menuntut agar biaya tersebut ditekan.Alih-alih mengurangi jumlah
pengangguran, justru PHK massa dilegalkan. Akibat PHK tersebut, ribuan
buruh ikut menambah jumlah pengangguran. Berdasarkan survey yang
dilakukan BPS, pada bulan Oktober 2005 tingkat pengangguran terbuka
diperkirakan mencapai 11,6 juta oarang atau 10,84% dari angkatan kerja
yang ada yaitu 106,9 juta orang. Angka ini jauh lebih tinggi 700.000
dibandingkan awal tahun 2005. Kemudian pada Februari 2006 angka
pengangguran mencapai 11,10 juta orang (10,40%). Sementara itu, pada
bulan Februari 2007, jumlah pengangguran terbukti tetap masih tinggi
yaitu sekitar 10,55 juta dengan tingkat pengangguran terbukamencapai
9,75%. Hingga pertengahan tahun 2007, masih ada 60.000 kasus pemutusan
hubungan kerja (PHK) yang belum terselesaikan. Nilai pesangon dari
seluruh kasus tersebut mencapai sekitar 500 milyar rupiah. Salah satu di
antaranya adalah kasus PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI). Selama kasus
belum terselesaikan, agar tetap hidup, puluhan ribu buruh tersebut
kemudian bekerja lagi dengan sistem kerja baru yang mencekik. Pada tahun
2007 buruh kembali diresahkan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) yang menurutnya akan mengatasi berbagai klausul kontroversial
dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut. Paket rancangan tersebut
berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang
Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak. Kedua,
RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK).
Singkatnya, paket-paket RPP tersebut mengandung arti melestarikan sistem
kontrak dan outsorcing dan mempertegas pelegalan PHK. Dengan demikian
perjuangan kaum buruh menuntut hak-hak normatifnya akan semakin jauh
dari realitas.
c. Terabaikannya hak-hak dasar rakyat
Rubrik Fokus dalam Harian Kompas membuat deskripsi secara detail
mengenai fenomena kemiskinan paling kontemporer di negeri ini . Ulasan
Fokus ini antara lain menyebutkan bahwa pemerintah sudah semestinya
merasa malu! Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah yang
sangat luas dan kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang kondusif, tanah
yang subur, dan selama puluhan tahun rajin berutang miliaran dollar AS
ke berbagai negara dan lembaga internasional, kok bisa sampai rakyatnya
mengalami busung lapar atau mati kelaparan. Dibandingkan dengan
negara-negara tetangga di Asia seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan
China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi, angka kematian
ibu, anak putus sekolah, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran,
tingkat pendapatan,dan berbagai indikator kesejahteraan lainnya, lebih
buruk. Bahkan dibandingkan Vietnam pun Indonesia kalah. Merebaknya kasus
busung lapar dan sejumlah penyakit lain yang diakibatkan oleh
kemiskinan, juga menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan
pangan, sandang, dan kesehatan sebagai hak paling dasar minimum rakyat.
Meskipun tidak semua kasus malnutrisi adalah akibat faktor ekonomi,
kasus busung lapar yang mengancam sekitar 1,67 juta atau delapan persen
dari total anak balita di Indonesia diakui terkait erat dengan rendahnya
daya beli dan akses masyarakat miskin ke pangan. Masih tingginya
tingkat kelaparan di masyarakat menunjukkan ada yang tidak beres dengan
kebijakan pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan pembangunan
memang telah berubah. Pemenuhan hak dasar rakyat merupakan salah satu
komitmen yang tertuang dalam Strategi Pembangunan Nasional 2004-2005.
Namun pada kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga sekarang
sepertinya belum berubah dimana pembangunan masih menekankan pada
pertumbuhan ekonomi, dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan.
Kesimpulan
Melihat seluruh kenyataan yang ada penulis dapat mengambil kesimpulan
bahwa HAM di Indonesia sangat memprihatinkan dan masih sangat minim
penegakannya. Sekalipun terjadi perubahan ketika bangsa Indonesia
memasuki masa reformasi, tetapi toh tidak banyak perubahan yang terjadi
secara signifikan. Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi bisa
disebabkan oleh beberapa faktor seperti : Telah terjadi krisis moral di
Indonesia, Aparat hukum yang berlaku sewenang-wenang, Kurang adanya
penegakan hukum yang benar, dan masih banyak sebab-sebab yang lain.
Maka untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu :
1. Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi,
2. Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang,
3. Sanksi yang tegas bagi para pelanggara HAM, dan
4. Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat.
Penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah
tetapi juga tanggungjawab semua umat manusia. Hak Asasi Manusia
merupakan hak kodrati manusia. Melanggar dan menciderai HAM berarti juga
menciderai kasih dan kebaikan Allah bagi umat manusia.
Daftar Pustaka
Sumber: http://filsafat.kompasiana.com
- Adnan Buyung Nasution, 2006, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Bindar Gultom, 2010, Pelanggaran HAM dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Fadli Zon, 2009, Setelah politik bukan panglima sastra: polemik
hadiah Magsaysay bagi Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: Institute for
Policy Studies.
- Lalu Misbah Hidayat, 2007, Reformasi Administrasi: Kajian
Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden : Bacharuddin Jusuf Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
- Majelis Permusyawaratan Rakyat, Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia, Tap MPR No.XVII/MPR/1998.
- Muljono, Pudji (ed.), 2003, Hak Asasi Manusia (Suatu Tunjauan Teoritis dan aplikasi), Jakarta: Restu Agung.
- Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (Indonesia), 2003, Krisis masa kini dan Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Saraswati, L. G. dan Rocky Gerung, Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus, 2006, Jakarta: Filsafat-UI Press.
- Sofian Munawar Asgart, 2011, Kemiskinan, Pemiskinan, dan
Demokratisasi, KOMPAS.com, 6 Juni 2011, diakses pada 9 Desember 2011
pukul 17.42.
- Todung Mulya Lubis, 2005, Jalan panjang hak asasi manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 1999, Fakta tragedi
Semanggi: analisis hukum, sosial-politik, moral, Jakarta: Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya.