Miskawi
(Pasca UNS Pend. Sejarah)
(Pasca UNS Pend. Sejarah)
A. Latar Belakang
Sekarang ini kita memasuki era posmodernisme. Kita hidup pada zaman yang
mengalami perubahan dramatis. Struktur yang telah bertahan dari generasi ke
generasi sedang mengalami keruntuhan, atau diruntuhkan. Sangat sulit mengetahui
definisi istilah ‘posmodernisme’, karena jika definisi diartikan sebagai
sesuatu yang bisa disepakati, tunggal, dan bulat; maka kesepakatan,
ketunggalan, dan kebulatan itulah yang tidak diinginkan oleh posmodernisme. Kita
hanya bisa mengira-ngira apa yang menjadi ciri-ciri posmodernisme. Hanya dengan
membuat pengelompokan, barulah kita dapat menangkap arti atau definisi
posmodernisme.
Posmodernisme memiliki
keragaman gerakan, sebagai akibat akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya.
Kategori pertama, adalah gerakan posmodernisnme yang digagas oleh Nietzsche, Derrida, Foucault,
Vattimo, Lyotard, dan lain-lain.
Gerakan ini menggagas pemikiran-pemikiran yang banyak berurusan dengan
persoalan linguistik. Kata kunci yang populer untuk kelompok ini adalah
“dekonstruksi”. Mereka cenderung hendak mengatasi gambaran dunia (worl-view)
modern melalui gagasan yang anti world-view sama sekali. Mereka
mendekonstruksi atau membongkar segala unsur yang penting dalam sebuah world-view
seperti: diri, Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, dsb. Awalnya strategi
dekonstruksi ini dimaksudkan untuk mencegah kecenderungan totalitarisme pada
segala sistem; namun akhirnya cenderung jatuh ke dalam relativisme dan
nihilisme.
Kategori kedua, posmodernisme adalah segala pemikiran yang hendak merevisi
modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan dengan
memperbarui premis-premis modern di sana-sini saja. Di sini, tetap diakui sumbangan
besar modernisme seperti: terangkatnya rasionalitas, kebebasan, pentingnya
pengalaman, dsb. Heidegger hanyalah salah satu
posmodernis yang masuk kategori kedua ini. Philoshopy of difference yang
dinisbatkan kepada Heidegger mengatakan bahwa segala perbedaan antara kepalsuan
dan kebenaran, rasional dan irrasional harus diletakkan di luar jangkauan
bahasa dan konsep-konsep yang melekat dengannya. Ini berarti bahwa segala
sesuatu yang kita hadapi dalam pengalaman kita di dunia tidak kurang dan tidak
lebih dari suatu penafsiran; dan segala sesuatu di dunia ini selalu ditafsiri
sesuai dengan nilai-nilai subjektif dalam diri kita. Di sini yang bermain
adalah dunia interpretasi yang berbeda-beda. Philosophy of difference kemudian
menjadi asas bagi penolakan terhadap kebenaran transenden.
Karakter yang sering disuarakan
postmodernisme antara lain adalah pluralisme, heterodoks, eklektisisme,
keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi,
dekonstruksi,pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi,
de-definisi,demistifikasi, delegitimasi serta demistifikasi (Bertens,
1995: 44).
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana konteks historis lahirnya teori
dekonstruksi?
2. Bagaimana teori dekonstroksi sebagai kecenderungan
baru dalam membaca teks filosofis?
3.
Bagaimana penerapan dan sistematika dekonstruksi?
4. Bagaimana differance dan metafor dalam teori dekonstruksi Derrida?
5. Bagaimana pluralitas makna menurut teori
dekonstruksi Derrida?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konteks historis lahirnya teori dekonstruksi
Derrida.
2. Untuk mendeskripsikan teori dekonstroksi sebagai kecenderungan baru dalam
membaca teks filosofis.
3. Untuk mengetahui penerapan dan sistematika dekonstruksi.
4. Untuk mengetahui differance, metafor dan peranan imajinasi dalam teori
dekonstruksi Derrida.
5. Unntuk mendeskripsikan pluralitas makna menurut teori
dekonstruksi Derrida.
BAB II
PEMBAHASAN
Jacques Derrida
dikenal sebagai pendasar teori dekonstruksi yang menjadi wacana postmodern.
Sebagai pendasar teori, tentunya ada sejumlah ide menyertai perjalanan refleksi
intelektualnya, sampai pada akhirnya ia menggagas konsep dekonstruksi. Oleh
karena itu, ada beberapa hal pokok yang penulis sajikan untuk memahami konsep
dekonstruksi Derrida. Pertama-tama adalah dengan memahami belakang konsep
lahirnya dekonstruksinya.
Kemudian, penulis akan
menjelaskan beberapa butir pemikiran yang menyertai konsep dekonstruksi antara
lain adalah différance dan metafor serta peranan imajinasi di dalamnya.
Setelah menjelaskan makna imajinasi di dalam dekonstruksi, terakhir penulis
coba mengangkat sebuah tendensi postmodernisme untuk melahirkan filsafat
imajinasi sebagai jawaban atau realitas yang selalu ambigu.
1. Konteks
Historis Lahirnya Teori Dekonstruksi.
Jacques Derrida
(1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting
post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi
pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia
tinggal sampai akhir hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École Normale
Supérieure di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di
Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004.
Derrida
bisa dikatakan seorang penerus Heidegger yang sama-sama mengkritik rasionalisme
Barat. Gaya mengkritiknya sering disebut gaya yang tak lazim dalam berfilsafat,
seperti menghindari upaya argumentatif dalam membangun proyek filsafat,
bermain-main, alusif dan literer. Usaha mengkirtiknya ini menghasilkan suatu
pemikiran bahwa filsafat bukan lagi suatu representasi kebenaran. Bahasa lisan
adalah instabil yang tidak memungkinkan lagi lahirnya makna yang berbeda
berdasarkan konteks. Baginya, segala sesuatu adalah teks dan kenyataan
filosofis adalah kenyataan tekstual.
Pemikiran Dekonstruksi
Derrida yang memberikan warna bagi dunia postmodernisme, merupakan jawaban atas
situasi pemikiran yang dikuasai post-Hegelian yang sangat menekankan
metafisika. Dalam “dunia yang lupa akan Ada,” metafisika selalu menjadi tema
yang utama dan tetap. Maka, dogma-dogma metafisika dan bahasa-bahasa metafisika
yang merupakan tradisi lama menjadi bahan kritikannya.
Dalam karya-karya awalnya,
Derrida masuk ke dalam proyek fenomenologi Husserl. Di sini Husserl melanjutkan
tradisi metafisika untuk mendapatkan kebenaran sebagai kehadiran pada dirinya.
Selain Husserl, Derrida juga memakai beberapa pemikiran Heidegger di mana ada
juga beberapa yang dibantahnya. Tetapi Derrida sempat tenggelam dalam pemikiran
Heidegger, bahwa pemikiran bukanlah yang menentukan bahasa melainkan bahasalah
yang menentukan pikiran. Jika pikiran itu selalu
terbatas oleh bahasa yang berhingga yang tidak bisa menjadi ‘master’
maka bisa dikatakan bahwa pikiran dapat menimbulkan masalah-masalah tentang
cara-cara berbahasa yang telah ditentukan. Maka, dengan mempelajari
pemikiran-pemikiran para filsuf yang berpengaruh, ia menemukan teorinya yang
sama sekali bertolak belakang.
2.
Teori Dekonstroksi Sebagai
Kecenderungan Baru Dalam Membaca Teks Filosofis.
Derrida yang juga diakui sebagai salah satu tokoh dalam
paham “postmodern”, memiliki tradisi medan gagasan yang dikenal dengan
“dekonstruksi”. Dekonstruksi merupakan manifestasi dari metode ironi atas
wacana maupun teks sebagai wujud dari “Grand Narration”, yang menentukan
kelemahan dalam teks yang diteliti dengan fraktur yang terlihat seperti suatu
kesatuan. Terlihat, karena teks pada titik tertentu gagal untuk menarik
kesimpulan sendiri dari dasar-dasar pikiran yang dibangun dan ditampilkan.
Tradisi gagasan ini juga merupakan reaksi kritis yang turut
mengawal penolakan terhadap logosentrisme dengan atribut kebenaran tunggal
(cara berpikir oposisi biner) melekat padanya. Nalar dekonstruksi yang
ditawarkan Derrida termaktub dalam dua langkah penalaran. Pada langkah yang
pertama, dekonstruksi; membalikkan keadaan, dan membuat sisi tertindas menjadi
satu dominasi. Namun, tidak berhenti sampai tahap itu, kita tidak akan puas
hanya dengan membalik hierarki antara dua sisi yang bertentangan, maupun
mengubah salah satu sisi dengan dominasi yang menukik ke bawah dan sebaliknya.
Pada langkah yang kedua dalam dekonstruksi, kita melemahkan perbedaan antara
kedua sisi yang bertentangan sebagaimana kita juga menggantikan seluruh oposisi
yang mendukung gagasan lain.
Pada langkah yang pertama, melibatkan
penghancuran/pembongkaran gambar/tampilan yang sebelumnya mendominasi,
mendukung apa yang tersembunyi, dan yang didominasi. Pada langkah yang kedua,
melibatkan penghancuran/pembongkaran kedua kutub, tetapi pada saat yang sama
juga berlangsung perpindahan pada mereka, dan kesemuanya itu kemudian membangun
suatu yang baru dan lebih luas.
Tradisi dekonstruksi Derrida selalu berupaya melakukan
pembalikan (kontinuitas) terhadap oposisi biner. Pergantian posisi antara yang
menjadi pusat dan prinsip dengan yang bukan prinsip dan berada di luar
lengkungan pusat, meletakkan ketelanjangan tetapi tersembunyi, pengungkapan
makna-makna yang tersembunyi ke permukaan, merupakan salah satu tujuan dari
tradisi gagasan dekonstruksi Derrida.
Bagi Derrida, filsafat
harus dilihat pertama-tama sebagai tulisan. Maksudnya, sebagai tulisan filsafat
tidak merupakan ungkapan transparan pemikiran secara langsung. Dengan itu, filsafat
yang dilihat sebagai tulisan selalu bersifat tekstual. Dekonstruksi
Derrida hadir sebagai modus baru dalam membaca teks-teks filosofis, yang adalah
cara untuk melacak struktur dan strategi pembentukan makna di balik tiap teks
itu. Secara praktis, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, untuk
membongkar modus membaca dan menginterpretasi apa yang mendominasi dan
menguatkan fundamen hierarki.
Interpretasi yang demikian
itu menunjukkan ambisi filsafat pada umumnya untuk melepaskan diri dari statusnya
sebagai tulisan dan ingin agar bahasa yang digunakan itu manjadi sarana
transparan yang menampilkan makna dan kebenaran real yang bersifat
ekstralinguistik. Cara yang biasa ditempuh adalah dengan mengacu pada dasar
yang diklaim sebagai eviden dan menata logika sedemikian hingga tampil utuh,
koheren dan tidak ambigu. Namun bagi Derrida,
semua ambisi dan upaya semacam itu tidak akan pernah mungkin berhasil. Dalam
setiap tulisannya dan mungkin dalam setiap karyanya, Derrida selalu meluncurkan
proyek dekonstruksi.
Ia sepertinya sangat
menyadari akan realitas yang semakin ambigu sehingga hampir tidak pernah setuju
dengan pandangan berbagai filsuf. Ia terkesan ingin melihatnya dalam suatu
pandangan yang baru. Ia menolak struktur-struktur yang telah dibentuk oleh tradisi
rasionalisme Barat. Ia juga terkesan tidak mau menyelesaikan sesuatu dengan
sesuatu yang final. Ia menolak adanya pemikiran yang berujung pada akhir yang
pasti atau absolut. Ia memberikan wacana yang luas yang terus mengalir dan
menjadi bagi manusia tanpa harus terikat dengan narasi yang ada sebelumnya.
Dalam
dekonstruksinya Derrida menyatakan bahwa makna tidak pernah hadir sepenuhnya,
tetapi selalu tertunda. Untuk menjelaskan hal ini, Derrida menciptakan
kata Prancis yaitu differance. Besamaan dengan munculnya konsep differance,
perjalanan mendekonstruksi metafisika kehadirannya sampai pada satu titik
problematik dalam filsafat Barat tentang metafor serta relasinya dengan
kebenaran. Kekuatan metafor bagi Derrida terletak pada kemampuannya dalam
menunda kebenaran yang menjadi sentral sejarah metafisika.
Lalu, jika kita bertanya dari manakah munculnya metafor? Di sinilah kita mulai
dapat menyadari peranan imajinasi dalam menghadirkan metafor itu. Imajinasi
adalah kekuatan yang memungkinkan tanda-tanda itu bebas memainkan perannya
melampaui logika. Dalam hal ini, Derrida memahami imajinasi sebagai efek dari differance
itu sendiri, yang muncul akibat tegangan antara pembatasan perspektif dan
keterbukaan, juga antara kejelasan makna dan ambiguitas.
3. Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi.
Pada awalnya,
dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi
dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung,
terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan
terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal
di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna
alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan.
Dekonstruksi
menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi
(pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang
mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang
dalam teks yang ditulisnya.
Proses
penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan,
dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk
kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu
berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena
selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi,
sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda. Ini juga
memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus
dilakukan dengan hati-hati.
Ada suatu
paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud
menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat
untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk
membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif. Penjelasan
ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya
perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya
terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan
muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau
“dekonstruksi melarang itu.”
Namun, ada ciri
tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya
Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan
tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat. Kekhasan cara
baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan
filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar
bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak
akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran
modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur
yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan
filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.
Oleh karena itu,
dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif,
filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah
berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran
filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material,
baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan
untuk kepentingan filosofis. Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin
melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan
yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk
menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik, atau dalam
istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar.
Sedangkan
tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya
penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang
mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks. Sistematika
penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama,
mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat
peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.
Kedua,
oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di
antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga,
memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa
dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama. Dengan langkah-langkah semacam
ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa
selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan terkadang berusaha
menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah
memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau
kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.
4. Differance dan
Metafor Dalam Teori Dekonstruksi Derrida.
Pemikiran
akan différance merupakan jalan kemungkinan berpikir yang membebaskan
tulisan dari interpretasi metafisis, di mana bahasa ditujukkan untuk
mengekspresikan makna atau kebenaran kehadiran pada dirinya. Différance itu memiliki perbedaan
dengan différence atau différer. Dalam kamus Prancis kata différer
mengandung arti berbeda, bertolak belakang, tidak mempunyai kesamaan (kata
kerja intransitif) dan menunda, menangguhkan, mengundurkan waktu (kata kerja
transitif) . Kata differance diciptakan Derrida untuk menunjuk bagaimana
makna ditirunkan dari penundaan dan tidak pernah hadir sepenuhnya, melainkan
selalu tertunda (postponed). Karena itu, différance tidak pernah
dapat dijadikan objek ilmu pengetahuan sebab itu tidak tertangkap dengan
kehadiran.
Dekonstruksi
Derrida bermula dari huruf. Dan hal ini kita saksikan bagaimana Derrida
memanipulasi huruf a pada difference untuk memperlihatkan betapa
ambigunya sebuah kata yang tampak tunggal dan sederhana.
Adanya pemikiran tentang différance merupakan suatu keinginan untuk
tidak berada dalam metafisika. Dengan kata lain, Derrida berusaha untuk
melebihi metafisika, melampaui pemikiran yang ditandai kehadiran. Maka différance
sebenarnya tidak ada, untuk tidak menguraikannya dalam suasana atau kerangka
metafisis.
Istilah Différance,
dapat dibeakan dalam empat arti yaitu: pertama, différance menunjuk
kepada apa yang menunda kehadiran. Différance adalah proses penundaan
yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli. Kedua, différance adalah
gerak yang mendiferensiasikan karena différance bergerak dalam oposisi
terhadap konsep-konsep. Ketiga, différance adalah produksi semua
perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dalam setiap
struktur. Keempat, différance juga dapat menunjukan berlangsungnya
perbedaan antara
Différance
bagi Derrida juga bukan merupakan suatu asal usul. Bila demikian, ia akan jatuh
pada metafisika. Ia jatuh pada identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan
tekstual. Dengan pemikiran ini Derrida menolak penjadian différance
sebagai suatu makna transendental. Différance juga menganut
tekstualitas, menunjuk pada yang lain. Bagi Derrida, tak ada identitas
terakhir. Maka bisa dikatakan bahwa realitas itu menunjuk pada yang lain dan
tidak pernah berhenti atau berakhir. Di sinilah keradikalan Derrida dalam
filsafatnya. Bagi Derrida, tak ada ruang lagi untuk suatu dimensi tak
berhingga.
b.
Metafor
Sejarah metaphor menurut Derrida pertama-tama
mengandaikan adanya arkhe transendental yang menjadi basis pengetahuan
dan asal-usul bahasa. Konsep metafor pertama kali dirumuskan secara gamblang
oleh Aristoteles dalam Poetica. Aristoteles menyatakan bahwa metafor
terdiri atas pemberian (epiphora) nama (onomatos) atau sesuatu
yang sebetulnya milik sesuatu yang lain.
Menurut Aristoteles, sumber arkhe pertama
dari metafor adalah alam. Alam memberikan dirinya dalam bentuk metafor. Manusia
meniru pergerakan alam dan menciptakan sebuah sistem bahasa yang puitis untuk
mendramatisasi kekagumannya pada alam. Dengan kata lain
metaphor lahir dari hasrat mimetik untuk meniru sesuatu yang ideal dan tak
terbahasakan.
Dalam artikelnya, The Retrait of Metaphor,
Derrida mengembangkan gagasan metafor yang dibangun Heidegger. Ada pun metafor
yang oleh Heidegger ditampilkan dengan mendekonstruksi metafisika, adalah
reaksi terhadap genealogi Nietzsche yang mengutamakan metafor dengan cara
melacak akar metaforis pernyataan-pernyatan filosofis.
Dengan dekonstruksi metafisika dan kritiknya
atas konsep metaphor yang dibangun Nietzsche itu sebetulnya Heidegger bermaksud
untuk mengubah sikap dasar kita dalam memandang bahasa secara umum. Baginya,
hubungan yang otentik dengan bahasa, bukanlah hubungan di mana bahasa kita
anggap sebagai objek atau sarana belaka dan kita gunakan berdasaran suatu
sistem predikasi dan penekanan baku yang ketat dan pasti.
Menurut Derrida, bahasa pertama-tama adalah suatu kenyatan terberi yang
menyingkapkan sebuah dunia bagi kita sedemikian hingga dunia yang kita pahami
selalu berkait erat dengan bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu
yang yang kita pahami di luar bahasa.
Derrida kemudian mengubah haluan konsep ini.
Bila Heidegger menyerang metafisika dalam pembendaan antara taraf inderawi dan
non inderawi, maka Derrida menyerang metafisika dalam pembedaan arti katanya.
Bagi Derrida, baik antara ‘bunyi kata’ dan dan artinya, maupun antararti dan
antarbunyi kata itu sendiri, pembedaan yang terjadi hanyalah permainan yang
bisa dibuat sewenang-wenang.
Akibatnya, arti literal dan arti metaforis
tidaklah jelas untuk diketahui. Dekonstruksi memiliki
sendi tak tergoyangkan ketika dia menyatakan kemustahilan pereduksian metaphor
karena difference telah ‘mengerjai’ makna ‘literal’ yang baku. Segala
pernyataan bisa bersifat metaforis bisa juga literal tergantung pada bagaimana
kita membedakannya. Dengan kata lain, pembedaan antara yang literal dan yang
metaforis sebetulnya tidak ada artinya lagi, sehingga dekonstruksi menemukan
bahwa tidak ada yang dinamakan makna literal itu.
5. Pluralitas
Makna Menurut Teori Dekonstruksi Derrida.
Menurut
Marvin Harris (1992:153-154) postmodernisme merupakan gerakan intelektual yang
(sedikit) bertentangan dengan modernisme. Istilah ini lebih menitikberatkan
pemahaman budaya dalam konteks khusus. Postmodernisme juga tidak memiliki
paradigma penelitian yang lebih istimewa. Bagi Foucault, postmodernisme akan
menghubungkan antara ilmu dan alasan. IImu akan mencari “best answer”. Namun,
jawaban yang hadir dalam pandangan post modernisme akan menolak generalisasi.
Kebenaran, lebih mengandal kan pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas,
lokal, plural, tak menentu, dan penafsiran.
Salah
satu karakteristik postmodernisme adalah tak suka pada makna tunggal sebuah
fenomena budaya. Mereka cenderung meman dang budaya itu bermakna banyak
(plural). Budaya menyuguhkan makna yang bersifat poliinterpretable, sehingga
boleh dimaknai sekehendak hati. Dari sini, realitas budaya dipandang sangat
proble matis dan menampilkan makna plural. Pendek kata, postmodernisme seirama
dengan kajian pascastrukturalisme. Dia menolak ide struktur sebagai penopang
makna yang mapan. Bahkan Strorey (2003:123) menyatakan pascastrukturalisme
“mengimani” bahwa makna selalu dalam proses, tak pernah final.
Paham
postmodernisme atau dekonstruksi, menolak otoritas sentral dalam pemaknaan
budaya. Makna budaya tidak harus tunggal, melainkan bersifat terbuka pada makna
yang lain. Makna mungkin ada dalam apa saja, hal-hal yang kecil, yang kurang
diperhatikan, kurang disinggung, kemungkinan justru memiliki makna yang besar.
Jadi, postmodernisme lebih menolak segala asumsi-asumsi yang membelenggu
pemaknaan. Hal ini tidak berarti bahwa postmodernisme hanya ingin menang
sendiri, hanya kecewa dengan paradigma penelitian sebelumnya, dan atau hanya
tergelincir pada eforia, melain kan memiliki dasar-dasar yang kuat dan logis
dalam pemaknaan.
Jika kaum
modernis selalu mengandalkan “rahasia makna” budaya dalam sebuah struktur atau
teks, postmodernisme tidak demi kian. Kaum postmodernisme justru menghargai ada unsur sejarah, latar belakang, dan unconsciousness di balik fenomena budaya. Hubungan statis antara prosisi dengan realitas
tidak ada baginya, yang ada adalah penanda yang mengambang terus-menerus dan
sukar ditemukan hubungannya. Kodrat pemaknaan tidak stabil secara esen sial.
Karena penanda mengambang terus, postmodernisme berusaha mendefinisikan ulang
teori yang selama ini dianut, mendekonstruksi realitas, dan berusaha memaknai
fenomena budaya berdasarkan pluralitas makna.
Prinsip pengejaran makna menganut konsep relativisme budaya. Tentunya, postmodemisme lalu menolak makna universalitas budaya. Makna budaya tidak harus menjadi milik sekian banyak orang.
Biasa saja fenomena budaya hanya bermakna bagi segelintir orang dan individual.
Hal ini dapat dipahami melalui pemikiran Derrida. Meskipun dia lebih banyak
menyorot pada konteks
budaya sebagai teks, khususnya bidang teks sastra, namun tetap menyiratkan pandang an yang luar biasa bagi pengkaji
budaya. Menurutnya, teks
bukan sekedar kumpulan tanda-tanda, melainkan sebuah “rajutan”, artinya makna teks tersebut tertenun dalam keseluruhan teks.
Bagi
Derrida, pencarian makna teks budaya bukan secara logosentrisme, seperti paham
strukturalis. Paham logosentrisme sering terdampar pada aspek fonosentrisme,
yangmendewakan kata. Budaya, pada mulanya adalah “kata“. Kendati penafsiran tak akan
lepas dari kata, namun makna budaya lebih dari sebuah kata. Makna budaya justru
tertenun dalam seluruh teks budaya dan tak berdiri sendiri. Makna teks akan
berubah dan berkembang terns. Jika demikian, tidak ada yang mampu menjamin
kebenaran makna. Kalau demikian, makna budaya bukan milik suatu zaman,
melainkan terus berjalan seiring perkembangan budaya itu sendiri. Makna budaya
juga bersifat longgar, bukan univocity absolut, melainkan multiplicity of
meaning. Dalam kaitan ini Derrida mengenalkan istilah equivocity (berdalih)
untuk mengontrol ambiguity. la lebih mendekonstruksi pemikiran
“objektif’ ke “subyektif’, yang umum ke individual.
Pemaknaan
dalam pandangan pencetus dekonstruksi, Derrida, makna bukan sekedar arti kata,
bukan sekedar sign yang disepakati oleh banyak orang, bukan pula arbriter,
melainkan tergantung bagai mana orang mengartikannya. Yang terpenting bagi
Derrida, yang kemudian dilanjutkan oleh Kristeva, Barthes, dan lain-lain
pengalaman empirik sensual manusia difilter oleh ide-idenya yang dalam. Berarti
bahasa (teks budaya) itu berada pada dataran proyeksi dari pemfilterannya atas
pengalaman empirik tersebut. Makna akan terkait denga kreativitas manusia dalam
berbahasa.
BAB III
PENUTUP
Konsep Derrida tentang
dekonstruksi, secara implisit meramalkan suatu kekuatan superfisialitas dalam
filsafat. Ramalan ini tersingkap dalam pendiriannya yang
secara radikal menolak “logosentrisme ”, yaitu pemikiran tentang “ada sebagai
kehadiran”. Kehadiran dalam konsep dekonstruksi Derrida
dimengerti sebagai sistem tanda.
Dengan memahami
postmodernisme sebagai iklim baru yang diwarnai oleh rekonstruksi dan dekonstruksi
realitas, penulis mencoba mendalami salah satu konsep pemikiran postmodern
yakni teori dokonstruksi dari Jaques Derrida, seorang filsuf Prancis yang lahir
pada tahun 1930 di Alegeria. Derrida
datang ke dunia filsafat dengan mempertanyakan metafisika kehadiran-nya para
filsuf sebelumnya dan ia membangun konsep dekonstruksi. Melalui teori
dekonstruksinya, Derrida menyakini suatu kenyatan bahwa dibalik teks-teks
filosofis bukanlah kekosongan, melainkan terdapat sebuah teks lain sebagai
suatu jaringan keragaman kekuatan-kekuatan yang tidak jelas pusat referensinya.
Oleh karena itu, dengan lahirnya konsep
dekonstruksi tidak berarti bahwa bahwa filsafat kehiangan identitasnya, sebab
metafor dapat dipakai sebagai paradigma untuk mengkaji persolan filsafat,
irasonalitas dan kebenaran sebagai yang berkarakter tegangan (tensional). Dalam
hal ini karakter tensionalitas itu perlu dilihat sebagai tegangan kreatif yang
perlu dikaji untuk melihat relevansi filsafat secara baru.
Hidup
adalah teks, dan kita di dalamnya, bergulat di dalamnya dan menjadi bagian tak
terpisahkan darinya. Kita menulis kehidupan ini dan mendekonstruksinya bersama
imajinasi. Maka bersama Gunawan Muhamad dalam pengantar buku berjudul Derrida
karya Muhammad Al-Fayyadl, kita sepakat bahwa teori dekonstruksi sesungguhnya
mengajarkan satu nilai kebijaksanan bagi kita untuk selalu bersikap rendah hati
untuk tidak memagari diri dengan sebuah kemapanan konsep atau ideologi.
Dekonstruksi mengajak kita untuk tidak cepat ’berpuas diri’ dengan sebuah
kemapanan tetapi untuk selalu terbuka terhadap segala kenyataan dunia yang
tidak pernah absolut. Realitas selalu ambigu dan imajinasi membuka banyak
kemungkinan.
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer.
Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
Al-Fayadl,
Muhammad. Derrida. Yogyakarta: LKiS,
2005.
Champagne, Roland A. Jacques Derrida. New York, Twayne’s World Authors Series, 1995.
Derrida, Jacques. Writing and Difference, Translated, with an Introduction and Additional Notes by Alan Bass. Chicago: The University of Chicago Press, 1978.
Champagne, Roland A. Jacques Derrida. New York, Twayne’s World Authors Series, 1995.
Derrida, Jacques. Writing and Difference, Translated, with an Introduction and Additional Notes by Alan Bass. Chicago: The University of Chicago Press, 1978.
Norris, Christopher. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques
Derrida. Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2003.
Sugiharto,
I. Bambang. Postmodernisme: Tantangan
Bagi Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996.
Suseno, Franz Magnis. Filsafat sebgai Ilmu Kritis. Yogyakarta:
Kanisius, 1992.
Tedjoworo, H. Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat
Postmodern. Yogyakarta: Kanisius,
2001.