Judul Buku: “BUNG KARNO dan NASAKOM”
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: Garasi Book, Yogyakarta
Cetakan: I, November 2008
Tebal: xii+287 halaman
Pengantar:
Sebelum menjelaskan
pandangan penulis (Nurani
Soyomukti),
bahwa hasil resensi ini bukanlah karya utuh,
sebagaimana layaknya tulisan yang baik. Hal ini mencoba untuk mengetrapkan ilmu bahkan saya pribadi mengakui
hanya ingin menjadi bagian dari komunitas penulis yang sedang belajar. Usaha dan upaya ini didukung saat kuliah historiografi yang banyak
memberikan sumbangsi pemikiran bahkan motivasi bagaimana memandang sebuah karya
tulis dan menginterpretasikan secara kritis dan analisis.
Tulisan Nurani
Soyomukti tentang “Soekarno dan Nasakom” perlu di ungkap maksud dan tujuannya
apa bahkan nilai-nilai yang tersembunyi didalamnya. Diperlukan teori untuk
membuat eksplanasi sejarah yaitu Teori Dekonstruksi (Al-Fayadl, Muhammad, 2005). Penggagasnya yaitu Derida, tujuan dekonstruksi
adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan
ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan
ketimpangan di balik teks-teks. Sistematika penerapan dekonstruksi dalam
berhadapan dengan teks, adalah: Pertama, mengidentifikasi hirarki oposisional
dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan
secara sistematis dan mana yang tidak.
Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya
saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya
dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata
tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama. Dengan
langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan
biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan
terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali
tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari
ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau
kebenaran tunggal.
Dalam teori derida ini adalah memproklamirkan kebebasan (pulralitas dan kemajemukan) untuk
mengeksplorasi realitas atau teks yang akan membawa pada keragaman makna atau
polisemi.
Interpretasi
dan persepsi:
Sasaran dalam buku yang berjudul
Bung Karno dan Nasakom menekankan pada kajian : “Mendekonstruksi ideologi
Soekarno” yang dijabarkan :
1. Mengungkap
kontadiksi sejarah perkembangan
masyarakat indonesia sebelum Bung Karno Muncul dan saat bung karno hidup terkait masalah penindasan
dan penjajahan
2. Mengungkap
riwayat hidup Bung Karno
3. Mengunkap
Nasakom menurut Bung Karno
Berdasarkan hasil interpretasi dan persepsi
digambarkan sebagai berikut:
Ketika mengungkapkan tiga poin yang
menjadi pokok bahasan dalam bukunya, tampaknya penulis merasa terbebani oleh
ketakutan kalau-kalau tidak mampu menggambarkan
sejarah secara objektif. Karena itulah, tampaknya memfokuskan pada pemikiran
politik diambil semata-mata untuk menghindari penafsiran tentang sejarah
riwayat hidup yang terlalu individualis. Dengan menghindari sejarah yang
individualis penulis berharap dapat menghadirkan sosok Bung Karno dari
kebesaran dan kekayaan pandangan ideologisnya yang radikal.
Karena itulah penulis berusaha untuk
memilih ’enjel’ berupa sejarah perlawanan Bung Karno dan sejarah perlawanan
rakyat, terutama sisi radikalnya. Penulis tampaknya tidak mau masuk ke
wilayah-wilayah individual yang kadang memberikan citra negatif bagi tokoh itu.
Dari buku-buku tentang Soekarno biasanya kita mendengar berbagai macam tuduhan
dan cerita tentang sisi negatif Bung Karno, misalnya Bung Karno itu ”ngacengan”
dan tak tahan jika melihat perempuan, Bung Karno pengecut dan antek penjajah
Jepang, Bung Karno narsis, Bung Karno itu Jawa kuno yang suka mistik dan
seperti raja-raja yang suka mengagung-agungkan diri, dan lain-lain, dan
seterusnya.
Dalam sejarah
perjalanan bangsa Indonesia, Soekarno adalah figur terpenting. Dia adalah
peletak dasar kemerdekaan dan pencetus Pancasila, sang proklamator kemerdekaan,
serta seorang ideolog yang mumpuni. Pidato-pidatonya mampu menggugah dan
menggerakkan massa untuk mengikuti apa kebijakan yang harus ditempuh sang
Presiden. Karena sejak muda Soekarno sudah berkenalan dengan banyak budaya dan
ideologi, tentu saja perjalanan hidupnya juga sangat mempengaruhi pemikiran
ideologisnya.
Menekankan pada pemikiran ideologi
Bung Karno tampaknya merupakan pilihan yang tepat. Dan itulah yang menyebabkan
buku ini fokus dengan tema yang diangkat, dengan kemampuan eksplorasi yang
menunjukkan kematangan penulis sebagai seorang intelektual muda yang konsisten
dengan tema-tema ideologi politik dan gerakan sosial-politik. Penekanan pada
pemikiran dan tindakan radikal anti-penjajahan asing itulah yang saat ini
memang dibutuhkan; Ada baiknya kita menonjolkan berbagai kisah yang membuat
mereka percaya diri dan menirunya. Fakta bahwa Bung Karno adalah tokoh radikal,
Kiri, idealis dan romantis dalam dirinya yang terus berjuang diangkat secara
nyata dalam buku ini.
Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan
Komunisme) adalah tiga aliran yang disatukan oleh Bung Karno dan dianggap
sebagai pemersatu—dan ideologi itu pulalah yang menjelaskan kenapa Bung Karno
menjadi radikal sejak muda hingga tuanya. Di masa muda ia berkali-kali masuk
penjara karena keberaniannya melawan penjajah. Di masa tuanya, terutama sejak
akhir 1950-an hingga pertengahan 1960-an, ia justru menjadi lebih radikal lagi.
Yang berusaha ditelusuri oleh penulis adalah kenapa Bung Karno bisa menjadikan
tiga ideologi yang berbeda menjadi satu kesatuan, pada hal di kalangan
tokoh-tokoh lainnya tidak mungkin ketiga ideologi itu disatukan. Tentu hal itu
tak lepas dari kepentingan Bung Karno serta latarbelakang hidupnya. Menelusuri
berbagai macam literatur, maka diketahui bahwa Nasakom adalah ideologi yang
melekat karena Soekarno memang bukan orang lain. Bung Karno adalah tokoh yang
“sanggup mensintesis pendidikan secara modern dengan kebudayaan animistik
purbakala dan mengambil ibarat dari hasilnya menjadi pesan-pesan pengharapan
yang hidup dan dapat dihirup sesuai dengan pengertian dari rakyat kampung.
Hasil dari semua ini dinamakan orang—dalam istilah biasa—Sukarnoisme”
Membaca dari awal hingga akhir buku
ini, akan kita dapatkan fakta yang tak terbantahkan bahwa Bung Karno tetaplah
seorang yang radikal hingga menjelang akhir hayatnya. Ia tetap melihat ancaman
imperialisme terhadap Indonesia—dan kemampuan itu tak dimiliki oleh para
pimpinan negeri ini sekarang. Bung Karno adalah orang yang demokratis karena
tidak hitam-putih dalam melihat persoalan. Cita-cita NASAKOM (Nasionalisme,
Islamisme, dan Komunisme) adalah warisannya, wasiatnya, yang harus kita terima
sebagai senjata pemersatu dan alat membangun negeri. Ketiga ide(ologi) itu
adalah produk sejarah (perlawanan) bangsa ini sepanjang bangsa ini lahir dan
terus saja berhadapan dengan penjajahan. Selama penjajahan ada, maka NASAKOM
akan tetap menjangkiti kita—entah sadar atau tidak!
Memahami ajaran nasionalisme bung karno bukan sekedar mewarisi semangat
cinta tanah air dan semnagat untuk menjaga persatuan dan kesataun. Mewarisi
semangat soekrno adalah semangat anti
penjajah dan keadilan ekonomi.
Nasionalismenya bung karno bukanlah
nasionalismenya orang barat. Baginya nasionalisme indonesia menurut bung karno
berbeda dengan nasionlisme barat . nasionalisme barat adalah nasionalisme
borjuis yang lahir bersamaan dengan semangat kebebasan kaum pemilik modal. Baginya
nasionalisme borjois adalah nasionalisme basa-basi atau nasionalime palsu.
Nasionalisme borjuis adalah nasionalisme
untuk memperalat rakyat demi proyek demi kepentingan sendiri. Jadi Nasionalisme
barat melahirkan kapitalisme dan imperialisme yang telah terbukti menghisap,
merampas dan menjajah.
Nasionalisme yang diharapkan oleh
soekarno adalah nasionalisme sejati yang lahir semangat untuk menuntut keadilan
dan melawan penindasan. Nasionalisme ala bung Karno adalah nasionalisme yang
diikuti dengan demokrasi secara ekonomi dan politik.
Memahami dan mempraktekkan
nasionalisme secara benar, Islam secara benar, dan komunisme secara benar,
serta tidak mempertentangkan antara ketiganya, akan menghasilkan energi atau
kekuatan anti-penjajahan yang luar biasa. Tetapi, mempraktekkan ketiganya
secara tidak benar, atau hanya memanipulasi ketiganya untuk kepentingan politik
sempit, justru akan mempercepat bangsa ini menuju lubang pembantaiannya.
Saat ini kita menghadapi
nasionalisme palsu dan sempit, nasionalisme untuk membohongi rakyat! Saat ini
kita menghadapi Islam palsu dan sempit, yang hanya kelihatan wajah
teroristiknya, formalitas kosongnya, hingga Islam politik yang berwajah
memalukan! Saat ini kita berhadapan dengan orang-orang yang sok komunis dan
menggunakan komunisme untuk menakut-nakuti di satu sisi, atau anak-anak muda
yang sok komunis!
Maka, dengan memahami pikiran Bung
Karno kita akan mengetahui siapakah nasionalis sejati, Islamis sejati, dan
komunis sejati—yaitu mereka yang memiliki semangat untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dari tangan imperialis, yang menghormati perbedaan
kepercayaan dan suku, yang tidak memaksakan cara-cara kekerasan yang tidak
efektif, yang terlalu jauh meninggalkan kesadaran massa!
Sumber
:
Miskawi. 2012. Resensi:
Soekarno dan Nasakom dalam http://www.fkip.untag
banyuwangi.ac.id/Loker/resensi-soekarno-dan-nasakom.html
di unduh kamis 05 April 2012.
Sumber pendukung:
1. Adian, Donny Gahral. 2005.
Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra,
2. Al-Fayadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS,
3.
Badri
Yatim. Soekarno, islam dan Nasionalisme.inti sarana aksara. Jakarta.1985
4.
Cindy
Adams . bung karno penyambung lidah rakyat. Gunung agung. Jakarta. 1984
5.
Yudi
Latief. Menyemai karakter bangsa. Kompas. 2009
6.
Yulianto
Sigit Wibowo. Marhenisme Ideologi perjuangan Soekarno. Buana Pustaka. 2005
7.
Mulyamin
karim. Merajut Nusantara rindu pancasila. Kompas 2010
8.
Soekarno
(indonesia menggugat, 1961; dibawah bendera revolusi, 1964; amanah proklamasi,
1982).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar