CATATAN: BUDAYA KORUPSI MASYARAKAT INDONESIA
Oleh: Miskawi *
Apa sebenarnya yang telah kita kerjakan selama 66 tahun kemerdekaanm ini, Negara-negara Asia yang lebih kemudian merdeka
telah meninggalkan kita. Tentunya kata “sepertinya” bukan lagi menjadi suatu
alasan atau argument tentang negeri ini, yang benar adalah “sebenarnya” ada yang salah dengan negeri
ini. Sudah 66 tahun lebih 1 bulan keadaannya tak jauh berbeda dengan masa
Jepang. Misalnya Korea pada tahun 1953 masih perang dan Malaysia pun baru
merdeka pada tahun 1958, Vietnam baru merdeka pada tahun 1970-an dan Jepang
pada tahun 1945 hancur tak tersisakan akibat bom dari Sekutu. Tetapi kenapa
ketiga Negara tersebut lebih unggul dan lebih sejahtera tidak seperti negeri Indonesia
yang hidupnya selalu kembang kempis, kere, pas-pasan, serba kekurangan dan
lebih-lebih ngutang kenegara lain. Yang kaya menjadi kaya khususnya pejabat
yang berdasi, bermobil,berintar permata, yang miskin tetap menjadi tambah
miskin karena kewajiban mereka diambil yang kaya (berdasi, bermobil,berintan
permata). Apalagi bicara masalah pemilihan baik aparatur desa, Bupati, Gubenur,
Presiden, semuanya mengatasnamakan rakyat yang mempunyai tujuan untuk
memerdekakannya disegala bidang (sebuah program yang bagus) tapi perlu dingat
kembali seorang pemimpin bukan bercermin pada dirinya sendiri tapi pada
rakyatnya, hanya rakyat yang mengerti dan mampu memberikan evaluasi semuanya,
sehingga jangan pernah menyalahkan rakyat jika harus berprilaku radikal,
anarkis karena itulah adalah sebuah pisau dari ketidak adilan yang terjadi saat
ini. Sangatlah memprihatinkan sekali bagi rakyat kecil di negeri ini sebagai
dampak dari permasalahan diatas. Malah saya tidak tau apa lagi artinya merdeka!
Pada kesempatan kali ini tentunya tidak mengungkit atau mengadah-ngadah tetapi
ini sebuah kenyataan buram bagi negeri ini yang dikatakannya sebagai negeri
yang memiliki kekayaan yang mendukung.
Kadangkala sempat berfikir, apakah
rakyat kecillah yang membuat kesalahan. bukankah rakyat kecillah yang taat pada
aturan?......., lebih-lebih soal pajak, baik pajak kendaraan, pajak bangunan
dan pajak tontonan. Karena mereka takut yang namanya denda dan dari mana yang
uang yang mau dibayar buat denda. Seperti apa yang dikatakan oleh Chairil Anwar
bahwa rakyat hanya patuh dan percaya, seperti nenek moyang kita yang tunduk
sama yang pegang kuasa (feodal). Tetapi apakah yang pegang kuasaan itu pernah
memikirkan rakyatnya yang setia mengabdi?.........
Kenyataannya jika dijawab, yang
pegang kekuasaan duduk di sebuah pemerintahan
yang dikenal dengan penguasa tidaklah lagi memperhatikan nasib rakyatnya
yang selama ini diambang kesusahan, jiwa pemimpin sekarang meniru seorang
pengemis yang serakah yang selalu tidak puas apa yang diperolehnya. lebih-lebih
pemimpin saat ini memakan yang menjadi hak rakyatnya. Maka hal inilah yang
menurut saya disebut korupsi. Bicara masalah korupsi sampai saat ini belum
bisa bisa diberantas, lebih-lebih korupsi saat ini sedang membudaya.
Di Indonesia seperti yang saya
jelaskan sebelumnya merupakan cerita lama yang baru-baru memanas saat ini.
Untuk mengkaji tentang kapan sudah ada korupsi? siapakah yang disebut dengan
koruptor? Apa saja yang dilakukan koruptor?sampaikapan lagi koruptor itu
berhenti? Dan solusi apa?
Apabila menggunakan pendekatan
sejarah perekonomian Indonesia.
Dalam kehidupan ekonomis bangsa Indonesia
diwarnai oleh kehidupan desa. Rumah tangga Indonesia merupakan masyarakat
kecil lemah. Warga sering mengingatkan dirinya masing-masing bahwa mereka
adalah bagian terkecil yang tidak dapat dipisahkan dari penduduk desa lainnya. Istilah
“tolonglah dirimu sendiri” tidak
dikenal dalam kehidupan desa Indonesia.
Yang ada jika yang satu sakit maka yang lain dapat merasakan sakit semua, jadi
nilai-nilai kebersamaan dijungjung tinggi. Bahwa warga desa belum memiliki
rangsangan untuk memproduksi melebihi kebutuhan sendiri. (Bachri, 2005).
Fikirkan dengan bangsa Indonesia
saat ini.
Dalam perkembangannya, desa rumah
tangga yang primitive kemudian mendapat pengaruh dari peradaban Hindhuisme yang
menempatkan seorang Raja yang berada diatas rumah tangga desa. Perubahannya
yang sebelumnya memproduksi untuk kebutuhan sendiri, tetapi dilain pihak harus
memenuhi kebutuhan Raja, misalnya membayar Upeti. Seorang raja memiliki hak
hidup dan hak milik rakyat.
Pada zaman kerajaan inilah, kerja
paksa, serta penyerahan wajib merupakan tulangpunggung golongan yang paling
berkuasa. Golongan yang paling berkuasa
tidak lain adalah Raja-raja, bangsawan, pemilik modal. Sebagai rakyat kecil
hanya bisa menerima saja. Kadangkala petani hanya bisa menikmati hasil
pertaniannya 1/4 saja, kadang tidak mendapatkan sama sekali dan sebaliknya sisa
dari hasil pertaniaanya diambil untuk penguasa. Kalau dicermati berapa banyak
kekayaan yang dimiliki oleh penguasa. Luar biasa sekali menjadi penguasa.
Sejak datangnya bangsa Barat ke Indonesia, ini malah merubah kebudayaan bangsa Indonesia
agar sama dengan bangsa Barat yang sangat individualistic. Bangsa Barat banyak
memanfaatkan negeri ini untuk
kepentingan mereka yang menyebabkan terjadinya kemiskinan yang berkepanjangan.
Menurut Juliantara (1998) kemiskinan
bangsa kita adalah kemiskinan yang ada diluar batas nilai-nilai kemanusiaan.prakter
kerja paksa yang tidak jarang memakan korban ratusan jiwa, seperti pembangunan
jalan dari Anyer sampai Penarukan, praktek Stesel tanam paksa yang amat
merugikan dan menguntungkan mereka. Misalnya Belanda, saldo untung dari
pemerintah colonial ke negeri Belanda selama 1832-1867 berjumlah f 784 juta (
D.H. Burger dan Prajudi: 1960). Belum lagi untu kepentingan Pegawai Belanda
dalam mencukupi kebutuhan hidup sudah melakukan cara korupsi yaitu dengan cara
berdagangan di luar perserikatan dagang (VOC) Hal ini belum lagi meminta secara
paksa dari hasil kerjanya pada rakyat kecil. Hal ini telah terbukti akhir dari
saldo 1799 VOC oleh kerajaan Belanda
dinyatakan Pailit dengan saldo kridit
sebesar 134,7 Gulden.
Dari beberapa gambaran diatas
semakin kuatnya feodalisme dan kepemilikian pribadi walau bukan haknya ini
terjadi saat ini menjadi sebuah sumber awal membudayannya korupsi. Menurut
Sumardjo (2003), hukum feudal siapa yang
meningkat taraf budayanya, maka akan meningkat taraf kekuasaannya dan dengan
sendirinya akan meningkat pula penghasilannya. Dalam masyrakat feudal tidak ada
Bupati atau sastrawan istana yang miskin. Bahkan dalang istana tentu punya
rumah yang lebih bagus, gaji lebih besar dan tanda kehormatan lebih tinggi.
kalau saya bilang dari zaman kuno Indonesia sampai berakhirnya bangsa
Barat adalah. sebagai bibit lama yang pada
ahkirnya melahirkan bibit baru yang lebih unggul dan tertatah rapi. Korupsi
pada zaman dulu berupa penyerahan wajib pada penguasa yang secara
terang-terangan sedangkan sekarang hanya merupah bolpoin dan kertas yang
tinggal merubah angka dan menambahnya, biasanya maraknya dikenal dengan
proposal.
Menurut Edwar Aspinall (2000) Thailand atau Korea Selatan sudah masuk kategori Negara korupsi, tetapi
jika dibandingkan dengan Indonesia
masih kalah jauh. Tetapi Thailand
mampu mengentaskannya dari krisis ekonominya. Perlu diketahui bersama di
Indonesia para korupsi tersebut banyak yang bertitel atau bergelar Doctor,
Profesor, Sarjana atau “babap-bapak yang
terhormat”dan lebih parahnya lagi Mantan Menteri Agama Republik Indonesia,
Prof. Dr. Said Aqil Husein Al Munawar tersangka tindak pidana korupsi. Sangatlah
memalukan sekali karena Departemen Agama sebagai corong muralitas bangsa,
karena dibungkus oleh nama yang transeden yaitu agama yang mengatur hubungan
dengan Tuhan dan hubungan sinergis antara manusia dengan alam. Jika Departemen
Agama sudah melakukan tindak pidana, terus bagaimana dengan Departemen-departemen
yang lain yang tentunya tidak berlebel agama. Artinya Islam hanya dijadikan
alat legitimasi dan legalitas semata.
Yang menjadi pertannyaan sekarang adalah kenapa yang banyak
melakukan tindak pidana korupsi atau pencurian terhadap uang rakyat adalah
orang-orang intelektual yang duduk ditengah-tengah masyarakat? dan hukum tidak
berani menindak lanjutinya. kadang mereka mengandalkan uang untuk membayar pengacara
handal atau bayar Hakim untuk membayarnya.
Ini sebuah contoh yang sampai saat
ini kita selalu mendengarnya dan melihatnya, baik dikehidupan nyata dan surat kabar. Ada seorang anak lulusan
SD yang sedang kepergok mengambil HP, karena diketahui oleh warga masyarakat
maka anak tersebut babak belur sampai berlumuran darah dan terpaksa harus
menekam di tahanan. Sedangkan babak-bapak yang terhormat yang mempunyai gelar
berjajar terlibat dalam tindak pidana korupsi yang banyak merugikan Negara dan
rakyat miskin , tetapi masih bisa menghirup udara segar dan bisa tersenyum.
Kalau misalnya harus terpaksa masuk ke tahanan, maka tahanan itu hanyalah di
Ibaratkan pindah rumah yang didalam tahanan tersebut fasilitasnya tidak jauh
berbeda dengan dirumahnya sendiri. Tentunya melihat kondisi yang seperti ini
terus Negara kita akan menjadi kandang dari mafia koruptor. Mafia akan berakhir
jika bos mafianya lenyap.
Bagi para koruptor yang sudah membudaya
saat ini bukanlah sebuah dosa besar, tetapi sudah meletakkan perbuatan
salah sebagai profesi, pekerjaan, maka
bagi mereka pengampunan tidak banyak artinya lagi, bahkan koruptor saat ini
sudah memiliki etika (tata aturan dunia koruptor). Misalnya kasus korupsi baru
bisa dikatakan mencuat kalau diantara para anggota-anggota koruptor itu terjadi
pelanggaran etika koruptor. “maling teriak maling diantara sesame”. Sebab
mengaku bersalah di dunia koruptor tidak mungkin ada atau bisa terjadi. Para koruptor juga punyak Undang-undang sendiri, tata
nilai dan etikanya sendiri. Jadi
kita tidak usa mengadili, karena mereka sudah saling mengadili. Jadi percuma
saja mengampuni para koruptor jika mereka masih berada di dunia koruptor dan
percuma menuduh seorang koruptor jika merasa dirinnya tidak bersalah.contoh
yang paling gampang memnghentikan seorang perokok. Berhenti merokok merupakan
kewajiban, karena harus menghentikan ketagihan. Korupsi juga jenis ketagihan
dan kenikmatan yang sulit diputus. Sebab saat ini yang mengerakkan manusia
adalah uang dan semuanya dapat diperoleh dari uang.
Melihat kondisi yang sudah
membudaya seperti ini, apa yang harus kita lakukan, selaku yang sadar dan
peduli akan nasib negeri ini dan Perlukah kita menerapkan yang namanya Revolusi
dan reformasi. Menurut saya pribadi, rasanya sudah tidak zaman lagi kita
menerapkan reformasi, jadi yang perlu kita terapkan adalah Revolusi. Revolusi
yang dimaksud bukan revolusi secara total, kalau tidak kita akan mengalami
penjajahan lagi. Tentunya yang perlu kita revolusi adalah system negeri ini
harus ditata ulang yakni:
pertama: para pemimpinnya. Mind Set mereka selamah ini ternyata membuat hidup bangsa tidak berubah. Yang berubah hanyalah diri
mereka sendiri. Karena para pemimpin yang bijaksana dan sejati tidak akan tidur nyenyak kalau pulang dari
kantor masih banyak rakyat kecil yang hidupnya susah, pemulung yang
berkeliaran, petani yang susah, PSK yang alasannya terhimpit masalah
perekonomian dan kesejahteraan, dan lain-lain.
Kedua: system pendidikan kita, yaitu manusia perlu
didik menjadi baik dan pendidikan yang lebih baik.format pendidikan yang
bernuansa mendidik, mencerahkan dan
perpihak tampaknya masih menjadi
idola dari sebagian masyarakat Indonesia. Pendidikan selama ini hanya menjadi
ajang penindasan dan pembodohan gaya
baru yang dibungkus rapi dengan nama sekolah (Setiawan,2006).
Ketiga: orang tua dan lingkungannya, orang tua
harus mempunya peran penting untuk memberikan pendidikan dan penanaman
kedisiplinan pada anaknya,kadangkala orang tua hanya menitipkan anaknya
kesekolah karena orang tuanya tidak ada waktu disebabkan bekerja. Yang ada
hanya menanyakan nilanya berapa? Jadi yang dilihat adalah kecerdasan
kognitifnya saja, cobalah tekankan nilai-nilai spritual dan kejiwaan.
Cobalah jika orang tua selalu
mengajarkan anak didiknya untuk disiplin dan selalu mengajarkan arti bangun
bagi, beribadah tepat waktu, dan nasehat-nasehat untuk jujur setiap kesempatan, menghormati guru dan orang lain
tentunya tidak menyuburkan yang namanya korupsi.
Renungkan budaya untuk masa yang akan datang, Pertama:
budaya Feodal lawan budaya egaliter. Kedua: budaya instant lawan budaya kerja
keras, Ketiga: budaya kulit lawan budaya isi, Keempat: budaya penampilan lawan
budaya sederhana, Kelima: budaya boros lawan budaya hemat, Keenam: budaya apati
lawan budaya empati, Ketujuh : budaya kompetisi lawan budaya kerja sama.
*) dipublikasikan di Radar Banyuwangi
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus