Rabu, 09 Mei 2012

KERATON DAN KOMPENI (Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870)


KERATON DAN KOMPENI
Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870
Miskawi )*

Pengantar
               Sistem tanam paksa yang ditetapkan sejak tahun 1830 pada dasarnya adalah usaha  penghidupan kembali sistem eksploitasi dari masa VOC yang berupa penyerahan wajib. Menurut  Leirissa, dkk (1996: 53) mengemukakan 1830 hingga pertengahan abad ke 19 disebut cultuurselsel . Dalam perumusannya, sistem tanam paksa pada dasarnya penyatuan antara sistem penyerahan wajib dengan sistem pajak tanah.
               Ciri pokok dari sistem tanam paksa adalah terletak pada keharusan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk barang yaitu berupa hasil tanaman pertanian mereka yang biasanya berupa tanaman ekspor seperti halnya kopi yang ada di priyangan yang kemudian berlaku diseluruh Jawa. Tanam paksa merupakan usaha untuk menanam tanaman ekspor secara paksa kepada penduduk Indonesia. sistem tersebut Menurut Bachri, Saiful (2005) menyebabkan kesengsaraan dan penindasan kaum penjajah. Disamping itu, digambarkan  mengenai tidak adanya  peningkatan kemakmuran, seolah-olah petani  sebagai korban dari sistem.
            Pendapat Bachri ada benarnya walau tidak semuanya. Hal ini ditegaskan Anne Booth, et al (1988),   bahwa kesejahteraan nyata bagi sebagian besar penduduk Jawa sesungguhnya telah meningkat selama masa berlangsungnya sistem tersebut paling tidak selama dasawarsa  pertengahan abad ke -19. Hal tersebut diperkuat oleh Elson (dalam Leirissa. 1996: 65) bahwa sistem ini langsung dan tidak langsung paling tidak dalam jangka pendek, memberi peluang-peluang untuk suatu pengelolaan secara lebih mantap bagi kehidupan ekonomi pangan serta membuka kemungkinan-kemungkinan  untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat tani, yang sebelumnya amat terbatas pilihan-pilihannya. Dalam satu uraian lain, Prof. Fernando (dalam Leirissa. 1996: 65) bahwa dampak dari sistem tanam paksa bahwa penduduk pedesaan semakin  terbiasa untuk membeli  berbagai macam barang untuk keperluan rumah tangga. Menurut Leirissa,dkk (1996: 56-57) Penduduk sudah mendapatkan bayaran untuk hasil kerjanya.
               Pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia sebagian besar dilakukan di daerah Jawa, untuk di daerah luar Jawa hanya sebagian kecil saja. Di daerah Jawa pelaksanaan tanam paksa terutama dilakukan di daerah yang langsung ada di bawah pemerintahan administratif Hindia belanda, yaitu daerah “Gubernemen” dengan pengecualian daerah Batavia, Bogor dan daerah tanah partikelir dan daerah praja kejawen (Vorstenlanden) yaitu daerah Surakarta – Jogjakarta tidak terkena pelaksanaan sistem tanam paksa yang berlaku adalah sistem persewaan (Sartono Kartodirdjo-Djoko Suryo, 1987 : 57 ).
               Kerajaan Surakarta (Solo) dan Yogyakarta menurut J.H Houben (2002: 8-10) mengatakan lahir pada tahun 1755 dari belahan mataram, kerajaan pada abad ketujubelas telah memegang hegemoni atas sebuah wilayah seluas hampir seluruh pulau Jawa. Peperangan yang terjadi pada abad ketujuh belasan dan awal abad kedelapan belas  yang mengakibatkan dipaksanya mataran untuk menyerakan wilayah kekuasaannya kepada VOC dan menggadaikan daerah pesisirnya kepada Belanda. Misalnya kerisidenan-kerisidenan Kedu, Banyumas, Bagelen, Madiun dan kediri sedangkan jantung kerajaan mataram sajalah yang tetap berada ditangan mereka.
Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC mengalami kebangkrutan dikarenakan banyak pegawai VOC yang korupsi dan banyaknya perlawanan-perlawanan rakyat yang membutuhkan anggaran perang yang cukup besar Setelah 1 Januari 1800 Indonesia beralih tangan dari VOC ke pemerintah Belanda. Pada tahun 1830 dimulailah masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Indonesia. Untuk pertama kalinya Belanda berusaha mengeksploitasi dan berusaha menguasai seluruh Jawa (Ricklefs, 2008 : 259). Dalam menjalankan pemerintahannya, Belanda bertindak lebih otoriter daripada VOC. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan rakyat Indonesia. Secara bergantian perlawanan rakyat muncul dan merugikan bangsa Belanda. Puncaknya adalah perlawanan Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol yang terjadi hampir bersamaan. Akibat dua perang besar tersebut Belanda mengalami kerugian besar yang berdampak pada kosongnya kas Negara. Apalagi Belanda juga mengalami kerugian besar akibat perang melawan Napoleon Bonaparte (Perancis) dan perang kemerdekaan Belgia (Badrika, 2006 : 157). Perang jawa inilah, menurut  J.H Houben (2002: 18)  mempengaruhi langkah-langkah yang diambil oleh Belanda pada tahun 1830 khusunya Surakarta dan Yogyakarta.
Dari gambaran diatas, sangat menarik untuk diteliti lebih dalam kebijakan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel yang diselenggarakan sejak tahun 1830. Pertama : bahwa sistem tanam paksa tidak pernah dilaksanakan di daerah Surakarta dan Yogyakarta (J.H Houben ,2002: 8-10 dan Sartono Kartodirdjo-Djoko Suryo, 1987 : 57 ).  Berdasarkan sumber yang ada bahwa sistem tanam paksa dilaksanakan diseluruh daerah Pulau Jawa. Seperti yang dituliskan oleh D.H Burger yang disadur oleh Prajudi dalam buku sejarah ekonomis sosiologis dan Notosusanto. N & Marwati. D.P. dalam bukunya Sejarah nasional indonesia jilid IV tidak pernah tegas dijelaskan praktek tersebut. Kedua : Hubungan antara pemerintah Belanda dan pangeran-pangeran jawa khusunya Surakarta dan Yogyakarta 1830. Ketiga: aparat pemerintah dari kedua kerisidenan itu bekerja dalam praktek. Keempat : kehidupan politik kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dan kelima : dampak perubahan  terhadap struktur sosial kedua kerajaan tersebut.

Pengantar tentang buku:
Buku ‘Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870’ adalah buku karangan Vincent J.H. Houben yang semula merupakan tesisnya yang berhasil dipertahankan di Universitas Leiden pada tahun 1987 dengan sedikit perubahan bahasa agar dapat diterima oleh kalangan masyarakat luas, bukan hanya kalangan akademisi. Pada dasarnya buku ini mengulas tentang persoalan-persoalan dalam keraton Yogyakarta dan Surakarta pasca kedatangan bangsa Belanda dalam kurun waktu tahun 1830 sampai dengan 1870. Buku ini merupakan sumbangan besar untuk pengetahuan sejarah mengenai keraton mengingat keterbatasan akses ke dalam keraton selama ini sehingga susah untuk mendapatkan informasi terutama tentang sejarah keraton itu sendiri.
Houben yang memperoleh data dari Belanda tidak hanya menulis pandangan dari sudut pihak kolonialisme Belanda, namun juga dari bagaimana sudut pandangan imperialisme di Jawa sendiri. Hal ini dikarenakan Houben tidak hanya menggunakan sumber-sumber berbahasa Belanda, namun juga sumber-sumber berbahasa Jawa yang didapatnya dari perpustakaan universitas Leiden. Sebagian besar manuskrip berbahasa Jawa di universitas Leiden adalah salinan dari yang asli yang sudah hilang atau berada di dalam keraton yang susah untuk diakses masyarakat umum.
Buku ini menuliskan tentang dua daerah semi-otonom di Indonesia yang memiliki status kuat di mata masyarakat Jawa. Diawali dari tahun 1830 yaitu selesainya perang Jawa dengan ditanda-tangani perjanjian mengenai peletakan batas-batas kekuasaan, hingga tahun 1970, dengan selesainya pembangunan jalur kereta api Yogyakarta – Semarang dan Solo – Semarang yang berarti puncak ekploitasi Belanda terhadap dua wilayah tersebut. Tahun – tahun tersebut merupakan titik awal pembangunan secara bertahap yang dilakukan oleh dua kerajaan setelah perang Jawa.






Pembahasan :
Pembagian wilayah kerajaan didasarkan pada sejumlah lingkaran konsentrasi. Dari lingkaran dalam nagara (ibukota), nariwita dalem (ranah-ranah raja), nagaragung (tanah-tanah apanase), dan mancanagara (wilayah luar). Di puncak tangga bangsawan Jawa ada raja yang didalam kerajaan Islam disebut sebagai sultan dan susuhan yang melegitimasi kekuasaannya dengan memiliki posisi sakral. Manajemen keraton berada di bawah kewenangan empat nayaka (bupati jero). Seluruh wilayah kekuasaan di luar ibukota berada dalam yuridikasi kapatihan yang dipimpin oleh patih. Kadipaten yang dipimpin oleh pangeran adipati (putra mahkota) menduduki sebuah posisi di atas semua kerabat yang memiliki hubungan darah dengan penguasa. Serta pangulon yang diatur oleh pangulu mengatur hal yang berkaitan dengan agama. Masing-masing bangsawan pengatur manajemen tersebut memiliki kompleks kantor dan tempat tinggal sendiri yang saling berdekatan satu sama lain, sehingga kerap menimbulkan ketegangan.
Narawita adalah tanah yang dipesan untuk penguasa yang penghasilan darinya diperuntukkan bagi penguasa dan keluarganya. Nagaragung adalah tanah milik para warga istana yang diperlakukan sama seperti narawita. Pengelolaan tanah tersebut dilakukan oleh nayaka jaba. Pemegang tanah perdikan diwajibkan menyerahkan 2/5 hasil pertanian dan pekerja wajib kepada keraton. Selain itu, pemegang tanah juga diwajibkan memelihara hukum dan ketertiban lingkngannya. Daerah mancanagara adalah daerah terjauh dari keraton. Semakin jauh dari wilayah ibukota, semakin bebas penguasaan terhadap tanah oleh para bangsawan setempat.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya oleh J.H Houben bahwa perang jawa mempengaruhi langkah-langkah yang diambil oleh Belanda pada tahun 1830 khusunya Surakarta dan Yogyakarta. faktor-faktor yang menyebabkan pecahnya perang jawa, antara lain: pertama; sejak tahun 1800 dan seterusnya kekuatan kolonial menancapkan hegemoni di jawa, mulai: 1). pada tahun 1808 letnan Gubenur Jendral H.W Daendels memberlakukan peraturan-peraturan mengenai etika prilaku yang sangat menghina orang jawa. Etiket itu menyatakan bahwa  saat sedang berada berada di dalam istana, para Residen Eropa tidak lagi harus menunjukkan  bahwa mereka lebih rendah dari pada penguasa jawa dalam protokol; 2). Setahun kemudian atas perintah T.S Raffles, keraton yogya diserang dan dikepung. 3).menyerahnya yogyakarta dibuktikan dengan perjanjian Kedu. Pada tahun 1823 G.A.G.Ph Van Der Capellen melarang para bangsawan jawa  menyewakan tanah mereka  kepada orang-orang eropa pengusaha pertanian. Akibatnya para bangsawan ini akhirnya  mencari sumber-sumber penghasilan pengganti yang pada akhirnya  menyebabkan kehancuran finansial. Kedua: pertentangan politik didalam istana yogya itu sendiri
Belanda yang kekuasaannya sangat terancam oleh Dipenogoro, menurut Badrika (2006) Belanda mengalami kerugian besar yang berdampak pada kosongnya kas Negara. akhirnya berkeinginan sekali mencabut sisa-sisa kekuasaan dari tangan Pangeran jawa dan hal ini juga, menjadi pertimbangan di Negeri Belanda sendiri pada periode pasca 1825 dengan tujuan bagaimana mengakhiri perang jawa dan bagaimana memperlakukan solo dan yogyakarta bila perang itu benar-benar berakhir.
Ditanggkapnya pangeran Dipenogoro di Magelang pada tanggal 28 Maret 1830 (Carey, 1981 a: xi). Sejumlah kecil yang masih setia terhadap Dipenogoro mundur kegunung-gunung  dan ada sebagian anggota keluarga Dipenogoro minta izin  untuk kembali ke Ibu Kota. Pada Awal januari 1930 salah seorang putra Dipenogoro, Dipakusuma telah mengirimkan permohonan kepada Residen J.F.W van Nes agar dipulihkan kepada Penduduk yang dihormati Belanda.
 Saat itulah perundingan diperakarsai oleh pihak Belanda bersama dengan pihak istana akan menghasilkan status baru bagi kedua kerajaan tersebut. Menurut Louw dan De Klerck ( 1909,VI: 55-69, 287-304).  Rencana barunya yang dimaksud adalah  menyangkut masa depan  kerajaan dan mewujudkan perdamaian abadi, memulihkan ekonomi dan meningkatkan kemakmuran Jawa.
Belanda memanfaatkan momentum penting sebenarnya, ketika situasi kedua kerajaan itu berakhir yogyakarta sangat menderita karena perang. Keraton dan banyak istana kepangeranan lainnya rusak dan penduduk pun mengungsi secara besar-besaran. Kekuarangan pangan yang parah terjadi dimana-mana. Raja yang kanak-kanak itu, maksudnya Hamengku Buwana V belum lagi mampu menggunakan kewenangan.
Dalam perakteknya dilaksanakan oleh tiga komisaris pemerintah yang ditunjuk secara khusus. Mereka adalah Merkus, J.I van Sevenhoven, dan H.G Nahus Van Burgst. Merkus ( 1787-1844) adalah seorang berbakat dan cepat karier jabatannya di Hindia Belanda. Kariernya di mulai sebagai sekretaris jendral,  presiden mahkamah  Agung, Gubenur kepulauan Maluku yang pada akhirnya mengenal pos-pos hukum dan pemerintahan salah satu dari pulau-pulau luar (Nieuw biografisch woordenboek, 1917, II: 898-902; Rhede van der kloot, 1891: 174-177). Van Sevenhoven (1782-1841). Tiba di hindai tahun 1801. Selama masi kariernya di bertentangan keras sejumlah penguasa pribumi. Antara tahun 1819 dan 1820 sebagai residen Cirebon dia memimpin perundingan untuk penyerahan terakhir wilayah kekuasaan sultan Cirebon kepada Pemerintah Belanda.  Pada tahun 1821 Van Sevenhoven menjadi komisaris (Commisaris) di Palembang dia mengatur pencopotan sultan ahmad Najamuddin. Disisi lain dia mengenal sekali Surakarta dan Yogyakarta. menjelang dimulainya perang jawa  pada tahun 1824 dan 1825., dia  menjabad sebagai residen surakarta dan selama dua tahun pertama konflik dia bertindak sebagai kapasitas yang sama di yogyakarta. karena dikenal sebagai seorang yang juru runding yang berpengalaman, keras dan tangguh diapun ditunjuk sebagai anggota komisi kerajaan pada tahun 1830 (Rifleks, 1981: 132). Nahuys van Burgert (1782-1858) sebagai residen Surakarta dan pemilik sebuah perkebunan kopi yang luas yang terletak di lereng gunung berapi. Pada tahun 1830 dia diangkat sebagai komisaris pemerintah.
Yang diinginkan dalam surat perintah tersebut, berdasarkan pengalaman  dan perang yang sedang terjadi saat itu, dia mendukung disatukannya bupati-bupati jawa kedalam pemerintahan Belanda. Dengan mengubah mereka  menjadi aristokrasi herediter ( turunan) yang bergantung pada pemerintah, maka para bupati bisa dijauhkan dari raja-raja pribumi. Jadi harapan gubenur jendral  untuk mempercayakan  kekuasaan Belanda kepada para Bupati.
Pada tanggal 29 Desember 1830 Paku Buwana VI: bersedia tunduk sepenuhnya kepada pemerintah, tetapi bersikukuh untuk tetap mempertahankan penghormatan tahunan dari pada bupati mancanegara. Akan tetapi,  raja-raja perlu tetap dilindungi untuk memberikan kesan kepada rakyat bahwa melalui perantara para Bupati mereka masih tetap diperintah oleh raja-raja mereka sendiri.
 Begitu halnya Buminata tengah menyuarakan ketidakpuasan mayoritas kalangan istana. Menurutnya hilangnya wilayah pinggiran kerajaan berarti lebih dari sekedar kehilangan pendapatan. Alasan inilah yang sesungguhnya mengapa mereka bersikeras ingin tetap memelihara adat kebiasaan pemberian hormat oleh bupati-bupati mancanegara.    
Struktur organisasi dari sistem tanam paksa hal –hal yang berhubungan dengan petani mulai ditinggalkan, sedangkan desa  menjadi unit dasar dalam pemerintahan.  penyelenggaraannya diserahkan kepada para bupati dengan para kepala desa, dan masyarakat desa sendiri. Kepala desa adalah mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat pribumi yang lebih tinggi tingkatannya yaitu Bupati. Bupati bertanggung jawab terhadap pemerintahan bangsa eropa.  Menurut Bachri, Saiful (2005) orang eropa  tidak akan memperoleh apapun jika mereka tidak mempergunakan organisasi desa. Kepentingan pemerintah hanya pada hasilnya, yang dihitung dalam pikol (+ 62 kg) yang diterima oleh gudang-gudang pemerintah. Selain itu penyelenggaraannya juga bervariasi dari satu tempat ketempat lain karena pemerintah pusat lebih banyak menyerahkan penguasannya kepada para pejabat Belanda setempat (para kontrolir) yang mempunyai motivasi untuk meningkatkan produksi karena merek memperoleh “cultuurprocent” prosentase tertentu dari hasil panen. Untuk itu sampai tahun 1860 dikerahkan tidak kurang 90 orang kontrolir dan sekitar orang pengawas berkebangsaan Belanda.
Dalam menjalankan pemerintahannya di yogyakarta dan Surakarta pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan antara lain, Pertama: politik divide et impera; kedua: unsur lain politik Batavia  terhadap yogyakarta dan Surakarta  tetap berada dalam keadaan serba tergantung, dalil ini berlaku untuk seluruh jawa. Dipihak sultan dan priyai keraton tidak akan menyuarakan ketidak puasan dan ketidaksenangan mereka sedemikian rupa karena mereka sadar akan ketergantungan mereka terhadap Belanda, Ketiga : kehati-hatian dalam bertindak. Berdasarkan Van den Haspel (1985:123,139-142) menyimpulkan bahwa para pangeran jawa itu sama sekali bukan sekedar penguasa boneka. Pada akhir abad kesembilan belas mereka masih memiliki kekuasaan personal dan senbuah birokrasi yang sama sekali tidak lemah. Memang, pihak Belanda berada diatas angin, tetapi walau bagaimanapun juga mereka tidak bisa mengabaikan pangeran-pangeran begitu saja, dan keempat :  disebarkan perasaan puas dikalangan elit.
Beberapa alternatif Belanda menggunakan tiga cara  untuk meningkatkan perasaan tidak puas  dan senang dikalangan para elit jawa, Pertama: mereka sejauh mungkin menghindarkan diri  dari mencampuri urusan-urusan intern  pemerintahan kerajaan-kerajaan jawa itu. Jadi , gebenur Jendral Pahut pun memikirkan perlunya meyakinkan para raja dan kerabat keraton Jawa bahwa pemerintahan  terus dan tetap bersikap serius dalam menghormati adat – istiadat dan praktik-praktik kuno.
Kedua  : memberikan segala embel-embel dalam pangkat meliter Belanda. Pahut menulis penganugrahan kehormatan semacam ini merupakan sebuah cara yang sangat bagus untuk memastikan bahwa elit jawa akan tetap bersikap bersahat. Bisa diceritakan disini seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi ketika orang-orang jawa Solo atau Yogyakarta yang dihormati diberi kehormatan Belanda atau dianugragi pangkat meliter.
Ketiga : yang digunakan untuk menjaga agar para warga istana tetap merasa senang dan puas adalah intervensi pemerintah Belanda dalam persoalan-persoalan keuangan, seperti penyelesaian, pengurangan dan penghapusan hutang. Pembayaran yang dilakukan untuk susuhunan dan sultan dimasukkan kedalam catatan tersendiri dalam anggaran belanja Hindia. Jumlah untuk tahunnya tiap raja-raja itu berbeda-beda, mulai dari f 7.000  hingga f 25.000 . tetapi jumlah-jumlah ini diberikan bukannya tanpa pamrih (Kolonial Verlag, 1849: Lampiran G.H: 1850: lampiran G,H).   
Politik divide et impera yaitu dengan cara pencegahan ekstra. Salah satu contoh yaitu Pertama, dengan cara mengeksploitasi permusuhan diantara keraton dipandang perlu dilakukan dan pangeran mangkunagara dan Paku Alam merupakan alat menduduki sebuah posisi independen di istana Solo dan Yogyakarta dan mereka didukung oleh belanda demi menjadi penyeimbang terhdap pihak Kasunanan dan Sultan., kedua: tahun lima puluhan abad  kesembilan belas diadakan pertemuan seremonial tahunan antara Sunan dan Sultan di Gawok (Surakarta)  membuat belanda merasa sangat cemas. Maka mereka pun mengatakan kepada  kepada Sultan bahwa jika dia selalu menghormati Sultan, maka dia tidak akan menjadi penguasa yang benar-benar independen, baik dalam pandangan rakyat maupun dimata orang-orang eropa.
Dalam menjalankan pemerintahannya, diarahkan pada organisasi formal. Dari sudut pandang orang-orang eropa, residen sebagai agen politik batavia, dipandang sebagai poros sentral dalam hubungan politik dan administrasi dengan orang-orang Jawa.
Pada tahun 1854 sebuah undang-undang pemerintahan yang baru (regeeringsrelement)  disusun selesai 1855 mengenai posisi raja-raja pribumi sebagai bentuk revisi untuk wilayah koloni yang sudah berlaku 1836. Menurut pasal 43 intruksi tersebut, hak untuk memerintah diri sendiri yang dimiliki oleh sejumlah raja pribumi juga mencakup kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan rakya.Pada intinya akan ada campurtangan dalam kerajaan, Gubenur Jendral harus mengawasinya dan bila perlu turun tangan secara tegas.
Hubungan mereka  dengan pemerintah dibakukan dalam apa yang disebut Akta Persekutuan ( Acten van verband), ada hal yang nereka tanda tangani  saat mereka naik tahta. Kelima akta yang ditandatangani antara tahun 1830-1870 yang terdiri tiga untuk solo dan dua untuk Yogyakarta. hal ini mengajarkan kepada kita dua hal, yaitu: pertama :  ketimpangan dalam hubungan formal dengan kekuasaan kolonial antara  susuhunan Solo dan Sultan Yogyakarta Tetap terpelihara; dan Kedua, dalam kasus Solo ada peningkatan signifikan dalam tuntutan-tuntutan yang diajukan pada raja.
Di Yogyakarta maupun Solo menyatakan bahwa dirinya diberi kerajaan itu sebagai daerah dimana dirinya bisa memerintah  sebagai sebuah “tanda kasih” dari pemerintah dan bukan berdasarkan klaim apapun yang sah menurut hukum.  Kedua raja itu berjanji bahwa mereka memerintah kerajaan  mereka masing-masing sesuai dengan hukum-hukum yang ada dan tetap setia kepada pemerintah dengan cara membahas semua persoalan dengan residen dan mengikuti saran serta nasehatnya sebelum memutuskan.
Tetapi, di Yogyakarta ada tiga pasal yang masih mengacu periode sekitar tahun1755 ketika kerajaan itu baru saja dilahirkan. Sultan harus berjanji secara tegas bahwa dirinya tidak akan mengajukan klaim apapun atas tanah-tanah  yang menjadi milik pemerintah ataupu Kasunanan, tidak berusaha mencari gara-gara dengan keduanya atau pangeran-pangeran independen dan harus menyerahkan kepada pemerintah semua orang yang mengganggu ketentraman dan keamanan.
Dalam akta pengangkatan dinyatakan bahwa  bila susuhunan tidak memenuhi kewajiban-kewajiban feodalnya, pemerintah bisa mengklaim kembali wilayah-wilayak kekuasaan yang sudah dihadiahkannya itu. 
Perbandingan antara akta-akta persekutuan yang ditanda tangani antara tahun 1830-1870 menunjukkan sejumlah perbedaan yang tak begitu penting. Maka, pada tahun 1858 Paku Buwana VIII mendapatkan tahtanya karena jasa-jasa baiknya kepada pemerintah dan dukungan pribadi pemerintah Hindia sedangkan Paku Buwana VII (1830 dan Paku Buwana IX (1861) berutang budi atas pengaangkatan dari mereka sebaga sunan hanya Kepada Gubenur jendral. Jadi dalam dua kasus terakhir ini dikatakan bahwa pengangkatan mereka disebabkan  oleh dukungan pribadi Gubenur jendral. Di yogyakarta , Hamengku  Buwana VI pada tahun 1855 berjanji untuk menaati kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh para Pendahulunya, “ seolah-olah perjanjian itu dtandatanganinya. Belanda menyadari pada umumnya  bahwa pada umumnya raja-raja hindia Belanda beranggapan bahwa diri mereka hanya terikat pada perjanjian-perjanjian yang di tandatangani oleh para pendahulunya.
Sejak akhir abad ketujuhbelas sudah ada sebuah sistem hukum ganda yang berlaku di kedua kerajaan: sistem hukum kompeni yang berlaku untuk warga yang menjadi tanggungjawab sendiri dan sistenm hukum milik raja-raja yang berlaku atas rakyat jawa yang berada  dibawah kekuasaan raja-raja tersebut. Sejak paruh kedua abad kedelapan belas, barat makin banyak mempengaruhi hukum jawa. Sejak terbelahnya kerajaan mataram apada tahun 1755, hubungan hukum antara kesunanan Surakarta dan Yogyakarta pun diatur.
Setelah tahun 1830 muncul perbedaan-perbedaan diantara solo dan yogyakarta sehububungan dengan pengelolaan peradilan dan kepolisian, karena di solo tanggungjawab untuk melacak dan mengadili orang-orang solo yang menjadi penjahat masih terletak sepenuhnya ditangan pemerintahan Jawa. Tanggungjawab ini merupakan bagian dari tugas patih dan dilaksanakan oleh Tumenggung gunung.
Di Yogyakarta, residennya juga diber hak  untuk mengatur urusan-urusan kepolisiaan setelah tahun 1830. Residen Valck yang tidak segan-segan melakukan campur tangan  dalam urusan orang-orang jawa. Mengeluarkan instruksi-instruksi pada tahun 1831 dimana peran para bupati, kepala-kepala distrik dan apara aparat desa dalam pergerakan hukum dan ketertiban sangat dibatasi.
Komunitas orang-orang Eropa dan cina di Yogyakarta dan solo memainkan peran yang luar biasa besarnya.  Pada tahun 1870 jumlah total penduduk  yogyakarta mencapai 70.000 sebuah angka yang meliputi 2000 orang Eropa, dan 3000 orang cina . Bagi orang-orang Eropa terbagi menjadi dua kelompok yaitu keluarga pemilik perkebunan dan komunitas orang putih rendahan yang merupakan para saudagar dan pedagang. Kedua kelompok ini memiliki banyak hubungan dengan keraton (Guillot, 1981b: 59-60).
Berkaitan dengan hubungan-hubungan ekstrnal  sepanjang periode tahun 1830-1840 hubungan diplomatik dibicarakan di yogyakarta. tidak ada indikasi bahwa yogyakarta menjalin hubungan langsung dengan raja-raja di indonesia lainnyakecuali dengan  susuhunan di Solo. Seandainya ada pun hubungan- hubungan semacam itu diduga di lakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Belanda. Hubungan-hubungan ini bisa diterima dibatasi hanya dengan batavia, negeri Belanda dan Surakarta. Pengaruh  kekuasaan kolonial yang kuat terasa dalam hubungan-hubungan tersebut.
Keberadaan yogyakarta berkenaan dengan  pemerintahan intern jawa dan melibatkan masalah-masalah seperti pengangkatan, pemecatan, pembayaran staf kraton, keuangan, serta  pemanfaatan lahan dan tanah secara cepat. Catatan ini memberikan gagagsan yang baik mengenai masalah-masalah yang menyibukkan rakyat dari hari ke hari.
Terkait atas kekuasaan hak tanah, peyerahan wilayah kekuasaan  pada tahun 1830 menntut adanya reorganisasi total terhadap sistem tersebur. Mataram dan baian Kulon Progo di proyeksikan menjadi tanah-tanah lungguh dan gunung kidul sepenuhnya disisihkan sebagai sebuah daerah yang bertugas menghasilkan  pendapatan melalui penyewaan (pamajengan dalem) sebuah beban yang sebelumnya di tanggung oleh mancanegara (Rooffaer, 1931: 295-296).
Terkait dengan penghidupan  para bangsawan istanah salah satu tugas penting pemerintahan yogyakarta  adalah menghidupi para anggota aristokrasi  istana, pejabat-pejabat serta para pembantu (abdi dalam). Disisi Lin  makin berkurangnya wilayah teritorial keraton yogyakarta memiliki banyak pengaruh bagi pendapatan  para pejabat  Jawa khususnya  bila menyangkut suksesi suatu jabatan.
Urusan-urusan keuangan kesultanan yogyakarta  banyak terbebani oleh biaya-biaya pemeliharaan bangunan keraton itu sendiri dan rumah-rumah (dalem) para pangeran. Biaya-biaya ini merupakan subsidi ekstra  yang dibayarkan untu memenuhi kebutuhan finansial pejabat anggota kerajaan. Selain pinjaman-pinjaman kredit resmi ini , uang juga dipinjamkan dalam segala besar oleh individu-individu perorangan. Pada bulan juli 1833 para pengampuh menerima sebuah daftar yang menunjukkan bahwa pada saat itu para priyayi dan pejabat-bejabat berpangkat rendah lainnya telah meminjam sejumlah total f 10.000 dari orang-orang Cina.
Ketergantungan keraton-keraton jawapasca 1830 paling kental dibidang keuanagan. Ganti rugi atas mancanegara yang diseragkan  tidak cukup untuk menutupi makin meningkatnya biaya-biaya pengelolaan pemerintah kerajaan-kerajaan jawa itu. Banyak bangsawan jawa terpaksa mengambil pinjaman-pinjaman  dan kemudian terjebak utang. Jadi, mereka tidak hanya hidup tergantung kepada kreditor-kreditornya, melainkan kepada bantuan keuangan dari pemerintah.
 Masalah suksesi, Ada rangkaian kejadian masalah besar yang mirip yang terjadi di Yogyakarta dan Surakarta. Masalah suksesi yang terjadi di Solo tahun 1834-1858 dan di Yogyakarta tahun 1847-1869 dikarenakan tidak adanya keturunan laki-laki dari raja. Paku Buwana VII, yang menggantikan Paku Buwana VI yang melarikan diri, memiliki putri beranam Raden Ayu Sekarkedhaton yang selalu menjadi objek lamaran dari berbagai penjuru, Pangeran Mangkubumi, putra Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Riya Kusuma, Raden Mas Deksana (Putra Paku Buwana VI), bahkan sampai Mangkunagara III (putra mahkota Yogyakarta). Akan tetapi, Raden Ayu Sekarkedhaton dengan dukungan ayahnya menolak politik perkawinan yang sudah biasa dilakukan pihak yang haus kekuasaan.

Ketika Paku Buwana VII wafat, Raden Ayu Sekarkedathon menjadi penerus tahta dan diberi hak menentukan sendiri pria yang akan dinikahinya. Namun Campur tangan Belanda mengumumkan secara pribadi Pangeran Adipati Ngabehi dinobatkan sebagai Susuhan dan putra Paku Buwana VI, Pangeran Prabuwijaya, sebagai putra mahkota. Paku Buwana VIII hanya sebentar memegang takhtanya, bulan 1858 sampai Desember 1861. Setelah kematiannya, putra mahkota Pabruwijaya dinyatakan sebagai Paku Buwana IX dan dinobatkan sebagai susuhan.
Di Yogyakarta, putri Hamengku Buwana V, Raden Ajeng Sukinah menikah dengan putra tidak sah Hamengku Buwana VI, pangeran Ngabehi, dengan demikian memulihkan garis keturunan langsung dari Hamengku Buwana V. Namun legitimasi perkawinan ini gugur karena pangeran Ngabehi mengelantarkan Raden Ajeng Sukinah. Dalam hal ini, berarti politik perkawinan juga tidak berhasil di Yogyakarta.
Tahun 1872, Sultan yang tidak memiliki putra sah, adik laki-laki, atau paman, memutuskan menaikkan selirnya, Raden Ayu Sepuh, ke posisi ratu. Dengan demikian, pangeran Ngabehi diangkan menjadi Pangeran Adipati Anom dan direncanakan akan naik tahta setelah meninggalnya Hamengku Buwana VI.


Perubahan social Ekonomi Wilayah Surakarta dan Yogyakarta Tahun 1830-1870.

Berbagai perubahan-perubahan yang terjadi akibat adanya sewa tanah yang ada di wilayah Surakarta dan Yogyakarta dalam kurun waktu tahun 1830-1870 menimbulkan dampak yang sangat besar di kehidupan masyarakat baik itu masyarakat sipil maupun dalam lingkungan kerajaan dan keraton. Beberapa yang dapat diungkap dalam buku karya J.B. Houben ini tentu dapat menjadi pemahaman baru yaitu perubahan-perubahan social ekonomi di wilayah Surakarta dan Yogyakarta, antara lain :

1. Terjadinya eksploitasi tanah.

Setelah secara politis penguasa Jawa ditelikung, sampailah ke tujuan sebenarnya, yaitu mengeksploitasi tanah apanage atau bumi lungguh dan bumi krajan lewat praktik sewa tanah. Praktik sewa tanah bukan hal baru di vorstenlanden karena sudah berlangsung sejak abad ke-17 yang dilakukan orang-orang Cina dalam persil kecil-kecil. Setelah tahun 1830, bersamaan dengan Tanam Paksa yang diberlakukan di daerah gubernemen, persewaan di wilayah vorstenlanden. Maka, dengan melihat perkembangan dan pembaruan persewaan, jelas bahwa di Surakarta dan Yogyakarta selalu terjadi intensifikasi eksploitasi yang menjurus pada ekstraksi tanah. Hasil penyewaan tanah yang diwujudkan dalam pengelolaan perkebunan merupakan ladang emas hijau bagi penyewa tanah dan pemerintah kolonial.
Residen yang dibantu asisten residen merupakan agen politik kolonial yang melakukan kontrol politik terhadap kemungkinan gejolak yang berkembang di tanah kerajaan. Pada dasarnya, mereka menjaga terpeliharanya status quo kerajaan-kerajaan itu. Pengawasan ketat diberlakukan kepada daerah-daerah di Surakarta dan Yogyakarta. Dengan demikian, pengawasan kepada masyarakat bumiputra makin kuat dan mereka hampir-hampir tidak dapat bergerak karena mata-mata kolonial ada di mana-mana. Secara yuridis pun dilakukan perpaduan undang-undang baru dan aturan-aturan kerajaan yang sudah ada sebelumnya. Perpaduan hal ini dimaksudkan agar Pemerintah Hindia Belanda dan penyewa tanah memiliki kepastian hukum. Bahkan, pada akhir abad ke-19 dilakukan revisi terhadap undang-undang dan Aturan-aturan kerajaan untuk memastikan keberhasilan para penyewa.
Di dalam persewaan tanah makin dipertegas penggantian kedudukan para patuh (tuan kebun) oleh para penyewa tanah. Hubungan feodal tradisional tetap berlaku antara patuh dan petani. Selain itu, petani pun masih mendapat beban pajak dan tenaga kerja dari penguasa bumiputra. Dengan demikian, petani atau wong cilik mendapat beban rangkap, yaitu dari penyewa, Pemerintahan Hindia Belanda, dan penguasa bumiputra. Maka tidak mengherankan kalau di sana-sini timbul resistensi, protes tani, kecu (perampokan), pembakaran, ratu adilisme, dan lain-lain.

2. Pertumbuhan Ekonomi.

Setelah tahun 1860, Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta mengalami perubahan ekonomi yang besar bersama dengan tumbuhnya perkebunan barat di bawah manajemen orang Indo-Eropa, orang Belanda dan lain-lain yang mengkonsentrasikan diri dalam produksi pertanian berskala besar untuk pasar Eropa. Mudahnya tanah di kedua kerajaan tersebut dikarenakan sistem tanah lungguh Jawa tradisional, dimana menyewakan tanah untuk mendapat uang merupakan bagian dari tradisi yang sudah lama berkembang.
Penyewa tanah memberikan perubahan draktis kepada kepemilikan lahan dan pekerjaan penduduk. Luas tanah yang biasa ditanami tanaman pokok oleh penduduk, berkurang. Harga beras meningkat seiring permintaan terhadap barang yang semakin berkurang. Cepatnya ekspansi jumlah dan luas area perkebunan di kedua kerajaan ini menyebabkan ditebangnya hutan-hutan jati. Pembukaan rel kereta api ke Semarang berarti melonjaknya mobilitas orang dan barang.
Pada awalnya pemilik tanah lebih kaya, namun akhirnya kehilangan sebagian kekuasaan dan kewibawaannya. Jumlah petani pemilik tanah berkurang dan jumlah buruh upahan meningkat. Perubahan sosial berubahan secara draktis seiring dengan perubahan ekonomi.

Perubahan sosial
Houben selain mengulas eksploitasi tanah-tanah lungguh untuk empat jenis perkebunan besar, yaitu perkebunan indigo (nila), kopi, tebu, dan tembakau, dari kacamata perusahaan. Akan tetapi, bagaimana empat jenis perkebunan itu beroperasi tidak mendapat perhatian memadai, termasuk perbandingan pendapatan tanah-tanah setiap tahun sebelum disewa dan setelah disewa perkebunan. Lebih jauh, derajat penderitaan atau kesulitan hidup wong cilik di empat jenis perkebunan tidak mendapat penjelasan secukupnya. Padahal, sesungguhnya yang menyebabkan perubahan sosial di Jawa, sebagaimana yang digambarkan dalam salah satu bab buku ini, adalah ekstensifikasi dan intensifikasi perkebunan.
Berbagai macam kerja di perkebunan makin terdiferensiasi sehingga memerlukan tambahan buruh. Daglooner atau buruh harian mulai banyak diperlukan dan terjadi kontrak kerja dengan volume pekerjaan tertentu dan upah tetap. Dampaknya adalah terjadi semacam proletarisasi karena banyak petani kenceng yang seleh, melepaskan kedudukannya sebagai petani kuat. Mereka lebih senang bekerja sebagai buruh dengan upah harian dibandingkan sebagai petani yang tanahnya disewa perkebunan. Ini disebabkan pendapatan petani yang tanahnya disewa perkebunan jauh lebih kecil dibandingkan dengan upah yang diterima sebagai buruh harian. Pendapatan itu semakin tidak berarti jika memperhitungkan kerja wajib dan kerja tambahan untuk perkebunan dan penguasa bumiputra. Di satu pihak, petani harus mendapatkan uang untuk berbagai keperluan dan di pihak lain harus mengikuti pola kehidupan dan kewajiban tradisional.
Konsumerisasi dan komersialisasi sudah merambah ke pedesaan meski hanya terbatas pada kebutuhan tertentu. Cina klonthong, cina mindring dengan dagangannya sudah memasuki pedesaan baik sebagai rentenir maupun pedagang klonthongan yang mampu menyedot uang para penduduk desa. Desa menderita semacam ketakberdayaan karena tak mempunyai daya beli sehingga mereka selalu terjerat dalam utang. Koplakan banyak berdiri di sekitar perkebunan, layaknya seperti kafe dan klub malam sekarang. Tempat-tempat itu menjadi kawasan rendezvous para “bandit” yang melakukan transaksi dengan konspirator, pekerja seks, dan lain-lain.
Meski komersialisasi tenaga kerja sudah berlangsung dengan kontrak individual, tetapi belum dapat berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Rekrutmen buruh tetap dilakukan melalui para bekel. Sebagai kepala desa dan sebagai broker rekruitmen, para bekel itu mendapat keuntungan dari uang komisi. Dengan demikian, kekuasaan kepala desa semakin kokoh, yang semula berperan sebagai tax collector berkembang menjadi power holder, menguasai desa, termasuk cacahnya. Perubahan peran para bekel ini sejalan dengan perkembangan perkebunan yang memerlukan kepastian usaha untuk pencapaian keuntungan perusahaan perkebunan. Peran para bekel yang memperlancar eksploitasi ini menyebabkan petani tidak senang dan berupaya melakukan pembalasan. Para bekel dijadikan sasaran pengkecuan. Mereka tidak lagi dianggap sebagai pelindung petani, tetapi kaki tangan perkebunan. Banyak kasus pencurian dan pembunuhan terhadap para bekel di dua kerajaan ini, termasuk bekel putih, yaitu penyewa Belanda dan Cina.
Dalam membahas perubahan sosial, buku ini tidak mengungkapkan mobilitas sosial vertikal yang menandai perubahan status. Padahal, pada tingkat desa terjadi kolusi antara para kepala desa dan mandor yang mampu menahan gerak vertikal petani sehingga petani tetap sebagai buruh tani. Sementara itu, kuli kenceng yang melepaskan hak dan kewajibannya digantikan oleh saudara terdekat. Bahkan, sering terjadi “perkawinan politik” pada tingkat desa untuk memperkuat ikatan dua penguasa itu sehingga sebenarnya mobilitas sosial secara tradisional dihalangi oleh penguasa desa yang bekerja sama dengan perkebunan. Meski demikian, setelah pertengahan abad ke-19 mulai tampak mobilitas sosial yang ditengarai oleh kemampuan atau keahlian kerja meskipun dalam jumlah yang sangat terbatas.

Gerakan perlawanan
Kajian-kajian gerakan perlawanan yang dikemukakan Vincent Houben tampak kurang tajam, termasuk penjelasan tentang sebab-akibat perlawanan petani, perbanditan sosial, dan lain-lain. Perlawanan itu muncul dan berkembang luas setelah terjadinya perluasan perkebunan. Orientasi perlawanan para petani saat itu, selain sebagai gerakan sekuler untuk mendapatkan kebutuhan hidup dari hari ke hari, juga diwarnai oleh orientasi religius seperti milenarisme dan messianisme.
Dalam praktik, semua itu bercampur dengan orientasi gerakan lain. Jelasnya, gerakan perlawanan itu terjadi akibat multiple pressures yang dialami para petani karena jarak perkebunan satu dengan lainnya berdekatan sehingga beberapa perkebunan harus menekan kepala desa untuk menyediakan tenaga kerja dan keperluan perkebunan bagi tiga atau empat jenis perkebunan dalam waktu yang bersamaan. Yang sangat berat adalah jika perkebunan indigo berdekatan dengan perkebunan tebu karena keduanya sama-sama menguras tenaga dalam proses produksinya.
Selain gerakan petani yang diwujudkan dalam gerakan kelompok besar dengan tujuan meminta kembali hak milik petani atau ganti rugi, ada juga gerakan perlawanan individual atau kelompok kecil yang melakukan pengkecuan, pencurian, pembakaran tebu, dan lain-lain. Hal ini merupakan gangguan keamanan yang meresahkan penyewa. Residen Surakarta dan Yogyakarta pun tidak pernah tidur nyenyak karena mendapat laporan tentang kecu hampir setiap malam. Rietbranden atau pembakaran tebu merupakan kejadian sepanjang tahun dan berpindah-pindah dari satu perkebunan ke perkebunan lain. Sayangnya, bentuk ketidakpuasan dan aspirasi wong cilik ini tidak mendapat eksplanasi secara luas di dalam buku ini.

Kesimpulan
Karya Vincent Houben, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870, menyajikan pertarungan kekuasaan politik antara keraton Jawa, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, dengan Pemerintah Hindia Belanda (PHB). Buku ini terdiri atas enam bab dengan tambahan dua bab untuk prawacana dan kesimpulan. Bab-bab awal buku ini mengungkap taktik divide et impera PHB terhadap kedua kerajaan, antara lain dengan memosisikan peran ambigu patih kerajaan dan campur tangan di dalam persoalan suksesi takhta kerajaan. Bab-bab akhir membahas perubahan eksploitasi ekonomi, khususnya ekonomi perkebunan serta dampaknya terhadap perubahan struktur masyarakat Jawa umumnya dan masyarakat Surakarta dan Yogyakarta khususnya.
Kesimpulan di akhir buku menyatakan bahwa PHB berhasil mereduksi kekuasaan politik para penguasa Jawa sehingga menjadi sekadar “boneka” yang tidak berdaya. Pertarungan antara Keraton dan Kompeni ini, oleh Houben, diibaratkan seperti perkelahian antara harimau dan kerbau. Harimau dengan kuku dan taring yang tajam mampu menaklukkan kerbau yang kuat dan bertanduk runcing. Ujung penguasaan sosial politik ini adalah dominasi penguasa kolonial terhadap penguasa bumiputra yang notabene mencari keuntungan finansial. Ini adalah keistimewaan Houben karena ia mampu menjelajahi sumber dari kedua belah pihak. Sebagai seorang Belanda tentu tidak diragukan penguasaan sumber Belanda sehingga ia dapat memaparkan sampai serinci mungkin mengenai korupsi dan indisipliner para birokrat Belanda. Selain itu, Houben juga menunjukkan keberpihakan kepada penguasa Jawa.
Pada tahun 1830, yaitu setelah berakhirnya Perang Jawa atau Perang Diponegoro, PHB ingin menyempurnakan penaklukannya atas dua kerajaan itu. Alasan penaklukan adalah karena kedua kerajaan itu mempunyai daerah yang luas, bukan hanya negaragung, tetapi sampai mancanegara, pasisiran, dan bang wetan. Apabila daerah-daerah ini dikuasai oleh PHB, keuntungan ekonomis yang cukup tinggi akan diperoleh PHB. Selanjutnya, yang lebih penting dan dirasa menakutkan adalah kedua kerajaan itu mampu memobilisasikan massa rakyat untuk melawan PHB sehingga membuka kemungkinan terjadi Perang Jawa seri kedua yang menguras keuangan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, gubernur jenderal memerintahkan para komisaris dan residen untuk “menata Yogya dan Solo”.
Surakarta dan Yogyakarta memang sangat menakutkan bagi PHB, tetapi di pihak lain, dua kerajaan itu menjanjikan keuntungan finansial. Oleh karena itu, PHB berusaha mencari titik-titik konflik secara vertikal dan horizontal antardua kerajaan itu. Pergantian takhta, intrik istana, dan peran patih kerajaan sebagai broker politik dimanfaatkan oleh PHB untuk kepentingan kolonial. Sebaliknya, penguasa yang tidak loyal seperti Sunan Paku Buwana VI dibuang ke Ambon. Prinsip divide et impera terus diterapkan demi tertancapnya kuku kompeni di dua kerajaan itu.
Di sisi lain, peran para komisaris, yang ditunjuk gubernur jenderal untuk mengurus penyerahan kekuasaan kedua kerajaan kepada PHB, sangat besar dalam menjaga wibawa PHB. Meskipun demikian, mereka juga saling berebut kepentingan ekonomi. Ini terjadi karena di antara para komisaris itu ada yang berperan ganda sebagai ondernemers atau penyewa tanah dan pemilik perkebunan. Pada masa itu yang terjadi adalah sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule). Pemerintah kolonial dapat menguasai rakyat hingga ke desa-desa melalui para penguasa kerajaan. Oleh karena itu, kekuasaan kerajaan direduksi ke tingkat seremonial dan terkunci dalam ritual-ritual kerajaan.
 
)*  diseminarkan di Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta Program Studi Pendidikan sejarah dalam rangka memenuhi tugas matakuliah Sejarah Ideologi Politik Bangsa Indonesia pada tanggal 2 Mei 2012

Daftar Pustaka
Bachri, Saiful. 2005. Sejarah Perekonomian. Solo: UNS.

Booth, Anne. dkk. 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia .Jakarta : LP3ES

Leirissa. RZ. dkk. 1996. Sejarah Perekonomian Indonesia . Jakarta: Depdikbud

Notosusanto. N & Marwati. D.P. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta. Balai Pustaka

Kartodirjdo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia  Baru: 1500-1900 dari Emperium sampai Imperium jilid I. Jakarta: Gramedia.

M.C Ricklefs, 2005. Sejarah indonesia modern 1200-2004. Jakarta. Serambi.

Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel : perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830 – 1920. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.

Niel, Van, Robert. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta : LP3ES.

1 komentar: