Rabu, 09 Mei 2012

EKONOMI PERKEBUNAN Oleh: Miskawi *)




Pengantar
Masalah perkebunan merupakan salah satu aspek terpenting  dalam pemandangan ekonomi Indonesia  pada masa penjajahan khususnya pada tahun 1830-1940. Menurut Anne Booth, et al (1988) dijadikan sebagai dasar perekonomian Indonesia. Banyak hal yang mempengaruhi mulai  neraca pembayaran pemerintah kolonial, nasip para pengusaha barat, serta kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia sampai dengan kegiatan ekonomi serta organisasi sosial di sejumlah penduduk pulau tersebut.
Tahun 1830 merupakan kesejahteraan nyata bagi sebagian besar penduduk Jawa sesungguhnya telah meningkat selama masa berlangsungnya sistem tersebut – berbeda dengan keyakinan selama ini bahwa. Kajian tentang perkebunan juga tidak sesederhana seperti lazimnya kita ketahui sebagai unsur yang berperanan vital bagi perekonomian jajahan, bahkan gambarannya bagi perkebunan gula, justeru sebaliknya masa perkebunan tidak memberikan konstribusi dalam perkembangan ekonomi di Indonesia.
Disisi lain, tahun 1830 titik permulaan yang berguna bagi pemikiran serius tentang perkebunan di Indonesia karena dua sebab penting yang berhubungan. Pertama, catatan-catattan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial  yang makin mendalam, memungkinkan pemantauan yang lebih pasti dari kegiatan-kegiatan  pertanian dan perdagangan dari pada jangka waktu yang dilakukan sebelumnya; Kedua, keterangan statistik sesudah tanggal tersebut, jadi lebih dapat diandalkan dan seragam sifatnya.
Pembahasan:
1.1 Ekonomi Perkebunan 1830-1942
            Sistem sewa tanah tidak dapat dipisahkan dengan masalah kebijakan-kebijakan ekonomi di Indonesia  yang diterapkan oleh penjajah .Menurut  Leirissa, dkk (1996: 53) bentuk pembangunan ekonomi yang dilakukan Belanda antara tahun 1830 hingga pertengahan abad ke 19 yang mereka namakan cultuurselsel. Akan tetapi,  Tidak lama setelah kepergian Gubenur Jenderal Daendeles dari Indonesia, saat  jawa diduduki oleh inggris tahun 1811- 1816 telah diletakkan dasar kebijaksanaan ekonomi yang sangat mempengaruhi  sifat dan arah kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda. Notosusanto, N & Marwati D.P (1993).
Rafles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi dijawa yang bebas dari unsur paksaan dan kerja rodi yang dijalankan oleh VOC yang telah banyak mematikan usaha rakyat Indonesia (segala bentuk dan menyerahan wajib dihapuskan). Kepada petani rafles menginginkan kebebasan berusaha dan kepastian hukum yang dipengaruhi oleh cita-cita revolusi perancis “kebebasan,persamaan dan persaudaraan” namun, dalam pelaksanaanya tidak terwujud.
            Sistem yang dikehendaki adalah dimana petani dengan kehendak sendiri menanam  tanaman dagangan  yang dapat diekspor keluar negeri. Konsekuensinya petani hanya pembayar sewa tanah  karena pemerintah kolonial sebagai pemilik tanah. Hal ini juga berpengaruh terhadap arus pendapatan negara yang mantap. Namun dalam perkembangannnya yang direncanakan oleh sistem diatas mengalami kegagalan disebabkan kurangnya pengalaman petani dalam  menjual tanaman-tanaman bebas/ meningkatkan tanaman perdagangan untuk eksport.
Menurut Bachri, Saiful (2005) sistem tersebut menyebabkan kesengsaraan dan penindasan kaum penjajah. Disamping itu, digambarkan  mengenai tidak adanya  peningkatan kemakmuran, seolah-olah petani  sebagai korban dari sistem. Sebagai contoh Algemeen jaarlijksch Verslag omtrent staat van der Residentie Cheribon gedurende her dienstjaar 1824 (laporan tahunan umum mengenai keadaan di Keresidenan Ceribon selama tahun dinas 1824) memberikan informasi dalam bentuk ragam penindasan terhadap para petani yang dilakukan oleh  para ketua pribumi, mengenai ketersediaan dana yang terbatas untuk keperluan perdagangan, mengenai penurunan jumlah penerimaan pajak. Informasi mengenai kekurangan beras dipekalongan (laporan umum tahun 1828).
            Dalam perkembangannya pergantian sistem sewa tanah ke sistem tanam paksa dapat dikatakan sebagai Pemandangan perekonomian Hindia Belanda selama lebih dari satu abad  antara tahun 1830-1942, tidak lepas dari perkebunan. Perkebunan yang mulai lebih intensif di lakukan oleh pemerintah kolonial Belanda selama masa tanam paksa. Perkebunan menjadi perioritas utama bagi pemerintah Belanda dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan  terutama menambah pembendaharaan  pemerintah Belanda. Namun, tidak menutup kemungkinan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal inilah yang dikatakan Anne Booth, et al (1988),  menurut bahwa kesejahteraan nyata bagi sebagian besar penduduk Jawa sesungguhnya telah meningkat selama masa berlangsungnya sistem tersebut paling tidak selama dasawarsa  pertengahan abad ke -19. Hal tersebut diperkuat oleh Elson (dalam Leirissa,dkk. 1996: 65) bahwa sistem ini langsung dan tidak langsung paling tidak dalam jangka pendek, memberi peluang-peluang untuk suatu pengelolaan secara lebih mantap bagi kehidupan ekonomi pangan serta membuka kemungkinan-kemungkinan  untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat tani, yang sebelumnya amat terbatas pilihan-pilihannya.
            Dalam satu uraian lain, Prof. Fernando (dalam Leirissa,dkk. 1996: 65) bahwa dampak dari sistem tanam paksa bahwa penduduk pedesaan semakin  terbiasa untuk membeli  berbagai macam barang untuk keperluan rumah tangga.
            Menurut Leirissa,dkk (1996: 56-57) Penduduk sudah mendapatkan bayaran untuk hasil kerjanya.
            Ditambahkan, Burger (1957) sistem tanam paksa amat berhasil dalam memperoleh bating slot  yang besar terbukti dari angka-angka yang berikut. Misalnya, antara tahun-tahun 1832 dan 1867 saldo untung ini mencapai jumlah total f.967 juta, dan untuk 10 yahun berikutnya, artinya tahun –tahun 1867 dan 1877, mencapai jumlah total f.287 juta. Dengan demikian  saldo untung yang diperoleh dalam kurun waktu lebih empat dasa warsa mencapai f.784. suatu angka yang tinggi sekali.
Struktur organisasi dari sistem tanam paksa hal –hal yang berhubungan dengan petani mulai ditinggalkan, sedangkan desa  menjadi unit dasar dalam pemerintahan.  Kepala desa adalah mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat pribumi yang lebih tinggi tingkatannya yaitu Bupati. Bupati bertanggung jawab terhadap pemerintahan bangsa eropa.  Menurut Bachri, Saiful (2005) orang eropa  tidak akan memperoleh apapun jika mereka tidak mempergunakan organisasi desa.
Semakin berkembangnya perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda masalah perkebunan dalam perkembangannya mengatur masalah kontrak dan upah, bertambahnya jumlah tenaga kerja dan meningkatnya jumlah benduduk. Anne Booth, et al (1988),  perkebunan –perkebunan dapat menciptakan lowongan-lowongan pekerja baru dan bahkan kategori pekerjaan-pekerjaan baru bagi bangsa Indonesia, seperti pekerjaan tukan pedati untuk perkebunan-perkebunan gula, perkebunan tembakau, pembuka lahan untuk perkebunan di daerah perbukitan, serta levarinsir bahan-bahan pengepakan untuk semua perkebunan  bisa muncul dan menghilang dengan berlakunya waktu. Diperkebunan orang yang tidak mempunyai latarbelakang pendidikan  mungkin saja terjamin serta naik haji dan kedudukannya berkat tenaga kerja keras dan pengalaman yang diperoleh. Ditambahkan, oleh Fernando (dalam  Leirissa,dkk 1996:66) bahwa dampak ekonomi dari kebiasaan Konsumen dari (meningkatnya jumlah penduduk pedesaan yang melakukan ekonomi non agraris).
 Boomgaard (dalam M.C Ricklefs, 2005) menyatakan bahwa kesempatan menjadi karyawan non pemerintah yang mendapat upah telah mendorong pasangan-pasangan untuk kawin dini dan memiliki anak lagi. Ditambahkan oleh Pieter Creutzberg (1987) bahwa akibat adanya perkebunan-perkebunan terutama komoditi-komoditi ekspor yang menjadi perioritas,menyebabkan pertumbuhan dan mobilitas penduduk dan adanya struktur perubahan sosial. Disisi lain kesehatan juga dilihat dengan adanya perbaikan-perbaikan dibidang kesehatan.
Disisi lain berkembangnya jumlah penduduk  dan lalu lintas perekonomian perkebunan, juga mempengaruhi perkembangan desa. Menurut Burger (1970) dengan semakin berjumlahnya tenaga penduduk, menyebabkan berkurangnnya tanah-tanah pertanian terutama yang memperoduksi tanaman-tanaman pokok karena digunakan untuk menanan tanaman komoditi ekspor, maka timbul suatu golongan bukan pemilik-pemilik tanah, persewaan dan bentuk-bentuk bagi hasil.
Akibat diatas, tidak sedikit penduduk dari jawa  memilih berimigrasi keluar jawa, dengan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih baik. Mereka bekerja sebagai buruh yang dikenal dengan upah. Dalam perkembangannya menurut Notosusanto, Nogroho dan Marwati Djoened Poesponegoro (1993) perkembangan perusahaan dan perkebunan swasta malahan mengakibatkan kesejahteraan penduduk jawa semakin mundur.
Perkebunan merupakan masa yang benar-benar menguntungkan mulai dari para pejabat, baik yang berkebangsaan Belanda ataupun pejabat pribumi yang ditugaskan dalam sistem tersebut memperoleh bayaran berdasarkan prosentase dari komoditi yang  diserahkan oleh rakyat. Hal ini disebabkan  karena mereka yang berwenang pada tingkat diatas desa lewat penguasaan mereka atas tanah dan wewenang lokal.
Berdasarkan pendapat diatas, perkebunan telah memberikan pengaruh yang begitu besar bagi masyarakat di Hindia Belanda seperti halnya dalam bentuk perilaku banyak kaum elit tradisional  selama tahun-tahun sesudah 1830-an, pertanian, mobilitas penduduk dan lowongan pekerjaan baru. Hal ini  tentu saja memberikan pengaruh atas perubahan sosial ekonomi masyarakat Hindia Belanda.
Disisi lain, menganalisa dampak penanaman tanaman paksa dagang secara paksa, Geertz (1963) mengadakan perbedaan musiman antara tanaman musiman dan tanaman tahuan. Tanaman musiman seperti nila, tembakau yang dapat ditanam disawah  berseling dengan padi dalam jangka waktu satu tahun. Sedangkan tanaman tahunan seperti lada, kopi, teh, karet yang tidak dapat bertumbuh berseling waktu padi.
Perkembangan perkebunan yang semakin cepat terutama selama liberal (1870-1900), menimbulkan para banyak mengusaha swasta menanamkan modalnya di Hindia Belandamenurut G.A Ohorella, at al (1996) bahwa di Hindia Belanda terdapat perkebunan baik milik pemerintah, swasta dan perkebunan milik rakyat pribumi. Perkebunan swasta berkembang menjadi lebih pesat setelah partai liberal mengambil alih pemerintahan di negeri Belanda dan membuat prasarana hukum  untuk memberi jaminan bagi penanaman modal swasta di Hindia Belanda. Selama periode antara tahun 1870-1942  perkembangan modal  swasta dalam sektor perkebunan  mendominasi perkebunan Hindia Belanda beberapa komoditi yang terpenting dijawa adalah gula, kopi, tembakau, teh, karet,kina dan kelapa sawit merupakan produk utama.
Di Hindia Belanda tidak hanya perkebunan  milik pemerintah dan swasta saja yang berkembang, tetapi juga perkebunan milik pribumi dapat berkembang dengan baik pula. Justru selama terjadinya depresi  ekonomi dunia pada tahun 1830, perkebunan-perkebunan milik rakyat dapat berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan oleh faktor resiko yang ditanggung tidak terlalu besar. Pengelolaan perkebunan rakyat  tidak dilakukan melalui perubahan modal besar sehingga mereka tidak bertanggungjawab kepada pemegang saham. Hal ini terjadi saat masuknya modal-modal swasta barat ke Hindia Belanda guna mendirikan perkebunan-perkebunan.
Hal tersebut juga tidak dapat dipungkiri bahwa Hindia Belanda merupakan tempat subur. Sehingga banyak menarik pengusaha asing masuk menanamkan modalnya. Selain itu juga, tenaga kerja yang tersediapun dapat dibayar dengan murah, hal ini menambah  ketertarikan bagi pengusaha asing untuk mendidrikan perusahaan-perusahaan perkebunan. Disatu sisi masyarakat pribumi tidak berdaya menghadapi persaingan dalam eksploitasi sumber daya alam seperti yang dilakukan oleh para kapitalis.
Meluasnya pengaruh ekonomi  barat dalam masyarakat Indonesia  selama zaman liberal tidak saja terbatas pada penanaman  tanaman perdagangan di perkebunan-perkebunan akan tetapi impor barang jadi misalnya konsumsi ringan. Hal inilah yang nantinya  berakibat buruk bagi usaha-usaha kerajinan rakyat Indonesia.
Notosusanto, N. Dkk (1993), Walaupun zaman liberalisme di Hindia Belanda diawali dengan harapan besar mengenai keunggulan  sistem liberal dalam peningkatan perkembangan ekonomi koloni sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia. Namun pada akhir abad ke sembilan belas sudah nyata banhwa penduduk Indonesia tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih jika dibandingkan antara tahun 1870-1900. Khususnya di jawa tengah dan Timur serta di Sumatra timur.

1.2 Dampak bagi rakyat Indonesia
            Seperti yang digambarkan oleh Elson (dalam Leirissa,dkk. 1996: 65) bahwa sistem ini langsung dan tidak langsung paling tidak dalam jangka pendek, memberi peluang-peluang untuk suatu pengelolaan secara lebih mantap bagi kehidupan ekonomi pangan serta membuka kemungkinan-kemungkinan  untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat tani.
Perkebunan merupakan masa yang benar-benar menguntungkan mulai dari para pejabat, baik yang berkebangsaan Belanda ataupun pejabat pribumi yang ditugaskan dalam sistem tersebut memperoleh bayaran berdasarkan prosentase dari komoditi yang  diserahkan oleh rakyat.
Menurut Suroyo, A.M Djulianti (dalam Lindbland. J. Thomas, 2000: 223-224) dampak dari kerja paksa hubungannya dengan ekonomi dijelaskan bahwa pertama, sejumlah tenaga kerja paksa dibayar dengan uang tunai, terutama pada penanaman ekspor. Meskipun jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan apa yang dapat diperoleh jumlah tenaga bayaran. Pembayaran yang teratur ini dan besarnya jumlah petani yang menerima bayaran tersebut benar-benar meningkatkan  monetisasi di dalam perekonomian desa. Kedua lebih memperkenalkan kelas baru yang mempunyai hak-hak khusus  didalam masyarakat desa, yakni kepala desa  dan para jabatannya  yang menikmati banyak keuntungan dan hak-hak  termasuk bebas dari kewajiban-kewajiban kerja paksa.
Namun dalam perkembangannya Menurut, Notosusanto, dkk (1993)  kemerosotan kemakmuran  penduduk jawa disebabkan beberapa faktor. Antara lain:
1.      Disisi lain perkebunan memberikan kontribusi secara ekonomi, namun meningkatnya jumlah penduduk jawa meningkat tidak sebanding dengan  luas tanah yang digarap secara otomatis berdampak pada pertambahan hasil semakin berkurang, rata, rata sangat kekurangan modal dikarenakan kemiskinan.
Akibat diatas,tidak sedikit penduduk dari jawa  memilih berimigrasi keluar jawa, dengan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih baik. Mereka bekerja sebagai buruh yang dikenal dengan upah.
2.      Adanya sistem kerja rodi yang sangat kuat untuk bekerja
3.      Politik pemerintah Hindia Belanda terhadap pulau jawa. Dimana jawa harus  menanggung beban finansial daerah-daerah lain di nusantara yang dikuasai oleh Belanda. Selama abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda menganut politik tidak campur tangan  terhadap daerah-daerah di Luar pulau jawa yang berada di bawah kekuasaannya.
Artinnya, penduduk jawalah yang menanggung segala beban untuk mengatur dan pemerintah di daerah-daerah koloni diluar jawa. Disisi lain, penduduk jawa juga membiayai segala perang kolonial yang dilakukan oleh pemerintah kolonial belanda.
4.      Sistem perpajakan yang tinggi memberatkan  golongan yang berpendapatan rendah
5.      Dengan dibukanya perkebunan-perkebunan yang besar  sekitar tahun1885 terjadi penghematan-penghematan drastis berupa penekanan-penekanan upah dan sewa tanah.
6.      Pembangunan sarana dan prasarana yang banyak bekerja adalah rakyat Indonesia seperti pembangunan irigasi, waduk, jalan-jaln kereta api dan sebagainya. Artinya, Saldo untung yang yang begitu tinggi h saat sistem tersebut, bukan saja diperoleh pada penerimaan yang tinggi, hal ini tidak lepas dari pemeriuntah kolonial yang mampu menghemat pengeluaran-pengeluaran yang memberatkan anggaran belanja. Misalnya membangun sarana dan prasarana seperti pembangunan jalan-jalan, pabrik, dsb.  Pos pengeluaran hanya diperuntukkan dalam anggaran belanja seperti  perdagangan dan penanaman. 


*) mahasiswa Pasca sarjana Universitas sebelas maret prodi pendidikan sejarah
 
Daftar Pustaka

Lindblad, J. Thomas. 2000. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia (Berbagai Tantangan Baru). Jakarta : LP3ES.

Bachri, Saiful. 2005. Sejarah Perekonomian. Solo: UNS.

Booth, Anne. dkk. 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia .Jakarta : LP3ES

Leirissa. RZ. dkk. 1996. Sejarah Perekonomian Indonesia . Jakarta: Depdikbud

Notosusanto. N & Marwati. D.P. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta. Balai Pustaka

Kartodirjdo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia  Baru: 1500-1900 dari Emperium sampai Imperium jilid I. Jakarta: Gramedia.

M.C Ricklefs, 2005. Sejarah indonesia modern 1200-2004. Jakarta. Serambi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar