Pengantar
Masalah perkebunan merupakan salah satu
aspek terpenting dalam pemandangan
ekonomi Indonesia pada masa penjajahan
khususnya pada tahun 1830-1940. Menurut Anne Booth, et al (1988) dijadikan sebagai dasar perekonomian Indonesia. Banyak
hal yang mempengaruhi mulai neraca
pembayaran pemerintah kolonial, nasip para pengusaha barat, serta
kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia sampai dengan kegiatan ekonomi serta
organisasi sosial di sejumlah penduduk pulau tersebut.
Tahun 1830 merupakan kesejahteraan nyata bagi sebagian
besar penduduk Jawa sesungguhnya telah meningkat selama masa berlangsungnya
sistem tersebut – berbeda dengan keyakinan selama ini bahwa. Kajian tentang
perkebunan juga tidak sesederhana seperti lazimnya kita ketahui sebagai unsur
yang berperanan vital bagi perekonomian jajahan, bahkan gambarannya bagi
perkebunan gula, justeru sebaliknya masa perkebunan tidak memberikan
konstribusi dalam perkembangan ekonomi di Indonesia.
Disisi lain, tahun 1830 titik permulaan
yang berguna bagi pemikiran serius tentang perkebunan di Indonesia karena dua
sebab penting yang berhubungan. Pertama,
catatan-catattan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial yang makin mendalam, memungkinkan pemantauan
yang lebih pasti dari kegiatan-kegiatan
pertanian dan perdagangan dari pada jangka waktu yang dilakukan
sebelumnya; Kedua, keterangan
statistik sesudah tanggal tersebut, jadi lebih dapat diandalkan dan seragam
sifatnya.
Pembahasan:
1.1 Ekonomi
Perkebunan 1830-1942
Sistem sewa tanah tidak dapat
dipisahkan dengan masalah kebijakan-kebijakan ekonomi di Indonesia yang diterapkan oleh penjajah .Menurut Leirissa, dkk (1996: 53) bentuk pembangunan
ekonomi yang dilakukan Belanda antara tahun 1830 hingga pertengahan abad ke 19
yang mereka namakan cultuurselsel.
Akan tetapi, Tidak lama setelah
kepergian Gubenur Jenderal Daendeles dari Indonesia, saat jawa diduduki oleh inggris tahun 1811- 1816
telah diletakkan dasar kebijaksanaan ekonomi yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijaksanaan pemerintah
kolonial Belanda. Notosusanto, N & Marwati D.P (1993).
Rafles ingin menciptakan suatu sistem
ekonomi dijawa yang bebas dari unsur paksaan dan kerja rodi yang dijalankan
oleh VOC yang telah banyak mematikan usaha rakyat Indonesia (segala bentuk dan
menyerahan wajib dihapuskan). Kepada petani rafles menginginkan kebebasan
berusaha dan kepastian hukum yang dipengaruhi oleh cita-cita revolusi perancis
“kebebasan,persamaan dan persaudaraan” namun, dalam pelaksanaanya tidak
terwujud.
Sistem yang dikehendaki adalah
dimana petani dengan kehendak sendiri menanam
tanaman dagangan yang dapat
diekspor keluar negeri. Konsekuensinya petani hanya pembayar sewa tanah karena pemerintah kolonial sebagai pemilik tanah.
Hal ini juga berpengaruh terhadap arus pendapatan negara yang mantap. Namun
dalam perkembangannnya yang direncanakan oleh sistem diatas mengalami kegagalan
disebabkan kurangnya pengalaman petani dalam
menjual tanaman-tanaman bebas/ meningkatkan tanaman perdagangan untuk
eksport.
Menurut Bachri, Saiful (2005) sistem tersebut
menyebabkan kesengsaraan dan penindasan kaum penjajah. Disamping itu,
digambarkan mengenai tidak adanya peningkatan kemakmuran, seolah-olah
petani sebagai korban dari sistem. Sebagai
contoh Algemeen jaarlijksch Verslag omtrent staat van der Residentie Cheribon
gedurende her dienstjaar 1824 (laporan tahunan umum mengenai keadaan di
Keresidenan Ceribon selama tahun dinas 1824) memberikan informasi dalam bentuk
ragam penindasan terhadap para petani yang dilakukan oleh para ketua pribumi, mengenai ketersediaan
dana yang terbatas untuk keperluan perdagangan, mengenai penurunan jumlah
penerimaan pajak. Informasi mengenai kekurangan beras dipekalongan (laporan
umum tahun 1828).
Dalam perkembangannya pergantian
sistem sewa tanah ke sistem tanam paksa dapat dikatakan sebagai Pemandangan
perekonomian Hindia Belanda selama lebih dari satu abad antara tahun 1830-1942, tidak lepas dari
perkebunan. Perkebunan yang mulai lebih intensif di lakukan oleh pemerintah
kolonial Belanda selama masa tanam paksa. Perkebunan menjadi perioritas utama
bagi pemerintah Belanda dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan terutama menambah pembendaharaan pemerintah Belanda. Namun, tidak menutup
kemungkinan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal inilah yang
dikatakan Anne Booth, et al (1988),
menurut bahwa kesejahteraan nyata bagi sebagian besar penduduk Jawa
sesungguhnya telah meningkat selama masa berlangsungnya sistem tersebut paling tidak
selama dasawarsa pertengahan abad ke
-19. Hal tersebut diperkuat oleh Elson (dalam Leirissa,dkk. 1996: 65) bahwa
sistem ini langsung dan tidak langsung paling tidak dalam jangka pendek,
memberi peluang-peluang untuk suatu pengelolaan secara lebih mantap bagi
kehidupan ekonomi pangan serta membuka kemungkinan-kemungkinan untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat tani,
yang sebelumnya amat terbatas pilihan-pilihannya.
Dalam satu uraian lain, Prof.
Fernando (dalam Leirissa,dkk. 1996: 65) bahwa dampak dari sistem tanam paksa
bahwa penduduk pedesaan semakin terbiasa
untuk membeli berbagai macam barang
untuk keperluan rumah tangga.
Menurut Leirissa,dkk (1996: 56-57)
Penduduk sudah mendapatkan bayaran untuk hasil kerjanya.
Ditambahkan,
Burger (1957) sistem tanam paksa amat berhasil dalam memperoleh bating slot yang besar terbukti dari angka-angka yang
berikut. Misalnya, antara tahun-tahun 1832 dan 1867 saldo untung ini mencapai
jumlah total f.967 juta, dan untuk 10 yahun berikutnya, artinya tahun –tahun
1867 dan 1877, mencapai jumlah total f.287 juta. Dengan demikian saldo untung yang diperoleh dalam kurun waktu
lebih empat dasa warsa mencapai f.784. suatu angka yang tinggi sekali.
Struktur organisasi dari sistem tanam
paksa hal –hal yang berhubungan dengan petani mulai ditinggalkan, sedangkan
desa menjadi unit dasar dalam
pemerintahan. Kepala desa adalah mata
rantai antara petani dan pejabat-pejabat pribumi yang lebih tinggi tingkatannya
yaitu Bupati. Bupati bertanggung jawab terhadap pemerintahan bangsa eropa. Menurut Bachri, Saiful (2005) orang
eropa tidak akan memperoleh apapun jika
mereka tidak mempergunakan organisasi desa.
Semakin berkembangnya
perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda masalah perkebunan dalam
perkembangannya mengatur masalah kontrak dan upah, bertambahnya jumlah tenaga
kerja dan meningkatnya jumlah benduduk. Anne Booth, et al (1988), perkebunan –perkebunan dapat menciptakan
lowongan-lowongan pekerja baru dan bahkan kategori pekerjaan-pekerjaan baru
bagi bangsa Indonesia, seperti pekerjaan tukan pedati untuk
perkebunan-perkebunan gula, perkebunan tembakau, pembuka lahan untuk perkebunan
di daerah perbukitan, serta levarinsir bahan-bahan pengepakan untuk semua
perkebunan bisa muncul dan menghilang
dengan berlakunya waktu. Diperkebunan orang yang tidak mempunyai latarbelakang
pendidikan mungkin saja terjamin serta
naik haji dan kedudukannya berkat tenaga kerja keras dan pengalaman yang
diperoleh. Ditambahkan, oleh Fernando (dalam
Leirissa,dkk 1996:66) bahwa dampak ekonomi dari kebiasaan Konsumen dari
(meningkatnya jumlah penduduk pedesaan yang melakukan ekonomi non agraris).
Boomgaard (dalam M.C Ricklefs, 2005)
menyatakan bahwa kesempatan menjadi karyawan non pemerintah yang mendapat upah
telah mendorong pasangan-pasangan untuk kawin dini dan memiliki anak lagi.
Ditambahkan oleh Pieter Creutzberg (1987) bahwa akibat adanya perkebunan-perkebunan
terutama komoditi-komoditi ekspor yang menjadi perioritas,menyebabkan
pertumbuhan dan mobilitas penduduk dan adanya struktur perubahan sosial. Disisi
lain kesehatan juga dilihat dengan adanya perbaikan-perbaikan dibidang
kesehatan.
Disisi lain berkembangnya jumlah
penduduk dan lalu lintas perekonomian
perkebunan, juga mempengaruhi perkembangan desa. Menurut Burger (1970) dengan
semakin berjumlahnya tenaga penduduk, menyebabkan berkurangnnya tanah-tanah
pertanian terutama yang memperoduksi tanaman-tanaman pokok karena digunakan
untuk menanan tanaman komoditi ekspor, maka timbul suatu golongan bukan
pemilik-pemilik tanah, persewaan dan bentuk-bentuk bagi hasil.
Akibat diatas, tidak sedikit penduduk
dari jawa memilih berimigrasi keluar
jawa, dengan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih baik. Mereka bekerja
sebagai buruh yang dikenal dengan upah. Dalam perkembangannya menurut
Notosusanto, Nogroho dan Marwati Djoened Poesponegoro (1993) perkembangan
perusahaan dan perkebunan swasta malahan mengakibatkan kesejahteraan penduduk
jawa semakin mundur.
Perkebunan merupakan masa yang
benar-benar menguntungkan mulai dari para pejabat, baik yang berkebangsaan
Belanda ataupun pejabat pribumi yang ditugaskan dalam sistem tersebut
memperoleh bayaran berdasarkan prosentase dari komoditi yang diserahkan oleh rakyat. Hal ini
disebabkan karena mereka yang berwenang
pada tingkat diatas desa lewat penguasaan mereka atas tanah dan wewenang lokal.
Berdasarkan pendapat diatas, perkebunan
telah memberikan pengaruh yang begitu besar bagi masyarakat di Hindia Belanda
seperti halnya dalam bentuk perilaku banyak kaum elit tradisional selama tahun-tahun sesudah 1830-an,
pertanian, mobilitas penduduk dan lowongan pekerjaan baru. Hal ini tentu saja memberikan pengaruh atas perubahan
sosial ekonomi masyarakat Hindia Belanda.
Disisi lain, menganalisa dampak
penanaman tanaman paksa dagang secara paksa, Geertz (1963) mengadakan perbedaan
musiman antara tanaman musiman dan tanaman tahuan. Tanaman musiman seperti
nila, tembakau yang dapat ditanam disawah
berseling dengan padi dalam jangka waktu satu tahun. Sedangkan tanaman
tahunan seperti lada, kopi, teh, karet yang tidak dapat bertumbuh berseling
waktu padi.
Perkembangan perkebunan yang semakin
cepat terutama selama liberal (1870-1900), menimbulkan para banyak mengusaha
swasta menanamkan modalnya di Hindia Belandamenurut G.A Ohorella, at al (1996) bahwa di Hindia Belanda
terdapat perkebunan baik milik pemerintah, swasta dan perkebunan milik rakyat
pribumi. Perkebunan swasta berkembang menjadi lebih pesat setelah partai
liberal mengambil alih pemerintahan di negeri Belanda dan membuat prasarana
hukum untuk memberi jaminan bagi
penanaman modal swasta di Hindia Belanda. Selama periode antara tahun
1870-1942 perkembangan modal swasta dalam sektor perkebunan mendominasi perkebunan Hindia Belanda
beberapa komoditi yang terpenting dijawa adalah gula, kopi, tembakau, teh,
karet,kina dan kelapa sawit merupakan produk utama.
Di Hindia Belanda tidak hanya
perkebunan milik pemerintah dan swasta
saja yang berkembang, tetapi juga perkebunan milik pribumi dapat berkembang
dengan baik pula. Justru selama terjadinya depresi ekonomi dunia pada tahun 1830,
perkebunan-perkebunan milik rakyat dapat berkembang dengan baik. Hal ini
disebabkan oleh faktor resiko yang ditanggung tidak terlalu besar. Pengelolaan
perkebunan rakyat tidak dilakukan
melalui perubahan modal besar sehingga mereka tidak bertanggungjawab kepada
pemegang saham. Hal ini terjadi saat masuknya modal-modal swasta barat ke
Hindia Belanda guna mendirikan perkebunan-perkebunan.
Hal tersebut juga tidak dapat dipungkiri
bahwa Hindia Belanda merupakan tempat subur. Sehingga banyak menarik pengusaha
asing masuk menanamkan modalnya. Selain itu juga, tenaga kerja yang tersediapun
dapat dibayar dengan murah, hal ini menambah
ketertarikan bagi pengusaha asing untuk mendidrikan
perusahaan-perusahaan perkebunan. Disatu sisi masyarakat pribumi tidak berdaya
menghadapi persaingan dalam eksploitasi sumber daya alam seperti yang dilakukan
oleh para kapitalis.
Meluasnya pengaruh ekonomi barat dalam masyarakat Indonesia selama zaman liberal tidak saja terbatas pada
penanaman tanaman perdagangan di
perkebunan-perkebunan akan tetapi impor barang jadi misalnya konsumsi ringan.
Hal inilah yang nantinya berakibat buruk
bagi usaha-usaha kerajinan rakyat Indonesia.
Notosusanto, N. Dkk (1993), Walaupun
zaman liberalisme di Hindia Belanda diawali dengan harapan besar mengenai
keunggulan sistem liberal dalam
peningkatan perkembangan ekonomi koloni sehingga menguntungkan kesejahteraan
rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia. Namun pada akhir abad ke sembilan belas
sudah nyata banhwa penduduk Indonesia tidak mengalami tingkat kemakmuran yang
lebih jika dibandingkan antara tahun 1870-1900. Khususnya di jawa tengah dan
Timur serta di Sumatra timur.
1.2 Dampak bagi
rakyat Indonesia
Seperti yang digambarkan oleh
Elson (dalam Leirissa,dkk. 1996: 65) bahwa sistem ini langsung dan tidak
langsung paling tidak dalam jangka pendek, memberi peluang-peluang untuk suatu
pengelolaan secara lebih mantap bagi kehidupan ekonomi pangan serta membuka
kemungkinan-kemungkinan untuk
pertumbuhan ekonomi masyarakat tani.
Perkebunan merupakan masa yang
benar-benar menguntungkan mulai dari para pejabat, baik yang berkebangsaan
Belanda ataupun pejabat pribumi yang ditugaskan dalam sistem tersebut
memperoleh bayaran berdasarkan prosentase dari komoditi yang diserahkan oleh rakyat.
Menurut Suroyo, A.M Djulianti (dalam
Lindbland. J. Thomas, 2000: 223-224) dampak dari kerja paksa hubungannya dengan
ekonomi dijelaskan bahwa pertama,
sejumlah tenaga kerja paksa dibayar dengan uang tunai, terutama pada penanaman
ekspor. Meskipun jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan apa yang dapat
diperoleh jumlah tenaga bayaran. Pembayaran yang teratur ini dan besarnya
jumlah petani yang menerima bayaran tersebut benar-benar meningkatkan monetisasi di dalam perekonomian desa. Kedua lebih memperkenalkan kelas baru
yang mempunyai hak-hak khusus didalam
masyarakat desa, yakni kepala desa dan
para jabatannya yang menikmati banyak
keuntungan dan hak-hak termasuk bebas
dari kewajiban-kewajiban kerja paksa.
Namun dalam perkembangannya Menurut,
Notosusanto, dkk (1993) kemerosotan
kemakmuran penduduk jawa disebabkan
beberapa faktor. Antara lain:
1.
Disisi
lain perkebunan memberikan kontribusi secara ekonomi, namun meningkatnya jumlah
penduduk jawa meningkat tidak sebanding dengan
luas tanah yang digarap secara otomatis berdampak pada pertambahan hasil
semakin berkurang, rata, rata sangat kekurangan modal dikarenakan kemiskinan.
Akibat
diatas,tidak sedikit penduduk dari jawa
memilih berimigrasi keluar jawa, dengan tujuan untuk memperoleh hidup
yang lebih baik. Mereka bekerja sebagai buruh yang dikenal dengan upah.
2.
Adanya
sistem kerja rodi yang sangat kuat untuk bekerja
3.
Politik
pemerintah Hindia Belanda terhadap pulau jawa. Dimana jawa harus menanggung beban finansial daerah-daerah lain
di nusantara yang dikuasai oleh Belanda. Selama abad ke-19 pemerintah Hindia
Belanda menganut politik tidak campur tangan
terhadap daerah-daerah di Luar pulau jawa yang berada di bawah
kekuasaannya.
Artinnya,
penduduk jawalah yang menanggung segala beban untuk mengatur dan pemerintah di
daerah-daerah koloni diluar jawa. Disisi lain, penduduk jawa juga membiayai
segala perang kolonial yang dilakukan oleh pemerintah kolonial belanda.
4.
Sistem
perpajakan yang tinggi memberatkan
golongan yang berpendapatan rendah
5.
Dengan
dibukanya perkebunan-perkebunan yang besar
sekitar tahun1885 terjadi penghematan-penghematan drastis berupa
penekanan-penekanan upah dan sewa tanah.
6.
Pembangunan
sarana dan prasarana yang banyak bekerja adalah rakyat Indonesia seperti
pembangunan irigasi, waduk, jalan-jaln kereta api dan sebagainya. Artinya, Saldo untung
yang yang begitu tinggi h saat sistem tersebut, bukan saja diperoleh pada
penerimaan yang tinggi, hal ini tidak lepas dari pemeriuntah kolonial yang
mampu menghemat pengeluaran-pengeluaran yang memberatkan anggaran belanja.
Misalnya membangun sarana dan prasarana seperti pembangunan jalan-jalan,
pabrik, dsb. Pos pengeluaran hanya
diperuntukkan dalam anggaran belanja seperti
perdagangan dan penanaman.
Daftar Pustaka
Lindblad,
J. Thomas. 2000. Sejarah Ekonomi Modern
Indonesia (Berbagai Tantangan Baru). Jakarta : LP3ES.
Bachri,
Saiful. 2005. Sejarah Perekonomian. Solo:
UNS.
Booth,
Anne. dkk. 1988. Sejarah Ekonomi
Indonesia .Jakarta : LP3ES
Leirissa.
RZ. dkk. 1996. Sejarah Perekonomian
Indonesia . Jakarta: Depdikbud
Notosusanto.
N & Marwati. D.P. 1993. Sejarah
Nasional Indonesia IV. Jakarta. Balai Pustaka
Kartodirjdo,
Sartono. 1999. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emperium
sampai Imperium jilid I. Jakarta: Gramedia.
M.C
Ricklefs, 2005. Sejarah indonesia modern
1200-2004. Jakarta. Serambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar