PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Indonesia memiliki keanekaragaman kebudayaan,
mulai dari bahasa dengan dialek yang khas, hukum adat, upacara tradisi, sistem kekerabatan, kesenian, sistem
teknologi dan peralatan, cerita rakyat, nyanyian rakyat. Keanekaragaman
tersebut melahirkan semboyang bhinneka tunggal ika yang menghargai kemajemukan.
Keanekaragaman
budaya menciptakan berbagai bentuk budaya salah satunya adalah kesenian
tradisional. Kesenian tradisional yang khas berpengaruh terhadap kebudayaan nasional, karena kesenian
tradisional produk estetis simbolik masyarakat yang berakar pada pengalaman
sosio-kultural religius sehingga
mengandung norma-norma dan nilai yang perlu dilestarikan. Karena itu,
kesenian tradisional adalah kekhasan kebudayaan nasional sebagai modal
berharga pembeda eksistensi sebuah
bangsa.
Realitas
menunjukkan bahwa kesenian tradisional sekarat dan mati karena adanya kompetisi
budaya yang tidak seimbang, akibatnya produk-produk kesenian global yang lebih
menghibur, mudah dicerna, gampang ditiru, dan enak dirasakan telah
disebarluaskan oleh media massa yang didukung oleh kapital besar yang
membahayakan eksistensi kesenian tradisional. Namun, sebagian ada yang bertahan
dengan inovasi mengikuti selera pasar bahkan keluar dari pakem. Menurut Ahimsa, Putra (dalam Sutarto,2004: 5) bahwa
didalam sebuah pakem terdapat simbol-simbol yang mencitrakan nilai filosofis
dan pandangan hidup masyarakat jika dibiarkan akan kehilangan jati diri.
Gejala
keterpurukan kesenian tradisional tidak boleh dibiarkan agar bangsa ini tidak kehilangan
produk budaya yang tak ternilai harganya. Kehilangan dan kerugian yang
dimaksud bukan hanya terkait dengan
unsur filosofisnya antara lain norma dan nilai didalamnya, melainkan Eksistensi
Kesenian tradisional sebagai kebudayaan nasional, semua ini perlu komitmen
bersama untuk melestarikan.
Salah
satu daerah atau kawasan yang memiliki karakteristik khas yang menjadi
identitas sendiri berada diujung pulau timur Jawa yaitu Kabupaten Banyuwangi.Kabupaten
Banyuwangi adalah Wilayah yang sebagaian besar penduduknya asli suku using ini,
memiliki kekayaan budaya yang unik, khas dan luar biasa, sehingga Agus Bing
dalam majalah Gong edisi 81/VIII/2006 menyebutkan Banyuwangi sebagai “surga
budaya di jawa timur”. Lebih lanjut majalah gong memaparkan bahwa Banyuwangi
adalah surga yang menawan. Banyuwangi menyerap budaya Bali, Jawa, tersentuh
tradisi kepesisiran dan menyimpan khasanah pedalaman yang menyajikan berbagai
bentuk kesenian tradisional salah satunya adalah kesenian gandrung.
Kesenian
Gandrung adalah salah satu kesenian tertua yang sudah berkembang sejak tahun
1700an. Gandrung sampai saat ini dijadikan sebagai identitas masyarakat using, maskot pariwisata Banyuwangi dan telah
berhasil mempertahankan identitas yang
terwariskan dengan baik dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Perkembangan gandrung dilihat
dari sejarahnya sebagai identitas dan sebagai maskot Banyuwangi menuai konflik
khususnya Pemerintah Banyuwangi yang berkeinginan kuat untuk menjadikan
gandrung sebagai maskot kota Banyuwangi sebagai alat kepentingan politik
(hegemoni). Praktik pemaskotan gandrung
itu oleh beberapa calon bupati dari kalangna non Using selalu dipakai sebagai
contoh pemihakan yang berlebihan
terhadap kelompok etnis tertentu yang seharusnya tidak boleh terjadi karena tidak sesuai dengan kenyataan penduduk Banyuwangi yang
plural.
Golongan agamawan yang
melihat keberadaan kesenian gandrung adalah hal-hal yang diharamkan tanpa
melihat realita yang ada dan nilai-nilai yang terkandung dan tekanan kultural
bahwa perempuan seni tradisi dikategorikan sebagai
individu yang selalu mendapatkan predikat “miring”dalam masyarakat. Menari
dianggap sebagai tingkah laku tercela yang bertentangan dengan agama Islam,
terutama mengibing dianggap sebagai kemaksiatan dan dipandang rendah bagi
masyarakat.
B.
Naskah
Publikasi yang dijadikan tinjauan
No
|
Nama
Pengarang
|
Judul
|
Penerbit
|
Tahun
|
1
|
Novi Anoegrajekti
|
Penari gandrung dan
gerak sosial
|
Srintil
|
2007
|
Dalam rangka
menciptakan (Citra) kekhasan daerah
berkaitan dengan promosi pariwisata, pemerintah kabupaten Banyuwangi merealisasikan proyek pembuatan patung gandrung dipajang dibanyak tempat strategis dikota
dan maupun di daerah. Secara eksplesit,
konsideran Bupati bernomor 173 tertanggal 31 desember 2002 yang menetapkan
proyek ini menyatakan: “bahwa dalam rangkah mendorong tumbuhnya semangat ikut serta memiliki daerah dengan
segala kebudayaannya, yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan promosi
pariwisata di kabupaten Banyuwangi.
Surak keputusan diatas,
direalisasikan di setiap kota dan desa dengan dibuatkan patung gandrung berukuran
besar yang berada dipelabuhan
ketapang yang melayani penyebrangan ke Pulau Bali ukuran setinggi 1,5 meter
diatas sebuah tugu setinggi 2,5 meter dipinggir jalan depan pelabuhan dan
tepatnya berhadapan dengan masjid jami’ di Sebrang jalan.
Pembangunan Gandrung
sebagai maskot kota kabupaten Banyuwangi menuai protes. Bagi kaum agamawan
bahkan tanggapan atas proyek politik dikatakan bahwa gandrung dianggap
mengotori tempat suci mereka. Para jamaah masjid mengajukan protes terhadap
pemajangan patung dan dianggap pertentangan dengan agama.
Logika kaum agamawan
adalah bahwa hidup harus diatas aturan agama, tanpa memperdulikan realitas kehidupan yang ada. Sebab aturan agama adalah
segala-galanya. Ia merupakan aturan yang asasi dan tidak boleh ditolak dalam
keadaan apapun. Manusia harus menaati aturan agama tersebut dalam realitas
kehidupannya. Orang yang melakukan pembangkangan terhadap aturan agama dianggap
sebagai penentang tuhan. Suatu hal
dianggap benar manakalah dilakukan sesuai dengan naturan agama juga. Oleh
karena itu pemaskotan gandrung sebagai identitas Banyuwangi dan penari gandrung
yang membawa kemaksiatan dianggap bertentangan dengan agama dan keberadaannya
perlu diberanguskan.
Upaya protes yang
dilakukan masyarakat dengan melakukan penyerbuan
masal oleh para jamaah masjid ke gedung pelabuhan tempat patung dipajang. Persoalan diatas
dapat diselesaikan setelah pihak pelabuhan memindahkan patung itu ke tepi
pantai yang tidak terlihat oleh masyarakat umum yang meliwati jalan raya.
Identifikasi gandrung
bagi pariwisata daerah Banyuwangi ialah
yang menjadi sorotan publik, diberdebatan, dikritik dan dipersoalkan.
Para wakil rakyat DPRD Banyuwangi yang didominasi non – Using mempersoalkan hal
tersebut sebagai politik etis yang tidak sesuai dengan kenyataan penduduk dan
kebudayaan Banyuwangi yang bersifat plural karena gandrung adalah kesenian
using salah satu kelompok etnik di daerah itu.
Angoota di DPRD dari
fraksi PPP melihat pemaskotan gandrung itu dari sudut agama. Mereka menolak hal
itu karena dipandang bertentangan dengan agama Islam yang dipeluk mayoritas
orang Banyuwangi, disamping itu tidak sesuai dengan pluralitas penduduk Banyuwangi yang majemuk dari sisi etnis.
Para politisi yang
mengkritik dan menolak pemaskotan gandrung semakin vokal ketika pemerintah
merencanakan pembuatan patung gandrung raksasa berada dari arah utara sebagai
pintu selamat datang ke kota Kabupaten Banyuwangi dari arah kabupaten Situbondo
tepatnya di tempat objek wisata batu Dodol ukuran setinggi 18 meter diatas
sebuah tugu setinggi 2,5 meter dipinggir laut selat Bali yang menelab biaya 2,5
milyar rupiah, mereka semakin vokal meresponnya. Mereka tidak hanya
berargumentasi atas dasar agama, moralitas, dan etnisitas, melainkan juga soal
pemborosan APBD.
Perdebatan dan kritik
dikalangan politisi tersebut berlanjut dan mengarahkan pada pertentangan politik diantara kelompok
elit Banyuwangi, bahkan pada mengkritik kebijakan yang menjadi pemaskotan
sebagai komoditas politik untuk dimaikan dalam kampanye pilkada juni 2005 yang
lalu. Praktik pemaskotan gandrung itu oleh beberapa calon bupati dari kalangna
non Using selalu dipakai sebagai contoh
pemihakan yang berlebihan terhadap kelompok etnis tertentu yang
seharusnya tidak boleh terjadi karena
tidak sesuai dengan kenyataan penduduk Banyuwangi
yang plural dan diharamkan oleh agama.
Hal tersebut di
ungkapkan oleh KH. Hasyim Syafaat, pemimpin pesantren Blok Agung pesanggaran,
misalnya menjelaskan bahwa secara Figh pembuatan patung atau gambar tiga
demensi diharamkan karena dipandang menyerupai
pembuatan manusia yang otoritasnya ditangan Tuhan dan akan menimbulkan
kekhafiran jika patung-patung itu kemudian dimuliakan dan disembah. Disisi
lain, Kaum agamawan juga menolak kesenian gandrung sebagai pementasan
kemaksiatan “ laki-laki dan perempuan terlibat menari”. Sasaran ini ditujukan
kepada para penari gandrung dan dikucilkan keberadaannya.
C. Rumusan Masalah Atas Tinjau (An) Yang Ada
Pertanyaan penting yang akan dijawab dalam
tulisan ini, yaitu: pertama: Logika
agamawan harus ada dan sesuai dengan aturan agama sehingga gandrung dipandang
sebagai hal yang diharamkan tanpa memperdulikan realitas yang ada. Oleh karena
itu, nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian gandrung perlu di dekontruksi
ulang sesuai dengan realitas yang ada pada masyarakat Banyuwangi saat ini. Kedua:Peranan penting penari gandrung
dalam upaya mempertahankan identitas Banyuwangi yang dipandang oleh kaum
agamawan sebagai perbuatan maksiat
D.
Teori:
Analisis Wacana
Analisi wacana dalam
permasalahan diatas, menggunakan tiga kajian teori
Teori Hegemoni, Teori
dekonstruksi dan Dramaturgi transendental yang digunakan secara berdampingan
guna menghasilkan analisis kajian yang dalam dan objektif atas wacana yang ada.
1.
Teori
Hegemoni
Istilah
hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ‘eugemonia’.
Sebagaimana yang dikemukakan encylclopedia Britanica dalam prakteknya
di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh
negara-negara kota (polism atau citystates) secaara
individual misalnya yang dilakukan opleh negara Athena dan Sparta terhadap
negara-negara lain yang sejajar (Hendarto, 1993:73).
Jika
dikaitkan pada masa kini, pengertian hegemoni menunjukkan sebuah kepemimpinan
dari suatu negara tertentu yang bukan hanya sebuah negara kota terhadap
negara-negara lain yang berhubungan secara longgar maupun secara ketat
terintegrasi dalam negara “pemimpin”. Dalam politik internasional dapat dilihat
ketika adanya perang pengaruh pada perang dingin antara Amerika Serikat dengan
Uni Sovyet yang biasanya disebut sebagai perang untuk menjadi kekuatan
hegemonik dunia.
Adapun
teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah: “Sebuah pandangan hidup
dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan
disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan;
(ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip
religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam
makna intelektual dan moral.”
Berdasarkan
pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu
kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan
sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat
lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya.
Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas
dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.
Dengan
demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai
berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan
ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah
sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan.
2.
Teori
dekonstruksi
Teori dekontruksi tidak lepas dari penggagasnya yaitu
Derida.Tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya
penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang
mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks. Sistematika
penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama,
mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat
peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang
tidak.
Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya
saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya
dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata
tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama. Dengan
langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan
biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan
terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri
barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari
ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau
kebenaran tunggal.
Dalam teori derida ini adalah memproklamirkan kebebasan (pulralitas dan kemajemukan) untuk
mengeksplorasi realitas atau teks yang akan membawa pada keragaman makna atau
polisemi.
Dalam hal ini teori dekontruksi mencoba untuk
mengungkap makna nilai yang terkandung
dalam teks khususnya syair gandrung sebagai upaya pembenaran bahwa gandrung
mempunyai banyak nilai yang terkandung didalamnya.
3.
Dramaturgi
transendental
Karya erving Goffman
yang paling monumental adalah` sentation of self everday life ( 1959) karya ini berisi tentang diri dalam
interaksionis simbolik. Ia banyak melihat hubungan “I” dan ‘Me”, namun dia berbeda dengan Mead dalam melihat ini.
Baginya ketegangan antara “I” dan ‘Me’ dikonsepsikan dengan ‘ketidak sesuaian antara diri manusiawi kita
dan diri kita sebagai hasil sosialisasi. Ketegangan ini terjadi karena terjadi
perbedaan antara apa yang kita lakukan
dengan apa yang harapkan orang
lain untuk dilakukan. Dari pemikirannya
lahirlah teori dramaturgi yang hingga
kini masih sangat dikenal.
Bagi Erving Goffman,
diri bukanlah milik actor, melainkan lebih sebagai hasil interaksi dramatis
antara actor dengan audien. Diri adalah “pengaruh dramatis yang muncu dari
suasana yang ditampilkan’. Aktor dalam drama komedi, misalnya, akan berusaha
agar ungkapan-ungkapannya biasa menjadikan orang lain tertawa. Meski demikian,
apa yang diungkapkannya itu belum tentu dapat memancing tawa audiens. Oleh karena
itu, Tukul Arwana selalu membawa supporter yang cukup banyak untuk memancing
tawa penonton. Melalui cara seperti itu, apa yang diinginkan oleh actor
ternyata bias bertemu dengan apa yang dilakukan audiens. Inilah yang oleh
Goffman disebut sebagai “menagemen pengaruh”.
Di dalam teori
dramaturgi, terdapat konsep Front stage (panggung depan) dan back stage
(panggung belakang). Dalam front stage, Goffman membedakan antara setting dan
front personal. Setting mengacu pada pemandangan fisik yang biasanya harus ada
jika actor memainkan perannya, sedangkan front personal terdiri dari berbagai
macam barang perlengkapan yang bercorak pernyataan perasaan yang menjadi corak
hubungan antara actor dan penonton. Dalam pertandingan sepak bola, setting dan
front personal terlihat begitu jelas, mulai dari setting lokasi pertandingan,
papan score, dan ruang ganti pemain. Di sisi lain, front personal-nya kelihatan
dari kesamaan cirri khas antara pemain dengan penonton, seperti koum dan
atribut-atribut lainnya.
Gofman membagi front
personal menjadi dia: penampilan dan gaya. Penampilan ialah berbagai jenis
barang yang mengenalkan kepada kita mengenai status social actor, sementara
gaya berfungsi mengenalkan kepada penonton mengenai peran macam apa yang
diharapkan actor untuk dimainkan dalam situasi tertentu. Dalam tradisi
pertunjukkan, status social actor tampak sangat dominant, demikian pula peran
yang mainkan oleh actor tersebut. Peran tarsan dalam komedi, misalnya, sesuai
dengan perawakannya yang tinggi besar adalah sebagai lurah atau pejabat;Juju
berperan sebagai Bu Lurah atau Ibu pejabat; sedangkan Basuki sebagai pembantu
sebagai pembantu karena penampilan fisik atau perawakannya memang cocok untuk
peran itu. Untuk menghubungkan antara actor dengan audiens, seorang actor akan mencoba
bersikap akrab dengan audiens atau justru melakukan mistifikasi, yakni
membatasi jarak social antara dirinya dengan audiens sehingga memunculkan
kekaguman dari audiens.
Back stage atau
panggung belakang ialah penyembunyian fskta yang sesungguhnya dari actor. Apa
yang tampak didepan tidak mesti merupakan yang terjadi di belakang. Ruang ganti
atau pemain adalah tempat yang harus disterilkan dari penonton. ada sesuatu
yang memang tidak akan ditampakkan ketika actor melakukan perannya dipanggung
depan. Selaian dua hal ini, ada juga bidang residual, yakni yang tidak termasuk
dalam front stage dan juga back stage. Di ruang ini, seorang actor memainkan
dirinya sendiri dalam situasi yang bukan front stage dan back stage.
Selain itu juga
terdapat konsep “jarak peran”, yakni suati kondisi dimana actor tidak mampu
memerankan perannya secara maksimal sebagai akibat dari banyaknya peran yang
harus dimainkan. Didalam memainkan tindakan, seorang actor juga memiliki
stigma, yakni apa yang seharusnya dilakukan, bukan apa yang sesungguhnya ingin
dilakukan.
Gambaran yang bias
ditarik dari pemikiran Goffman adalah bahwa selalu ada tindakan-tindakan
imitasi yang diperankan oleh san actor di dalam interaksinya dengan individu
lain.
Manusia di dalam
kehidupan keseharian adalah seperti drama yang dipentaskan, dimana tindakan
yang dilakukan dipanggung depan dan panggung belakang bias saja tidak sama dan
bahkan jauh berbeda. Semua orang didalam struktur social akan terkena prinsip
dramaturgi ini. Kiai-santri, pejabat-rakyat, pengusaha dan suami-istri akan
selalu berada didalam situasi dramaturgis. Tak terkecuali juga para pelacur
didalam kehidupannya.
Dan beberapa alasan
mengapa teori dramaturgi dianggap penting sebagai pisau analisis tindakan
penari gandrung :
pertama, penari
gandrung adalah manusia yang hidup didalam dunia yang sering tidak
dikehendakinya (keterpaksaan structural) sehingga antara apa yang tanpak
didepan dengan apa yang tanpak dibelakang bias berpeluang tidak sama.
Kedua, sebagai seorang
actor, penari gandrung harus memiliki kemampuan menyembunyikan identitas diri
yang sesungguhnya. Dia harus menjaga jarak social (perasaan dan tindakannya)
dengan patner user-nya. Dia tidak boleh terjebak pada perasaannya sebagai dia
harus berlakuk professional dibidangnya.
Ketiga, perfomansi yang
ditampilkan haruslah menggambarkan sensualitas demikian pula dengan gaya yang
ditampilkan harus menggambarkan dunia dramaturgis yang sesungguhnya.
Keempat, meskipun
pramunikmat dipanggung depannya adalah seseorang yang di konstruksi oleh
masyarakat sebagai penghibur, namun dibelakang panggung tetap saja ada sisi
religius yang ditampilkan memlalui tindakan-tindakan ritual yang tetap
dipegangnya.
Terkait dengan
kenyataan ini maka dramaturgi yang dihadirkan didalam kajian ini adalah dramaturgi-transendental,
yaitu dramaturgi yang tidak hanya menampilkan tindakan sehari-hari para
aktornya dalam kehidupan profane-duniawi, tetapi juga menyangkut
tindakan-tindakannya dalam dimensi esoteris-keberagamaan yang selama ini sering
liput dari pengamatan masyarakat.
E.
Pembahasan
:
Gandrung salah satu
kesenian tradisonal yang dalam kajian budaya disebut juga sebagai kesenian
rakyat. Gandrung sebagai Kesenian rakyat (tradisional) merupakan produk estetis
simbolis masyarakat yang didalamnya banyak terkandung kearifan dan nilai-nilai
mulia yang menjadi kebanggan daerah (masyarakat pemilik atau masyarakat
pendukungnya) dan mencerminkan identitas daerah.
Berdasarkan cerita rakyat yang dituturkan
secara turun- temurun kesenian Gandrung adalah salah satu kesenian tertua yang
sudah berkembang sejak tahun 1700an. Gandrung pada saat itu, tidak sekeder
pemenuhan kebutuhan hiburan tetapi sebagai ungkapan sejarah penindasan dan
perlawanan masyarakat using. Gandrung sebagai media perjuangan melawan
penjajah. Gandrung menyajikan pertunjukan secara keliling ketempat yang satu
dan tempat yang lainnya dengan iringan musik sederhana. Pada masa penjajahan
Belanda Gandrung berperan sebagai
sebagai mata-mata kaum gerilyawan, menyampaikan pesan-pesan secara
simbolik dan mengumpulkan logistik keperluan pasukan-pasukan dipedalaman yang
tersingkir oleh Belanda dalam perang puputan bayu terjadi pada tahun 1771-1772.
Pada
awalnya gandrung dimainkan oleh laki-laki, bagi masyarakat Using disebut
gandrung lanang. Pendapat ini
dibenarkan J. Scholte (1927), sampai tahun 1890 nama Gandrung di Banyuwangi
ditujukan kepada seorang laki-laki. Para Gandrung tersebut sama dengan para
sedati dari Aceh, para runding dari Madura, dan para gemblak dari Jawa.
Gandrung lelaki yang penghabisan di Banyuwangi adalah Marsan
Peran
gandrung seperti itu masih diingat oleh sebagaian besar warga Banyuwangi. pada
dekade 30-an dan abad ke -20. Menurut Abal,
Fatrah (2004 ) mencatat kesaksian yang menarik sebagai berikut:
Pada tahun 1937 saya telah acap
kali menonton kesenian gandrung. Yang menarik menonton gandrung itu, pada babak
ketiga yang disebut seblang-seblang, sewaktu gandrung melantunkan dan menendangkan gending-gending tertentu
yang harus dibawa. Banyak orang tua yang
menyaksikan tidak dapat menahan isak tangis dan melelehkan air mata. Hal itulah
yang seringkali saya tanyakan pada sesepuh mereka sampai menangis sedemikian
rupa pada sewaktu menyaksikan peragaan gandrung sewaktu seblangan? Mereka
menangis ingat para korban. Pada waktu
seblangan, gending dan peragaan yang disajikan gandrung ada hubungannya pada
saat kompeni menyerbu dan merebut Belambangan dar kekuasaan kerajaan mengwi
(1767-1782). Lebih lanjut dari keterangan yang saya telusuri, gandrung muncul
merupakan alat perjuangan, antara lain untuk menyelamatkan sisa-sisa rakyat
yang terbantai akibat peperangan, menyelamatkan anak-anak yatim piatu korban
perang yang keadaanya sangat memperihatinkan, menganjurkan persatuan dan kesatuan pada sisa-sisa rakyat
yang konon tinggal sekitar 500 jiwa, sedang yang tewas, melarikan diri,
tertawan atau dibuang oleh kompeni, lebih dari 85.000 jiwa serta
menganjurkan bangkit untuk pengolahan
lahan-lahan yang terbengkalai akibat peperangan dan anjuran untuk mengikuti
ajaran islam.
Jika
dihubungkan pendapat atas wacana oleh kaum agamawan terhadap kesenian gandrung
sebagai kesenian yang diharamkan dan bertentangan dengan Agama islam adalah
suatu hal yang kurang pantas. Padahal dalam perkembangannya kesenian gandrung
berupaya menyesuaikan dengan perkembangan zaman dengan menggunakan lagu-lagu
Islam.
keyakinan pra Islam tidak semua ditolak oleh agama Islam,
hal ini pernah dilakukan oleh para Wali Songo dalam penyebaran agama Islam di
Indonesia dengan menggunakan media seperti kesenian-kesenian tradisional yang ada di setiap daerah
misalnya wayang dan bahkan upacara selamatan yang bersifat animisme dan
dinamisme dalam perkembangannya ketika islam masuk doanya sudah menggunakan doa
islam. Jadi Pandangan agamawan hanya melihat dari satu persepektif saja dengan
memaksakan dogma apa yang dikatakan menurutnya benar dan tidak mau memahami
realita yang ada.
Dilain pihak, Sepanjang sejarah peradaban manusia
kedudukan penari sebagai seni pertunjukan tampaknya tidak pernah mendapatkan
pengakuan sebagai bagian dari kelompok sosial dalam masyarakat yang memiliki
kedudukan setara dengan kelompok masyarakat seperti umunnya. Bagi kaum agamawan penari Gandrung distereotip masyarakat sebagai manusia
rendah dan memandang Gandrung sebagai pekerjaan murahan yang
berhubungan dengan dunia malam yang penuh maksiat dan mengundang dosa karena
mempertontonkan lekuk tubuhnya. Tak jarang para penari Gandrung mendapat
perlakuan negatif secara seksual dari pencinta ataupun penonton.
Penari gandrung mendapatkan tekanan kultural dan struktural . tekanan kultural yang dinilai
oleh masyarakat sebagai profesi yang nista dan kotor adalah penari penghibur .
Pelaku darinya dianggap tak bermoral dan sampah masyarakat. Masyarakat, pada
umumnya, menganggap bahwa dalam diri
penari gandrung tidak terlintas
sedikitpun nilai positif, meskipun dari keberadaan mereka tidak sedikit
masyarakat yang diuntungkan secara ekonomi, seperti tukang parkir, tukang
becak, warung makan dan bahkan disinyalir telah memberikan masukan pada APBD
kota atau daerah dimana mereka beroperasi.
Konstruksi stigma minor terhadap penari gandrung ini
sebenarnya terbentuk karena masyarakat dalam memandang hanya dari satu aspek
saja, yakni aspek profesi mereka yang terejawantah secara lahiriyah. Padahal,
mereka juga memiliki aspek lainnya, yakni aspek kemanusian. Sebagai manusia
yang tidak hanya butuh untuk memenuhi kebutuhan fisik, namun juga kebutuhan
sosial dan integratif. Mereka juga membutuhkan kasih sayang, rasa
pengertian dan bahkan rasa ketuhanan. Namun, karena aspek yang terakhir ini
luput dari pandangan masyarakat, maka sisi kemanusiaan mereka terabaikan dan
hanya mendapat hukuman moral seperti hujatan, cibiran, dan bahkan diskriminasi
dan marjinalisasi baik dalam sosial, politik maupun ekonomi.
Tekanan struktural tersebut pada umumnya datang dari
pihak internal baik dari lingkungan
keluarga dan teman satu profesinya.
Tekanan struktural akan semakin kuat jika keluarga tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidup. Pada saat bapak sebagai kepala keluarga tidak lagi mampu
menyangga ekonomi keluarga. Maka, beban ekonomi keluarga jatuh pada ibu dan
ketika ibu juga tidak mampu menyangga beban ekonomi maka anak-anak usia dewasa
akan menjadi bagian dari tumpuhan ekonomi keluarga. Ada beban ekonomi anak bagi
keluarga miskin didalam kehidupan masyarakat. Ketika beban tersebut tidak
memperoleh penyaluran yang memadai bahkan ada yang
terpaksa menjadi seorang penari gandrung.
Jika
dicermati secara mendalam, penari Gandrung juga merupakan bagian dari kelompok
sosial dalam masyarakat yang seharusnya mendapatkan pengakuan yang sama dan
penari Gandrung adalah pahlawan bagi keluarganya. Jadi, Tidak selayaknya stigma
baik dan buruk terus dilontarkan pada kelompok yang cenderung termarginalkan
ini. Namun demikian, peran penting ini tak pernah dilihat secara bijak oleh
masyarakat pada umunya. Masyarakat cenderung melihat hanya dari satu sisi yang
cenderung subjektif dan menghakimi
Gambaran agamawan dan
pandangan dalam masyarakat Jawa, perempuan dapat dilihat pada ungkapan “swarga
nunut neraka katut dan kanca wingking”, karena nasib perempuan dipandang lebih
rendah. Perannya dibatasi
pada tugas-tugas domestik yaitu sekitar sumur, dapur, dan kasur. Peranan yang
demikian dianggap sebagai peranan yang ideal bagi seorang perempuan. Pandangan
demikian masih berakar kuat pada sebagian masyarakat jawa dan penolakan
terhadap steriotip negatif tersebut terus berlangsung seiring dengan
meningkatnya emansipatoris
Perbedaan jenis kelamin juga melahirkan perbedaan gender yang pada akhirnya
mengarah kepada marginalisasi perempuan. Hal ini juga ditambahkan oleh Saptari
dan Holzner (1997:37) bahwa pada prinsipnya, perbedaan jenis kelamin pada
dasarnya merupakan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, merupakan
hasil pengkotakan yang dilakukan oleh anggota masyarakat serta dukungan oleh
nilai-nilai tertentu, bukan merupakan perbedaan yang disebabkan karena
perbedaan biologis semata.
Jika dicermati secara
mendalam, penari Gandrung juga merupakan bagian dari kelompok sosial dalam
masyarakat yang seharusnya mendapatkan pengakuan yang sama dan penari Gandrung
adalah pahlawan bagi keluarganya. Jadi, Tidak selayaknya stigma baik dan buruk
terus dilontarkan pada kelompok yang cenderung termarginalkan ini. Namun
demikian, peran penting ini tak pernah dilihat secara bijak oleh masyarakat
pada umunya. Masyarakat cenderung melihat hanya dari satu sisi yang cenderung
subjektif dan menghakimi.
Dalam kajian agamawan
untuk memandang kasus penari gandrung ini secara komprehensif Kurang tepat jika
hanya mencibir, mencemooh, dan menistakan mereka saja dengan tanpa melihat sisi
kemanusiaan atau ‘panggung belakang’ mereka. Dan lagi, menurutnya, sikap
seperti itu, apalagi menindaknya dengan kekerasan, tidak akan menyelesaikan
masalah.
Penari gandrung
meskipun di luar nampak acuh akan nilai-nilai religius, di sisi batin mereka
ternyata tetap menyimpan harapan-harapan dan kerinduan-kerinduan terhadap
belaian kasih Tuhannya. Mereka, meskipun dengan cara dan perwujudan yang
berbeda-beda, tetap mempunyai atau menjaga rasa ketuhanan mereka, baik melalui
do’a, keimanan, ritual, puasa dan aktif di majelis taklim. Mereka juga
menyisihkan sebagian pendapatannya untuk kemaslahatan sesama Menyantuni fakir
miskin, menyumbang panti asuhan, infaq di masjid, dan berzakat di hari raya.
Itu semua dilakukan dengan kesadaran untuk berbagi, bertenggang rasa, sekaligus
mengharap ridha dari Tuhan.
Seburuk apapun
penilaian masyarakat pada umunya terhadap penari gandrung, mereka tersebut juga
tetap manusia yang masih punya rasa malu, punya keinginan untuk dihargai oleh
manusia yang lainnya. Para penari gandrung tersebut tetap saja memiliki hak-hak
dasar atau hak asasi yang harus dibela dalam banyak hal. Terutama mana kala dia
dilecehkan, teraniaya, dan jika hak-haknya ditindas oleh orang lain maka
pemerintah ikut bertanggung dengan nasib mereka yang sampai sekarang dipandang
sebelah mata. Mestinya segala bentuk eksploitasi terhadap mereka harus
dihentikan.
Namun kenyataannya yang ada di masyarakat tokoh agamawan sudah
membangun stigma yang ujung-ujungnya memarginalisasi perempuan gandrung. Akan tetapi,
manusia yang melakukan perbuatan tidak baik lainnya luput dari sebutan ini.
Termasuk mereka yang "menjual kebenaran" (kejujuran dan keadilan)
yang merupakan nilai-nilai dasar dari kehormatan manusia. Perbuatan tidak baik lainnya seperti korupsi,
kolusi, manipulasi, serta yang banyak melibatkan petinggi negara bahkan ada
beberapa partai yang mengatasnamakan agama tidak lepas dari jaringan KKN.
bahkan merasa bangga dengan berbagai perilaku kotornya.
Berdasarkan pemahaman ini, bukankah sebutan "orang kotor"
terasa semakin tidak adil jika hanya ditujukan pada para penari gandrung Padahal,
para koruptor, kolutor, manipulator, dan perilaku "kotor" lainnya
yang jelas-jelas menjual kebenaran (kejujuran-keadilan) pada dasarnya juga
orang kotor dan yang hasilkan dari barang haram. Dengan demikian - kalau mau
jujur mereka pun sebenarnya bisa dianggap telah "hilang
kehormatannya".
Ironisnya, di antara mereka yang melakukan berbagai perilaku
kotor tersebut malah seringkali (merasa/dianggap) terpandang mulia dan
terhormat di mata masyarakat. Sedangkan mereka, melakukannya tidak hanya demi
uang, tetapi juga demi jabatan atau kedudukan (kekuasaan). Suatu perbuatan yang
dimotivasi bukan karena "keterpaksaan" melainkan karena
"keserakahan". Jadi, sekali lagi, bukankah sesungguhnya mereka pun
pantas disebut sebagai "manusia kotor" dan dianggap sebagai manusia
yang telah "hilang kehormatan" dirinya.
Dalam kesenian gandrung melibatkan melibatkan laki-laki dan
perempuan yang saling menari. Namun tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tari berpasangan dalam pertunjukan seni
tradisi merupakan media penting untuk belajar menjadi pluralis, belajar hidup
dengan perbedaan dan menghargai sesuatu yang berbeda bahkan mungkin berlawanan.
Salah satu tayub di Madura bahwa penari laki-laki dalam
pertujukan tayub datang dari berbagai
segmen sosial dan lapisan masyarakat yang majemuk. Mereka terdiri dari kalangan
petani, pegawai negeri, polisi dan tentara dengan berbagai level datang dari
tempat yang berbeda. Dalam pementasan gandrung juga terdiri dari etnis yang
beragam: Jawa, Using, Bali, Bugis–Mandar, Arab dan Cina.
Dengan demikian, tari berpasangan sebenarnya lebih
memperlihatkan suatu dialog interaktif antara penari perempuan dan laki-laki
yang terbuka kemungkinan saling memberi dan mengontrol. Sekilas dari sudut
gerak dan volume tari memang dominasi kekuasaan oleh penari laki-laki, tetapi
jika ditengok lebih dalam dan detail ternyata penari perempuan pun juga
memperlihatkan hal yang sebaliknya. Ia mampu menunjukkan kekuasaannya atas
penari laki-laki dan bahkan penari laki-laki dibuat malu.
Dilihat dari panggung
belakang ada beberapa peran penting yang secara implisit telah dimainkan oleh
para penari Gandrung ini. Termasuk di dalamnya, Pertama: Media (Syair gending) untuk mengungkapkan perasaan tentang
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Using yang berupa realitas
sosial yang sangat berpengaruh pada terbentuknya komunitas Using di Kabupaten Banyuwangi, kedua: sebagai figur sentral
dalam mempertahankan kebudayaan masyarakat Using dan Sebagai Identitas
Kabupaten Banyuwangi Sebagai Kota Gandrung dan ketiga: secara tidak langsung keberadaan penari Gandrung telah menjadi katub penyelamat bagi kehidupan
ekonomi keluarganya, terlebih dalam menghadapi permasalahan ekonomi yang kian
hari kian memprihatinkan.
Pertama: Media (Syair
gending) untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
Using yang berupa realitas sosial yang
sangat berpengaruh pada terbentuknya komunitas Using di Kabupaten Banyuwangi, tidak lepas dari
syair gending yang terdiri dari Syair Podho
Nonton, Seblang Lukito, Sekar Jenang, Kembang Pepe dan Kembang Dirmo.
Citraan perasaan pada
syair gending Gandrung, adalah sebagai berikut:
(Syair
Podho Nonton)
Pundhak
sempal, yo ro ring lelurung
Molo
yo pendihte riko pundak sempal
Lambeyane
riko para putra
Para
putra, eman
Kejala,
eman, ring kedhung lewung
Ya
ro, ya jalane rika jala sutra
Artinya:
Bunga pandan patah dijalanan
Ikat pinggangmu adalah bunga patah
Ayunan tanganmu para lelaki
Para lelaki
Terjaring dilubuk yang dalam
Jaringannya adalah jaring sutera
Berdasarkan gambaran
diatas peran penari Gandrung lewat gendingnya
menggambarkan keadaan yang sangat menyedihkan yaitu rakyat yang kerja
rodi untuk membangun jalan. Cintraan kesedihan dapat dilihat pada kata pundhak sempal “ bunga yang patah”.
Dilain pihak, penari
Gandrung lewat gendingnya Podho Nonton
juga menyampaikan rasa kekecewaan, yaitu
Kembang
gadhung
Sak
gulung ditawa sewu
Nora
murah nora larang, yo ro
Kang
nawa wong adhol kembang
Wong
adhol kembang
Wis
barise ring Temenggungan
Artinya:
Bunga Gadhung
Satu ikat ditawar seribu
Tidak muarah tidak mahal
Yang menawar penjuan bunga
Penjuan bunga
Berbaris didaerah temenggungan
Jadi data diatas,
menggambarkan tentang kekecewaan rakyat
kepada para penghianat yang telah membuat Pejuang Blambangan mengalami
kekalahan. Penghianat digambarkan pada kata Wong
adhol kembang, yaitu orang yang menjual kemerdekaan mereka untuk mendapatkan kesenangan pribadi. Mereka para
penghianat itu kemudian bersenang-senang dengan para pejabat yang diganbarkan
pada kalimat Wis barise ring Temenggungan
. Istilah Temenggungan adalah
tempat tinggal pembesar yang saat ini menjadi nama sebuah kelurahan yang
letaknya berada dibelakang pendopo kabupaten Banyuwangi.
Penari Gandrung lewat
gendingnya Syair Seblang Lukito
menyampaikan rasa Semangat, yaitu
Wis
wayahe sawung kukuruyuk
Kakang
kakang ngliliro
Wis
wayahe, wis wayahe bang bang wetan
Lawang
gedhe wonten kang jagi
Wis
medalo lawang pembutulan
Artinya
Sudah
waktunya ayam berkokok
Kakak-
kakak bangunlah
Sudah
waktunya fajar menyingsing
Pintu
besar ada yang menjaga
Keluarlah
dari pintu yang tembus
Data di atas
menunjukkan adanya citraan rasa semangat, yaitu rasa semangat yang bangkit
untuk melawan penjajah. Rasa semangat terlihat pada kakang, kakang ngeliliro’kakak, kakak bangunlah ‘, yaitu menggugah
semangat rakyat Blambangan untuk berjuang. Kalimat wis medalo lawang pembutulan ‘ keluarlah lewat pintu tembus’ juga
menggambarkan pada saat perang gerilya. Kata pembutulan ‘tembus’ dapat diartikan dengan jalan terakhir yang
harus di tempuh yaitu berperang melawan penjajah.
Citraan
kegembiraan terdapat pada syair gending Gandrung Kembang Dirmo. Data yang mendukung adalah
...............................................
Ganjarane
wong kang perang
Wong
han perang
Sak
sumpinge dikalak ijo
Sumping
abang sarang pati
Lare
cilik tiba miring
.......................................
Artinya
..........................................
Hadiah untuk orang berperang
Orang yang berperang
Sumpingny dikalak hijau
Sumping merah dibungkus tepung
Anak kecil jatuh kesamping
.............................................
Syair di atas
menunjukkan citraan kegembiraan karena menggambarkan pesata yang diadakan
rakyat Blambangan untuk menyambut kemenangan para pejuang, seperti pada kalimat
ganjarane wong kang perang ‘hadiah
untuk orang yang berperang’. Kegembiraan mereka diungkapkan dengan pesta dengan
membuat makanan yang dibagikan. Untuk menggambarkan kemeriahan pesta tersebut
terdapat kata lare cilik tiba miring ‘anak
kecil jatuh ke samping’, yaitu anak –
anak kecil yang ikut berebut makanan
pada saat pesta penghormatan atas kemenangan para pejuang.
Berdasarkan syair-syair
gending Gandrung, penari Gandrung mempunyai peranan penting dalam memberikan
sebuah perenungan bagi masyarakat bagaimana perasaan tentang
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Using yang berupa realitas
sosial yang sangat berpengaruh pada terbentuknya komunitas Using di Kabupaten Banyuwangi. Jadi tidak salah
jika Sutarto (2006) menjelaskan bahwa Gandrung merupakan salah satu jenis
kesenian tradisional Using yang
keberadaannya tetap diminati oleh masyarakat. Salah satu keunikan seni
gandrung ialah terpadunya gerakan tari
yang dinamis dengan suara instrumen yang beragam dan bersuara rancak bersahut-sahutan. Dalam
pertunjukan gandrung seorang penari
gandrung seringkali melantunkan pantun-pantun Using baik yang terdiri
dari dua larik maupun empat larik.
Pantun-pantun tersebut ada yang bernuansa agama dan ada pula yang bernuansa asmara.
kedua: sebagai figur sentral dalam mempertahankan
kebudayaan masyarakat Using. Tidak dapat dipungkiri bahwa Banyuwangi dijadikan
sebagai penanda identitas dan maskot pariwisata atai ikon pariwisata Banyuwangi
tidak lepas dari peranan penari gandrung yang sampai saat ini tetaplah eksis.
Namun sebaliknya, jika gandrung tidak ada yang meneruskan, menjadi penari gandrung
tidak gampang karena resikonya harus dicium, dipeluk, bahkan mendapatkan
kritikan oleh masyarakat dan tentunya bayarannya tidak seberapa. Dari sini
kalau tidak karena penari gandrung yang saat ini tetap eksis Banyuwangi tidak
akan pernah gandrung dijadikan identitas dan maskot kota.
Salah satu contoh bahwa
penari Gandrung adalah sebagai figur sentral dalam mempertahankan kebudayaan Banyuwangi.
Sejak Desember 2002 sejumlah pejabat di Banyuwangi membentuk sekolah Gandrung
sebagai Program pembangunan dan upaya
peningkatan peranan perempuan di
Kabupaten Banyuwangi yaitu pendidikan
dan pelatihan penari Gandrung yang tidak lebih dari sebuah pelatihan regular
penari Gandrung yang dijadwalkan satu angkatan pertahun yang dilaksanakan setiap bulan maret. Dalam
2 tahun 2003-2004 , telah dilantik 63 calon penari Gandrung yang terbagi dalam
dua angkatan.
Srintil edisi
012/IV/2007, Gandrung dipilih dan
melibatkan perempuan dalam
pembangunan yaitu dalam rangka menciptakan (citra) kekhasan daerahnya, Dilain
pihak pemerintah Banyuwangi merealisasikan proyek pembuatan patung Gandrung
ditempat-tempat strategis. Secara eksplisit, konsideran Surat Keputusan Bupati
Nomor 173 tertanggal 31 Desember 2002 yang menetapkan proyek ini menyatakan : “
bahwa dalam rangka mendorong tumbuhnya semangat ikut serta memiliki daerah dengan segala kebudayaannya,
yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan pembangunan di bidang
kepariwisataan, maka perlu adanya upaya peningkatan promosi pariwisata di
kabupaten Banyuwangi.
Hal tersebut, juga dipaparkan oleh Sajogyo (1983) bahwa Menyertakan wanita
dalam proses pembangunan bukanlah berarti suatu tindakan perikemanusiaan yang
adil belaka, akan tetapi tindakan ini tidak lain mengajak, mendorong wanita
untuk berpartisipasi dalam pembangunan karena merupakan kegiatan yang sangat
efesien. Maka, ikut sertanya wanita dalam pembangunan ini berarti pula dapat
memanfaatkan suatu sumber manusiawi yang
potensial sangat tinggi dan lebih-lebih dapat mempengaruhi lajunya pertumbuhan
ekonomi.
ketiga:
secara tidak langsung keberadaan penari Gandrung telah menjadi katub penyelamat bagi kehidupan
ekonomi keluarganya, terlebih dalam menghadapi permasalahan ekonomi yang kian
hari kian memprihatinkan. Walaupun. Menurut Anoeggrajekti
(dalam Srintil, 2003), menuliskan kisah penari Gandrung yaitu Temu (49)
, Atik (15), Khusul (24) dan Sunariyah, salah satu alasan yang melatar
belakangi Perempuan bekerja sebagai
penari Gandrung juga dikarenakan seolah-olah dikarenakan adanya jaminan perbaikan kondisi ekonomi keluarga. Penari
Gandrung hanya disertai modal suara yang lumayan, tidak harus cantik dan
mempunyai ijazah pendidikan. dilain pihak seorang Gandrung harus tahu
bahwa salah satu resikonya adalah di cium pemaju, ketika ia tahu, maka Gandrung
harus siap dengan cara yang mereka gunakan.
Menurut Temu (49) “Saya sendiri senang yang di paju itu orang
yang sudah berkeluarga karena agak sedikit sopan, dibandingkan anak bujangan
yang nafsu memburunya kelewat batas. Sudah diperingatkan oleh kluncing juga
tidak mengerti. Tari paju juga ada batas-batasnya, tidak nyelenong
seperti kerbau saja. Tapi gimana ya, namanya manusia itu berbeda-beda, jadi
saya maklumi dan kemampuan mengatur siasat itulah yang paling penting”.
Berdasarkan beberapa
peranan diatas, penari gandrung mempunyai peranan yang luar biasa bagi kemajuan
Banyuwangi dan sebagai upaya untuk mempertahankan Identitas kebudayaan. Jika
seni budaya dapat dikembangkan dan melibatkan perempuan dalam pembangunan dapat dioptimalkan. Maka, Banyuwangi akan
menjadi daerah yang maju dan menjadi daya tarik tersendiri.
F.
Kesimpulan
Stigma yang dibangun oleh pemerintah dan agamawan hanya memandang dari satu perspektif
saja dengan menggunakan dogma-dogma yang dipandang benar tanpa melihat realita
yang dan doktrin yang dibangun sebagai pembenaran, dominasi kekuasaan dan disitulah,
terjadi hegemoni budaya yang dikemas dalam pola lifestyle yang berpola
pada kebudayaan tertentu. Penari gandrung masih mempunyai sisi
kemanuasian yang harus mendapatkan
pengakuan yang sama sebagain dari
kelompok sosial. Kesenian gandrung mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan
prilaku masyarakat yaitu: nilai perjuangan, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai
seni, nilai hiburan, nilai ketrampilan, nilai kepercayaan, nilai agama, nilai
kekeluargaan, nilai cinta budaya daerah, nilai ilmu budaya, nilai moral, nilai
keindahan, dan nilai persatuan dan nilai pluralisme.
G. Daftar pustaka
Adian, Donny Gahral. 2005.
Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra,
Al-Fayadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS,
Anoeggrajekti, Novi, 2007. Penari
Gandrung Dan Gerak Sosial Banyuwangi, Edisi 012.Srintil. Kajian Perempuan Desantara . Depok
.
Gramsci,
Antonio .1971. , Selections form the
Prision Notebook, edited and translated by Quintin Hoare & Goffrey
Nowell Smith, Lawrence and Wishart, London.
Sugiharto,
I. Bambang. 1996. Postmodernisme:
Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sutrisno,
M & Hendar P. 2005. Teori-teori
kebudayaan. Yogyakarta: Kanisus
Saptari,
R dan Holzner. 1997. Perempuan Kerja Dan
Perubahan Sosial. Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti.
Suseno, Franz Magnis. Filsafat sebgai Ilmu Kritis. Yogyakarta:
Kanisius, 1992.
Tedjoworo,
H. 2001. Imaji
dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern. Yogyakarta: Kanisius.
Menikmati rekomendasi Cafe Hits di Banyuwangi yang sangat asik buat nongkrong anak muda ya.
BalasHapus