Wawasan Kebangsaan sebagai
bagian dari ‘membangun karakter’. Pembentukan karakter menjadi penting untuk menuju cita-cita kemerdekaan karena
membangun karakter dapat dilakukan didalamnya prosesnya. karakter merupakan aspek yang sangat
penting untuk membangun masa depan manusia sebab karakter yang kuat nantinya
akan membentuk mental yang kuat pula.
Persoalan bangsa
dengan karakter yang lemah maka bangsa Indonesia akan menjadi budak, menjadi
buruh dinegaranya sendiri dalam persaingan pasar dan siap diatur oleh negara
lain. Menyadari persoalan permasalahan bangsa menjadi penting sebagai alat
intropeksi guna menata masa depan bangsa menjadi lebih baik. Bangsa indonesia
harus bergerak kedepan dengan karakter yang kuat, tangguh, berani dan
progresif.
Membangun
karakter dapat dilakukan melalui proses pendidikan karakter. Proses pendidikan
dapat diajarkan secara serius yang dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah
dan masyarakat. Membangun karakter harus
menekankan pada Hard skill yang lebih bersifat mengembangkan intelegence
qoutient (IQ), soft skill dengan mengembangkan Emotional Intelegence (EQ),
Spiritual intelegence (SQ). Menurut Kemendiknas (2010) kesuksesan seseorang
tidak hanya ditentukan oleh keterampilan teknis (Hard Skill) tetapi juga
keterampilan mengelolah diri dan orang lain (soft skill) agar terbentuk
karakter yang kuat dan efektif. Disis lain membangun karakter dapat
dikelompokkan menjadi olah hati, olah pikir, olah raga dan kinestetik, olah
rasa dan karsa.
Kesuksesan itu
hanya ditentukan sekitar 20 % oleh Hard skill dan sisanya 80 % oleh Soft skill.
Oleh karena itu dengan pendidikan karakter diharapkan menjadi kekuatan dahsyat
dalam menggapai cita-cita besar bangsa yang dicita-citakan guna menggapai
jembatan emas baik bangsa yang maju,bermartabat,integritas, kredebilitas, dan
penuh prestasi.
Menurut Jamal
Ma’mur Asmani (2011) menyelenggarakan pendidikan karakter harus berpijak pada
nilai-nilai karakter dasar manusia. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter tersebut antara lain, pertama:
nilai karakter yang berhubungan dengan Tuhan. Hal ini tidak lain bahwa pikiran,
perkataan dan tindakan harus sesuai dengan
nilai-nilai Ketuhanan.
Kedua, nilai
karakter yang berhubungan dengan diri
sendiri adalah antara lain:
a. Bertanggungjawab,
Merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya
b. Jujur merupakan
perilaku yang didasarkan pada perkataan, tindakan selalu dapat dipercaya
c. Bergaya hidup
sehat, menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hisup sehat dan
menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganngu kesehatan.
d. Disiplin
merupakan tindakan yang menunjukkan perilaku tertip dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
e. Kerja keras
meripakan perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas sebaik-baiknya
f. Percaya diri
merupakan sikap yakin akan kemampuan diri sendiri
g. Berjiwa wirausaha
merupakan mental kuat dan siap dengan resiko
h. Berfikir logis, kritis,
kreative dan inovatif
i. Mandiri merupakan
bentuk kemandiriaan seseorang tidak selalu bergantung kepada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya
j. Ingin tahu,
merupakan sikap atau tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan luas dari
sesuatu yang dipelajarinya, dilihat bahkan didengar.
k. Cinta ilmu
merupakan cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian dan penghargaan yang tinggi atas pengetahuan.
Ketiga, nilai
karakter hubungannya dengan sesama, antara lain :
a. Sadar Hak dan
Kewajiban diri dan orang lain, sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan suatu
yang menjadi milik atau hak diri sendiri
dan orang lain, serta tugas atau kewajiban diri sendiri dan orang lain.
b. Patuh pada
aturan-aturan sosial, sikap dan perilaku taat terhadap peraturan yang ada di
masyrakat
c. Menghargai karya
dan prestasi orang lain, berarti menghargai hasil karya seseorang dan prestasi
seseorang
d.
Santun, merupakan sikap yang halus dan baik dari sudut
pandang tata bahasa maupun tata prilakunya kepada semua orang
e.
Demokratis, cara berfikir, bersikap dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban diri sendiri dan orang lain
Keempat, nilai karakter hubungannya dengan lingkungan,
Hal ini berkenaan dengan kepedulian sosial dan lingkungan, nilai karakter ini
tidak bisa dilepaskan guna mencegah kerusakan lingkungan alam. Sekarang ini
banyak hutan-hutan yang harusnya dijaga kelestariannya malah seringkali
ditebang yang pada akhirnya menyebabkan banjir. Telah banyak korban nyawa
hilang karena ulat tangan manusia yang nakal.
Kelima, nilai karakter hubungannya dengan nilai
kebangsaan, artinya cara berfikir,
bersikap dan bertindak menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas
kepentingan pribadi dan kelompok sehingga menunjukkan rasa kesetiaan,
kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa indonesia.
Karakter generasi muda saat ini sudah diambang
dekradasi karena sudah lepas dari etika, moral dan budaya. Baik media masa dan
media elektronek dapat melihat potret generasi muda saat ini mulai dari
kriminal, tawuran, seks bebas, minum-minuman dan lainnya menjadi pemandangan
tiap hari. Guna mempersiapkan kader masa depan yang kuat, tangguh, berani
progresif yang mempunyai. Pertama, Kemandirian (self-reliance),
atau menurut istilah Soekarno adalah “Berdikari” (berdiri di atas kaki
sendiri). Dalam konteks aktual saat ini, kemandirian diharapkan terwujud dalam
percaya akan kemampuan manusia dan penyelenggaraan Republik Indonesia dalam
mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya.
Kedua, Demokrasi (democracy),
atau kedaulatan rakyat sebagai ganti sistem kolonialis. Masyarakat demokratis
yang ingin dicapai adalah sebagai
pengganti dari masyarakat warisan yang feodalistik. Masyarakat di mana
setiap anggota ikut serta dalam proses politik dan pengambilan keputusan yang
berkaitan langsung dengan kepentingannya untuk mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran.
Ketiga, Persatuan Nasional
(national unity). Dalam konteks aktual dewasa ini diwujudkan dengan
kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi nasional antar berbagai kelompok yang
pernah bertikai ataupun terhadap kelompok yang telah mengalami diskriminasi
selama ini.
Keempat, Martabat
Internasional (bargaining positions). Indonesia tidak perlu mengorbankan martab`t
dan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka untuk mendapatkan prestise,
pengakuan dan wibawa di dunia internasional. Sikap menentang hegemoni suatu
bangsa atas bangsa lainnya adalah sikap yang mendasari ide dasar “nation and
character building.” Bung Karno menentang segala bentuk “penghisapan suatu
bangsa terhadap bangsa lain,” serta menentang segala bentuk “neokolonialisme”
dan “neoimperialisme.” Indonesia harus berani mengatakan “tidak”
terhadap tekanan-tekanan politik yang tidak sesuai dengan “kepentingan
nasional” dan “rasa keadilan” sebagai bangsa merdeka.
Menurut Asmani
(2011) mengutip Idu Subandy ibrahim seorang peneliti media serta kebudayan pop,
di era globalisasi sekarang ini ada 10 sikap dan kesadaran budaya negatif yang
harus disingkirkan. Caranya adalah dengan membangun 10 sikap dan kesadaran
budaya positif sebagai budaya alternatif yang harus terus dipupuk di rumah,
sekolah, tempat kerja, tempat ibadah, jalan-jalan dan semua runag kehidupan
sehari-hari. Berikut adalah sikap-sikap tersebut.
Pertama, melawan budaya feodal lawan budaya egaliter. Udaya
feodalisme yang menghambat kemajuan harus dilawan dengan sikap dan kesadaran
budaya egaliter. Sikap egaliter menempatkan manusia pada posisi setara, tanpa memandang status
yang yang diperoleh karena keturunan, kekayaan, jabatan, pendidikan,
suku,ras,atau agama. Sikap hidup yang memandang semua orang sama akan menjadi
budaya pendukung nilai-nilai dengan demokrasi dan semangat masyarakat madani.
Kita harus mengembangkan budaya sejak dini kepada anak-anak agar tumbuh sikap
budaya egaliter yang menghargai sesama manusia.
Kedua, melawan
budaya instan dengan budaya kerja keras.
Budaya instan yang menganggap bahwa bahagia, kekayaan, sukses dan
prestasi bisa diraih seperti membalik telapak tangan, juga harus melawan dengan budaya yang memandang bahwa semua itu harus diraih dengan keringat dan
air mata. Budaya-budaya yang
menggampangkan penyelesaian
persoalan dengan cara potong kompas dalam kehidupan sehari-hari mesti
dilawan dengan cara-cara yang berlebihan.
Prestasi yang
diraih dengan kerja keras harus diberi penghargaan secara layak dan harus
diciptakan mekanisme penilaian untuk orang-orang yang meraih prestasi dengan
kerja keras. Kita harus menanamkan pendidikan budaya yang memberikan pengertian
kepada anak-anak agar korupsi, perilaku
tidak jujur, komersialisasi jabatan, sampai jual beli gelar aspal,plagiasi atau
menyontek adalah budaya instan yang tidak layak diberi tempat dalam masyarakat.
Sebab kita hanya menghargai orang yang kerja keras.
Ketiga, melawan budaya kulit dengan budaya isi. Budaya kulit atau
tampilan luar dalam kehidupan memang penting. Untuk menjaga citra diri atau image seseorang, banyak cara bisa
ditempuh. Ada orang yang memamerkan kekayaan, ada yang menunjukkan kepintaran,
ada juga yang unjuk kekuatan dan kekuasaan. Kemewahan sudah menjadi bagai hidup
asitokrat sejak dahulu. Sekarang banyak orang kaya baru yang tidak malu menunjukkan
diri mereka kaya dan shalih. Untuk itu orang-orang menunjukkan simbol-silbol kekayaan dengan berbagai macam
cara.
Keempat, melawan budaya penampilan dengan budaya hidup
sederhana. Budaya penampilan, asal kelihatan keren dan hebat juga menjadi bagian
dari kehidupan kita. sekarang ini tidak banyak orang yang mau dan berani tampil
lebih sederhana dari penghasilan mereka. Kita
akan sulit dan mungkin merasa terasing ditengah-tengah tetangga kita,
keluara atau kolega jika kita berpenampilan sederhana. Kebersahajaan sebagai pilihan sikap dan gaya hidup
alternatif menjadi barang langkah atau bahkan menjadi barang kemewahan dalam
gaya hidup.
Kelima, melawan budaya boros dengan budaya hemat, budaya kulit
atau penampilan jelas telah menjadikan budaya boros begitu telanjang dipelupuk
mata. Kita jarang berfikir bahwa
perilaku dan gaya hidup boros mendarah daging dalam kehidupan kita.
cobalah simak perbuatan kita dikantor, dijalan dan dirumah. Perhatikan pula
cara kita menggunakan air, listrik atau pulsa telepon.
Jika orang tua
dahulu memberikan uang kepada anak untuk ditabung tau dibelikan emas maka
sekarang banyak orang tua yang
mengeluarkan anggaran uang pulsa bulanan untuk sibuah hatinya. Kita harus mampu
mensosilaisasikan misalnya hemat air. Beberapa bulan ini banyak tetangga kita
yang kekeringan bahkan harus minum air yang juga jadi tempat pemandian hewan
ternak bahkan untuk kebutuan mandi,minum dan cuci.
Keenam. Lawan budaya apatis dengan budaya empaty. Dengan
kesadarah demikian pula. Kita ingin segera mengganti sikap masa bodoh atau
apatis yang membuat kita menutup mata terhadap persoalan disekitar kita dengan
tumbuhnya generasi yang berkesadaran empatik.
Budaya empatik
menumbuhkan kepedulian dan kesadaran untuk mendengar keluhan orang lain atau
penderitaan sesama. Generasi simpatik adalah generasi yang bisa hidup dalam
semangat untuk memberi kepada yang tidak mampu, menyuarakan persoalan publik
serta membebaskan yang tertindas. Kita uingin menumbuhkan budaya empati
ditengah-tengah sikap masa bodoh atau
ketidak pedulian yang sering mewarnai budaya kita sehari-hari.
Ketujuh. Melawan budaya konsuntif dengan buaya produktif. Budaya
yang hanya menghabiskan banyak waktu dan uang untuk hal yang tidak bermanfaat
harus dilawan dengan budaya yang lebih berguna bagi kehidupan. Jika sekarang kita hanya jadi masyarakat
pemakai (pemakai barang produk luar
negeri, konsumen pemikiran, dan gaya hidup asing) maka konstruksi budaya di
masa depan yang paling krusial adalah menjadikan bangsa ini mampu menghasilkan
suatu yang bermanfaat bagi kehidupan dan kemanusiaan. Tangantan pendidikan kita
adalah mengubah generasi yang konsuntif menjadi generasi yang produktif, tapi
sebagai produsen untuk bangsanya, bahkan bagi dunia. Hal ini memerlukan
revolusi kesadaran yang menuntut pendidikan sumber daya manusia yang sistematis
dan terprogram.
Kedelapan, melwan budaya sampah dengan budaya bersih. Sampah menjadi
persoalan urban yang pelik jika kita tidak mencari solusi yang lebih terpadu
dalam pembangunan dan penataan kota di masa depan. Kita sekarang hidup dalam
masyarakat yang serta membuang, beli,pakai sekali setelah itu dibuang. Untuk
itu kita seharusnya menanamkan budaya bersih sejak dini dalam lingkungan
keluarga, tetangga dan masyarakat luas, terutama dipasar, dipertokoan dan sebagainya.
Kesembilan, melawan budaya
terabas dengan budaya antre. Kebiasaan antre juga dikampanyekan dan
dimasyarakatkan. Kita harus menjadi bangsa yang beradab, jangan asal terobos.
Budaya terobos menyebabkan budaya korupsi sedangkan budaya antre menghargai
keteraturan yang tidak dipaksakan, tetapi tumbuh atas dasar menghargai
seseorang.
Kesepuluh, melawan budaya
kompetisi dengan budaya kerjasama. Kita memang memerlukan kompetisi, asal
kompetisi itu sehat dan fair. Biasanya ini terjadi pada persoalan menang dan
kalah. Kita harus menanamkan budaya
menerima kekalahan secara fair dan menghargai prestasi orang lain agar
kehidupan berjalan sehat, baik dalam pendidikan maupun demokrasi. Jika kita
sulit membangun budaya kompetisi maka kita fikirkan bagaimana menjalin budaya
kerjasama. Kita harus menyadari persoalan yang multi dimensional yang melanda
bangsa kita hanya dapat dipecahkan manakalah kita dapat memecahkan bersama.
Dengan budaya kerjasama kita semakin
rendah hati menerima berbagai kemungkinan dari orang lain yang berbeda dari
kita.
Bersadarkan
gambaran diatas, pentingnya pendidikan karakter adalah agar kesadaran bersama
untuk membangun generasi muda bangsa yang kokoh. Sehingga tidak
terombang-ambing oleh modernisasi yang menjanjikan kenikmatan sesaat serta
mengorbankan kenikmatan masa depan. Oleh karena itu, guna membentuk karakter
dan membina jati diri bangsa atau identitas bangsa dapat dilakukan melalui
proses pendidikan yang dapat dilaksanakan melalui pendidikan formal, informal
maupun Informasi. Pendidikan nasional mempunyai impact yang besar didalam
pembentukan bangsa jati diri bangsa.
Proses
pendidikan merupakan sarana penerusan kebudayaan. Pewarisan kebudayaan tak
mungkin tanpa kegiatan pendidikan. Dan didalam budaya pendidikan itu, bukan
hanya terjadi pewarisan nilai-nilai, tetapi evaluasi terhadap nilai-nilai yang
ada. Didalam pendidikan menumbuhkan sikap kritis itu sama perlunya dengan
melangsungkan sikap estafet budaya. Peserta didik, mahasiswa bukan hanya
diberi, tetapi dirangsang untuk bersikap kritis berdasarkan pengalaman
lingkungan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar