Kamis, 08 November 2012

MEMBANGUN KARAKTER PETAKAN MASA DEPAN BANGSA


Wawasan Kebangsaan sebagai bagian dari ‘membangun karakter.  Pembentukan karakter menjadi penting untuk menuju cita-cita kemerdekaan karena membangun karakter dapat dilakukan didalamnya prosesnya. karakter merupakan aspek yang sangat penting untuk membangun masa depan manusia sebab karakter yang kuat nantinya akan membentuk mental yang kuat pula.
Persoalan bangsa dengan karakter yang lemah maka bangsa Indonesia akan menjadi budak, menjadi buruh dinegaranya sendiri dalam persaingan pasar dan siap diatur oleh negara lain. Menyadari persoalan permasalahan bangsa menjadi penting sebagai alat intropeksi guna menata masa depan bangsa menjadi lebih baik. Bangsa indonesia harus bergerak kedepan dengan karakter yang kuat, tangguh, berani dan progresif.
Membangun karakter dapat dilakukan melalui proses pendidikan karakter. Proses pendidikan dapat diajarkan secara serius yang dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Membangun karakter  harus menekankan pada Hard skill yang lebih bersifat mengembangkan intelegence qoutient (IQ), soft skill dengan mengembangkan Emotional Intelegence (EQ), Spiritual intelegence (SQ). Menurut Kemendiknas (2010) kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh keterampilan teknis (Hard Skill) tetapi juga keterampilan mengelolah diri dan orang lain (soft skill) agar terbentuk karakter yang kuat dan efektif. Disis lain membangun karakter dapat dikelompokkan menjadi olah hati, olah pikir, olah raga dan kinestetik, olah rasa dan karsa.
Kesuksesan itu hanya ditentukan sekitar 20 % oleh Hard skill dan sisanya 80 % oleh Soft skill. Oleh karena itu dengan pendidikan karakter diharapkan menjadi kekuatan dahsyat dalam menggapai cita-cita besar bangsa yang dicita-citakan guna menggapai jembatan emas baik bangsa yang maju,bermartabat,integritas, kredebilitas, dan penuh prestasi.
Menurut Jamal Ma’mur Asmani (2011) menyelenggarakan pendidikan karakter harus berpijak pada nilai-nilai karakter dasar manusia. Menurut para ahli psikolog, beberapa  nilai karakter tersebut antara lain, pertama: nilai karakter yang berhubungan dengan Tuhan. Hal ini tidak lain bahwa pikiran, perkataan dan tindakan harus sesuai dengan  nilai-nilai Ketuhanan.
Kedua, nilai karakter yang berhubungan dengan  diri sendiri adalah antara lain:
a.    Bertanggungjawab, Merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
b.    Jujur merupakan perilaku yang didasarkan pada perkataan, tindakan selalu dapat dipercaya
c.    Bergaya hidup sehat, menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hisup sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganngu kesehatan.
d.    Disiplin merupakan tindakan yang menunjukkan perilaku tertip dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
e.    Kerja keras meripakan perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas sebaik-baiknya
f.     Percaya diri merupakan sikap yakin akan kemampuan diri sendiri
g.    Berjiwa wirausaha merupakan mental kuat dan siap dengan resiko
h.    Berfikir logis, kritis, kreative dan inovatif
i.      Mandiri merupakan bentuk kemandiriaan seseorang tidak selalu bergantung kepada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugasnya
j.      Ingin tahu, merupakan sikap atau tindakan yang selalu berupaya  untuk mengetahui lebih mendalam dan luas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat bahkan didengar.
k.    Cinta ilmu merupakan cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi atas pengetahuan.

Ketiga, nilai karakter hubungannya dengan sesama, antara lain :
a.    Sadar Hak dan Kewajiban diri dan orang lain, sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan suatu yang menjadi milik atau hak diri sendiri  dan orang lain, serta tugas atau kewajiban diri sendiri dan orang lain.
b.    Patuh pada aturan-aturan sosial, sikap dan perilaku taat terhadap peraturan yang ada di masyrakat
c.    Menghargai karya dan prestasi orang lain, berarti menghargai hasil karya seseorang dan prestasi seseorang
d.    Santun, merupakan sikap yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata prilakunya kepada semua orang
e.    Demokratis, cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban diri sendiri dan orang lain
Keempat, nilai karakter hubungannya dengan lingkungan, Hal ini berkenaan dengan kepedulian sosial dan lingkungan, nilai karakter ini tidak bisa dilepaskan guna mencegah kerusakan lingkungan alam. Sekarang ini banyak hutan-hutan yang harusnya dijaga kelestariannya malah seringkali ditebang yang pada akhirnya menyebabkan banjir. Telah banyak korban nyawa hilang karena ulat tangan manusia yang nakal.
Kelima, nilai karakter hubungannya dengan nilai kebangsaan,  artinya cara berfikir, bersikap dan bertindak menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan kelompok sehingga menunjukkan rasa kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa indonesia.
Karakter  generasi muda saat ini sudah diambang dekradasi karena sudah lepas dari etika, moral dan budaya. Baik media masa dan media elektronek dapat melihat potret generasi muda saat ini mulai dari kriminal, tawuran, seks bebas, minum-minuman dan lainnya menjadi pemandangan tiap hari. Guna mempersiapkan kader masa depan yang kuat, tangguh, berani progresif yang mempunyai. Pertama, Kemandirian (self-reliance), atau menurut istilah Soekarno adalah “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri). Dalam konteks aktual saat ini, kemandirian diharapkan terwujud dalam percaya akan kemampuan manusia dan penyelenggaraan Republik Indonesia dalam mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya.
Kedua, Demokrasi (democracy), atau kedaulatan rakyat sebagai ganti sistem kolonialis. Masyarakat demokratis yang ingin dicapai adalah sebagai  pengganti dari masyarakat warisan yang feodalistik. Masyarakat di mana setiap anggota ikut serta dalam proses politik dan pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan kepentingannya untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.
Ketiga, Persatuan Nasional (national unity). Dalam konteks aktual dewasa ini diwujudkan dengan kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi nasional antar berbagai kelompok yang pernah bertikai ataupun terhadap kelompok yang telah mengalami diskriminasi selama ini.
Keempat, Martabat Internasional (bargaining positions).  Indonesia tidak perlu mengorbankan martab`t dan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka untuk mendapatkan prestise, pengakuan dan wibawa di dunia internasional. Sikap menentang hegemoni suatu bangsa atas bangsa lainnya adalah sikap yang mendasari ide dasar “nation and character building.” Bung Karno menentang segala bentuk “penghisapan suatu bangsa terhadap bangsa lain,” serta menentang segala bentuk “neokolonialisme” dan “neoimperialisme.” Indonesia harus berani mengatakan “tidak” terhadap tekanan-tekanan politik yang tidak sesuai dengan “kepentingan nasional” dan “rasa keadilan” sebagai bangsa merdeka. 
Menurut Asmani (2011) mengutip Idu Subandy ibrahim seorang peneliti media serta kebudayan pop, di era globalisasi sekarang ini ada 10 sikap dan kesadaran budaya negatif yang harus disingkirkan. Caranya adalah dengan membangun 10 sikap dan kesadaran budaya positif sebagai budaya alternatif yang harus terus dipupuk di rumah, sekolah, tempat kerja, tempat ibadah, jalan-jalan dan semua runag kehidupan sehari-hari. Berikut adalah sikap-sikap tersebut.
Pertama, melawan budaya feodal lawan budaya egaliter. Udaya feodalisme yang menghambat kemajuan harus dilawan dengan sikap dan kesadaran budaya egaliter. Sikap egaliter menempatkan manusia  pada posisi setara, tanpa memandang status yang yang diperoleh karena keturunan, kekayaan, jabatan, pendidikan, suku,ras,atau agama. Sikap hidup yang memandang semua orang sama akan menjadi budaya pendukung nilai-nilai dengan demokrasi dan semangat masyarakat madani. Kita harus mengembangkan budaya sejak dini kepada anak-anak agar tumbuh sikap budaya egaliter yang menghargai sesama manusia.
Kedua, melawan budaya instan dengan budaya kerja keras.  Budaya instan yang menganggap bahwa bahagia, kekayaan, sukses dan prestasi bisa diraih seperti membalik telapak tangan, juga  harus melawan dengan budaya  yang memandang bahwa  semua itu harus diraih dengan keringat dan air mata. Budaya-budaya yang  menggampangkan penyelesaian  persoalan dengan cara potong kompas dalam kehidupan sehari-hari mesti dilawan dengan cara-cara yang berlebihan.
Prestasi yang diraih dengan kerja keras harus diberi penghargaan secara layak dan harus diciptakan mekanisme penilaian untuk orang-orang yang meraih prestasi dengan kerja keras. Kita harus menanamkan pendidikan budaya yang memberikan pengertian kepada  anak-anak agar korupsi, perilaku tidak jujur, komersialisasi jabatan, sampai jual beli gelar aspal,plagiasi atau menyontek adalah budaya instan yang tidak layak diberi tempat dalam masyarakat. Sebab kita hanya menghargai orang yang kerja keras.
Ketiga, melawan budaya kulit dengan budaya isi. Budaya kulit atau tampilan luar dalam kehidupan memang penting. Untuk menjaga citra diri atau image seseorang, banyak cara bisa ditempuh. Ada orang yang memamerkan kekayaan, ada yang menunjukkan kepintaran, ada juga yang unjuk kekuatan dan kekuasaan. Kemewahan sudah menjadi bagai hidup asitokrat sejak dahulu. Sekarang banyak orang kaya baru yang tidak malu menunjukkan diri mereka kaya dan shalih. Untuk itu orang-orang menunjukkan  simbol-silbol kekayaan dengan berbagai macam cara.
Keempat, melawan budaya penampilan dengan budaya hidup sederhana. Budaya penampilan, asal kelihatan keren dan hebat juga menjadi bagian dari kehidupan kita. sekarang ini tidak banyak orang yang mau dan berani tampil lebih sederhana dari penghasilan mereka. Kita  akan sulit dan mungkin merasa terasing ditengah-tengah tetangga kita, keluara atau kolega jika kita berpenampilan sederhana. Kebersahajaan  sebagai pilihan sikap dan gaya hidup alternatif menjadi barang langkah atau bahkan menjadi barang kemewahan dalam gaya hidup.
Kelima, melawan budaya boros dengan budaya hemat, budaya kulit atau penampilan jelas telah menjadikan budaya boros begitu telanjang dipelupuk mata. Kita jarang berfikir bahwa  perilaku dan gaya hidup boros mendarah daging dalam kehidupan kita. cobalah simak perbuatan kita dikantor, dijalan dan dirumah. Perhatikan pula cara kita menggunakan air, listrik atau pulsa telepon.
Jika orang tua dahulu memberikan uang kepada anak untuk ditabung tau dibelikan emas maka sekarang banyak orang tua  yang mengeluarkan anggaran uang pulsa bulanan untuk sibuah hatinya. Kita harus mampu mensosilaisasikan misalnya hemat air. Beberapa bulan ini banyak tetangga kita yang kekeringan bahkan harus minum air yang juga jadi tempat pemandian hewan ternak bahkan untuk kebutuan mandi,minum dan cuci.
Keenam. Lawan budaya apatis dengan budaya empaty. Dengan kesadarah demikian pula. Kita ingin segera mengganti sikap masa bodoh atau apatis yang membuat kita menutup mata terhadap persoalan disekitar kita dengan tumbuhnya generasi yang berkesadaran empatik.
Budaya empatik menumbuhkan kepedulian dan kesadaran untuk mendengar keluhan orang lain atau penderitaan sesama. Generasi simpatik adalah generasi yang bisa hidup dalam semangat untuk memberi kepada yang tidak mampu, menyuarakan persoalan publik serta membebaskan yang tertindas. Kita uingin menumbuhkan budaya empati ditengah-tengah sikap masa bodoh  atau ketidak pedulian yang sering mewarnai budaya kita sehari-hari.
Ketujuh. Melawan budaya konsuntif dengan buaya produktif. Budaya yang hanya menghabiskan banyak waktu dan uang untuk hal yang tidak bermanfaat harus dilawan dengan budaya yang lebih berguna bagi kehidupan.  Jika sekarang kita hanya jadi masyarakat pemakai (pemakai barang produk  luar negeri, konsumen pemikiran, dan gaya hidup asing) maka konstruksi budaya di masa depan yang paling krusial adalah menjadikan bangsa ini mampu menghasilkan suatu yang bermanfaat bagi kehidupan dan kemanusiaan. Tangantan pendidikan kita adalah mengubah generasi yang konsuntif menjadi generasi yang produktif, tapi sebagai produsen untuk bangsanya, bahkan bagi dunia. Hal ini memerlukan revolusi kesadaran yang menuntut pendidikan sumber daya manusia yang sistematis dan terprogram.
Kedelapan, melwan budaya sampah dengan budaya bersih. Sampah menjadi persoalan urban yang pelik jika kita tidak mencari solusi yang lebih terpadu dalam pembangunan dan penataan kota di masa depan. Kita sekarang hidup dalam masyarakat yang serta membuang, beli,pakai sekali setelah itu dibuang. Untuk itu kita seharusnya menanamkan budaya bersih sejak dini dalam lingkungan keluarga, tetangga dan masyarakat luas, terutama dipasar, dipertokoan dan sebagainya.
Kesembilan,  melawan budaya terabas dengan budaya antre. Kebiasaan antre juga dikampanyekan dan dimasyarakatkan. Kita harus menjadi bangsa yang beradab, jangan asal terobos. Budaya terobos menyebabkan budaya korupsi sedangkan budaya antre menghargai keteraturan yang tidak dipaksakan, tetapi tumbuh atas dasar menghargai seseorang.
Kesepuluh,  melawan budaya kompetisi dengan budaya kerjasama. Kita memang memerlukan kompetisi, asal kompetisi itu sehat dan fair. Biasanya ini terjadi pada persoalan menang dan kalah. Kita harus menanamkan  budaya menerima kekalahan secara fair dan menghargai prestasi orang lain agar kehidupan berjalan sehat, baik dalam pendidikan maupun demokrasi. Jika kita sulit membangun budaya kompetisi maka kita fikirkan bagaimana menjalin budaya kerjasama. Kita harus menyadari persoalan yang multi dimensional yang melanda bangsa kita hanya dapat dipecahkan manakalah kita dapat memecahkan bersama. Dengan budaya kerjasama  kita semakin rendah hati menerima berbagai kemungkinan dari orang lain yang berbeda dari kita.
Bersadarkan gambaran diatas, pentingnya pendidikan karakter adalah agar kesadaran bersama untuk membangun generasi muda bangsa yang kokoh. Sehingga tidak terombang-ambing oleh modernisasi yang menjanjikan kenikmatan sesaat serta mengorbankan kenikmatan masa depan. Oleh karena itu, guna membentuk karakter dan membina jati diri bangsa atau identitas bangsa dapat dilakukan melalui proses pendidikan yang dapat dilaksanakan melalui pendidikan formal, informal maupun Informasi. Pendidikan nasional mempunyai impact yang besar didalam pembentukan bangsa jati diri bangsa.
Proses pendidikan merupakan sarana penerusan kebudayaan. Pewarisan kebudayaan tak mungkin tanpa kegiatan pendidikan. Dan didalam budaya pendidikan itu, bukan hanya terjadi pewarisan nilai-nilai, tetapi evaluasi terhadap nilai-nilai yang ada. Didalam pendidikan menumbuhkan sikap kritis itu sama perlunya dengan melangsungkan sikap estafet budaya. Peserta didik, mahasiswa bukan hanya diberi, tetapi dirangsang untuk bersikap kritis berdasarkan pengalaman lingkungan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar