Seperti yang
telah disinggung sebelumnya bahwa wawasan kebangsaan sebenarnya bukanlah wawasan baru, walau akhir-akhir ini
banyak orang mendiskusikan baik oleh semua kalangan mulai dari politisi,
agamawan, dan tokoh masyarakat lainnya. Tatkalah seriusnya peristiwa bersejarah
16 Agustus 1945 dijadikan sebagai ukuran dan evaluasi guna menata Indonesia
kedapan. Kita semuanya menyadari bahwa Abad ke -19 sebagai “abad ideologi” memberikan harapan
yang besar bagi perbaikan nasib umat manusia seperti apa yang di cita- citakan oleh Founding father bangsa.
Rasa ketidakpastian
bangsa Indonesia abad ke 21 berdampak pada persoalan ideologi yang tidak memberikan jawaban yang pasti, para
ahli filsafat sejarah mengatakan sebagai abad ketidakpastian (The Age of
Uncertainty). Pandangan
di atas sungguh wajar dan tidak mengada-ada. Menurut Otho H. Hadi bahwa Krisis yang dialami oleh Indonesia ini menjadi
sangat multi dimensional yang saling mengait. Krisis ekonomi yang tidak kunjung
henti berdampak pada krisis sosial dan politik, yang pada perkembangannya
justru menyulitkan upaya pemulihan ekonomi.
Konflik horizontal dan
vertikal yang terjadi dalam kehidupan sosial merupakan salah satu akibat dari semua krisis yang terjadi, yang
tentu akan melahirkan ancaman dis-integrasi bangsa. Apabila melihat bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah,
agama, dan berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis negara
kepulauan yang tersebar. Semua ini mengandung potensi konflik (latent sosial
conflict) yang dapat merugikan dan mengganggu persatuan dan kesatuan
bangsa.
Dewasa ini, dampak krisis
multi-dimensional ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal munculnya krisis
kepercayaan diri (self-confidence) dan rasa hormat diri (self-esteem)
sebagai bangsa. Krisis kepercayaan sebagai bangsa dapat berupa keraguan
terhadap kemampuan diri sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan
mendasar yang terus-menerus datang, seolah-olah tidak ada habis-habisnya
mendera Indonesia. Aspirasi politik untuk merdeka di berbagai daerah, misalnya,
adalah salah satu manifestasi wujud krisis kepercayaan diri sebagai satu
bangsa, satu “nation”.
Apabila krisis politik dan
krisis ekonomi sudah sampai pada krisis kepercayaan diri, maka eksistensi
Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang dipertaruhkan. Maka, sekarang
ini adalah saat yang tepat untuk melakukan evaluasi terhadap proses
terbentuknya “nation and character building” kita selama ini, karena
boleh jadi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan
dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi
ke-Indonesia-an. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti
yang ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara
bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari
kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara
bangsa-bangsa”.
Kenyataan diatas,
diakui atau tidak kesadaran untuk membagun bangsa dengan bingkai kebhinekaan
ternyata tidak mempunyai pendirian yang kokoh. Generasi muda mulai kehilangan
identitas diri dan identitas kebangsaan. Meningkatnya gaya hidup hedonis
dianggap sebagai sesuatu yang wajar, normal dan keharusan. Istilah baru pun
berkembang, seperti dugem, clubbers, metroseksual, sex without love, sex after
lunch dan lain sebagainya. Ironisnya, penyebaran gaya hidup ini banyak
menyerang generasi muda Indonesia.
Media masa menjadi pemandangan tiap hari dan
tiap saat selalu menontonkan potret buran persoalan bangsa mulai Pergaulan generasi
muda yang bertentangan dengan norma-norma, Bentrok antar pelajar, konflik agama, suku, tayangan pornografi oleh
anak dibawah umur, krisis
kepercayaan dari para pemimpin rakyat
yang
berorientasi
pada kepentingan individu dan mengabaikan kepentingan nasional , dan
sebagainya. Seharusnya semua tidak boleh manafikkan dan bahkan pura-pura
pintar dan seolah paham akan kebangsaan
ini.
Banyak hal yang
membanggakan namun disisi lain memikirkan
tanah air ini menjadikan kita putus asa. Hal yang membanggakan misalnya: “dulu” Bangsa yang mempunyai kedaulatan/diperhitungkan oleh
negara luar, semangat
persatuan dan kesatuan dan ulet. Namun yang
menjadikan putus asa atau selalu kita tanyakan pada diri kita kenapa ini bisa terjadi, apa yang salah dengan
Bangsa ini, apakah
memang salah bangsa ini, kenapa
kita cuma bisa mengeluh dan atau apakah kita sudah menjadi bagian yang menguntungkan untuk
Bangsa ini. Misalnya Jepang
di tahun 1945 hancur dan Indonesia
baru merdeka pada tahun yang sama sekarang telah meninggalkannya, Korea di tahun 1953 masih
perang ternyata Indonesia kebanjiran budayanya, Malaysia baru merdeka pada tahun 1958 dan Vietnam
baru merdeka 1975 juga telah
meninggalkan kita semuanya. Menurut Jakob Sumarjo (2003) tidak seperti negeri
Indonesia yang hidupnya selalu kembang kempis, kere, pas-pasan, serba
kekurangan dan lebih-lebih ngutang kenegara lain.
Jika diawal
dijelaskan bahwa bangsa kita dalam rasa ketidak pastian yang semakin
menjadi-jadi bukanlah suatu hal “Sepertinya”.
Tentunya kata
“sepertinya” bukan lagi menjadi suatu
alasan atau argument tentang negeri ini, yang benar adalah “sebenarnya” ada yang salah dengan negeri
ini. keadaannya tak jauh berbeda dengan masa Jepang. Jadi tidak salah
jika bangsa kita telah kehilangan nilai-nilai filosofi kebangsaan.
Dewasa ini kecintaan dan
kebanggaan kepada bangsa dan tanah air Indonesia semakin memudar, bahkan rasa
Nasionalisme dikhawatirkan bisa lenyap seiring dengan semakin kompleknya
kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih lagi lingkungan strategis kita baik
internal dan eksternal perkembangannya semakin cepat dan komplek (dynamic
complecity). Pengaruh globalisasi seperti akibat kemajuan dalam bidang
telekomunikasi, traveling, transfortasi dan media cetak maupun elektronik telah
merubah tata kehidupan masyarakat Indonesia sehingga wawasan kebangsaan
masyarakat dapat menurun.
Pesatnya perkembangan
globalisasi tidak hanya mempengaruhi kultur budaya bangsa, namun juga
mempengaruhi wawasan kebangsaan masyarakat yang saat ini mulai mengalami
penurunan atau degradasi. Maka perlu adanya upaya menanamkan,
menumbuhkembangkan dan memelihara wawasan kebangsaan masyarakat
Sudah seharusnya
kita menyadari Indonesia yang kita cintai ini adalah hasil kerja keras dan
pengorbanan para pahlawan rela mengorbankan hidupnya. Kita juga harus menyadari
bahwa cita-cita para pahlawan yang mendahului kita sebenarnya agar generasi
muda tidak mengalami nasib yang sama. Namun, hal ini akan menjadi percuma
manakalah kenyataan diatas hanya dijadikan “monumen historis” dan tidak mampu
memetakan masa depan pembangunan bangsa yang lebih baik.
Jadi bukan karena
tidak nasionalis jika mengungkap peta persoalan bangsa Namun justru semuanya
menyadari, memiliki dan mengerti
kekurangan bahkan keterbatasan yang terjadi pada persoalan bangsa Indonesia lebih
baik. Kita umpamakan, “Ketika kita tidak bisa mengankat batu seberat satu
ton, kita bisa memecahnya menjadi satu kiloan. Dan akhirnya kita bisa
memindahkan batu tersebut sesuai dengan keinginan kita” Artinya:
Ketika bangsa ini terpuruk dan tertimbun beban yang amat sangat berat, dan
bahkan hampir mati, mari kita uraikan satu persatu. Mari kita angkat beban itu
sedikit demi sedikit, mari kita bangun kembali tanah tumpah darah ini.
Pencarian
nilai tidak bisa dilepaskan pada konteks sejarah. Banyak peristiwa yang bisa
dijadikan pembelajaran untuk hari ini dan masa yang akan datang. Sejarah tidak
hanya untuk masa lalu jika dibiarkan akan menjadi kering kerontang tanpa nilai.
Menurut Djoko Suryo, guru besar bidang studi sejarah bahwa orang hidup yang
serba instan berarti ia tidak bisa mengambil manfaat dari sejarah. Apabila
orang mempelajari sejarah, berarti ia sedang mempelajari manusia dari segala
dimensinya. Manusia yang sebenarnya itu lahir, hidup, berkembang, menhadapi
perjalanan hidup, mengalami tantangan, tetapi juga bisa mengalami kegagalan.
Dari sinilah seluruh pelajaran sejarah hidup tersimpan. Memahami sejarah
sebenarnya merupakan proses masa lalu yang belum selesai guna menata masa yang
akan datang sehingga perlu perjuangan mengambil nilai-nilai mulia yang sudah
ada sebelumnya.
Letak penting
pendekatan sejarah menjadi penting karena selalu di enkulturasi dalam kehidupan
sehari-hari. Peristiwa besar yang mengagumkan
dan seburuk apapun bisa dijadikan sebagai bagian dari cita-cita bangsa.
Atas dasar pandangan inilah tertanam sebuah konsep pemikiran bangsa yang besar
adalah bangsa yang mau menghargai sejarahynya, bangsa yang besar adalah bangsa
yang mencintai tanah airnya dan bangsa yang besar adalah bangsa yang senantiasa
mengormati bendera tanah airnya. Sebagai bangsa yang menghargai sejarah
bangsanya kita dapat melihat sebuah kajian sejarah Majapahit sebagai acuan dan
pembelajaran guna melihat persoalan bangsa saat ini.
Majapahit sebagai kerajaan adalah kerajaan Hindu Budha,
kedua agama tersebut dapat berdampingan secara damai dan dipeluk rakyat
majapahit. Wilayah kerajaan majapahit meliputi seluruh Jawa, sumatra (melayu),
seluruh kepulauan Kalimantan (Tanjungnegara) seluruh semenanjung melayu (Malaka),
seluruh Nusa Tenggara, seluruh sulawesi, seluruh maluku dan papua (irian Barat)
dan mempunyai pengaruh yang besar di negara lain baik Muang Thai (Syanka),
Dharmanegara, Martaban (Birma), Kalingga (Rajapura), Singanagari, Kamboja dan
Anam (Yawana).
Nilai-nilai
yang dapat dipetik dari kerajaan Majapahit antara lain: (1) kerajaan adalah
kerajaan yang merdeka dan berdaulat dengan luas wilayah sampai keseluruh
nusantara/indonesia, (2) raja dalam pemerintah kerajaannya dengan membangun sistem ekonomi, politik,
pertahanan dan keamanan, sosial budaya dan lain-lain demi kemakmuran dan
kesejahteraan rakyatnya, (3)meninggalkan prasasti, bangunan monumental budaya
seperti Candi, Parit untuk pengairan/irigasi, karya sastra, sesanti sperti
Bhinneka Tunggal Ika (4) membina hubungan dengan kerajaan luar negeri, sehingga
terjadi interaksi dan saling menguntungkan (5) toleransi kehidupan beragama
diterapkan secara nyata di masyarakat (6) raja sebagai pimpinan yang cakap dan
disukai rakyatnya yang berhasil membangun kerajaan (7) intrik politik dan
perang saudara mengakibatkan kerajaan runtuh dan mudah diserang kerajaan lain.
Nilai-nilai
yang tatkalah pentingnya sesuai apa yang dicita-citakan dan dicetuskan oleh
pendiri Republik indonesia bahwa terkristalisasi aspirasi kebangsaan pada tahap
idealisme perjuangan, terwujud dalam bentuk Sumpah pemuda tahun 1928 yaitu
rumusan pengakuan atas satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yang
dijadikan tujuan perjuangan bangsa dalam mewujudkan kemerdekaan, bukan suatu
hasil studi akademik atau teotrikal.
Rumusan
ini merupakan resultante dari prose sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa yang
melahirkan keyakinan bahwa perjuangan kemerdekaan yang disadari kesukuan tidak
mungkin dicapai. Fakta ini yang mendorong printis kemerdekaan dalam era
idelisme perjuangan menganut paham bahwa bangsa adalah kelompok masyarakat yang
memiliki latarbelakang belakang sejarah, nasib, tujuan dan cita-cita yang sama.
Bung Karno dengan
jelas mengatakan bahwa negara yang merdeka adalah “ bangsa yang besar, berdaulat,
terhormat dan berperan dalam percaturan bangsa. Untuk itu indonesia harus
menjadi negara yang modern”. Pidato singkat sebelum membacakan teks proklamasi
17 agustus 1945 Bung Karno mengatakan “sekarang tibalah saatnya kita
benar-benar mengambil nasibnya bangsa dan nasib tanah-air di dalam tangannya
sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan
dapat berdiri dengan kuatnya”.
B. WAWASAN KEBANGSAAN YANG MENGGERAKKAN
Berdasarkan
gambaran diatas, bahwa Kebangsaan bukan sekedar instrumen yang berfungsi
sebagai perekat secara eksternal, melainkan wadah yang menegaskan
identitas masyarakat Indonesia yang
serba majemuk dalam berbagai dimensi kulturalnya. Oleh karena itu, wawasan
kebangsaan tidaklah berdiri terpisah
menjadi tonggak yang kering kerontang, tidak pula diterima secara picik
melainkan harus fungsional dan karena itu tertuang dalam aspek-aspek kehidupan
dengan memberikan muatan kultural dalam pola-pola kehidupan ekonomi, sosial dan
politik sebagaimana dapat kita baca dalam sejarah pergerakan nasional.
Upaya menanamkan, menumbuh kembangkan dan memelihara
wawasan kebangsaan masyarakat melalui sentra-sentra pendidikan seperti sentra
keluarga, masyarakat dan sekolah, yang disebut pula sebagai tri sentra
pendidikan (tiga pusat pendidikan). “Seluruh sentra tersebut dikembangkan
inklusivisme bukan eksklusivisme dimulai dari keluarga, masyarakat (society
maupun community) dan sekolah.
Oleh karena itu masyarakat
harus menyadari pentingnya meningkatkan wawasan kebangsaan untuk masa-masa
mendatang karena kalau tidak di lakukan maka akan semakin timbul degradasi
dalam National and Character Building dan bangsa Indonesia tinggal saat-saat
kehancurannya saja bilamana tidak di lakukan upaya yang serius melalui
pendidikan, hanya saja jangan dilakukan seperti di jaman Orde Baru.
Belajar dari pengalaman
proses sosialisasi P4 yang dilakukan melalui pendekatan penataran kiranya perlu
ditinjau kembali apakah pendekatan itu efektif bagi upaya sosialisasi Wawasan
Kebangsaan. Berbagai pendekatan lain secara teknis bisa dilakukan dengan cara
yang lebih menggugah dan partisipatif, antara lain dengan Focused Group
Discussion (FGD), Out Bound Orientation (OBO), Public Debate
Simulation/Exercise, atau melalui cara-cara yang lazim dikenal seperti lokakarya
atau seminar yang sifatnya lebih dua arah. metode harus diperbaiki
tidak seperti di masa yang lalu yang syarat dengan doktriner bukan menerima
pendidikan kebangsaan dengan secara kesadaran. Pengetahuan yang dibangun
seharusnya pengetahuan yang mampu menggerakkan kesadaran.
William F O’neil
(2002) menegaskan “keterampilan tanpa kesadaran adalah berbahaya, karena
keterampilan cenderung untuk hanya mengulang-ulang apa yang pernah dikerjakan,
sementara kesadaran diri membuka jalan untuk pertembuhan. Selama ini kegagalan
sekolah untuk mencetak manusia yang
cerdas dan berbudi luhur telah kehilangan nilai karena sekolah di manfaatkan
sebagai perbuatan yang samar-samar dari sekolompok mafia pendidikan yang keji
yang terdiri dari para pendidik yang berniat untuk melestarikan diri, yanh
mapan di berbagai jabatan, hal inilah yang disebut oleh Francis Fakuyama
sebagai teori kemapanan.
Wawasan
kebangsaan ternyata dapat terbentuk jika timbul adanya rasa kebangsaan sebagai
bentuk dari kesadaran kebangsaan. Setiap orang tentu memiliki rasa kebangsaan dan memiliki
wawasan kebangsaan dalam perasaan atau pikiran, paling tidak di dalam hati
nuraninya. Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat
dirasakan tetapi sulit dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran
ketika rasa kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam
secara berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing-masing,
tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dasyat luar biasa
kekuatannya.
Apabila pendidikan
kebangsaan dilakukan secara teratur dan berlanjut maka akan nampak hasilnya
beberapa tahun mendatang dengan indikasi kinerja bangsa Indonesia yang sejajar
dengan bangsa lain seperti adanya transparansi, tidak adanya kolusi, korupsi dan
nepotisme. Seperti yang sekarang terjadi masih dapat dilihat di media cetak dan
elektronik yang mengemuka dengan adanya kasus-kasus korupsi, kekerasan
masyarakat dan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat. Apabila
wawasan kebangsaan sudah tinggi maka hal ini akan tidak terjadi karena adanya
rasa nasionalisme yang tinggi, budaya malu, rasa harga diri yang tinggi,
dedikasi yang tinggi serta semangat kerja yang tinggi.
Pendidikan wawasan
kebangsaan tidak boleh terputus karena akan tidak berlanjutnya kelangsungan
system, metoda dan doktrin yang telah disusun dalam bentuk kurikulum pendidikan
mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak, Sekolah dasar, Sekolah Menengah, Sekolah
lanjutan, sampai perguruan tinggi. Kemudian dilanjutkan di tempat kerja maupun
di lingkungan pemukiman. Apabila hal ini dilakukan maka tidak ada celah-celah
kekosongan dalam pendidikan wawasan kebangsaan sehingga pendidikan wawasan
kebangsaan selalu dilakukan secara terencana, bertahap dan berlanjut secara
otomatis.
Mengingat wawasan
kebangsaan masyarakat saat ini rendah dengan berbagai indikasi maka perlu upaya
peningkatan wawasan kebangsaan masyarakat melalui pendidikan kebangsaan.
Apabila hal ini dilakukan maka akan meningkatkan kualitas kebangsaan masyarakat
yang tercermin dengan berbagai hal seperti etos kerja, semangat kerja, tidak
adanya pelanggran hukum, tidak ada korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pemerintah merupakan subyek
yang dominan dalam menyelenggarakan pendidikan kebangsaan guna meningkatkan
wawasan kebangsaan masyarakat, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
dengan melaksanakan perencanaan pendidikan, pengorganisasian dalam pendidikan
kebangsaan, mengatur kegiatan dalam pendidikan kebangsaan serta mengawasi
jalannya pendidikan kebangsaan masyarakat.
Metode yang digunakan
adalah metode dialog .
Dengan metode ini maka diharapkan masyarakat mampu mendialogkan problematik yang
dihadapi bangsa Indonesia pada umumnya dan kemudian mengajak mereka untuk
memetakan dan mencari solusi atas problematik yang dihadapi, sehingga berdampak
akan mempunyai
wawasan kebangsaan yang tinggi sehingga timbul kesadaran untuk berbangsa dan
bernegara yang lebih baik dari sekarang.
Di samping itu, upaya
sosialisasi juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan media massa termasuk
kreatif ide dari professional di bidangnya, dan melalui saluran-saluran
pendidikan baik formal maupun informal, serta diseminasi melalui pamflet,
liflet, brosur dan sebagainya. Dari segi substansi, sosialisasi dilaksanakan
tidak secara langsung membahas dan mendiskusikan paham wawasan kebangsaan,
tetapi lebih kepada isu-isu yang muncul terkait dengan proses demokratisasi,
pemberdayaan ekonomi rakyat, keselarasan sosial dan sebagainya yang pada
akhirnya bermuara pada kesepahaman mengenai wawasa kebangsaan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar