Kamis, 08 November 2012

MERAJUT RENAISANS WAWASAN KEBANGSAAN


Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa wawasan kebangsaan sebenarnya  bukanlah wawasan baru, walau akhir-akhir ini banyak orang mendiskusikan baik oleh semua kalangan mulai dari politisi, agamawan, dan tokoh masyarakat lainnya. Tatkalah seriusnya peristiwa bersejarah 16 Agustus 1945 dijadikan sebagai ukuran dan evaluasi guna menata Indonesia kedapan. Kita semuanya menyadari bahwa Abad ke -19  sebagai “abad ideologi” memberikan harapan yang besar bagi perbaikan nasib umat manusia seperti apa yang di  cita- citakan oleh Founding father bangsa.
Rasa ketidakpastian bangsa Indonesia abad ke 21 berdampak pada persoalan ideologi yang  tidak memberikan jawaban yang pasti, para ahli filsafat sejarah mengatakan sebagai abad ketidakpastian (The Age of Uncertainty). Pandangan di atas sungguh wajar dan tidak mengada-ada. Menurut Otho H. Hadi bahwa  Krisis yang dialami oleh Indonesia ini menjadi sangat multi dimensional yang saling mengait. Krisis ekonomi yang tidak kunjung henti berdampak pada krisis sosial dan politik, yang pada perkembangannya justru menyulitkan upaya pemulihan ekonomi.
Konflik horizontal dan vertikal yang terjadi dalam kehidupan sosial merupakan salah satu  akibat dari semua krisis yang terjadi, yang tentu akan melahirkan ancaman dis-integrasi bangsa. Apabila melihat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar. Semua ini mengandung potensi konflik (latent sosial conflict) yang dapat merugikan dan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
Dewasa ini, dampak krisis multi-dimensional ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal munculnya krisis kepercayaan diri (self-confidence) dan rasa hormat diri (self-esteem) sebagai bangsa. Krisis kepercayaan sebagai bangsa dapat berupa keraguan terhadap kemampuan diri sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang terus-menerus datang, seolah-olah tidak ada habis-habisnya mendera Indonesia. Aspirasi politik untuk merdeka di berbagai daerah, misalnya, adalah salah satu manifestasi wujud krisis kepercayaan diri sebagai satu bangsa, satu “nation”.
Apabila krisis politik dan krisis ekonomi sudah sampai pada krisis kepercayaan diri, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang dipertaruhkan. Maka, sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan evaluasi terhadap proses terbentuknya “nation and character building” kita selama ini, karena boleh jadi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”.
Kenyataan diatas, diakui atau tidak kesadaran untuk membagun bangsa dengan bingkai kebhinekaan ternyata tidak mempunyai pendirian yang kokoh. Generasi muda mulai kehilangan identitas diri dan identitas kebangsaan. Meningkatnya gaya hidup hedonis dianggap sebagai sesuatu yang wajar, normal dan keharusan. Istilah baru pun berkembang, seperti dugem, clubbers, metroseksual, sex without love, sex after lunch dan lain sebagainya. Ironisnya, penyebaran gaya hidup ini banyak menyerang generasi muda Indonesia.
 Media masa menjadi pemandangan tiap hari dan tiap saat selalu menontonkan potret buran persoalan bangsa mulai Pergaulan generasi muda  yang bertentangan dengan norma-norma, Bentrok  antar pelajar, konflik agama, suku, tayangan pornografi oleh anak dibawah umur, krisis kepercayaan dari para pemimpin rakyat yang berorientasi pada kepentingan individu dan mengabaikan kepentingan nasional , dan sebagainya. Seharusnya semua tidak boleh manafikkan dan bahkan pura-pura pintar  dan seolah paham akan kebangsaan ini.
Banyak hal yang membanggakan namun disisi lain memikirkan  tanah air ini menjadikan kita putus asa. Hal yang  membanggakan misalnya: “dulu” Bangsa  yang mempunyai kedaulatan/diperhitungkan oleh negara luar, semangat persatuan dan kesatuan  dan ulet. Namun yang menjadikan putus asa atau selalu kita tanyakan pada diri kita kenapa ini bisa terjadi, apa yang salah dengan Bangsa ini, apakah memang salah bangsa ini, kenapa kita cuma bisa mengeluh dan atau apakah kita sudah menjadi bagian yang menguntungkan untuk Bangsa ini. Misalnya Jepang di tahun 1945 hancur dan Indonesia  baru merdeka pada tahun yang sama sekarang telah meninggalkannya, Korea di tahun 1953 masih perang ternyata Indonesia kebanjiran budayanya, Malaysia baru merdeka pada tahun  1958 dan Vietnam baru merdeka 1975 juga telah meninggalkan kita semuanya. Menurut Jakob Sumarjo (2003) tidak seperti negeri Indonesia yang hidupnya selalu kembang kempis, kere, pas-pasan, serba kekurangan dan lebih-lebih ngutang kenegara lain.
Jika diawal dijelaskan bahwa bangsa kita dalam rasa ketidak pastian yang semakin menjadi-jadi bukanlah suatu hal “Sepertinya”. Tentunya kata “sepertinya” bukan lagi menjadi suatu alasan atau argument tentang negeri ini, yang benar adalah “sebenarnya” ada yang salah dengan negeri ini. keadaannya tak jauh berbeda dengan masa Jepang. Jadi tidak salah jika bangsa kita telah kehilangan nilai-nilai filosofi kebangsaan.
Dewasa ini kecintaan dan kebanggaan kepada bangsa dan tanah air Indonesia semakin memudar, bahkan rasa Nasionalisme dikhawatirkan bisa lenyap seiring dengan semakin kompleknya kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih lagi lingkungan strategis kita baik internal dan eksternal perkembangannya semakin cepat dan komplek (dynamic complecity). Pengaruh globalisasi seperti akibat kemajuan dalam bidang telekomunikasi, traveling, transfortasi dan media cetak maupun elektronik telah merubah tata kehidupan masyarakat Indonesia sehingga wawasan kebangsaan masyarakat dapat menurun.
Pesatnya perkembangan globalisasi tidak hanya mempengaruhi kultur budaya bangsa, namun juga mempengaruhi wawasan kebangsaan masyarakat yang saat ini mulai mengalami penurunan atau degradasi. Maka perlu adanya upaya menanamkan, menumbuhkembangkan dan memelihara wawasan kebangsaan masyarakat
Sudah seharusnya kita menyadari Indonesia yang kita cintai ini adalah hasil kerja keras dan pengorbanan para pahlawan rela mengorbankan hidupnya. Kita juga harus menyadari bahwa cita-cita para pahlawan yang mendahului kita sebenarnya agar generasi muda tidak mengalami nasib yang sama. Namun, hal ini akan menjadi percuma manakalah kenyataan diatas hanya dijadikan “monumen historis” dan tidak mampu memetakan masa depan pembangunan bangsa yang lebih baik.
Jadi bukan karena tidak nasionalis jika mengungkap peta persoalan bangsa Namun justru semuanya menyadari, memiliki  dan mengerti kekurangan bahkan keterbatasan yang terjadi pada persoalan bangsa Indonesia lebih baik. Kita umpamakan, “Ketika kita tidak bisa mengankat batu seberat satu ton, kita bisa memecahnya menjadi satu kiloan. Dan akhirnya kita bisa memindahkan batu tersebut sesuai dengan keinginan kitaArtinya: Ketika bangsa ini terpuruk dan tertimbun beban yang amat sangat berat, dan bahkan hampir mati, mari kita uraikan satu persatu. Mari kita angkat beban itu sedikit demi sedikit, mari kita bangun kembali tanah tumpah darah ini.
            Pencarian nilai tidak bisa dilepaskan pada konteks sejarah. Banyak peristiwa yang bisa dijadikan pembelajaran untuk hari ini dan masa yang akan datang. Sejarah tidak hanya untuk masa lalu jika dibiarkan akan menjadi kering kerontang tanpa nilai. Menurut Djoko Suryo, guru besar bidang studi sejarah bahwa orang hidup yang serba instan berarti ia tidak bisa mengambil manfaat dari sejarah. Apabila orang mempelajari sejarah, berarti ia sedang mempelajari manusia dari segala dimensinya. Manusia yang sebenarnya itu lahir, hidup, berkembang, menhadapi perjalanan hidup, mengalami tantangan, tetapi juga bisa mengalami kegagalan. Dari sinilah seluruh pelajaran sejarah hidup tersimpan. Memahami sejarah sebenarnya merupakan proses masa lalu yang belum selesai guna menata masa yang akan datang sehingga perlu perjuangan mengambil nilai-nilai mulia yang sudah ada sebelumnya.
Letak penting pendekatan sejarah menjadi penting karena selalu di enkulturasi dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa besar yang mengagumkan  dan seburuk apapun bisa dijadikan sebagai bagian dari cita-cita bangsa. Atas dasar pandangan inilah tertanam sebuah konsep pemikiran bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai sejarahynya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai tanah airnya dan bangsa yang besar adalah bangsa yang senantiasa mengormati bendera tanah airnya. Sebagai bangsa yang menghargai sejarah bangsanya kita dapat melihat sebuah kajian sejarah Majapahit sebagai acuan dan pembelajaran guna melihat persoalan bangsa saat ini.
Majapahit  sebagai kerajaan adalah kerajaan Hindu Budha, kedua agama tersebut dapat berdampingan secara damai dan dipeluk rakyat majapahit. Wilayah kerajaan majapahit meliputi seluruh Jawa, sumatra (melayu), seluruh kepulauan Kalimantan (Tanjungnegara) seluruh semenanjung melayu (Malaka), seluruh Nusa Tenggara, seluruh sulawesi, seluruh maluku dan papua (irian Barat) dan mempunyai pengaruh yang besar di negara lain baik Muang Thai (Syanka), Dharmanegara, Martaban (Birma), Kalingga (Rajapura), Singanagari, Kamboja dan Anam (Yawana).
            Nilai-nilai yang dapat dipetik dari kerajaan Majapahit antara lain: (1) kerajaan adalah kerajaan yang merdeka dan berdaulat dengan luas wilayah sampai keseluruh nusantara/indonesia, (2) raja dalam pemerintah kerajaannya  dengan membangun sistem ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, sosial budaya dan lain-lain demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, (3)meninggalkan prasasti, bangunan monumental budaya seperti Candi, Parit untuk pengairan/irigasi, karya sastra, sesanti sperti Bhinneka Tunggal Ika (4) membina hubungan dengan kerajaan luar negeri, sehingga terjadi interaksi dan saling menguntungkan (5) toleransi kehidupan beragama diterapkan secara nyata di masyarakat (6) raja sebagai pimpinan yang cakap dan disukai rakyatnya yang berhasil membangun kerajaan (7) intrik politik dan perang saudara mengakibatkan kerajaan runtuh dan mudah diserang kerajaan lain.
            Nilai-nilai yang tatkalah pentingnya sesuai apa yang dicita-citakan dan dicetuskan oleh pendiri Republik indonesia bahwa terkristalisasi aspirasi kebangsaan pada tahap idealisme perjuangan, terwujud dalam bentuk Sumpah pemuda tahun 1928 yaitu rumusan pengakuan atas satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yang dijadikan tujuan perjuangan bangsa dalam mewujudkan kemerdekaan, bukan suatu hasil studi akademik atau teotrikal.
            Rumusan ini merupakan resultante dari prose sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa yang melahirkan keyakinan bahwa perjuangan kemerdekaan yang disadari kesukuan tidak mungkin dicapai. Fakta ini yang mendorong printis kemerdekaan dalam era idelisme perjuangan menganut paham bahwa bangsa adalah kelompok masyarakat yang memiliki latarbelakang belakang sejarah, nasib, tujuan dan cita-cita yang sama.
Bung Karno dengan jelas mengatakan bahwa negara yang merdeka adalah “ bangsa yang besar, berdaulat, terhormat dan berperan dalam percaturan bangsa. Untuk itu indonesia harus menjadi negara yang modern”. Pidato singkat sebelum membacakan teks proklamasi 17 agustus 1945 Bung Karno mengatakan “sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasibnya bangsa dan nasib tanah-air di dalam tangannya sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya”.

B.    WAWASAN KEBANGSAAN YANG MENGGERAKKAN

            Berdasarkan gambaran diatas, bahwa Kebangsaan bukan sekedar instrumen yang berfungsi sebagai perekat secara eksternal, melainkan wadah yang menegaskan identitas  masyarakat Indonesia yang serba majemuk dalam berbagai dimensi kulturalnya. Oleh karena itu, wawasan kebangsaan tidaklah berdiri terpisah  menjadi tonggak yang kering kerontang, tidak pula diterima secara picik melainkan harus fungsional dan karena itu tertuang dalam aspek-aspek kehidupan dengan memberikan muatan kultural dalam pola-pola kehidupan ekonomi, sosial dan politik sebagaimana dapat kita baca dalam sejarah pergerakan nasional.
            Upaya menanamkan, menumbuh kembangkan dan memelihara wawasan kebangsaan masyarakat melalui sentra-sentra pendidikan seperti sentra keluarga, masyarakat dan sekolah, yang disebut pula sebagai tri sentra pendidikan (tiga pusat pendidikan). “Seluruh sentra tersebut dikembangkan inklusivisme bukan eksklusivisme dimulai dari keluarga, masyarakat (society maupun community) dan sekolah.
Oleh karena itu masyarakat harus menyadari pentingnya meningkatkan wawasan kebangsaan untuk masa-masa mendatang karena kalau tidak di lakukan maka akan semakin timbul degradasi dalam National and Character Building dan bangsa Indonesia tinggal saat-saat kehancurannya saja bilamana tidak di lakukan upaya yang serius melalui pendidikan, hanya saja jangan dilakukan seperti di jaman Orde Baru.
Belajar dari pengalaman proses sosialisasi P4 yang dilakukan melalui pendekatan penataran kiranya perlu ditinjau kembali apakah pendekatan itu efektif bagi upaya sosialisasi Wawasan Kebangsaan. Berbagai pendekatan lain secara teknis bisa dilakukan dengan cara yang lebih menggugah dan partisipatif, antara lain dengan Focused Group Discussion (FGD), Out Bound Orientation (OBO), Public Debate Simulation/Exercise, atau melalui cara-cara yang lazim dikenal seperti lokakarya atau seminar yang sifatnya lebih dua arah. metode harus diperbaiki tidak seperti di masa yang lalu yang syarat dengan doktriner bukan menerima pendidikan kebangsaan dengan secara kesadaran. Pengetahuan yang dibangun seharusnya pengetahuan yang mampu menggerakkan kesadaran.
William F O’neil (2002) menegaskan “keterampilan tanpa kesadaran adalah berbahaya, karena keterampilan cenderung untuk hanya mengulang-ulang apa yang pernah dikerjakan, sementara kesadaran diri membuka jalan untuk pertembuhan. Selama ini kegagalan sekolah  untuk mencetak manusia yang cerdas dan berbudi luhur telah kehilangan nilai karena sekolah di manfaatkan sebagai perbuatan yang samar-samar dari sekolompok mafia pendidikan yang keji yang terdiri dari para pendidik yang berniat untuk melestarikan diri, yanh mapan di berbagai jabatan, hal inilah yang disebut oleh Francis Fakuyama sebagai teori kemapanan.
Wawasan kebangsaan ternyata dapat terbentuk jika timbul adanya rasa kebangsaan sebagai bentuk dari kesadaran kebangsaan. Setiap orang tentu memiliki rasa kebangsaan dan memiliki wawasan kebangsaan dalam perasaan atau pikiran, paling tidak di dalam hati nuraninya. Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi sulit dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing-masing, tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dasyat luar biasa kekuatannya.
Apabila pendidikan kebangsaan dilakukan secara teratur dan berlanjut maka akan nampak hasilnya beberapa tahun mendatang dengan indikasi kinerja bangsa Indonesia yang sejajar dengan bangsa lain seperti adanya transparansi, tidak adanya kolusi, korupsi dan nepotisme. Seperti yang sekarang terjadi masih dapat dilihat di media cetak dan elektronik yang mengemuka dengan adanya kasus-kasus korupsi, kekerasan masyarakat dan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat. Apabila wawasan kebangsaan sudah tinggi maka hal ini akan tidak terjadi karena adanya rasa nasionalisme yang tinggi, budaya malu, rasa harga diri yang tinggi, dedikasi yang tinggi serta semangat kerja yang tinggi.
Pendidikan wawasan kebangsaan tidak boleh terputus karena akan tidak berlanjutnya kelangsungan system, metoda dan doktrin yang telah disusun dalam bentuk kurikulum pendidikan mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak, Sekolah dasar, Sekolah Menengah, Sekolah lanjutan, sampai perguruan tinggi. Kemudian dilanjutkan di tempat kerja maupun di lingkungan pemukiman. Apabila hal ini dilakukan maka tidak ada celah-celah kekosongan dalam pendidikan wawasan kebangsaan sehingga pendidikan wawasan kebangsaan selalu dilakukan secara terencana, bertahap dan berlanjut secara otomatis.
Mengingat wawasan kebangsaan masyarakat saat ini rendah dengan berbagai indikasi maka perlu upaya peningkatan wawasan kebangsaan masyarakat melalui pendidikan kebangsaan. Apabila hal ini dilakukan maka akan meningkatkan kualitas kebangsaan masyarakat yang tercermin dengan berbagai hal seperti etos kerja, semangat kerja, tidak adanya pelanggran hukum, tidak ada korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pemerintah merupakan subyek yang dominan dalam menyelenggarakan pendidikan kebangsaan guna meningkatkan wawasan kebangsaan masyarakat, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dengan melaksanakan perencanaan pendidikan, pengorganisasian dalam pendidikan kebangsaan, mengatur kegiatan dalam pendidikan kebangsaan serta mengawasi jalannya pendidikan kebangsaan masyarakat.
Metode yang digunakan adalah metode dialog . Dengan metode ini maka diharapkan masyarakat mampu mendialogkan problematik yang dihadapi bangsa Indonesia pada umumnya dan kemudian mengajak mereka untuk memetakan dan mencari solusi atas problematik yang dihadapi, sehingga berdampak akan mempunyai wawasan kebangsaan yang tinggi sehingga timbul kesadaran untuk berbangsa dan bernegara yang lebih baik dari sekarang.
Di samping itu, upaya sosialisasi juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan media massa termasuk kreatif ide dari professional di bidangnya, dan melalui saluran-saluran pendidikan baik formal maupun informal, serta diseminasi melalui pamflet, liflet, brosur dan sebagainya. Dari segi substansi, sosialisasi dilaksanakan tidak secara langsung membahas dan mendiskusikan paham wawasan kebangsaan, tetapi lebih kepada isu-isu yang muncul terkait dengan proses demokratisasi, pemberdayaan ekonomi rakyat, keselarasan sosial dan sebagainya yang pada akhirnya bermuara pada kesepahaman mengenai wawasa kebangsaan itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar