Rabu, 09 Mei 2012

Teori Dekonstruksi (Derrida)


Miskawi 
(Pasca UNS Pend. Sejarah)

A.    Latar Belakang
            Sekarang ini kita memasuki era posmodernisme. Kita hidup pada zaman yang mengalami perubahan dramatis. Struktur yang telah bertahan dari generasi ke generasi sedang mengalami keruntuhan, atau diruntuhkan. Sangat sulit mengetahui definisi istilah ‘posmodernisme’, karena jika definisi diartikan sebagai sesuatu yang bisa disepakati, tunggal, dan bulat; maka kesepakatan, ketunggalan, dan kebulatan itulah yang tidak diinginkan oleh posmodernisme. Kita hanya bisa mengira-ngira apa yang menjadi ciri-ciri posmodernisme. Hanya dengan membuat pengelompokan, barulah kita dapat menangkap arti atau definisi posmodernisme.
 Posmodernisme memiliki keragaman gerakan, sebagai akibat akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya. Kategori pertama, adalah gerakan posmodernisnme yang digagas oleh Nietzsche, Derrida, Foucault, Vattimo, Lyotard, dan lain-lain. Gerakan ini menggagas pemikiran-pemikiran yang banyak berurusan dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang populer untuk kelompok ini adalah “dekonstruksi”. Mereka cenderung hendak mengatasi gambaran dunia (worl-view) modern melalui gagasan yang anti world-view sama sekali. Mereka mendekonstruksi atau membongkar segala unsur yang penting dalam sebuah world-view seperti: diri, Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, dsb. Awalnya strategi dekonstruksi ini dimaksudkan untuk mencegah kecenderungan totalitarisme pada segala sistem; namun akhirnya cenderung jatuh ke dalam relativisme dan nihilisme.
            Kategori kedua, posmodernisme adalah segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan dengan memperbarui premis-premis modern di sana-sini saja. Di sini, tetap diakui sumbangan besar modernisme seperti: terangkatnya rasionalitas, kebebasan, pentingnya pengalaman, dsb. Heidegger hanyalah salah satu posmodernis yang masuk kategori kedua ini. Philoshopy of difference yang dinisbatkan kepada Heidegger mengatakan bahwa segala perbedaan antara kepalsuan dan kebenaran, rasional dan irrasional harus diletakkan di luar jangkauan bahasa dan konsep-konsep yang melekat dengannya. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang kita hadapi dalam pengalaman kita di dunia tidak kurang dan tidak lebih dari suatu penafsiran; dan segala sesuatu di dunia ini selalu ditafsiri sesuai dengan nilai-nilai subjektif dalam diri kita. Di sini yang bermain adalah dunia interpretasi yang berbeda-beda. Philosophy of difference kemudian menjadi asas bagi penolakan terhadap kebenaran transenden.
Karakter yang sering disuarakan postmodernisme antara lain adalah pluralisme, heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi,pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi,demistifikasi, delegitimasi serta demistifikasi (Bertens, 1995: 44).
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konteks historis lahirnya teori dekonstruksi?
2.      Bagaimana teori dekonstroksi sebagai kecenderungan baru dalam membaca teks filosofis?
3.      Bagaimana penerapan dan sistematika dekonstruksi?
4.      Bagaimana differance dan metafor dalam teori dekonstruksi Derrida?
5.      Bagaimana pluralitas makna menurut teori dekonstruksi Derrida?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui konteks historis lahirnya teori dekonstruksi Derrida.
2.      Untuk mendeskripsikan teori dekonstroksi sebagai kecenderungan baru dalam membaca teks filosofis.
3.      Untuk mengetahui penerapan dan sistematika dekonstruksi.
4.      Untuk mengetahui differance, metafor dan peranan imajinasi dalam teori dekonstruksi Derrida.
5.      Unntuk mendeskripsikan pluralitas makna menurut teori dekonstruksi Derrida.




BAB II
PEMBAHASAN

Jacques Derrida dikenal sebagai pendasar teori dekonstruksi yang menjadi wacana postmodern. Sebagai pendasar teori, tentunya ada sejumlah ide menyertai perjalanan refleksi intelektualnya, sampai pada akhirnya ia menggagas konsep dekonstruksi. Oleh karena itu, ada beberapa hal pokok yang penulis sajikan untuk memahami konsep dekonstruksi Derrida. Pertama-tama adalah dengan memahami belakang konsep lahirnya dekonstruksinya.
Kemudian, penulis akan menjelaskan beberapa butir pemikiran yang menyertai konsep dekonstruksi antara lain adalah différance dan metafor serta peranan imajinasi di dalamnya. Setelah menjelaskan makna imajinasi di dalam dekonstruksi, terakhir penulis coba mengangkat sebuah tendensi postmodernisme untuk melahirkan filsafat imajinasi sebagai jawaban atau realitas yang selalu ambigu.
1.      Konteks Historis Lahirnya Teori Dekonstruksi.
Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École Normale Supérieure di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004.
Derrida bisa dikatakan seorang penerus Heidegger yang sama-sama mengkritik rasionalisme Barat. Gaya mengkritiknya sering disebut gaya yang tak lazim dalam berfilsafat, seperti menghindari upaya argumentatif dalam membangun proyek filsafat, bermain-main, alusif dan literer. Usaha mengkirtiknya ini menghasilkan suatu pemikiran bahwa filsafat bukan lagi suatu representasi kebenaran. Bahasa lisan adalah instabil yang tidak memungkinkan lagi lahirnya makna yang berbeda berdasarkan konteks. Baginya, segala sesuatu adalah teks dan kenyataan filosofis adalah kenyataan tekstual.
Pemikiran Dekonstruksi Derrida yang memberikan warna bagi dunia postmodernisme, merupakan jawaban atas situasi pemikiran yang dikuasai post-Hegelian yang sangat menekankan metafisika. Dalam “dunia yang lupa akan Ada,” metafisika selalu menjadi tema yang utama dan tetap. Maka, dogma-dogma metafisika dan bahasa-bahasa metafisika yang merupakan tradisi lama menjadi bahan kritikannya.
Dalam karya-karya awalnya, Derrida masuk ke dalam proyek fenomenologi Husserl. Di sini Husserl melanjutkan tradisi metafisika untuk mendapatkan kebenaran sebagai kehadiran pada dirinya. Selain Husserl, Derrida juga memakai beberapa pemikiran Heidegger di mana ada juga beberapa yang dibantahnya. Tetapi Derrida sempat tenggelam dalam pemikiran Heidegger, bahwa pemikiran bukanlah yang menentukan bahasa melainkan bahasalah yang menentukan pikiran. Jika pikiran itu selalu terbatas oleh bahasa yang berhingga yang tidak bisa menjadi ‘master’ maka bisa dikatakan bahwa pikiran dapat menimbulkan masalah-masalah tentang cara-cara berbahasa yang telah ditentukan. Maka, dengan mempelajari pemikiran-pemikiran para filsuf yang berpengaruh, ia menemukan teorinya yang sama sekali bertolak belakang.
2.      Teori Dekonstroksi Sebagai Kecenderungan Baru Dalam Membaca Teks Filosofis.
Derrida yang juga diakui sebagai salah satu tokoh dalam paham “postmodern”, memiliki tradisi medan gagasan yang dikenal dengan “dekonstruksi”. Dekonstruksi merupakan manifestasi dari metode ironi atas wacana maupun teks sebagai wujud dari “Grand Narration”, yang menentukan kelemahan dalam teks yang diteliti dengan fraktur yang terlihat seperti suatu kesatuan. Terlihat, karena teks pada titik tertentu gagal untuk menarik kesimpulan sendiri dari dasar-dasar pikiran yang dibangun dan ditampilkan.
Tradisi gagasan ini juga merupakan reaksi kritis yang turut mengawal penolakan terhadap logosentrisme dengan atribut kebenaran tunggal (cara berpikir oposisi biner) melekat padanya. Nalar dekonstruksi yang ditawarkan Derrida termaktub dalam dua langkah penalaran. Pada langkah yang pertama, dekonstruksi; membalikkan keadaan, dan membuat sisi tertindas menjadi satu dominasi. Namun, tidak berhenti sampai tahap itu, kita tidak akan puas hanya dengan membalik hierarki antara dua sisi yang bertentangan, maupun mengubah salah satu sisi dengan dominasi yang menukik ke bawah dan sebaliknya. Pada langkah yang kedua dalam dekonstruksi, kita melemahkan perbedaan antara kedua sisi yang bertentangan sebagaimana kita juga menggantikan seluruh oposisi yang mendukung gagasan lain. 
Pada langkah yang pertama, melibatkan penghancuran/pembongkaran gambar/tampilan yang sebelumnya mendominasi, mendukung apa yang tersembunyi, dan yang didominasi. Pada langkah yang kedua, melibatkan penghancuran/pembongkaran kedua kutub, tetapi pada saat yang sama juga berlangsung perpindahan pada mereka, dan kesemuanya itu kemudian membangun suatu yang baru dan lebih luas.
Tradisi dekonstruksi Derrida selalu berupaya melakukan pembalikan (kontinuitas) terhadap oposisi biner. Pergantian posisi antara yang menjadi pusat dan prinsip dengan yang bukan prinsip dan berada di luar lengkungan pusat, meletakkan ketelanjangan tetapi tersembunyi, pengungkapan makna-makna yang tersembunyi ke permukaan, merupakan salah satu tujuan dari tradisi gagasan dekonstruksi Derrida.
Bagi Derrida, filsafat harus dilihat pertama-tama sebagai tulisan. Maksudnya, sebagai tulisan filsafat tidak merupakan ungkapan transparan pemikiran secara langsung. Dengan itu, filsafat yang dilihat sebagai tulisan selalu bersifat tekstual. Dekonstruksi Derrida hadir sebagai modus baru dalam membaca teks-teks filosofis, yang adalah cara untuk melacak struktur dan strategi pembentukan makna di balik tiap teks itu. Secara praktis, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi apa yang mendominasi dan menguatkan fundamen hierarki.
Interpretasi yang demikian itu menunjukkan ambisi filsafat pada umumnya untuk melepaskan diri dari statusnya sebagai tulisan dan ingin agar bahasa yang digunakan itu manjadi sarana transparan yang menampilkan makna dan kebenaran real yang bersifat ekstralinguistik. Cara yang biasa ditempuh adalah dengan mengacu pada dasar yang diklaim sebagai eviden dan menata logika sedemikian hingga tampil utuh, koheren dan tidak ambigu. Namun bagi Derrida, semua ambisi dan upaya semacam itu tidak akan pernah mungkin berhasil. Dalam setiap tulisannya dan mungkin dalam setiap karyanya, Derrida selalu meluncurkan proyek dekonstruksi.
Ia sepertinya sangat menyadari akan realitas yang semakin ambigu sehingga hampir tidak pernah setuju dengan pandangan berbagai filsuf. Ia terkesan ingin melihatnya dalam suatu pandangan yang baru. Ia menolak struktur-struktur yang telah dibentuk oleh tradisi rasionalisme Barat. Ia juga terkesan tidak mau menyelesaikan sesuatu dengan sesuatu yang final. Ia menolak adanya pemikiran yang berujung pada akhir yang pasti atau absolut. Ia memberikan wacana yang luas yang terus mengalir dan menjadi bagi manusia tanpa harus terikat dengan narasi yang ada sebelumnya.
Dalam dekonstruksinya Derrida menyatakan bahwa makna tidak pernah hadir sepenuhnya, tetapi selalu tertunda. Untuk menjelaskan hal ini, Derrida menciptakan kata Prancis yaitu differance. Besamaan dengan munculnya konsep differance, perjalanan mendekonstruksi metafisika kehadirannya sampai pada satu titik problematik dalam filsafat Barat tentang metafor serta relasinya dengan kebenaran. Kekuatan metafor bagi Derrida terletak pada kemampuannya dalam menunda kebenaran yang menjadi sentral sejarah metafisika. Lalu, jika kita bertanya dari manakah munculnya metafor? Di sinilah kita mulai dapat menyadari peranan imajinasi dalam menghadirkan metafor itu. Imajinasi adalah kekuatan yang memungkinkan tanda-tanda itu bebas memainkan perannya melampaui logika. Dalam hal ini, Derrida memahami imajinasi sebagai efek dari differance itu sendiri, yang muncul akibat tegangan antara pembatasan perspektif dan keterbukaan, juga antara kejelasan makna dan ambiguitas.
3.      Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi.
Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan.
Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda. Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati.
Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif. Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.”
Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat. Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.  
Oleh karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan untuk kepentingan filosofis. Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar.
Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks. Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama, mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.  
Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama. Dengan langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.
4.      Differance dan Metafor Dalam Teori Dekonstruksi Derrida.
a.      Différance
Pemikiran akan différance merupakan jalan kemungkinan berpikir yang membebaskan tulisan dari interpretasi metafisis, di mana bahasa ditujukkan untuk mengekspresikan makna atau kebenaran kehadiran pada dirinya.  Différance itu memiliki perbedaan dengan différence atau différer. Dalam kamus Prancis kata différer mengandung arti berbeda, bertolak belakang, tidak mempunyai kesamaan (kata kerja intransitif) dan menunda, menangguhkan, mengundurkan waktu (kata kerja transitif) . Kata differance diciptakan Derrida untuk menunjuk bagaimana makna ditirunkan dari penundaan dan tidak pernah hadir sepenuhnya, melainkan selalu tertunda (postponed). Karena itu, différance tidak pernah dapat dijadikan objek ilmu pengetahuan sebab itu tidak tertangkap dengan kehadiran.
Dekonstruksi Derrida bermula dari huruf. Dan hal ini kita saksikan bagaimana Derrida memanipulasi huruf a pada difference untuk memperlihatkan betapa ambigunya sebuah kata yang tampak tunggal dan sederhana. Adanya pemikiran tentang différance merupakan suatu keinginan untuk tidak berada dalam metafisika. Dengan kata lain, Derrida berusaha untuk melebihi metafisika, melampaui pemikiran yang ditandai kehadiran. Maka différance sebenarnya tidak ada, untuk tidak menguraikannya dalam suasana atau kerangka metafisis.
Istilah Différance, dapat dibeakan dalam empat arti yaitu: pertama, différance menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Différance adalah proses penundaan yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli. Kedua, différance adalah gerak yang mendiferensiasikan karena différance bergerak dalam oposisi terhadap konsep-konsep. Ketiga, différance adalah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dalam setiap struktur. Keempat, différance juga dapat menunjukan berlangsungnya perbedaan antara
Différance bagi Derrida juga bukan merupakan suatu asal usul. Bila demikian, ia akan jatuh pada metafisika. Ia jatuh pada identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan tekstual. Dengan pemikiran ini Derrida menolak penjadian différance sebagai suatu makna transendental. Différance juga menganut tekstualitas, menunjuk pada yang lain. Bagi Derrida, tak ada identitas terakhir. Maka bisa dikatakan bahwa realitas itu menunjuk pada yang lain dan tidak pernah berhenti atau berakhir. Di sinilah keradikalan Derrida dalam filsafatnya. Bagi Derrida, tak ada ruang lagi untuk suatu dimensi tak berhingga.
b.       Metafor
Sejarah metaphor menurut Derrida pertama-tama mengandaikan adanya arkhe transendental yang menjadi basis pengetahuan dan asal-usul bahasa. Konsep metafor pertama kali dirumuskan secara gamblang oleh Aristoteles dalam Poetica. Aristoteles menyatakan bahwa metafor terdiri atas pemberian (epiphora) nama (onomatos) atau sesuatu yang sebetulnya milik sesuatu yang lain.
Menurut Aristoteles, sumber arkhe pertama dari metafor adalah alam. Alam memberikan dirinya dalam bentuk metafor. Manusia meniru pergerakan alam dan menciptakan sebuah sistem bahasa yang puitis untuk mendramatisasi kekagumannya pada alam. Dengan kata lain metaphor lahir dari hasrat mimetik untuk meniru sesuatu yang ideal dan tak terbahasakan.
Dalam artikelnya, The Retrait of Metaphor, Derrida mengembangkan gagasan metafor yang dibangun Heidegger. Ada pun metafor yang oleh Heidegger ditampilkan dengan mendekonstruksi metafisika, adalah reaksi terhadap genealogi Nietzsche yang mengutamakan metafor dengan cara melacak akar metaforis pernyataan-pernyatan filosofis.
Dengan dekonstruksi metafisika dan kritiknya atas konsep metaphor yang dibangun Nietzsche itu sebetulnya Heidegger bermaksud untuk mengubah sikap dasar kita dalam memandang bahasa secara umum. Baginya, hubungan yang otentik dengan bahasa, bukanlah hubungan di mana bahasa kita anggap sebagai objek atau sarana belaka dan kita gunakan berdasaran suatu sistem predikasi dan penekanan baku yang ketat dan pasti. Menurut Derrida, bahasa pertama-tama adalah suatu kenyatan terberi yang menyingkapkan sebuah dunia bagi kita sedemikian hingga dunia yang kita pahami selalu berkait erat dengan bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu yang yang kita pahami di luar bahasa.
Derrida kemudian mengubah haluan konsep ini. Bila Heidegger menyerang metafisika dalam pembendaan antara taraf inderawi dan non inderawi, maka Derrida menyerang metafisika dalam pembedaan arti katanya. Bagi Derrida, baik antara ‘bunyi kata’ dan dan artinya, maupun antararti dan antarbunyi kata itu sendiri, pembedaan yang terjadi hanyalah permainan yang bisa dibuat sewenang-wenang.
Akibatnya, arti literal dan arti metaforis tidaklah jelas untuk diketahui. Dekonstruksi memiliki sendi tak tergoyangkan ketika dia menyatakan kemustahilan pereduksian metaphor karena difference telah ‘mengerjai’ makna ‘literal’ yang baku. Segala pernyataan bisa bersifat metaforis bisa juga literal tergantung pada bagaimana kita membedakannya. Dengan kata lain, pembedaan antara yang literal dan yang metaforis sebetulnya tidak ada artinya lagi, sehingga dekonstruksi menemukan bahwa tidak ada yang dinamakan makna literal itu.
5.      Pluralitas Makna Menurut Teori Dekonstruksi Derrida.
Menurut Marvin Harris (1992:153-154) postmodernisme merupakan gerakan intelektual yang (sedikit) bertentangan dengan modernisme. Istilah ini lebih menitikberatkan pemahaman budaya dalam konteks khusus. Postmodernisme juga tidak memiliki paradig­ma penelitian yang lebih istimewa. Bagi Foucault, postmodernisme akan menghubungkan antara ilmu dan alasan. IImu akan mencari “best answer”. Namun, jawaban yang hadir dalam pandangan post modernisme akan menolak generalisasi. Kebenaran, lebih mengandal kan pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak menentu, dan penafsiran.
Salah satu karakteristik postmodernisme adalah tak suka pada makna tunggal sebuah fenomena budaya. Mereka cenderung meman dang budaya itu bermakna banyak (plural). Budaya menyuguhkan makna yang bersifat poliinterpretable, sehingga boleh dimaknai sekehendak hati. Dari sini, realitas budaya dipandang sangat proble matis dan menampilkan makna plural. Pendek kata, postmodernisme seirama dengan kajian pascastrukturalisme. Dia menolak ide struktur sebagai penopang makna yang mapan. Bahkan Strorey (2003:123) menyatakan pascastrukturalisme “mengimani” bahwa makna selalu dalam proses, tak pernah final.
Paham postmodernisme atau dekonstruksi, menolak otoritas sentral dalam pemaknaan budaya. Makna budaya tidak harus tunggal, melainkan bersifat terbuka pada makna yang lain. Makna mungkin ada dalam apa saja, hal-hal yang kecil, yang kurang diperhatikan, kurang disinggung, kemungkinan justru memiliki makna yang besar. Jadi, postmodernisme lebih menolak segala asumsi-asumsi yang membelenggu pemaknaan. Hal ini tidak berarti bahwa postmodernisme hanya ingin menang sendiri, hanya kecewa dengan paradigma penelitian sebelumnya, dan atau hanya tergelincir pada eforia, melain kan memiliki dasar-dasar yang kuat dan logis dalam pemaknaan.
Jika kaum modernis selalu mengandalkan “rahasia makna” budaya dalam sebuah struktur atau teks, postmodernisme tidak demi kian. Kaum postmodernisme justru menghargai ada unsur sejarah, latar belakang, dan unconsciousness di balik fenomena budaya. Hu­bungan statis antara prosisi dengan realitas tidak ada baginya, yang ada adalah penanda yang mengambang terus-menerus dan sukar ditemukan hubungannya. Kodrat pemaknaan tidak stabil secara esen sial. Karena penanda mengambang terus, postmodernisme berusaha mendefinisikan ulang teori yang selama ini dianut, mendekonstruksi realitas, dan berusaha memaknai fenomena budaya berdasarkan plura­litas makna.
Prinsip pengejaran makna menganut konsep relativisme budaya. Tentunya, postmodemisme lalu menolak makna universalitas budaya. Makna budaya tidak harus menjadi milik sekian banyak orang. Biasa saja fenomena budaya hanya bermakna bagi segelintir orang dan individual. Hal ini dapat dipahami melalui pemikiran Derrida. Meskipun dia lebih banyak menyorot pada konteks budaya sebagai teks, khususnya bidang teks sastra, namun tetap menyiratkan pandang an yang luar biasa bagi pengkaji budaya. Menurutnya, teks bukan sekedar kumpulan tanda-tanda, melainkan sebuah “rajutan”, artinya makna teks tersebut tertenun dalam keseluruhan teks.
Bagi Derrida, pencarian makna teks budaya bukan secara logosentrisme, seperti paham strukturalis. Paham logosentrisme sering terdampar pada aspek fonosentrisme, yangmendewakan kata. Budaya, pada mulanya adalah “kata“. Kendati penafsiran tak akan lepas dari kata, namun makna budaya lebih dari sebuah kata. Makna budaya justru tertenun dalam seluruh teks budaya dan tak berdiri sendiri. Makna teks akan berubah dan berkembang terns. Jika demikian, tidak ada yang mampu menjamin kebenaran makna. Kalau demikian, makna budaya bukan milik suatu zaman, melainkan terus berjalan seiring perkembangan budaya itu sendiri. Makna budaya juga bersifat longgar, bukan univocity absolut, melainkan multiplicity of meaning. Dalam kaitan ini Derrida mengenalkan istilah equivocity (berdalih) untuk mengontrol ambiguity. la lebih mendekonstruksi pemikiran “objektif’ ke “subyektif’, yang umum ke individual.
Pemaknaan dalam pandangan pencetus dekonstruksi, Derrida, makna bukan sekedar arti kata, bukan sekedar sign yang disepakati oleh banyak orang, bukan pula arbriter, melainkan tergantung bagai mana orang mengartikannya. Yang terpenting bagi Derrida, yang kemudian dilanjutkan oleh Kristeva, Barthes, dan lain-lain pengalaman empirik sensual manusia difilter oleh ide-idenya yang dalam. Berarti bahasa (teks budaya) itu berada pada dataran proyeksi dari pemfilterannya atas pengalaman empirik tersebut. Makna akan terkait denga kreativitas manusia dalam berbahasa.
















BAB III
PENUTUP

Konsep Derrida tentang dekonstruksi, secara implisit meramalkan suatu kekuatan superfisialitas dalam filsafat. Ramalan ini tersingkap dalam pendiriannya yang secara radikal menolak “logosentrisme ”, yaitu pemikiran tentang “ada sebagai kehadiran”. Kehadiran dalam konsep dekonstruksi Derrida dimengerti sebagai sistem tanda.
Dengan memahami postmodernisme sebagai iklim baru yang diwarnai oleh rekonstruksi dan dekonstruksi realitas, penulis mencoba mendalami salah satu konsep pemikiran postmodern yakni teori dokonstruksi dari Jaques Derrida, seorang filsuf Prancis yang lahir pada tahun 1930 di Alegeria. Derrida datang ke dunia filsafat dengan mempertanyakan metafisika kehadiran-nya para filsuf sebelumnya dan ia membangun konsep dekonstruksi. Melalui teori dekonstruksinya, Derrida menyakini suatu kenyatan bahwa dibalik teks-teks filosofis bukanlah kekosongan, melainkan terdapat sebuah teks lain sebagai suatu jaringan keragaman kekuatan-kekuatan yang tidak jelas pusat referensinya.
Oleh karena itu, dengan lahirnya konsep dekonstruksi tidak berarti bahwa bahwa filsafat kehiangan identitasnya, sebab metafor dapat dipakai sebagai paradigma untuk mengkaji persolan filsafat, irasonalitas dan kebenaran sebagai yang berkarakter tegangan (tensional). Dalam hal ini karakter tensionalitas itu perlu dilihat sebagai tegangan kreatif yang perlu dikaji untuk melihat relevansi filsafat secara baru.
Hidup adalah teks, dan kita di dalamnya, bergulat di dalamnya dan menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Kita menulis kehidupan ini dan mendekonstruksinya bersama imajinasi. Maka bersama Gunawan Muhamad dalam pengantar buku berjudul Derrida karya Muhammad Al-Fayyadl, kita sepakat bahwa teori dekonstruksi sesungguhnya mengajarkan satu nilai kebijaksanan bagi kita untuk selalu bersikap rendah hati untuk tidak memagari diri dengan sebuah kemapanan konsep atau ideologi. Dekonstruksi mengajak kita untuk tidak cepat ’berpuas diri’ dengan sebuah kemapanan tetapi untuk selalu terbuka terhadap segala kenyataan dunia yang tidak pernah absolut. Realitas selalu ambigu dan imajinasi membuka banyak kemungkinan.
DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
Al-Fayadl, Muhammad. Derrida. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Champagne, Roland A. Jacques Derrida. New York, Twayne’s World Authors Series, 1995.
Derrida, Jacques. Writing and Difference, Translated, with an Introduction and Additional Notes by Alan Bass. Chicago: The University of Chicago Press, 1978.
Norris, Christopher. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2003.
Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996.
Suseno, Franz Magnis. Filsafat sebgai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Tedjoworo, H. Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern. Yogyakarta: Kanisius,
2001.


1 komentar:

  1. hi, dimana saya bisa temukan artikel, buku atau sejenisnya untuk di jadikan referensi skripsi.
    tlong di tanggapannya ya.
    081244383900 yahya noe Universitas negeri gorontalo

    BalasHapus