1.1. Filsafat
Filsafat dalam
bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani,
philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia
(persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan,
keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat
berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai
philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah
merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang
dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat
segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang
memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang
independen dan bersifat spiritual.
Sebelum Socrates
ada satu kelompok yang menyebut diri mereka sophist (kaum sofis) yang berarti
cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas dan
menggunakan hujah- ujah yang keliru dalam kesimpulan mereka. Sehingga kata
sofis mengalami reduksi makna yaitu berpikir yang menyesatkan. Socrates karena
kerendahan hati dan menghindarkan diri dari pengidentifikasian dengan kaum sofis, melarang dirinya disebut dengan
seorang sofis (cendekiawan). Oleh karena
itu istilah filosof tidak pakai orang sebelum Socrates (Muthahhari, 2002).
Pada mulanya kata
filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi
filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis.
Filsafat teoretis mencakup:
(1)
ilmu pengetahuan alam, seperti:
fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi;
(2)
ilmu eksakta dan matematika;
(3)
ilmu tentang ketuhanan dan
metafisika.
Filsafat praktis mencakup:
(1) norma- norma (akhlak);
(2) urusan rumah tangga;
(3) sosial dan politik.
Defenisi kata
filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para
ahli logika ketika seseorang menanyakan pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu,
sesungguhnya ia sedang bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi paling
tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang
didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan,
tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini,
memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya
dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika.
Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah:
- Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
- Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata.
- Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan sumber daya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
- Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
- Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda katakan dan untuk menyatakan apa yang Anda lihat. Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya Cicero (106–043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.
Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni:
- Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
- Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik yang benar.
- Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak. Sir Isacc Newton, seorang ilmuwan yang sangat terkenal,
1.2. Munculnya Filsafat
Filsafat, terutama
filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kirakira abad ke-7 SM. Filsafat muncul
ketika orang-orang mulai berpikirpikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia,
dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama
lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang
bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang
beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir.
1.3. Klasifikasi Filsafat
Di seluruh dunia,
banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi
filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh
karena itu filsafat biasa
diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa
ini filsafat biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan
“Filsafat Islam”.
Filsafat Barat :
Filsafat Barat
adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di
Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi
falsafi orang Yunani kuno.
Menurut Takwin
(2001) dalam pemikiran barat konvensional pemikiran yang sistematis, radikal,
dan kritis seringkali merujuk pengertian yang ketat dan harus mengandung
kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme, positivisme, dan filsafat analitik
memberikan kriteria bahwa pemikiran dianggap filosofis jika mengadung kebenaran
korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni sebuah pengetahuan dinilai
benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris. Contoh jika
pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra kita menangkap hujan
turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya dianggap salah. Koherensi
berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan itu mengandung
koherensi logis (dapat diuji dengan logika barat).
Dalam filsafat
barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagian besar yakni:
(a) bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being),
(b) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi dalam
arti luas),
(c) bidang filsafat yang mengkaji
nilai-nilai menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (aksiologi).
Beberapa tokoh dalam filsafat barat yaitu:
- Wittgenstein mempunyai aliran analitik (filsafat analitik) yang dikembangkan di negara-negara yang berbahasa Inggris, tetapi juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau .metafisik”. Filsafat analitik menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiris, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksata juga harus dapat diterapkan pada filsafat.
- Imanuel Kant mempunyai aliran atau filsafat .kritik” yang tidak mau melewati batas kemungkinan pemikiran manusiawi. Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya. Untuk itu ia membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman inderawi. Pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara pengalaman indrawi yang aposteriori dan keaktifan akal, faktor priori. Struktur pengetahuan harus kita teliti.
Kant terkenal karena tiga tulisan:
(1) Kritik atas rasio murni, apa
yang saya dapat ketahui. Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat diketahui.
Manusia hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal terus
ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu
(2) Kritik atas rasio praktis, apa
yang harus saya buat. Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif,
keharusan mutlak: kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga postulat:
kebebasan, jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan
(3) Kritik atas daya pertimbangan.
Di sini Kant membicarakan peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang
umum dan yang khusus.
3. Rene Descartes. Berpendapat
bahwa kebenaran terletak pada diri subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam
pikiran dan pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk
memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya satu kenyataan tak
dapat disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku ada. Dalam mencari proses
kebenaran hendaknya kita pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang,
sejak ia dilahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai adanya
Tuhan dan dalil-dalil matematika. Pandangannya tentang alam bersifat mekanistik
dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: “res extensa dan res
copgitans”. Filsafat Timur Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama
berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok, dan daerah-daerah lain yang
pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya
hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa
dikatakan untuk filsafat barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia
Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Namanama beberapa
filosof: Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain.
Filsafat Islam :
Filsafat Islam ini
sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para
filosof dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris
tradisi Filsafat Barat (Yunani). Terdapat dua pendapat mengenai sumbangan
peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang
hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat
dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh
St. Agustine (354–430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius
Boethius (480–524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang
Eropa belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filsafat Yunani yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi
dan Al-Farabi.
Terhadap pendapat
pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku
filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories, dan Porphyry telah
dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap
Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara.
Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi
sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John
Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan
menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahanterjemahan
berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam (Haerudin, 2003).
Majid Fakhri
cenderung mengangap filsafat Islam sebagai mata rantai yang menghubungkan
Yunani dengan Eropa modern. Kecenderungan ini disebut europosentris yang
berpendapat filsafat Islam telah berakhir sejak kematian Ibn Rusyd. Pendapat
ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis Massignon yang menilai adanya
eksistensi filsafat Islam. Menurut Kartanegara (2006) dalam filsafat Islam ada empat
aliran yakni:
- Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din Thusi (w.1274).
- Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas cahaya.
- Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
- Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau yang dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas.
Dalam Islam ilmu
merupakan hal yang sangat dianjurkan. Dalam Al Quran kata al-ilm dan kata-kata
jadiannya digunakan lebih 780 kali. Hadis juga menyatakan mencari ilmu itu
wajib bagi setiap muslim.
Dalam pandangan
Allamah Faydh Kasyani dalam bukunya Al Wafi: ilmu yang diwajibkan kepada setiap
muslim adalah ilmu yang mengangkat posisi manusia pada hari akhirat, dan
mengantarkannya pada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabinya,
utusan Allah, pemimpin Islam, sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang
mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam pandangan
keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah berdiri tanpa relasi dan relevansinya
dengan kuasa ilahi. Mempelajari alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari
dekat cara kerja Tuhan.
Dengan demikian
penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan mendorong kita untuk mengenal
Tuhan dan menambah keyakinan terhadapnya. Fenomena alam bukanlah
realitas-realitas independen melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam
adalah ayat-ayat yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang
besifat qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi
yang mulia sebagai obyek ilmu.
1.4. Filsafat Ilmu
Filsafat mengambil
peran penting karena dalam filsafat kita bisa menjumpai pandangan-pandangan
tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan
akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan
secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).
Menurut kamus
Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire yang
artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta
mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang
dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami
perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis
yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan
untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam
bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui. Jadi
ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata
scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains).
Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme– positiviesme sedangkan ilmu
melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara,
2003).
Berbicara mengenai
ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan
adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”.
Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat
seperti pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri.
Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat
yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan.
Semua ilmu baik
ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat.
Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal
ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton (1642-1627)
menulis hukum-hukum fisika sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica
(1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi menulis buku The Wealth
Of Nation (1776) dalam fungsinya sebagai
Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
Tahap terakhir
Inilah karakteristik sains yang paling mendasar selain matematika. Filsafat
ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut
epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang
berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini
pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang
filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos =
teori ), ontology ( teori tentang apa).
1.5. Sumber-Sumber Pengetahuan
Ada 2 cara pokok
mendapatkan pengetahuan dengan benar: pertama, mendasarkan diri dengan rasio.
Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan
rasionalisme, dan pengalaman mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis
mengembangkan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang
dipakai dari ide yang diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut
mereka bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum
manusia memikirkannya (idelisme).
Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni
intuisi atau wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui
proses penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu
merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.
Masalah yang muncul
dalam sumber pengetahuan adalah dikotomi atau gap antara sumber ilmu umum dan
ilmu agama. Bagi agama Islam sumber ilmu yang paling otoritatif adalah Alquran
dan Hadis. Bagi ilmu umum (imuwan sekuler) satunya-satunya yang valid adalah
pengalaman empiris yang didukung oleh indrawi melalui metode induksi. Sedangkan
metode deduksi yang ditempuh oleh akal dan nalar sering dicurigai secara
apriopri (yakni tidak melalui pengalaman). Menurut mereka,
setinggitingginya pencapaian akal adalah
filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu spekulatif untuk bisa mengkonstruksi
bangunan ilmiah seperti yang diminta kaum positivis. Adapun pengalaman intuitif
sering dianggap hanya sebuah halusinasi atau ilusi belaka. Sedangkan menurut
agamawan pengalaman intuitif dianggap sebagai sumber ilmu, seperti para nabi
memperoleh wahyu ilahi atau mistikus memperoleh limpahan cahaya Ilahi.
Masalah berikutnya
adalah pengamatan. Sains modern menentukan obyek ilmu yang sah adalah segala
sesuatu sejauh ia dapat diobservasi (the observables) atau diamati oleh indra.
Akibatnya muncul penolakan dari filosof logika positivisme yang menganggap
segala pernyataan yang tidak ada hubungan obyek empirisnya sebagai nonsens.
Perbedaan ini melahirkan metafisik (dianggap gaib) dan fisik (dianggap
science).
Masalah lainnya
adalah munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Penekanan sains
modern pada obyek empiris (ilmu-ilmu fisika) membuat cabang ilmu nonfisik
bergeser secara signifikan ke pinggiran. Akibatnya timbul pandangan negatif
bahwa bidang kajian agama hanya menghambat kemajuan. Seperti dalam anggapan
Freud yang menyatakan agama dan terutama pendukungnya yang fanatik bertanggung
jawab terhadap pemiskinan pengetahuan karena melarang anak didik untuk bertanya
secara kritis.
Masalah lainnya
yang muncul adalah menyangkut metodologi ilmiah. Sains pada dasarnya hanya
mengenal metode observasi atau eksperimen. Sedangkan agamawan mengembangkan
metode lainnya seperti metode intuitif. Masalah terakhir adalah sulitnya
mengintegrasikan ilmu dan agama terutama indra, intektual dan intuisi sebagai pengalaman
legitimate dan riil dari manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar