Rabu, 27 Juni 2012
Bung karno: Puteraku Jang Pertama
SEBENARNYA keadaanku tidak dapat dikatakan sehat ditahun 1943, baik jasmani maupun rohani.
Ketegangan‐ketegangan yang timbul telah mengorek‐ngorek jiwa dan ragaku dengan hebat. Sebagai
penderita malaria yang melarut aku dimasukkan ke rumah sakit selama berminggu‐minggu terusmenerus.
Pada suatu kali, oleh karena tidak ada tempat tidur yang kosong, aku dimasukkan ke Kamar
Bersalin. Perempuan cantik‐cantik dibawa masuk di sebelahku, akan tetapi keadaanku terlalu payah
untuk dapat memperhatikan mereka.
Tambahan lagi aku menderita penyakit ginjal. Kadang‐kadang aku meringkuk dengan kaki rapat ke
badan, oleh karena serangan‐serangan yang tidak tertahankan sakitnya. Adakalanya keluar keringat
dingin, bahkan kadang‐kadang aku tidak dapat berdiri tenang diatas podium. Bukan sekali dua kali terjadi,
bahwa setelah selesai berpidato aku harus merangkak dengan kaki dan tangan masuk kendaraan.
Kehidupan pribadipun tidaklah seperti yang diharapkan. Aku menghadapi persoalan‐persoalan yang
sungguh sungguh berat. Kehidupanku diselubungi oleh goncangan‐goncangan urat syaraf. Hubungan
Inggit denganku tidak baik. Di suatu malam, karena ingin mendapat kata‐kata yang menghibur hati dan
ketenangan pikiran, aku menemani seorang kawan ke sebuah Rumah Geisha. Sekembali di rumah, Inggit
mengamuk seperti orang gila. Dia berteriak‐teriak kepadaku. Barang‐barang beterbangan dan sebuah
cangkir mengenai pinggir kepalaku.
Rupanya persoalan Fatmawati masih mengapung‐apung di antara kami, sekalipun tidak ada kontak
antara Fatmawati denganku. Hubungan pos terputus dan memang ada aku mengirim surat sekali untuk
mengabarkan bahwa kami sudah selamat sampai di Jakarta. Hanya itu. Surat ini kupercayakan kepada
seorang suruhan yang dipercaya yang menitipkannya pula kepada tukang mas dalam perjalanan menuju
Sumatra.
Pada waktu itu kami sudah pindah, karena aku tidak senang tinggal di rumah bertingkat. Di rumah baru ini
anak kami dengan suaminya Asmara Hadi tinggal bersama‐sama dengan kami. Pada akhirnya merekapun
mengaku, bahwa perhubungan antara Inggit denganku tidak mungkin diteruskan lebih lama lagi. “Bu,”
Ratna Djuami menangis di hadapan Inggit pada suatu malam. “Bapak kelihatan sekarang sangat
pencemas dan penggugup. Pikirannya nampaknya kacau. Dan kesehatannya selalu terganggu.”
“Kami kira ini disebabkan kehidupan pribadinya,” sambung Asmara Hadi terus terang. “Kalau sekiranya
dia tidak dibinasakan dalam bidang kehidupan lain, tentu akan lain halnya. Akan tetapi perasaan tidak
bahagia ini yang ditumpukkan ke atas bebannya yang sudah cukup berat itu sangat melemahkan
kekuatannya.”
Aku meminta pengertian Inggit. “Aku sendiri, akan mencarikanmu rumah. Dan aku akan selalu
mengusahakan segala sesuatu yang kauperlukan. Kaupun tahu, diantara kita semakin sering terjadi
pertengkaran dan ini tentu tidak baik untukmu.”
“Ini jalan satu‐satunya, Bu,” Asmara Hadi mengeluh. “Negeri kita memerlukan bapak. Tidak hanya ibu,
ataupun saya maupun Ratna Djuami yang memerlukannya. Dia kepunyaan kita semua. Rakyat
memerlukan bapak sebagai pemimpinnya, tidak yang lain. Dan apa yang akan terjadi terhadap Indonesia,
kalau dia hancur?”
Setelah perceraian telah disepakati bahwa Inggit kembali ke kota kelahirannya. Di pagi itu ia harus pergi
ke dokter gigi dulu. Hatiku senantiasa dekat pada isteriku dan aku tidak akan membiarkannya pergi
seorang diri. Karena itu Inggit kutemani. Hari sudah tinggi ketika kami kembali dalam keadaan letih,
merasa badan kami tidak enak, dan sesampai di rumah kami mendapati serombongan wanita yang akan
bertamu kepada Inggit. Sejam lamanya mereka berkunjung, sekalipun tidak banyak yang dipercakapkan.
Kuingat di waktu itu aku merasakan kegelisahan yang amat sangat. Saat yang melelahkan sekali.
Kemudian aku mengiringkan Inggit ke Bandung, membongkar barang‐barangnya, meyakinkan diri kalaukalau
ada sesuatu yang kurang, lalu aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya ………
Bulan Juni 1943 Fatma dan aku kawin secara nikah wakil. Untuk dapat mengangkutnya beserta
orangtuanya ke Jawa urusannya terlalu berbelit‐belit dan panjang, pun aku tidak bisa segera
menjemputnya ke Sumatra, sedang aku tak mungkin rasanya menunggu leliih lama lagi. Mendadak
timbul keinginanku yang keras untuk kawin. Menurut hukum Islam perkawinan dapat dilangsungkan, asal
ada pengantin perempuan dan sesuatu yang mewakili mempelai laki‐laki. Aku mempunyai lebih daripada
sesuatu itu. Aku mempunyai seseorang. Kukirimlah telegram kepada seorang kawan yang akrab dan
memintanya untuk mewakiliku. la memperlihatkan telegram itu kepada orang tua Fatma dan usul ini
mendapat persetujuan. Pengantin dan wakilku pergi menghadap kadi dan sekalipun dia masih di
Bengkulu dan aku di Jakarta, dengan demikian kami sudah mengikat tali perkawinan.
Di tahun berikutnya Fatmawati melahirkan seorang putera. Aku tidak sanggup menggambarkan
kegembiraan yang diberikannya kepadaku. Umurku sudah 43 tahun dan akhirnya Tuhan Yang Maha
Pengasih mengaruniai kami seorang anak.
Di saat mendengar bahwa Fatma dalam keadaan hamil, maka ibu, bapak dan kakakku perempuan datang
dengan segera dari Blitar. Mereka sangat gembira. Orang tua kami dari kedua belah pihak tinggal dengan
kami di pavilun dekat rumah hingga sang bayi lahir. Bapaklah yang mengawasi segala pekerjaan. Dialah
yang duduk setiap jam memberi petunjuk kepada Fatma, bagaimana ia harus mempersiapkan dirinya.
Selalu aku melihat mereka duduk bersama‐sama dan selalu aku dapat mendengar bapak mengatakan
sesuatu seperti, “Nah, jangan lupa mencatat bedak bayi, pisau kecil untuk pemotong tali pusarnya dan
emban untuk menahan perutmu sendiri.”
Di malam Fatma akan melahirkan kami menjamu tamu‐tamu penting ‐orang Jepang dan orang Indonesia.
Fatmawati sibuk melayani sebagai nyonja rumah, akan tetapi kemudian dia mulai merasa sakit. Aku
sendiri membimbingnya ke kamar dan memanggil dokter. Mulai dari saat itu aku tetap berada di sisinya,
pun tidak tidur barang satu kejap sampai ia memberikan kepadaku seorang putera yang tidak ternilai itu.
Kududuk di atas tempat tidur mendampinginya, memegang tangannya sementara ia melahirkan. Aku
bukanlah orang yang bisa tahan melihat darah, akan tetapi di saat dijadikannya seorang manusia
idamanku ini adalah saat yang paling nikmat dari seluruh hidupku. Jam lima waktu subuh, ketika
terdengar azan dari mesjid memanggil umat untuk menyembah Tuhannya, anakku yang pertama, Guntur
Sukarnoputra, lahirlah.
Tuhan Yang Maha Penyayang dan Maha Bijaksana telah memanjangkan umur bapakku untuk dapat
melihat darah dagingku menginjak dunia ini. Setelah itu ia jatuh sakit. Fatma merawatnya berbulan‐bulan
dengan tekun dan setia hingga ia menghembuskan napas yang penghabisan.
Aku teringat akan “Si Tukang Kebun”, sebuah buku cerita yang kubaca pada waktu masih berumur 13
tahun. Waktu itu aku tidak mengerti maknanya yang lebih dalam. la menceritakan tentang bagaimana
daun‐daun kayu yang sudah coklat dan kering harus jatuh dan memberikan tempatnya kepada pucuk
yang hijau dan baru.
20 tahun kemudian barulah aku mengerti.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar