Konteks
kritik Plato terhadap demokrasi adalah pada demokrasi yang berkembang
di Athena saat itu. Seperti kita ketahui, Plato hidup antara 429 SM – 348 SM. Salah satu kritik Plato adalah mengenai apa yang disebut sebagai prautes dan suggnome. Prautes dari bahasa Yunani, asal katanya adalah praus yang berarti kelembutan. Prautes kemudian diartikan bahwa dalam demokrasi (Athena saat itu) sebagai yang lunak, lembut, manis, tidak menegangkan. Sedangkan suggnome berarti penuh pengertian, terbuka untuk mengerti yang lain. Plato mengulas prautes dan suggnome yang saat itu diyakini banyak orang sebagai hal membanggakan dari demokrasi Athena, dengan penuh ironi.
Demokrasi
sebagai yang lemah lembut, manis, menjadi sasaran kritik Plato karena
kemudian menjadi kebablasan, seperti yang ditulis Plato dalam dialog
Sokrates dan Adeimantus dalam Republik buku 8:
Sokrates:
And what about the calm of some of their condemned criminals? Isn’t
that sophisticated quality? Or have you naver seen people who have been
condemned to death or exile in a constitution of this sort staying on
all the same and living right in the middle of things, without anyone
giving them a thought or staring at them, while they stroll around like a
hero? (558a)[i]
Atas
nama demokrasi, kebanyakan orang kemudian membiarkan saja orang-orang
terhukum bisa berjalan-jalan dengan tenang di tengah kota, dan bahkan
layaknya seorang pahlawan! Kasus yang ditunjukkan oleh Plato ini
mengingatkan kita pada kasus Andi Nurpati yang secara jelas telah
diberhentikan dari anggota KPU (tegasnya: urusan tugas dan pengabdian
pada negara) dengan alasan melanggar sumpah dan etika, tetapi ternyata
masih bisa terhormat sebagai juru bicara partai yang justru mengklaim
dirinya sebagai yang menjunjung tinggi etika! Atau kasus ngototnya
partai-partai –atas nama hukum, tetap berkehendak untuk mengajukan
calon-calon wakil rakyat bekas narapidana kasus korupsi.
Suggnome
atau penuh pengertian, terbuka untuk mengerti yang lain, penuh
toleransi menjadi kebablasan dengan kebanyakan orang tidak peduli lagi
tentang pentingnya prinsip-prinsip moral bersama, bisa juga di sini
bicara tentang kapasitas yang semestinya dijaga bersama. Tentu Julia
Perez atau yang sering kita sebut sebagai Jupe sama berhaknya untuk
dicalonkan sebagai bupati, tetapi apakah ini sebenarnya juga sebuah
toleransi yang berlebihan? Toleransi seperti yang dibanggakan demokrasi
saat Plato hidup itu, kemudian apa saja dan siapa saja menjadi boleh.
Seorang yang belum teruji kapasitasnya dalam ranah publik tiba-tiba saja
merasa dirinya sanggup sebagai calon Presiden.
Maka
bagi Plato, demokrasi yang serba kebablasan karena penuh toleransi
terhadap berbagai hal seperti yang disebut di atas tadi misalnya,
membuat demokrasi tidaklah menjamin kualitas dari sebuah
keputusan-keputusan politik.
Melihat
hiruk-pikuk apa yang disebut demokrasi akhir-akhir ini, sedikit banyak
kritik Plato di atas seakan bergema nyaring di telinga kita. Demokrasi
kemudian menjadi apa saja dan siapa saja boleh. Berbohong pun kemudian
dikatakan sebagai bagian dari demokrasi. Maka tak heran jika dalam
demokrasi yang semacam itu, persis jaman Plato, kaum Sofis atau apalah
disebut sekarang ini, gentayangan menawarkan taktik dan strategi yang
jitu untuk ‘memenangkan’ demokrasi. Tentu dengan bayaran yang tidak
sedikit. Dan tidak mengherankan juga ketika data menunjukkan bahwa
sekitar 50% kepala daerah hasil demokrasi itu kemudian menjadi tersangka
korupsi!
Bagi
kita sekarang ini, melihat situasi yang ada, tesis arus balik demokrasi
menjadi layak diperhitungkan jika kita gagal ‘memajukan’ demokrasi.
Jika kita tidak serius untuk menata ‘input’ demokrasi kita. Jika kita
tetap membiarkan “para terhukum” dan yang “berkualitas” rendah –yang
juga tanpa punya malu dan penuh kepongahan merasa mempunyai hak untuk
berbohong pada rakyat, justru yang malang melintang menyesaki
ruang-ruang politik kita. Runyamnya, ruang gerak itu menjadi semakin
sempit karena himpitan kuat dari kuasa uang. Tetapi, jika kita mencintai
negeri yang sudah merdeka karena darah dan nyawa para pahlawan yang
tidak pernah menyerah itu, bukankah kita juga terpanggil untuk tetap
tidak mengenal jalan buntu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar