Selasa, 26 Juni 2012

DEMOKRASI SEBUAH PENGANTAR

Konteks kritik Plato terhadap demokrasi adalah pada demokrasi yang berkembang di Athena saat itu. Seperti kita ketahui, Plato hidup antara 429 SM – 348 SM. Salah satu kritik Plato adalah mengenai apa yang disebut sebagai prautes dan suggnome. Prautes dari bahasa Yunani, asal katanya adalah praus yang berarti kelembutan. Prautes kemudian diartikan bahwa dalam demokrasi (Athena saat itu) sebagai yang lunak, lembut, manis, tidak menegangkan. Sedangkan suggnome berarti penuh pengertian, terbuka untuk mengerti yang lain. Plato mengulas prautes dan suggnome yang saat itu diyakini banyak orang sebagai hal membanggakan dari demokrasi Athena, dengan penuh ironi.
Demokrasi sebagai yang lemah lembut, manis, menjadi sasaran kritik Plato karena kemudian menjadi kebablasan, seperti yang ditulis Plato dalam dialog Sokrates dan Adeimantus dalam Republik buku 8:
Sokrates: And what about the calm of some of their condemned criminals? Isn’t that sophisticated quality? Or have you naver seen people who have been condemned to death or exile in a constitution of this sort staying on all the same and living right in the middle of things, without anyone giving them a thought or staring at them, while they stroll around like a hero? (558a)[i]
Atas nama demokrasi, kebanyakan orang kemudian membiarkan saja orang-orang terhukum bisa berjalan-jalan dengan tenang di tengah kota, dan bahkan layaknya seorang pahlawan! Kasus yang ditunjukkan oleh Plato ini mengingatkan kita pada kasus Andi Nurpati yang secara jelas telah diberhentikan dari anggota KPU (tegasnya: urusan tugas dan pengabdian pada negara) dengan alasan melanggar sumpah dan etika, tetapi ternyata masih bisa terhormat sebagai juru bicara partai yang justru mengklaim dirinya sebagai yang menjunjung tinggi etika! Atau kasus ngototnya partai-partai –atas nama hukum, tetap berkehendak untuk mengajukan calon-calon wakil rakyat bekas narapidana kasus korupsi.
Suggnome atau penuh pengertian, terbuka untuk mengerti yang lain, penuh toleransi menjadi kebablasan dengan kebanyakan orang tidak peduli lagi tentang pentingnya prinsip-prinsip moral bersama, bisa juga di sini bicara tentang kapasitas yang semestinya dijaga bersama. Tentu Julia Perez atau yang sering kita sebut sebagai Jupe sama berhaknya untuk dicalonkan sebagai bupati, tetapi apakah ini sebenarnya juga sebuah toleransi yang berlebihan? Toleransi seperti yang dibanggakan demokrasi saat Plato hidup itu, kemudian apa saja dan siapa saja menjadi boleh. Seorang yang belum teruji kapasitasnya dalam ranah publik tiba-tiba saja merasa dirinya sanggup sebagai calon Presiden.
Maka bagi Plato, demokrasi yang serba kebablasan karena penuh toleransi terhadap berbagai hal seperti yang disebut di atas tadi misalnya, membuat demokrasi tidaklah menjamin kualitas dari sebuah keputusan-keputusan politik.
Melihat hiruk-pikuk apa yang disebut demokrasi akhir-akhir ini, sedikit banyak kritik Plato di atas seakan bergema nyaring di telinga kita. Demokrasi kemudian menjadi apa saja dan siapa saja boleh. Berbohong pun kemudian dikatakan sebagai bagian dari demokrasi. Maka tak heran jika dalam demokrasi yang semacam itu, persis jaman Plato, kaum Sofis atau apalah disebut sekarang ini, gentayangan menawarkan taktik dan strategi yang jitu untuk ‘memenangkan’ demokrasi. Tentu dengan bayaran yang tidak sedikit. Dan tidak mengherankan juga ketika data menunjukkan bahwa sekitar 50% kepala daerah hasil demokrasi itu kemudian menjadi tersangka korupsi!
Bagi kita sekarang ini, melihat situasi yang ada, tesis arus balik demokrasi menjadi layak diperhitungkan jika kita gagal ‘memajukan’ demokrasi. Jika kita tidak serius untuk menata ‘input’ demokrasi kita. Jika kita tetap membiarkan “para terhukum” dan yang “berkualitas” rendah –yang juga tanpa punya malu dan penuh kepongahan merasa mempunyai hak untuk berbohong pada rakyat, justru yang malang melintang menyesaki ruang-ruang politik kita. Runyamnya, ruang gerak itu menjadi semakin sempit karena himpitan kuat dari kuasa uang. Tetapi, jika kita mencintai negeri yang sudah merdeka karena darah dan nyawa para pahlawan yang tidak pernah menyerah itu, bukankah kita juga terpanggil untuk tetap tidak mengenal jalan buntu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar