Rabu, 06 Juni 2012

ORANG LAUT BAJAK LAUT RAJA LAUT ( SEJARAH KAWASAN LAUT SULAWESI ABAD XIX)



RESENSI

Penulis          : Adrian B. Lapian
Penerbit        : Komunitas Bambu
Cetakan          : I, Agustus 2009
Tebal             :  xx + 284 halaman


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Nusantara merupakan sebuah wilayah yang terdiri dari berbagai pulau yag membentang dari timur kebarat.  hal ini dapat mempengarui keadaan yang ada pada masyarakat yang mendiami wilayah-wilayah yang mencangkup nusantara. Sehingga memunculkan berbagai suku yang kesemuannya memilki ciri khas tersendiri baik dari segi tradisi maupun pola kehidupan sosialnya. Terlepas dari itu semua wilayah nusantara yang sebagian besar berbatasan dengan laut, menghasilkan sebagian masyarakatnya mencari makan dari laut. Hal itu yang melatarbelakangi penulisan yang dilakukan oleh alhi sejarah maritim yang ada di Indonesia, yaitu Adrian B. Lapian. Unutk menulis sebuah buku yang berjudul  Orang Laut,Bajak laut, Raja Laut, yang dukhususkan membahas tentang keadaan laut di Sulawesi pada abad ke XIX.  Buku ini menecritakan pola masyarakat yang ada di laut yang kemudian membaginya menjadi orang laut,bajak laut dan raja laut. Selain itu dalam Studi sejarah di Indonesia masih berkutat pada peristiwa- peristiwa besar di lingkup dan kepentingan orang daratan. Terwujudnya keseimbangan paradigma kita melihat cakrawala sejarah Indonesia yang lebih utuh, yaitu dengan menyatukan pengetahuan dan peristiwa masa lampau sebagai dasar untuk memahami kekinian, antara fakta sejarah kedaratan dan kelautan. Wawasan Nusantara bukan hanya melihat NKRI sebagai suatu kesatuan berdasarkan prinsip pulau demi pulau, tetapi sebagai negara kepulauan yang mempunyai kebulatan teritorial (laut dan selat). Abad XIX merupakan abad yang strategis, karena menjadi masa yang menentukan keadaan hasil warisan abad XX dan sesudahnya. Yaitu sebagai abad perluasan kekuasaan maritim kolonial dan kemunduran kekuasaan bahari pribumi. Masalah bajak laut menjadi satu tema penting bagi pemerintah kolonial dalam rangka usahanya memberantas eksistensinya. Terutama di perairan Asia Tenggara yang dilakukan oleh negara berkepentingan seperti Inggris, Belanda dan Spanyol.
Muncul karya- karya negara tersebut antara lain:
Dari Spanyol:
a.       Karya Barrantes, berisi perang bajak laut di Filiphina melawan orang- orang Sulu dan Mindanao
b.      Karya Montero Y Vidal, berisi  tentang sejarah bajak laut Melayu muslim di Mindanao, Jolo dan Kalimantan.
Dari Belanda:
a.       Karya Kniphorst, berisi sketsa bajak laut di Nusantara

b.      Karya Gregory, berisi tentang bajak laut dan perompakan di kepulauan Hindia- Belanda, termasuk Mindanao dan kep. Sulu.
Dari Perancis:
a.       Karya Lavollee, berisi bajak laut Melayu
Karya- karya tersebut mengindikasikan keterlibatan pemerintahan kolonial dalam masalah menghadapi fenomena bajak laut. Kegiatan yang banyak memberitakan tentang  bajak laut pada abad XIX memunculkan beberapa opini: Apakah pada abad XIX merupakan puncak munculnya fenomena bajak laut? Apakah pemerintah kolonial memberikan perhatian yang lebih besar terhadap masalah tersebut, sebagai kelanjutan pada masa sebelumnya? Karena munculnya fenomena bajak laut sesungguhnya bagi Lapian menunjukkan sebuah korelasi antara usaha pemberantasan bajak laut dengan politik ekspansi kolonial diperairan tersebut. Hal ini untuk melihat sebuah pandangan yang berbeda bahwa gejala bajak laut  pada abad XIX itu sebagai suatu perang gerilya bahari (hal.4). Disinilah posisi B. Lapian berusaha untuk memperoleh pandangan yang Indonesia sentris.
Pada hakikatnya pendekatan ini merupakan masih berdasarkan visi Eropa yang arah pandangannya terbalik. Baik kesusastraan lama maupun tradisi lisan mengandung banyak kisah tentang bajak laut—suatu gejala bahwa fenomena ini sudah dikenal sejak lama sebelum kedatangan kapal- kapal Barat. Dengan kata lain bahwa pribumi telah mengenal gejala bajak laut yang dilihat sebagai fenomena kejahatan. Dan dipihak lain beberapa penulis barat melihat fenomena ini terutama di Asia Tenggara sebagai suatu reaksi terhadap politik kolonial.
Penulis lain menurut Lapian melihat fenomena bajak laut sebagai perang Agama. Seperti karya Veth “Perompakan laut dikepulauan Hindhia dilihat sebagai bentuk khusus dari perang Sabil terhadap orang kafir”, sebagaimana juga karya Montero Y Vidal sebelumnya.
Dalam membicarakan bajak laut di Nusantara sebagaimana dikutip Lapian (dalam Jurnal ENI edisi ke- 2 jilid iv th 1921, h.821-826), dikatakan bahwa : “Kekersan dan pemerasan oleh Portugis dan Spanyol dan tidak sedikit  juga kontrak dagang yang diadakan sewenang- wenang oleh Kompeni Belanda untuk Hindia- Timur (VOC) dengan raja- raja dan bangsa- bangsa pribumi telah ikut mendorong mereka (menjadi bajak laut). Sebenarnya kontrak tesebut tidak pernah ditandatangani dengan sukarela; biasanya perjanjian tersebut dipaksakan, dan disamping itu raja- raja dan kepala- kepala dalam banyak hal tidak memperhitungkan akibat yang akan terjadi akibat kontrak tersebut. Dipihak lain wakil- wakil VOC pun tidak memperhitungkannya. Sekalipun telah berkali- kali diperingatkan bahwa akibatnya akan sangat merugikan [bagi VOC] untuk jangka waktu yang lebih panjang, pada saat mengadakan kontrak hanya dipertimbangkan keuntungan jangka pendek yang bisa dinikmati oleh VOC dan pegawai- pegawainya...” . Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa salah satu faktor kemunculan bajak laut berasal dari sistem yang diterapkan oleh kolonial dengan berbagai kebijakannya dan hal tersebut sangat menjadikan pribumi dalam kondisi yang kurang puas.
Beberapa contoh historiografi tentang bajak laut tersebut memberikan sebuah warna dan pemahaman bagi kami bahwa bajak laut mempunyai stereotipe yang beragam, tidak hanya sebagai penjahat tetapi juga dapat digolongkan menjadi “bandit sosial”, tergantung bagaimana masyarakat memberikan sebuah penafsiaran atau pelabelan sosial.
Tetapi pada umumnya bajak laut yang ada di perairan Nusantara pada abad XIX mengalami sebuah akhir yang tidak sepadan dengan apa yang mereka perjuangkan. Mereka biasanya menemui ajal karena serangan kolonial atau tertangkap dan mendapatkan hukuman mati oleh pengadilan kolonial dala usahanya menanamkan “law and order” menurut nilai- nilai Barat atau juga mati karena dikeroyok massa yang dilatarbelakangi motif pribadi.
 

B. Ruang Lingkup
Dalam tulisan Lapian ini, beliau memfokuskan setting pada wilayah Laut Sulawesi sebagai fokus studi. Hal ini dilatarbelakangi oleh sumber primer dn sekunder, yang menunjukkan bahwa sebagian bes ar kegiatan yang dianggap bajak laut dilakukan oleh orang- orang yang berasal dari daerah ini, khususnya dari kepulauan Sulu dan bagian Selatan pulau Mindanao.
Ditinjau dari sudut geografi, wilayah Laut Sulawesi merupakan satu kesatuan dan dilihat dari segi ilmu bahasa, etnologi, antropologi, fisik dll terdapat unsur- unsur persamaan. Jangkauan temporal yang digunakan Lapian juga dibatasi pada abad XIX atas dasar bahwa pada abad ini penemuan terhadap sumber- sumber sejarah lebih maksimal daripada abad sebelumnya. Meskipun dalam studinya, Lapian lebih banyak menggunakan sumber- sumber asing daripada sumber pribumi disebabkan oleh adanya keterbatasan.
 Dari sudut sejarah, abad XIX juga sangat penting karena pada masa ini negara- negara kolonial mulai secara khusus dan intensif melebarkan sayap kekuasaannya. Meskipun pada abad XVI Laut Sulawesi telah lebih dahulu dikunjungi oleh Spanyol dan Portugis. Dan Inggris sejak akhir abad XVIII muncul sebagai kekuatan kolonial ketiga di Laut Sulawesi dengan menjadikan Sabah kini sebagai protektorat kerajaan Inggris.
Pembagian wilayah Laut Sulawesi dalam tiga daerah kolonial yang masing- masing merupakan jajahan Spanyol di Filiphina, jajahan Hindia- Belanda yang berpusat di Batavia dan protektorat Inggris di Kalimantan Utara, membawa dampak pada masa sekarang wilayah ini terbagi dalam tiga bagian, masing- masing menjadi bagian RI, Republik Filipina dan negeri Sabah yang merupakan negara-bagian dari Persekutuan Malaysia. 







BAB II
PEMBAHASAN
 Lapian lebih banyak menyoroti tentang makna sebuah wilayah perbatasan, terutama teritorial laut atau perairan, tidak hanya bagi sebuah kelompok manusia yang berdiam diwilayah tersebut, tetapi juga makna bagi eksistensi sebuah negara atau bangsa yang telah resmi secara de fakto and de yure menaunginya. Selain itu juga tentang karakteristik Laut Sulawesi dan beberapa hal yang menaungi didalamnya, termasuk tentang penduduk yang mendiaminya.
Sebuah wilayah daratan, pegunungan atau perairan mempunyai makna yang sama bagi masyarakat yang menghuninya. Wilayah - wilayah tadi bukanlah pembatas yang memisahkan kehidupan mereka akan tetapi justeru merupakan suatu kesatuan teritorial dari dunia yang dihayatinya. Begitulah laut dimaknai oleh penduduk bahari yang bukan dilihat sebagai pemisah namun sebaliknya, laut bagi mereka adalah pemersatu—suatu kontinum yang memungkinkan mereka berhubungan dengan penduduk didaerah seberang. Hal semacam ini ditemui pula di Laut Sulawesi.
Walaupun merupakan daerah perbatasan bagi negara- negara Filipina, Malaysia dan Indonesia, namun menurut Lapian diwilayah ini ditemukan suatu kontinuum baik dilihat dari wilayah alamiah maupun dari sudut penduduk yang sekalipun terdapat perbedaan, namun tidak secara mendadak (abrupt) berubah pada waktu batas politik dan hukum salah satu negara dilintasi. Disini ditemukan pula penghuni yang dianggap “terasing” dari norma dan bentuk kemasyarakatan yang dikenal.  Mereka mendiami daerah hutan di pegunungan yang merupakan perbatasan darat  antara Indonesia dan Malaysia, maupun daerah perairan yang  yang telah menjadi perbatasan antara Indonesia- Malaysia, antara Malaysia- Filipina dan antara Filipina- Indonesia. Termasuk garis perbatasan dimanapun—termasuk kawasan Laut Sulawesi yang tercipta berdasarkan hasil pertumbuhan sejarah yang telah berlangsung lama. 
Untuk mengenal lebih dekat tentang wilayah fisik Sulawesi Selatan, berikut kami paparkan secara singkat. Laut  Sulawesi merupakan wilayah perairan yang menggenangi ceruk bumi yang dibentuk oleh pulau- pulau Sangir Talaud, semenanjung Sulawesi Utara, pantai Kalimantan Timur, gugusan kepulauan Sulu dan pantai Mindanao Selatan. Bentang perairan terletak kira- kira antara 118° dan 125° BT dan 1° dan 5°LU. Letak kawasan Laut  Sulawesi yang berdekatan dengan garis khatulistiwa memberi kepada daerah ini iklim tropis maritim dengan ciri- ciri khusus, seperti suhu yang tinggi, kelembaban relatif besar, pembentukan awan yang moderat dan gerak angin yang sedang. Wilayah ini juga mengenal dua musim, yaitu musim panas dan musim dingin  yang silih berganti akibat pengaruh   dua kontinen yang berbeda.
Topografi yang ada di kawasan Laut Sulawesi cukup unik. Pelayaran dari luar wilayah dapat dilalui dari tiga arah. Pertama, dari sebelah Utara, yakni dari Laut Cina Selatan lewat Laut  Sulu kemudian menggunakan salah satu jalur dari banyaknya alur pelayaran di sela- sela kepualauna Sulu. Kedua, jalan di sebelah Timur yakni untuk pelayaran dari Laut Maluku dan Samudera Pasifik melalui perairan Sangir—Talaud. Ketiga, pintu masuk yang terdapat disebelah Barat- Daya, melalui selat Makasar  yang menghubungkan Laut Jawa dan Laut Flores dengan Laut  Sulawesi.
Lintasan kawasan yang sangat erat hubungannya dengan penjelajahan  Laut Sulawesi adalah kepulauan Sulu, Mindanao Selatan, Kepulauan Sangir dan Talaud serta beberapa lintasan disekitarnya. Sementara mengenai penduduk  yang mendiaminya, masih fragmentaris. Terutama terkait suku bangsa  pada ranah antropologi dan linguistiknya. Kawasan Laut Sulawesi mengenal penduduk  yang terbagi dalam tiga bangsa, meskipun dari sudut antrngsa, meskipun dari sudut antropologi fisik , kebopologi fisik , kebudayaan maupun linguistik kriteria pembedaannya beragam. Masing- masing negara mengalami kesulitan untuk membuat klasifikasi suku bangsa yang memuaskan. Contoh suku bangsa yang ada diantaranya adalah suku Sulu yang mendiami kepulauan Sulu dengan bahasa yang digunakan bahasa Samal (Balangingi, Bajau Laut, Jama Mapaun dan Yakan).  Namun suku yang dominan dikepulauan ini adalah suku Tausug yang mendiami pulau Jolo dan pulau kecil sekitarnya. Semua bahasa yang ada di kawasan Laut Sulawesi termasuk rumpun bahasa Austronesia.
Sebagai sebuah kawasan perairan, Laut Sulawesi telah mengenal kebudayaan Maritim. Kebudayaan tersebut salah satunya dikembangkan oleh penduduk pantai Kalimantan Timur, termasuk Sabah Timur yang termasuk suku bangsa Tidung. Terutama mereka lakukan dengan melayari sungai besar didaerah delta yang dibentuk oleh muara- muara sungai. Jenis- jenis perahu yang dikenal mereka yaitu Jukung, lumbung dan gubang. Demikian hasil penelitian Nooteboom sebagaimana dikutip Lapian. Sementara didaerah lain di Sulawesi Utara seperti di Kepulauan Sangihe dan Talaud, kebudayaan maritim tidak begitu berkembang. Namun jenis perahu yang digunakan di daerah ini cukup bervariasi, terutama dalam bentuk cadiknya. Sehingga Nooteboom dalam kesimpulannya memasukkan daerah Sulut bersama kepulauan Sangihe - Talaud dan Kepulauan Sulu dalam satu wilayah inti tempat asal penyebaran berbagai macam cadik.
Mengenai kehidupan orang laut sudah berlangsung lama sebelum abad ke XIX, karena mereka memang  sebuah masyarakat kecil yang hidup di laut dan menggantungkan hidupnya dilaut. Mereka belum mengenal organisasi atau sebuah aturan yang ada pada suatu Negara, sistem masyarakatnya masih sangat sederhana, mereka hanya mengenal pemimpin hanya sebatas keluarga, mereka hidup diatas perahu kecil yang hanya dapat menampung sekitar empat sampai lima orang dalam perahu tersebut. Mereka pada umumnya hidup nomaden, yaitu berpindah dari stu tempat ke tempat lainnya, namun pergerakan mereka tidak sampai ke laut lepas, mereka tinggal dipinggir laut, atau sekitar laut dangkal. Mereka hidup dalam perahu-perahu kecil yang dihuni oleh keluarga-keluarga, terdiri dari ayah dan ibu beserta anak-anaknya, umumnya pada masyarakat yang disebut orang laut ini, tidak mempunyai anak yang banyak, karena memang daya tampung dalam perahu tidak memungkinkan mereka mempunyai anak yang banyak. Mereka biasa berkumpul dengan keluarga lain pada saat-saat tertentu seperti ketika ada seorang dari keluarga mereka sakit, pada saat pernikahan yang berlangsung. Umumnya sanak keluarga jauh datang untuk menjenguk atau meramaikan upacara tersebut. Dalam kehidupan yang serba terasing ini, orang laut juga sesekali melakukan kontrak dengan orang-orang yang ada di darat, terutama dalam hal mencari kayu untuk pembuatan perahu, mereka juga biasanya menukarkan ikan mereka dengan kebutuhan pokok lainnya seperti beras, pakaian dan sebagainya.  Orang yang tinggal di darat menganggap orang laut sebagai orang yang primitif yang masih berkebudayaan rendah. Namun mereka juga dapat membatu untuk kebutuhan masyarakat atas konsumsi ikan. Lama kelamaan juga terdapat orang laut yang pindah didarat atau dipinggir pantai untuk tinggal menetap. Karena banyak yang berpikiran wilayah laut semaikn berbahaya dan wilayah untuk mencari ikan semakin terbatas karena juga mendapat saingan dari pencari ikan lain, akibatnya orang laut yang masih mempertahankan pola hidupnya di atas perahu mulai menyingkir dari tempat yang telah ramai tersebut ke wilayah yang masih sepi dari aktifitas masyarakat lainnya.
Selain orang laut yang mencari kehidupan di laut, juga terdapat sekelompok masyarakat yang disebut sebagai bajak laut, mereka hidup dengan cara meramapas barang dari kapal-kapal yang berhasil mereka bajak. Mengenai bajak laut yang terkenal di asia tenggara kushusnya di perairan Sulawesi adalah bajak laut Sulu, Mangindanao, Balangingi, dan sebagainya. Bajak laut sering dikatakan sebagai tindak kejahatan karena mereka untuk mendapatkan segala sesuatu meggunakan cara kekerasan dan tidak jarang disertai dengan pembunuhan. Dalam setiap aksinya mereka selalu membawa tawanan yang ada dalam kapal yang mereka bajak ke darat dan menjual awak kapal tersebut kepada orang yang membutuhkantenaga kerja untuk menggarap tanah mereka. Mereka diperkerjakan di ladang milik petani kaya yang memiliki tanah yang luas. Untuk melakukan pelayaran ke tempat yang jauh untuk mencari budak-budak untuk di jual tersebut, para bajak laut ini membutuhkan jasa seorang yang mengetahui keadaan laut. Untuk itu mereka juga berhubungan dengan orang laut yang lebih mahir mengenai keadaan bahari yang ada. Dalam hal ini, terdapat hubungan timbale balik antara keduanya, orang laut juga mendapat perlindungan dari bajak laut, dari ancaman luar. Sedangkan bajak laut sendiri memperoleh tenaga trampil yang bisa digunakan sebagai penunjuk arah.
Sejak awal abad XIX, kekuatan bajak laut di Nusantara mulai berkurang karena mereka diburu oleh pemerintah kolonial yang menganggap tindakan mereka sebagai tindakan yang tergolong kriminal. Hal tersebut membuat pergerakan bajak lakut semakin terhambat oleh para pesaing asing yang datang di kepulauan nusantara. Pada mulanya mereka memang masih sanggup menghadapai tekanan yang diberikan oleh para bajak laut asing ini, namun lama kelmaan mereka semakin terpojok. Hal tersebut semakin diperkuat oleh peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Dengan memberlakukan undang-undang yang mengatur tentang pelarangan bajak laut dan menganggap mereka sebagai penjahat di laut. Untuk itu pemerintah melakukan perburuan terhadap bajak laut, dan mereka yang terbukti salah dan melakukan kejahatan di laut akan dihukum mati. Bajak laut dalam arti pemerintah kolonial ini dapat dibagi menjadi dua jenis, pertama yang disebut sebagai pirate yaitu bajak laut yang melakukan kegiatan di laut secara illegal, dan bertentangan dengan hukum yang berlaku. Kemudian yang kedua adalah korsario, atau bajak laut yang dikeluarkan pemerintah untuk membajak bajak laut secara liar, dalam arti bajak laut tipe inni bisa disebut sebagai bajak laut yang legal, yang kegiatannnya memang disetujui oleh pemerintah. Mereka juga bertujuan untuk membajak atau menangkap kapal-kapal yang berlayar di laut territorial mereka.
Kelompok yang terakhir yang dibahas dalam buku ini adalah raja laut. Mengenai raja laut—kapitan laut, datu laut, pangeran laut—tentu saja tidak luput dari pemaparan Lapian. Keberadaan raja laut tidak bisa diabaikan dalam sejarah maritim karena merupakan salah satu kelompok atau kekuatan yang dimiliki oleh kerajaan atau kesultanan. Gelar raja laut di kawasan laut Sulawesi pada waktu itu sebenarnya dipegang oleh tokoh yang memimpin kekuatan laut kerajaan yang bersangkutan (hal 173). Oleh sebab itu, dalam hubungan ini, istilah raja laut dapat dipakai untuk menyebut tipe kekuatan laut yang resmi. Berbeda dengan bajak laut yang merupakan tipe kekuatan laut tandingan yang oleh pemerintahan yang berkuasa dianggap ”liar”, tipe orang laut adalah masyarakat yang tidak atau belum terorganisasi dalam bentuk negara atau kerajaan.
Jabatan raja laut, menurut Lapian, pernah juga disandang oleh orang Eropa (hal 213-215). Gelar ”Dato del Mar” diberikan oleh Sultan Maguindanao kepada Kolonel Don Romualdo Crespo, putra dari Gubernur Jenderal Filipina Don Manuel Crespo. Hal serupa dialami oleh William Lingard, seorang kapten kapal niaga berbendera Inggris yang mendapat gelar raja laut (pangeran laut) dari Sultan Gunung Tabur. Gelar raja laut ini pun bukan sebuah ”jabatan kosong” tidak berarti. Raja laut merupakan kelompok yang terorganisir. Mereka dipimpin oleh seorang pangeran atau yang biasa disebut sebagai Kapitan laut. Mereka adalah golongan kelas bangsawan yang bertugas dialut untuk melakukan pembajakan kapal yang telah masuk kedalam daerah territorial mereka tanpa ijin. Mengenai  raja laut ini, umumnya dimiliki oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara yang tergolong maritime yang kegiatannya lebih berorentasi dalam laut. Selain untuk pertahan pada kerajaan, fungsi dari raja laut seperti yang telah disebutkan diatas.
Kelompok ini juga tergolong kedalam bajak laut korsario, karena mereka bersifat legal berkerja sama dengan  orang laut dan bajak laut, untuk melakukan kegiatan di laut lepas. Peran raja laut membutuhkan orang banyak dalam setiap kegiatannya. Bajak laut yang biasnya bergabung ini adalah bajak laut yang sebelumnya menempati daerah kekuasaan kerajaan yang sekarang ini sedang berdiri. Bajak laut juga menjadi posisi penting dalam pemerintahan kerjaan itu dapat terlihat jabatan yang ada pada kerajaan Tidore dan Ternate. Pada akhir abad ke XIX, kegiatan mereka mulai terganggu dengan datangnya kekuatan asing yang mulai membatasi kekuasaan laut mereka. Dengan fasititas yang lebih canggih dan menggunakan tenaga uap, membuat kekuatan asing ini berangsur-angsur mulai menenggelamkan kekuasaan pribumi. Dan pada abad selanjutnya perdagangan di laut Sulawesi ini dikuasai oleh kekuatan asing tersebut.


BAB III
KESIMPULAN
Begitulah Adrian B. Lapian, ahli sejarah maritim, mengingatkan kita melalui karyanya ini.  Demi fokus yang lebih mendalam dan karena keterbatasan sumber tulisan, Lapian memilih untuk membatasi penelitian ini pada kawasan Sulawesi di abad XIX.  Dibagi menjadi enam bab termasuk pendahuluan dan penutup, dengan komprehensif dan bertahap Lapian memberi uraian mengenai keadaan fisik dan penduduk kawasan Sulawesi, sebelum kemudian secara spesifik membahas masyarakatnya berdasarkan tiga tipe ideal: orang laut, bajak laut, dan raja laut. Tipologi ini dibuat untuk memudahkan deskripsi masalah yang begitu kompleks, karena kategori ‘bajak laut’ telah dengan terlalu kabur digunakan untuk pihak ‘lain’ yang melakukan tindakan kekerasan di kawasan laut.  Lapian mengingatkan kita untuk melihat apa yang disebut sebagai pemberantasan ‘bajak laut’  (di abad XIX) dalam kaitannya dengan politik imperialisme di Asia Tenggara, dan alasan untuk mengadakan intervensi dalam pemerintahan setempat.
Sebagai tipe ideal, Orang Laut, berdasarkan tipologi sederhana ini, dimaksudkan Lapian sebagai semua kelompok masyarakat yang belum atau tidak mengenal bentuk organisasi kerajaan atau negara, umumnya hidup berkelompok dalam perkampungan perahu dengan sifat mobile (hingga kerap disebut sea-nomads atau sea-gypsies).  Raja Laut dimaksudkan sebagai “kapal dan perahu yang merupakan kekuatan laut raja-raja di Asia Tenggara yang melakukan tugasnya sebagai pemayar di perairan kerajaan,” dan mempunyai semacam “wenang-wenang” untuk melakukan kekerasan terhadap siapa saja yang memasuki wilayahnya.  Kekuatan Barat pun, sebenarnya dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk khusus dari tipe Raja Laut karena posisi dominan mereka di Asia Tenggara. Sementara Bajak Laut adalah “kelompok pelaut yang melakukan kekerasan, tetapi … tidak bertugas sebagai pemayar kerajaan pribumi atau kekuatan kolonial, lagi pula bukan merupakan anggota masyarakat kelompok etnis yang masuk kategori Orang Laut,” dengan motif-motif tersendiri yang tidak jarang mendapat simpati masyarakat setempat, atau sebaliknya dimusuhi dan ditakuti (atau semuanya).  Mereka juga bisa menjadi bentuk lain perang maritim, pelaku gerilya bahari sebagai perantara Raja Laut.
Perlu diingat bahwa tipologi ini tidak dibuat pada tingkat individu dan tidak dapati dilihat sebagai tingkat-tingkat dalam arti evolusionis, selain juga karena ada banyak tumpang tindih dan interdependensi dalam kegiatan ketiganya. Orang Laut dan Bajak Laut bekerja sama dengan sesama anggota kelompok masing-masing atau kelompok lain, sedangkan Raja Laut harus memiliki rakyat pengikut yang bisa terdiri dari Orang Laut atau Bajak Laut. Didukung oleh argumentasi yang kokoh dan segudang literatur dalam berbagai bahasa yang dikumpulkannya dengan tekun dari berbagai negara, Lapian dengan jernih menjabarkan sejarah kawasan ini dalam kerangka konseptual yang ia siapkan, sambil tak jemu-jemunya tiap kali mengingatkan kita untuk berhati-hati mengenai permasalahan sumber sejarah.


DAFTAR PUSTAKA
Lapian, AB. 2009. Orang laut, Bajak Laut, Raja Laut (Sejarah Kawasan Laut Sulawesi abad XIX). Jakarta : Komunitas Bambu









1 komentar: