RESENSI
Penulis : Adrian B.
Lapian
Penerbit : Komunitas Bambu
Cetakan : I, Agustus 2009
Tebal : xx + 284 halaman
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nusantara merupakan sebuah
wilayah yang terdiri dari berbagai pulau yag membentang dari timur
kebarat. hal ini dapat mempengarui
keadaan yang ada pada masyarakat yang mendiami wilayah-wilayah yang mencangkup
nusantara. Sehingga memunculkan berbagai suku yang kesemuannya memilki ciri
khas tersendiri baik dari segi tradisi maupun pola kehidupan sosialnya.
Terlepas dari itu semua wilayah nusantara yang sebagian besar berbatasan dengan
laut, menghasilkan sebagian masyarakatnya mencari makan dari laut. Hal itu yang
melatarbelakangi penulisan yang dilakukan oleh alhi sejarah maritim yang ada di
Indonesia, yaitu Adrian B. Lapian. Unutk menulis sebuah buku yang berjudul Orang Laut,Bajak laut, Raja Laut, yang
dukhususkan membahas tentang keadaan laut di Sulawesi pada abad ke XIX. Buku ini menecritakan pola masyarakat yang
ada di laut yang kemudian membaginya menjadi orang laut,bajak laut dan raja
laut. Selain itu dalam Studi sejarah di Indonesia masih
berkutat pada peristiwa- peristiwa besar di lingkup dan kepentingan orang
daratan. Terwujudnya
keseimbangan paradigma kita melihat cakrawala sejarah Indonesia yang lebih
utuh, yaitu dengan menyatukan pengetahuan dan peristiwa masa lampau sebagai
dasar untuk memahami kekinian, antara fakta sejarah kedaratan dan kelautan. Wawasan Nusantara bukan hanya
melihat NKRI sebagai suatu kesatuan berdasarkan prinsip pulau demi pulau,
tetapi sebagai negara kepulauan yang mempunyai kebulatan teritorial (laut dan
selat). Abad XIX merupakan abad yang
strategis, karena menjadi masa yang menentukan keadaan hasil warisan abad XX
dan sesudahnya. Yaitu sebagai abad perluasan kekuasaan maritim kolonial dan
kemunduran kekuasaan bahari pribumi.
Masalah
bajak laut menjadi satu tema penting bagi pemerintah kolonial dalam rangka
usahanya memberantas eksistensinya. Terutama di perairan Asia Tenggara yang
dilakukan oleh negara berkepentingan seperti Inggris, Belanda dan Spanyol.
Muncul
karya- karya negara tersebut antara lain:
Dari
Spanyol:
a.
Karya Barrantes, berisi perang bajak
laut di Filiphina melawan orang- orang Sulu dan Mindanao
b.
Karya Montero Y Vidal, berisi tentang sejarah bajak laut Melayu muslim di
Mindanao, Jolo dan Kalimantan.
Dari
Belanda:
a.
Karya Kniphorst, berisi sketsa bajak
laut di Nusantara
b.
Karya Gregory, berisi tentang bajak laut
dan perompakan di kepulauan Hindia- Belanda, termasuk Mindanao dan kep. Sulu.
Dari
Perancis:
a.
Karya Lavollee, berisi bajak laut Melayu
Karya-
karya tersebut mengindikasikan keterlibatan pemerintahan kolonial dalam masalah
menghadapi fenomena bajak laut. Kegiatan yang banyak memberitakan tentang bajak laut pada abad XIX memunculkan beberapa
opini: Apakah pada abad XIX merupakan
puncak munculnya fenomena bajak laut?
Apakah
pemerintah kolonial memberikan perhatian yang lebih besar terhadap masalah
tersebut, sebagai kelanjutan pada masa sebelumnya? Karena munculnya fenomena bajak
laut sesungguhnya bagi Lapian menunjukkan sebuah korelasi antara usaha
pemberantasan bajak laut dengan politik ekspansi kolonial diperairan tersebut.
Hal ini untuk melihat sebuah pandangan yang berbeda bahwa gejala bajak
laut pada abad XIX itu sebagai suatu
perang gerilya bahari (hal.4). Disinilah posisi B. Lapian berusaha untuk
memperoleh pandangan yang Indonesia sentris.
Pada
hakikatnya pendekatan ini merupakan masih berdasarkan visi Eropa yang arah
pandangannya terbalik. Baik kesusastraan lama maupun tradisi lisan mengandung
banyak kisah tentang bajak laut—suatu gejala bahwa fenomena ini sudah dikenal
sejak lama sebelum kedatangan kapal- kapal Barat. Dengan kata lain bahwa
pribumi telah mengenal gejala bajak laut yang dilihat sebagai fenomena
kejahatan. Dan dipihak lain beberapa penulis barat melihat fenomena ini
terutama di Asia Tenggara sebagai suatu reaksi terhadap politik kolonial.
Penulis lain
menurut Lapian melihat fenomena bajak laut sebagai perang Agama. Seperti karya
Veth “Perompakan laut dikepulauan Hindhia dilihat sebagai bentuk khusus dari
perang Sabil terhadap orang kafir”, sebagaimana juga karya Montero Y Vidal
sebelumnya.
Dalam
membicarakan bajak laut di Nusantara sebagaimana dikutip Lapian (dalam Jurnal
ENI edisi ke- 2 jilid iv th 1921, h.821-826), dikatakan bahwa : “Kekersan dan
pemerasan oleh Portugis dan Spanyol dan tidak sedikit juga kontrak dagang yang diadakan sewenang-
wenang oleh Kompeni Belanda untuk Hindia- Timur (VOC) dengan raja- raja dan
bangsa- bangsa pribumi telah ikut mendorong mereka (menjadi bajak laut).
Sebenarnya kontrak tesebut tidak pernah ditandatangani dengan sukarela;
biasanya perjanjian tersebut dipaksakan, dan disamping itu raja- raja dan
kepala- kepala dalam banyak hal tidak memperhitungkan akibat yang akan terjadi
akibat kontrak tersebut. Dipihak lain wakil- wakil VOC pun tidak
memperhitungkannya. Sekalipun telah berkali- kali diperingatkan bahwa akibatnya
akan sangat merugikan [bagi VOC] untuk jangka waktu yang lebih panjang, pada
saat mengadakan kontrak hanya dipertimbangkan keuntungan jangka pendek yang
bisa dinikmati oleh VOC dan pegawai- pegawainya...” . Pernyataan tersebut
mengindikasikan bahwa salah satu faktor kemunculan bajak laut berasal dari
sistem yang diterapkan oleh kolonial dengan berbagai kebijakannya dan hal
tersebut sangat menjadikan pribumi dalam kondisi yang kurang puas.
Beberapa contoh
historiografi tentang bajak laut tersebut memberikan sebuah warna dan pemahaman
bagi kami bahwa bajak laut mempunyai stereotipe yang beragam, tidak hanya
sebagai penjahat tetapi juga dapat digolongkan menjadi “bandit sosial”,
tergantung bagaimana masyarakat memberikan sebuah penafsiaran atau pelabelan
sosial.
Tetapi pada
umumnya
bajak laut yang ada di perairan Nusantara pada abad XIX mengalami sebuah akhir
yang tidak sepadan dengan apa yang mereka perjuangkan. Mereka biasanya menemui
ajal karena serangan kolonial atau tertangkap dan mendapatkan hukuman mati oleh
pengadilan kolonial dala usahanya menanamkan “law and order” menurut nilai-
nilai Barat atau juga mati karena dikeroyok massa yang dilatarbelakangi motif
pribadi.
B. Ruang Lingkup
Dalam
tulisan Lapian ini, beliau memfokuskan setting pada wilayah Laut Sulawesi
sebagai fokus studi. Hal ini dilatarbelakangi oleh sumber primer dn sekunder,
yang menunjukkan bahwa sebagian bes ar kegiatan yang dianggap bajak laut
dilakukan oleh orang- orang yang berasal dari daerah ini, khususnya dari
kepulauan Sulu dan bagian Selatan pulau Mindanao.
Ditinjau
dari sudut geografi, wilayah Laut Sulawesi merupakan satu kesatuan dan dilihat
dari segi ilmu bahasa, etnologi, antropologi, fisik dll terdapat unsur- unsur
persamaan. Jangkauan temporal yang digunakan Lapian juga dibatasi pada abad XIX
atas dasar bahwa pada abad ini penemuan terhadap sumber- sumber sejarah lebih
maksimal daripada abad sebelumnya. Meskipun dalam studinya, Lapian lebih banyak
menggunakan sumber- sumber asing daripada sumber pribumi disebabkan oleh adanya
keterbatasan.
Dari sudut sejarah, abad XIX juga sangat
penting karena pada masa ini negara- negara kolonial mulai secara khusus dan
intensif melebarkan sayap kekuasaannya. Meskipun pada abad XVI Laut Sulawesi
telah lebih dahulu dikunjungi oleh Spanyol dan Portugis. Dan Inggris sejak
akhir abad XVIII muncul sebagai kekuatan kolonial ketiga di Laut Sulawesi
dengan menjadikan Sabah kini sebagai protektorat kerajaan Inggris.
Pembagian
wilayah Laut Sulawesi dalam tiga daerah kolonial yang masing- masing merupakan
jajahan Spanyol di Filiphina, jajahan Hindia- Belanda yang berpusat di Batavia
dan protektorat Inggris di Kalimantan Utara, membawa dampak pada masa sekarang
wilayah ini terbagi dalam tiga bagian, masing- masing menjadi bagian RI,
Republik Filipina dan negeri Sabah yang merupakan negara-bagian dari
Persekutuan Malaysia.
BAB II
PEMBAHASAN
Lapian lebih banyak menyoroti tentang makna
sebuah wilayah perbatasan, terutama teritorial laut atau perairan, tidak hanya
bagi sebuah kelompok manusia yang berdiam diwilayah tersebut, tetapi juga makna
bagi eksistensi sebuah negara atau bangsa yang telah resmi secara de
fakto and de yure
menaunginya. Selain itu juga tentang karakteristik Laut Sulawesi dan beberapa
hal yang menaungi didalamnya, termasuk tentang penduduk yang mendiaminya.
Sebuah
wilayah daratan, pegunungan atau perairan mempunyai makna yang sama bagi
masyarakat yang menghuninya. Wilayah
-
wilayah tadi bukanlah pembatas yang
memisahkan kehidupan mereka akan tetapi justeru merupakan suatu kesatuan
teritorial dari dunia yang dihayatinya. Begitulah laut dimaknai oleh penduduk bahari
yang bukan dilihat sebagai pemisah namun sebaliknya, laut bagi mereka adalah
pemersatu—suatu kontinum
yang memungkinkan mereka berhubungan dengan penduduk didaerah seberang. Hal
semacam ini ditemui pula di Laut Sulawesi.
Walaupun
merupakan daerah perbatasan bagi negara- negara Filipina, Malaysia dan Indonesia,
namun menurut Lapian diwilayah ini ditemukan suatu kontinuum baik dilihat dari
wilayah alamiah maupun dari sudut penduduk yang sekalipun terdapat perbedaan,
namun tidak secara mendadak (abrupt) berubah pada waktu batas politik dan hukum
salah satu negara dilintasi. Disini ditemukan pula penghuni yang dianggap
“terasing” dari norma dan bentuk kemasyarakatan yang dikenal. Mereka mendiami daerah hutan di pegunungan yang merupakan
perbatasan darat antara Indonesia dan
Malaysia, maupun daerah perairan yang
yang telah menjadi perbatasan antara Indonesia- Malaysia, antara
Malaysia- Filipina dan antara Filipina- Indonesia. Termasuk garis perbatasan
dimanapun—termasuk kawasan Laut Sulawesi yang tercipta berdasarkan hasil
pertumbuhan sejarah yang telah berlangsung lama.
Untuk
mengenal lebih dekat tentang wilayah fisik Sulawesi Selatan, berikut kami
paparkan secara singkat. Laut Sulawesi
merupakan wilayah perairan yang menggenangi ceruk bumi yang dibentuk oleh
pulau- pulau Sangir Talaud, semenanjung Sulawesi Utara, pantai Kalimantan
Timur, gugusan kepulauan Sulu dan pantai Mindanao Selatan. Bentang perairan
terletak kira- kira antara 118° dan 125° BT dan 1° dan 5°LU. Letak kawasan
Laut Sulawesi yang berdekatan dengan
garis khatulistiwa memberi kepada daerah ini iklim tropis maritim dengan ciri-
ciri khusus, seperti suhu yang tinggi, kelembaban relatif besar, pembentukan
awan yang moderat dan gerak angin yang sedang. Wilayah ini juga mengenal dua
musim, yaitu musim panas dan musim dingin
yang silih berganti akibat pengaruh
dua kontinen yang berbeda.
Topografi
yang ada di kawasan Laut Sulawesi cukup unik. Pelayaran dari luar wilayah dapat
dilalui dari tiga arah. Pertama, dari
sebelah Utara, yakni dari Laut Cina Selatan lewat Laut Sulu kemudian menggunakan salah satu jalur
dari banyaknya alur pelayaran di sela- sela kepualauna Sulu. Kedua, jalan di sebelah Timur yakni
untuk pelayaran dari Laut Maluku dan Samudera Pasifik melalui perairan
Sangir—Talaud. Ketiga, pintu masuk yang terdapat disebelah Barat- Daya, melalui
selat Makasar yang menghubungkan Laut
Jawa dan Laut Flores dengan Laut
Sulawesi.
Lintasan kawasan yang sangat erat
hubungannya dengan penjelajahan Laut
Sulawesi adalah kepulauan Sulu, Mindanao Selatan, Kepulauan Sangir dan Talaud
serta beberapa lintasan disekitarnya. Sementara mengenai penduduk yang mendiaminya, masih fragmentaris.
Terutama terkait suku bangsa pada ranah
antropologi dan linguistiknya. Kawasan Laut Sulawesi mengenal penduduk yang terbagi dalam tiga bangsa, meskipun dari
sudut antrngsa, meskipun dari sudut antropologi fisik , kebopologi fisik ,
kebudayaan maupun linguistik kriteria pembedaannya beragam. Masing- masing
negara mengalami kesulitan untuk membuat klasifikasi suku bangsa yang
memuaskan. Contoh suku bangsa yang ada diantaranya adalah suku Sulu yang
mendiami kepulauan Sulu dengan bahasa yang digunakan bahasa Samal (Balangingi,
Bajau Laut, Jama Mapaun dan Yakan).
Namun suku yang dominan dikepulauan ini adalah suku Tausug yang mendiami
pulau Jolo dan pulau kecil sekitarnya. Semua bahasa yang ada di kawasan Laut
Sulawesi termasuk rumpun bahasa Austronesia.
Sebagai
sebuah kawasan perairan, Laut Sulawesi telah mengenal kebudayaan Maritim.
Kebudayaan tersebut salah satunya dikembangkan oleh penduduk pantai Kalimantan
Timur, termasuk Sabah Timur yang termasuk suku bangsa Tidung. Terutama mereka
lakukan dengan melayari sungai besar didaerah delta yang dibentuk oleh muara-
muara sungai. Jenis- jenis perahu yang dikenal mereka yaitu Jukung, lumbung dan gubang. Demikian
hasil penelitian Nooteboom sebagaimana dikutip Lapian. Sementara didaerah lain
di Sulawesi Utara seperti di Kepulauan Sangihe dan Talaud, kebudayaan maritim
tidak begitu berkembang. Namun jenis perahu yang digunakan di daerah ini cukup
bervariasi, terutama dalam bentuk cadiknya. Sehingga Nooteboom dalam
kesimpulannya memasukkan daerah Sulut bersama kepulauan Sangihe - Talaud dan Kepulauan Sulu dalam
satu wilayah inti tempat asal penyebaran
berbagai macam cadik.
Mengenai kehidupan orang
laut sudah berlangsung lama sebelum abad ke XIX, karena mereka memang sebuah masyarakat kecil yang hidup di laut
dan menggantungkan hidupnya dilaut. Mereka belum mengenal organisasi atau
sebuah aturan yang ada pada suatu Negara, sistem masyarakatnya masih sangat
sederhana, mereka hanya mengenal pemimpin hanya sebatas keluarga, mereka hidup
diatas perahu kecil yang hanya dapat menampung sekitar empat sampai lima orang
dalam perahu tersebut. Mereka pada umumnya hidup nomaden, yaitu berpindah dari
stu tempat ke tempat lainnya, namun pergerakan mereka tidak sampai ke laut
lepas, mereka tinggal dipinggir laut, atau sekitar laut dangkal. Mereka hidup
dalam perahu-perahu kecil yang dihuni oleh keluarga-keluarga, terdiri dari ayah
dan ibu beserta anak-anaknya, umumnya pada masyarakat yang disebut orang laut
ini, tidak mempunyai anak yang banyak, karena memang daya tampung dalam perahu
tidak memungkinkan mereka mempunyai anak yang banyak. Mereka biasa berkumpul
dengan keluarga lain pada saat-saat tertentu seperti ketika ada seorang dari
keluarga mereka sakit, pada saat pernikahan yang berlangsung. Umumnya sanak
keluarga jauh datang untuk menjenguk atau meramaikan upacara tersebut. Dalam
kehidupan yang serba terasing ini, orang laut juga sesekali melakukan kontrak
dengan orang-orang yang ada di darat, terutama dalam hal mencari kayu untuk
pembuatan perahu, mereka juga biasanya menukarkan ikan mereka dengan kebutuhan
pokok lainnya seperti beras, pakaian dan sebagainya. Orang yang tinggal di darat menganggap orang
laut sebagai orang yang primitif yang masih berkebudayaan rendah. Namun mereka
juga dapat membatu untuk kebutuhan masyarakat atas konsumsi ikan. Lama kelamaan
juga terdapat orang laut yang pindah didarat atau dipinggir pantai untuk
tinggal menetap. Karena banyak yang berpikiran wilayah laut semaikn berbahaya
dan wilayah untuk mencari ikan semakin terbatas karena juga mendapat saingan
dari pencari ikan lain, akibatnya orang laut yang masih mempertahankan pola
hidupnya di atas perahu mulai menyingkir dari tempat yang telah ramai tersebut
ke wilayah yang masih sepi dari aktifitas masyarakat lainnya.
Selain orang laut yang
mencari kehidupan di laut, juga terdapat sekelompok masyarakat yang disebut
sebagai bajak laut, mereka hidup dengan cara meramapas barang dari kapal-kapal
yang berhasil mereka bajak. Mengenai bajak laut yang terkenal di asia tenggara
kushusnya di perairan Sulawesi adalah bajak laut Sulu, Mangindanao, Balangingi,
dan sebagainya. Bajak laut sering dikatakan sebagai tindak kejahatan karena
mereka untuk mendapatkan segala sesuatu meggunakan cara kekerasan dan tidak
jarang disertai dengan pembunuhan. Dalam setiap aksinya mereka selalu membawa
tawanan yang ada dalam kapal yang mereka bajak ke darat dan menjual awak kapal
tersebut kepada orang yang membutuhkantenaga kerja untuk menggarap tanah
mereka. Mereka diperkerjakan di ladang milik petani kaya yang memiliki tanah
yang luas. Untuk melakukan pelayaran ke tempat yang jauh untuk mencari
budak-budak untuk di jual tersebut, para bajak laut ini membutuhkan jasa
seorang yang mengetahui keadaan laut. Untuk itu mereka juga berhubungan dengan
orang laut yang lebih mahir mengenai keadaan bahari yang ada. Dalam hal ini,
terdapat hubungan timbale balik antara keduanya, orang laut juga mendapat
perlindungan dari bajak laut, dari ancaman luar. Sedangkan bajak laut sendiri
memperoleh tenaga trampil yang bisa digunakan sebagai penunjuk arah.
Sejak awal abad XIX,
kekuatan bajak laut di Nusantara mulai berkurang karena mereka diburu oleh
pemerintah kolonial yang menganggap tindakan mereka sebagai tindakan yang
tergolong kriminal. Hal tersebut membuat pergerakan bajak lakut semakin
terhambat oleh para pesaing asing yang datang di kepulauan nusantara. Pada
mulanya mereka memang masih sanggup menghadapai tekanan yang diberikan oleh
para bajak laut asing ini, namun lama kelmaan mereka semakin terpojok. Hal
tersebut semakin diperkuat oleh peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
pemerintah kolonial. Dengan memberlakukan undang-undang yang mengatur tentang
pelarangan bajak laut dan menganggap mereka sebagai penjahat di laut. Untuk itu
pemerintah melakukan perburuan terhadap bajak laut, dan mereka yang terbukti
salah dan melakukan kejahatan di laut akan dihukum mati. Bajak laut dalam arti
pemerintah kolonial ini dapat dibagi menjadi dua jenis, pertama yang disebut
sebagai pirate yaitu bajak laut yang melakukan kegiatan di laut secara illegal,
dan bertentangan dengan hukum yang berlaku. Kemudian yang kedua adalah
korsario, atau bajak laut yang dikeluarkan pemerintah untuk membajak bajak laut
secara liar, dalam arti bajak laut tipe inni bisa disebut sebagai bajak laut
yang legal, yang kegiatannnya memang disetujui oleh pemerintah. Mereka juga
bertujuan untuk membajak atau menangkap kapal-kapal yang berlayar di laut
territorial mereka.
Kelompok yang terakhir yang
dibahas dalam buku ini adalah raja laut. Mengenai raja laut—kapitan laut, datu
laut, pangeran laut—tentu saja tidak luput dari pemaparan Lapian. Keberadaan
raja laut tidak bisa diabaikan dalam sejarah maritim karena merupakan salah
satu kelompok atau kekuatan yang dimiliki oleh kerajaan atau kesultanan. Gelar
raja laut di kawasan laut Sulawesi pada waktu itu sebenarnya dipegang oleh
tokoh yang memimpin kekuatan laut kerajaan yang bersangkutan (hal 173). Oleh
sebab itu, dalam hubungan ini, istilah raja laut dapat dipakai untuk menyebut
tipe kekuatan laut yang resmi. Berbeda dengan bajak laut yang merupakan tipe
kekuatan laut tandingan yang oleh pemerintahan yang berkuasa dianggap ”liar”,
tipe orang laut adalah masyarakat yang tidak atau belum terorganisasi dalam
bentuk negara atau kerajaan.
Jabatan raja laut, menurut
Lapian, pernah juga disandang oleh orang Eropa (hal 213-215). Gelar ”Dato del
Mar” diberikan oleh Sultan Maguindanao kepada Kolonel Don Romualdo Crespo,
putra dari Gubernur Jenderal Filipina Don Manuel Crespo. Hal serupa dialami
oleh William Lingard, seorang kapten kapal niaga berbendera Inggris yang
mendapat gelar raja laut (pangeran laut) dari Sultan Gunung Tabur. Gelar raja
laut ini pun bukan sebuah ”jabatan kosong” tidak berarti. Raja laut merupakan
kelompok yang terorganisir. Mereka dipimpin oleh seorang pangeran atau yang
biasa disebut sebagai Kapitan laut. Mereka adalah golongan kelas bangsawan yang
bertugas dialut untuk melakukan pembajakan kapal yang telah masuk kedalam daerah
territorial mereka tanpa ijin. Mengenai
raja laut ini, umumnya dimiliki oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara yang
tergolong maritime yang kegiatannya lebih berorentasi dalam laut. Selain untuk
pertahan pada kerajaan, fungsi dari raja laut seperti yang telah disebutkan
diatas.
Kelompok ini juga tergolong
kedalam bajak laut korsario, karena mereka bersifat legal berkerja sama
dengan orang laut dan bajak laut, untuk
melakukan kegiatan di laut lepas. Peran raja laut membutuhkan orang banyak
dalam setiap kegiatannya. Bajak laut yang biasnya bergabung ini adalah bajak
laut yang sebelumnya menempati daerah kekuasaan kerajaan yang sekarang ini
sedang berdiri. Bajak laut juga menjadi posisi penting dalam pemerintahan
kerjaan itu dapat terlihat jabatan yang ada pada kerajaan Tidore dan Ternate.
Pada akhir abad ke XIX, kegiatan mereka mulai terganggu dengan datangnya
kekuatan asing yang mulai membatasi kekuasaan laut mereka. Dengan fasititas
yang lebih canggih dan menggunakan tenaga uap, membuat kekuatan asing ini
berangsur-angsur mulai menenggelamkan kekuasaan pribumi. Dan pada abad
selanjutnya perdagangan di laut Sulawesi ini dikuasai oleh kekuatan asing
tersebut.
BAB
III
KESIMPULAN
Begitulah Adrian B. Lapian, ahli sejarah maritim, mengingatkan
kita melalui karyanya ini. Demi fokus yang lebih mendalam dan karena
keterbatasan sumber tulisan, Lapian memilih untuk membatasi penelitian ini pada
kawasan Sulawesi di abad XIX. Dibagi menjadi enam bab termasuk
pendahuluan dan penutup, dengan komprehensif dan bertahap Lapian memberi uraian
mengenai keadaan fisik dan penduduk kawasan Sulawesi, sebelum kemudian secara
spesifik membahas masyarakatnya berdasarkan tiga tipe ideal: orang laut, bajak
laut, dan raja laut. Tipologi ini dibuat untuk memudahkan deskripsi masalah yang begitu
kompleks, karena kategori ‘bajak laut’ telah dengan terlalu kabur digunakan
untuk pihak ‘lain’ yang melakukan tindakan kekerasan di kawasan laut.
Lapian mengingatkan kita untuk melihat apa yang disebut sebagai pemberantasan
‘bajak laut’ (di abad XIX) dalam kaitannya dengan politik imperialisme di
Asia Tenggara, dan alasan untuk mengadakan intervensi dalam pemerintahan
setempat.
Sebagai tipe ideal, Orang Laut, berdasarkan tipologi sederhana
ini, dimaksudkan Lapian sebagai semua kelompok masyarakat yang belum atau tidak
mengenal bentuk organisasi kerajaan atau negara, umumnya hidup berkelompok
dalam perkampungan perahu dengan sifat mobile (hingga kerap
disebut sea-nomads atau sea-gypsies). Raja
Laut dimaksudkan sebagai “kapal dan perahu yang merupakan kekuatan laut
raja-raja di Asia Tenggara yang melakukan tugasnya sebagai pemayar di perairan
kerajaan,” dan mempunyai semacam “wenang-wenang” untuk melakukan kekerasan
terhadap siapa saja yang memasuki wilayahnya. Kekuatan Barat pun,
sebenarnya dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk khusus dari tipe Raja Laut
karena posisi dominan mereka di Asia Tenggara. Sementara Bajak Laut adalah
“kelompok pelaut yang melakukan kekerasan, tetapi … tidak bertugas sebagai
pemayar kerajaan pribumi atau kekuatan kolonial, lagi pula bukan merupakan
anggota masyarakat kelompok etnis yang masuk kategori Orang Laut,” dengan
motif-motif tersendiri yang tidak jarang mendapat simpati masyarakat setempat,
atau sebaliknya dimusuhi dan ditakuti (atau semuanya). Mereka juga bisa
menjadi bentuk lain perang maritim, pelaku gerilya bahari sebagai perantara
Raja Laut.
Perlu diingat bahwa tipologi ini tidak dibuat pada tingkat
individu dan tidak dapati dilihat sebagai tingkat-tingkat dalam arti
evolusionis, selain juga karena ada banyak tumpang tindih dan interdependensi
dalam kegiatan ketiganya. Orang Laut dan Bajak Laut bekerja sama dengan sesama
anggota kelompok masing-masing atau kelompok lain, sedangkan Raja Laut harus
memiliki rakyat pengikut yang bisa terdiri dari Orang Laut atau Bajak Laut.
Didukung oleh argumentasi yang kokoh dan segudang literatur dalam berbagai
bahasa yang dikumpulkannya dengan tekun dari berbagai negara, Lapian dengan
jernih menjabarkan sejarah kawasan ini dalam kerangka konseptual yang ia
siapkan, sambil tak jemu-jemunya tiap kali mengingatkan kita untuk berhati-hati
mengenai permasalahan sumber sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Lapian,
AB. 2009. Orang laut, Bajak Laut, Raja
Laut (Sejarah Kawasan Laut Sulawesi abad XIX). Jakarta : Komunitas Bambu
Di bagi file buku PDFnya min...
BalasHapus