BAB
I. PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Pengkajian
filosofis terhadap pendidikan mutlak
diperlukan karena membantu dalam
memberikan informasi tentang hakekat manusia sebagai dirinya sendiri baik secara
horisontal maupun secara vertikal. Sehingga kajian tentang realitas sangat dibutuhkan dalam menentukan tujuan akhir
pendidikan. Disisi lain, kajian filosofis
memberikan informasi yang
berkaitan dengan pengetahuan, sumber pengetahuan, nilai, dan Seperti bagaimanakah pengetahuan itu
diperoleh, bagaimana manusia dapat memperoleh nilai tersebut. Dengan nilai tersebut
apakah pendidikan layak untuk diterapkan dan lebih jauh akan membantu untuk
menentukan bagaimana seharusnya pendidikan itu dilaksanakan. Pendidikan disisi
lain tidak bisa melepaskan tujuan untuk membentuk peserta didik yang memiliki
nilai-nilai mulai spritual, agama, kepribadian dan kecerdasan.
pendidikan
kita tidak sekedar menempatkan manusia
sebagai alat produksi. Manusia harus dipandang sebagai sumber daya yang
utuh. Pendidikan tidak boleh terjebak pada teori-teori neoklasik, suatu teori
yang menempatkan manusia sebagai alat-alat produksi, dimana penguasaan IPTEK
bertujuan menupang kekuasaan dan kepentingan kapitalis. pendidikan tidak
memiliki basis pengembangan budaya yang
jelas. Lembaga pendidikan kita hanya
dikembangkan berdasarkan model ekonomik untuk menghasilkan/ membudaya
manusia pekerja (abdi dalem) yang sudah disetel
menurut tata nilai ekonomi yang
berlatar (kapitalis) sehingga tidak mengherankan jika keluaran pendidikan kita menjadi manusia pencari kerja dan tidak
berdaya. Bukan manusia kreatif pencipta
keterkaitan kesejahteraan dalam siklus rangkaian manfaat yang
seharusnya menjadi hal yang paling
esensial dalam pendidikan dan pembelajaran.
Salah
satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja
memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswalah yang harus aktif membangun
pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah yang siap untuk
diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan dan memberi
makna melalui pangalaman nyata. Dalam
eksistensialisme bahwa yang nyata adalah
yang dapat kita alami.
Berdasarkan gambaran tersebut, perlu dibahas lebih lanjut
tentang eksistensialisme dengan Subjektivitas pengalamannya dalam pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, ada beberapa rumusan masalah yang dideskripsikan sebagai
berikut?
1.
bagaimanakah
latarbelakang munculnya filsafat Eksistensialisme ?
2.
bagaimanakan
penerapan Filsafat eksistensialisme dalam pendidikan?
1.3. Tujuan masalah
Berdasarkan Rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam makalah
ini adalah
1.
untuk mengetahui
latarbelakang munculnya filsafat Eksistensialisme, dan
2.
untuk mengetahui
penerapan Filsafat eksistensialisme dalam pendidikan?
BAB II.
PEMBAHASAN
2.1
Latarbelakang Eksistensialisme.
Konsep
eksistensialisme dikembangkan oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger
(1889-1976), merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari
metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh hussel (1859 – 1938). Kemunculan
eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche.
Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang
diri ?”, dasar pertanyaan tersebut mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak
berada pada suatu system yang umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang
konkret.
Pandangan
tersebut tentunya bukan suatu yang muncul dengan sendirinya, melainkan sesuatu
yang lahir ketika dunia mengalami krisis eksistensial, ketika manusia melupakan
sifat individualisnya. Kierkegaard berusaha untuk menemukan jawaban untuk
pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika
memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Dari
kierkegaard kemudian diteruskan oleh Nitzche (1844-1900), pemikiran filsafat
Nitzche terarah pada upaya melahirkan ide yang bisa menjadi jalan keluar untuk
menjawab pertanyaan filosofisnya, yaitu “bagaimana cara menjadi manusia unggul
(ubbermench)”. Jawabannya adalah manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai
keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Sebagai
pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus
mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi
fenomenologi atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi
terhadap materialism dan idealisme. Pendapat materialism terhadap manusia
adalah manusia merupakan benda dunia, manusia adalah materi, manusia adalah
sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Pandangan manusia menurut idealisme :
manusia hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu kesadaran.
Eksistensialisme berkeyakinan situasi manusia selalu berpangkalkan eksistensi
sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret.
Disini
bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas
tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak
benar, tetapi seorang eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat relative,
karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya
benar.
Sementara,
dalam ruang ontology, eksistensialisme banyak mempersoalkan makna keberadaan
manusia yang diyakini mesti dihadirkan lewat kebebasan. Oleh karenanya,
pertanyaan utama eksistensialisme nyaris selalu bersinggungan dengan persoalan
kebebasan; mulai dari apakah kebebasan itu ? bagaimanakah manusia yang bebas
itu ? eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap
kebebasan kecuali kebebasan tersebut.
Sementara, di perancis eksistensialisme dikenal lewat Jean Paul
Sartre, dengan diktumnya “human is condemned to be free”. Manusia demikian
menurut Sartre, dikutuk untuk bebas. Dengan kebebasannya itulah kemudian manusia
bertindak. Dalam sisi ini, pertanyaan yang sering muncul sebagai akibat dari
adanya kebebasab eksistebsialis : sejauh mana kebebasan manusia itu? Atau,
sesuatu yang dalam istilah dikenal “orde baru”. Apakah eksistensialisme
mengenal kebebasan yang bertanggung jawab? Para penganut eksistensialisme
meyakini kebebasan adalah satu-satunya unuversalitas manusia. Maka, batasab
kebebasan setiap individu adalah kebebasan indovidu lain.
Namun,
menjadi eksistensialis bukan melulu harus menjadi seseorang yang lain daripada
yang lain, sebaliknya menjadi sadar bertapa keberadaan dunia selalu menjadi
sesuatu yang berada di luar kendali manusia. Meski hal itu bukan berarti
membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi
eksistensialisme.
Membuat
sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri dan sadar akan tanggung jawabnya di
masa depan adalah inti eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita
akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter atau lainnya tetapi yang
dipersoalkan oleh eksistensialisme apakah kita menjadi dokter atau lainnya
merupakan keinginan orang tua atau kita sendiri.
Adapun
secara umum, eksistensialisme membagi problem filsafat menjadi empat masalah
filosofis : eksistensi manusia, bagaimana bereksistensi secara aktif,
eksistensi manusia adalah eksistensi yang terbuka dan belum selesai, serta
pengalaman eksistensial. Seadngkan Sartre membagi eksistensialisme ke dalam dua
cabang, yaitu eksistensialisme kreistiani dan eksistensialisme ateis.
Filsafat
eksistensialisme membahas cara pengada-pengada, khususnya manusia. Sesuatu oleh
Sartre terbagi menjadi dua, yaitu l’etre – en – soi (ada – dalam – diri) dan
l’etre – pour – soi (berada – untuk – diri). L’etre – en –soi selalu menjadi
keberadaan yang an –sich, ada yang bulat, padat, baku, dan tertutup. Entre – en
– soi menaati prinsip what it is.
Perubahan
pada benda yang ada dalam diri itu disebabkan oleh sebab-sebab yang telah
ditentukan oleh adanya. Maka, benda entre – en – soi terdeteminasi, tidak
bebas, dan perubahannya memuakkan (nauseant). Benda yang berada-dalam-diri ada
di sana tanpa alas an apa pun, tanpa alas an yang kita berikan padanya.
Adapun,
l’etre – pour – soi adalah cara ada yang sadar. Satu-satunya makhluk yang
mengada secara sadar adalah manusia. Etre – pour – soi tidak memiliki prinsip
identitas karena adanya terbuka, dinamis, dan aktif oleh karena kesadarannya.
Disini, manusia mesti bertanggung jawab atas keberadaannya; bahwa “aku” adalah
frater, bukan bruder, bahwa “aku” imam tarekat, bukan imam diosesan; bahwa “aku”
awam, bukan klerus; bahwa “aku” dosen, bukan mahasiswa; bahwa “aku” mahasiswa,
bukan pengamen. Manusia sadar bahwa dia bereksistensi.
Dalam
membicarakan kesadaran, Sartre membagi menjadi dua, yaitu kesadran prareflektif
dan kesadaran reflektif. Kesadaran prafeflektif adalah kesadaran aktivitas
harian. Menurut Sartre, tidak ada “aku” dalam kesadaran prareflektif.
Sedangkan, kesadaran adalah kesadaran akan diri. Selama seseorang
berkonsentrasi, ia mengalami kesadaran reflektif.
Kesadaran
ini membuat manusia mampu membayangkan apa yang mungkin terjadi dan apa yang
bisa ia lakukan. Misalnya, ketika ia sadar bahwa akan realitas hidupnya menurut
Sartre seseorang akan dibawa pada sesuatu yang dinamainya “pusaran
kemungkinan”. Di titik inilah kebebasan menurut Sartre menjadi sesuatu hal yang
terkutuk.
Pendeknya,
eksistensialisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang berupa untuk agar
manusia menjadi dirinya, mengalami individualitasnya. Eksistensi berarti
berdiri sendiri sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard, “Das wesen des
daseins liegh in seiner Exixtenz”. Da – sein tersusun dari dad dan sein. Da
berarti di sana, sein berarti berada. Artinya, manusia sadar dengan tempatnya.
Menurut Sartre, adanya manusia itu bukanlah etre, melainkan a etre – manusia
itu tidak hanya ada, tetapi dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus
dubentuk dengan tidak henti-hentinya.
Menurut
Parkay (1998), aliran eksistensialisme terbagi dua sifat, yaitu teistik
(bertuhan) dan arteistik. Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat
tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan filsafat skeptif. Filsafat
spekulatif menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh pada individu.
Filsafat skeptif menyatakan bahwa semuanya pengalaman itu adalah palsu, tidak
ada sesuatu yang dapat kita kenal dari realita. Menurut mereka, konsep
metafisika adalah sementara.
2.2
Eksistensialisme Dalam Pendidikan
1. Pengetahuan.
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak
dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan
penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut
menampakan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuna manusia tergantung
kepada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia
terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat
untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan
alat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan
alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana
anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi
anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
2. Nilai.
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai,
menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu
cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu
tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan
pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar.
Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat
tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap
akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral
mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan.
Seseorang harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila
seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan
tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia
capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.
3. Pendidikan.
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan
individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang
sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap
nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971)
mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan,
karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah
yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan anatar manusia, hakikat kepribadian,
dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia,
sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
a. Tujuan
pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap
individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap
indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan
pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang
pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
b. Kurikulum.
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan
pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul
dalam suiatu tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang
luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum
yang memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan
mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan
pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka
sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu
mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata
pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan
kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di ats
adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa
anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun
bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan
berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir termasyur,
memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran dan kesalahan,
kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema
yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai contoh
kaum eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu perjuangan manusia mencapai
kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia
pelajari dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang
dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus dapat membangkitkan pikiran dan
perasaannya serta menjadi bagian dari dirinya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang
besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar
individu dapat mengadakan instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya.
Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan
keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan.
Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu,
sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
c. Proses
belajar mengajar.
Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar
eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang
“dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana
setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan
proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak
guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi
penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya
tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan
instruktur maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara materi
pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk
mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut.
Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan
produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak
dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan
siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa
harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru
akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi.
Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada
siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah
menjadi miliknya sendiri.
d. Peranan
guru.
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak
bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia
temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita
miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi
kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998),
seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada
eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan
situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”.
Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam
mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun
begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi
mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari
kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang,
tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya member semangat kepada siswa untuk
memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang
dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk
memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran
tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu,
siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa
harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa
dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative dengan melalui
pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member
instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul
menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama
dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi
guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu
berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa
dalam pemenuhan dirinya.
BAB III. PENUTUP
Filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada
pengalaman-pengalaman manusia. Dengan mengatakan bahwa yang nyata adalah yang
dialaminya bukan diluar kita. Jika
manusia mampu menginterpretasikan semuanya terbangun atas pengalamannya. tujuan
pendidikan adalah memberi pengalaman yang luas dan kebebasan namun memiliki
aturan-aturan. Peranan guru adalah melindungi dan memelihara kebebasan akademik
namun disisi lain guru sebagai motivator dan fasilitator
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. Asmoro. 2009. Filsafat umum. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.
Bernadib, Imam. 1976. Filsafat
pendidikan. Yogyakarta. Karang Malang
Drijarkasa. 2011. Filsafat manusia.Yogyakarta. kanisius.
Gandhi HW, TW.
2011. Filsafat pendidikan mazhab-mazhab Filsafat pendidikan. Jojakarta.
Ar-ruzzmedia.
J. Waluyo. 2007. Pengantar filsafat ilmu (buku Panduan
mahasiswa). Salatiga. Widya Sari.
Sadulloh, Uyoh.
2003. Pengantar Filsafat pendidikan.
Bandung: Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar