Rabu, 27 Juni 2012

Bung Karno: Pelarian



YANG menjadi sasaran pertama dari pendaratan, tentara Jepang adalah kota Palembang, Sumatera
Selatan. Tentara Belanda mengundurkan diri. Dia tidak bertempur. Dia lari tunggang‐langgang, Hanya
untuk satu hal Belanda tidak lari, yaitu untuk mengawasi Sukarno.
Belanda kuatir meninggalkanku, oleh karena Jepang sudah pasti akan menggunakan bakatku untuk
melontarkan kembali segala dendam kesumat terhadap Negeri Belanda, dan dengan demikian juga
terhadap Pasukan Sekutu. Merekapun kuatir terhadap masa datang, kalau perang sudah selesai.
Lepasnya Sukarno ke tali hati rakyat jang sudah sangat bergetar, berarti bukan, mempermudah jalan
untuk menguasai kembali kepulauan Hindia.
Mereka bahkan lebih menyadari daripadaku, bahwa di Jawa dan dimana‐mana rakyat masih belum
melupkan Sukano. Rakyat masih menempatkan Sukano di puncak impian mereka. Boleh jadi ini
disebabkan, karena tidak ada tokoh lain yang dapat menduduki tempat Sukarno di dalam hati rakyat.
Semenjak aku dibuang, maka pergerakan kebangsaan telah bercerai‐berai. Semua pemimpin dimasukkan
ke dalam bui atau diasingkan. Di tahun ’36 sebuah partai yang telah dilemahkan, yaitu Gerindo, bergerak
kembali, akan tetapi tidak mempunyai tokoh yang mudah terbakar. Tidak ada pemberontakan rakyat.
Apa yang dapat dilakukan oleh massa hanyalah mengingat‐ingat kembali waktu yang telah silam. Dan ini
memang mereka lakukan. Selama masa aku dipisahkan dari rakyat, mereka hanya mengenang detikdetik
yang memberi pengharapan dan kemenangan di bawah Singa Podium. Telah ternyata di dalam
sejarah agama dan politik, bahwa jika pihak lawan memerangi usaha seorang pemimpin dengan dalan
pengasingan atau lain‐lain, namanya akan semakin berurat‐berakar dalam hati rakyat. Demikian pula
halnya dengan Sukarno. Kepopuleranku di kalangan rakyat sampai sedemikian, sehingga nampaknya
seolah‐olah aku tidak pernah dipisahkan dari mereka itu.
Tersiarlah berita bahwa Jepang sudah bergerak menuju Bengkulu. Sehari sebelum ia menduduki kota ini
dua orang polisi dengan tergopoh‐gopoh datang ke tempatku. “Kemasi barang‐barang,” perintahnya.
“Tuan akan dibawa keluar.”
“Kapan ?”
“Malam ini juga. Dan jangan banyak tanya. Ikuti saja perintah. Tuan sekeluarga akan diangkut tengah
malam nanti. Secara diam‐diam dan rahasia. Hanya boleh membawa dua kopor kecil berisi pakaian.
Barang lain tinggalkan. Tuan akan dijaga keras mulai dari sekarang, jadi jangan coba‐coba melarikan diri.”
Sukarti yang berumur delapan tahun itu dapat merasakan ketegangan yang timbul. Karena takut dia
bergantung kepadaku dengan kedua belah tangannya. “Pegang saya, Oom,” bisiknya. Oom adalah paman
dalam bahasa Belanda. Ketika polisi itu meneriakkan perintahnya, aku membelai kepala anak itu untuk
menenangkan hatinya. “Boleh saya bertanya kemana kami akan dibawa?” tanyaku.
“Ke Padang. Tuan akan selamat, karena tentara kita dipusatkan di sana untuk membantu pengungsian.
Ribuan pelarian preman dan militer diungsikan dari Padang, yaitu pelabuhan tempat pemberangkatan
menuju Australia. Dan juga telah diatur untuk mengangkut tuan dengan kapal pengungsi yang terakhir.”
“Berapa lama kita di Padang?”
“Hanya satu malam. Iring‐iringan kapal sebanyak tujuh buah sudah siap menanti dan akan berangkat di
hari berikut setelah tuan sampai. Sekarang buru‐buru. Kita berlomba dengan waktu.”
Kami mendapat kesempatan hanya beberapa jam untuk berkemas. Tidak ada waktu untuk takut atau
bingung. Timbul pertanyaan dalam hati, apakah memang menguntungkan bagiku kalau aku disingkirkan
dari pendudukan tentara Jepang. Ataukah suatu kerugian, jika tetap berada dalam cengkeraman Belanda.
Perasaanku kacau balau. Meninggalkan kota Bengkulu berarti meninggalkan tempat pembuanganku.
Mengingat akan hal ini aku gembira. Akan tetapi pergi ke Australia berarti menuju tempat pembuangan
yang baru. Kalau ini kuingat, hatiku jadi susah. Sekarang ini, melebihi dari waktu‐waktu yang lain, aku
tidak ingin meninggalkan tanah airku yang tercinta. Bagaimana aku bisa membanting tulang demi
kemerdekaan negeriku dari tempat yang ribuan mil jauhnya.
Kejadian‐kejadian susul‐menyusul begitu cepat, sehingga tidak tersisa waktu untuk berpikir. Aku hanya
berhasil mencuri waktu lima menit untuk diriku sendiri. Bengkulu kotanya kecil dan dalam waktu lima
menit aku menyelundup ke rumah paman Fatmawati, dimana seluruh keluarga gadis itu berkumpul
bersama‐sama untuk menguatkan hati mereka dalam menghadapi penyerbuan. Aku mengetuk pintunya
dengan lunak dan berbicara pelahan, “Saya Sukarno. Bukalah pintu. Saya datang untuk mengucapkan
perpisahan.”
Aku memperoleh kesempatan selama satu detik yang singkat berhadapan dengan Fatmawati. Kami
berpegangan tangan dengan erat dan kataku kepadanya, “Hanja Tuhanlah Yang Maha Tahu apa yang
akan terjadi terhadap kita. Mungkin kita tidak akan dapat keluar dari peperangan ini dalam keadaan masih
hidup. Mungkin juga kita terdampar di bagian dunia yang berjauhan. Akan tetapi kemanapun jalan yang
akan kita tempuh, atau apapun yang akan terjadi terhadapmu dan aku, dimanapun kita terkandas, aku
menyadari bahwa Tuhan akan memberkati kita dan memberkati kecintaan kita satu sama lain. Insya
Allah, entah kapan …. entah dimana …. kita akan berjumpa lagi.”
Jam sebelas malam kami mendengar, bahwa musuh sudah berada di Lubuk linggau, kota penghubung
jalan kereta api Palembang — Bengkulu. Di tengah malam itu kepala polisi datang dengan diam‐diam.
Tidak jauh dari rumah kami di belakang semak belukar dia menyembunyikan sebuah mobil pick‐up. Di
dalamnya empat orang polisi. Dalam tempo limabelas menit Inggit, Sukarti, aku sendiri, Riwu —
pembantu kami berumur duapuluh tiga tahun yang dibawa dari Flores dan tidak mau ketinggalan — dan
barang‐barang kami semua dipadatkan dalam kendaraan yang sesak itu.
Dekat rumahku ada dua buah pompa bensin. Yang satu terletak di Fort Marlborough tidak jauh dari situ;
yang satu lagi di pekaranganku sendiri, milik Pemerintah, dibawah serumpun pohon kelapa. Belanda
mulai menjalankan politik bumi hangusnya. Begitu kami meninggalkan pintu depan, maka persediaan
bensin dan minjak pelumas di Fort Marlborough terbang ke udara dengan ledakan yang hebat. Ini sebagai
tanda bagi penjaga kami untuk membakar pula drum‐drum di rumahku. Tindakan ini mempunyai tujuan
berganda. Di samping mencegah, agar ia tidak jatuh ke tangan musuh, iapun memberikan kesenangan.
Ledakannya dapat terdengar ke sekitar sampai bermil‐mil dan sejauh‐jauhnya mata memandang di
seluruh kota hanya kelihatan lautan api. Dalam lindungan keadaan inilah mereka melarikanku keluar kota
Bengkulu.
Untuk menghilangkan jejak, polisi itu mengambil jalan ke arah selatan. Setelah jelas bahwa tidak ada
orang yang mengikuti jejak kami, mereka memutar haluan ke utara menuju Muko‐Muko, sekira 240
kilometer dari Bengkulu di mana kami akan bermalam. Selama dalam perjalanan kami harus mengarungi
tigabelas buah sungai yang lebar berlumpur dan banyak buaya. Tidak ada jembatan sama sekali. Kami
menyeberanginya dengan rakit dan perahu yang dibuat oleh rakyat setempat. Di hari berikutnya jam lima
sore rombongan yang kelelahan ini sampai di Muko‐Muko.
Kami bermalam di sebuah rumah yang dijaga keras oleh polisi. Jam tiga pagi kami dibangunkan lagi. “Mari
kita lanjutkan perjalanan,” gerutu salah seorang yang bertugas. “Sekarang berangkat.”
“Kenapa begini pagi ?” tanyaku.
“Rantau kita masih jauh dan hari ini harus sampai sejauh mungkin sebelum matahari membakar kepala.
Kalau siang sedikit, kita tidak akan tahan panasnya matahari.”
Sesampai di jalanan baru kami ketahui, bahwa pengiring kami dari Bengkulu sudah digantikan oleh enam
orang pengawal bermuka kaku dari Muko‐Muko. Selain dari membawa tempat minum mereka
menyandang senapan dan pistol. Ada lagi perubahan yang lain. Kendaraan kami sudah diganti dengan
gerobak sapi. Ia dimuat dengan persediaan makanan. Beras dan kaleng‐kaleng. Melebihi persediaan
untuk sehari. Cukup untuk seminggu, kukira.
“Perjalanan selanjutnya kita tempuh dengan jalan kaki,” kata seorang yang menyandang tempat minum.
Isteriku mengangkat kepala karena kaget. “Jalan kaki sampai ke Padang?”
“Betul.”
“Sejauh tigaratus kilometer?” tanyanya kehabisan napas.
“Ya, betul,” orang itu memotong. “Hayo kita jalan.”
“Kenapa tidak dengan mobil saja?” tanjaku, ketika kami menaikkan Sukarti dan barang ke atas gerobak.
“Kita melalui hutan lebat, rapat dan susah dijalani. Satu‐satunja cara supaya sampai di Padang dengan
menempuh jalan setapak yang berkelok‐kelok berliku‐liku dan di beberapa tempat susah dilalui.”
Aku bisa tahan berjalan kalau dibandingkan dengan yang lain, oleh karena aku selalu latihan. Akan tetapi
Inggitlah yang menimbulkan kekuatiranku. “Jangan kuatir,” aku membujuknya. “Polisi‐polisi yang bebal
inipun bukan pejalan marathon, sama saja dengan kau.”
Betapapun kekuatiran yang timbul, bagi kami tidak ada pilihan lain. Di belakang kami, tentara Jepang. Di
depan, tentara Belanda. Dikiri‐kanan kami enam orang polisi pakai senapan, mendampingi kami setiap
saat siang dan malam. Jadi kami berjalanlah. Terus berjalan. Tak henti‐hentinya berjalan. Menempuh
hutan yang lebat di sepanjang pantai Barat Sumatera Selatan. Aku memakai sepatu. Isteriku hanya pakai
sandal terbuka seperti yang biasa dipakai oleh wanita Indonesia, dan tidak bisa diharapkan dapat
meringankan perjalanan berhari‐hari melalui hutan rotan dan rumput liar yang kering dan menggoresgores
kaki setinggi lutut bermil‐mil jauhnya. Kaki Inggit lecet dan bengkak. Kadang‐kadang ia naik
gerobak sapi itu. Akan tetapi jalanna curam dan akhirnya bukan sapi itu yang menolong kami, akan tetapi
akulah yang harus menolong sapi itu. Aku menariknya. Dan menolaknya. Seringkali binatang itu hanya
berdiri saja dan menantikan Sukarno menarik gerobak itu seorang diri.
Di tengah hutan yang demikian sesekali kami menjumpai sebuah pondok yang terpencil kepunyaan
pemburu atau pencari kayu bakar. Jam enam sore kami berhenti di pondok seperti itu. Kami berada
ditengah‐tengah pesawangan, dan kalaupun disuruh berjalan terus tak seorangpun diantara kami yang
masih sanggup berjalan. Kami terlalu lelah. Dan kaki bengkak‐bengkak oleh gigitan serangga. Sukarti
tidak memakai topi, badannya terbakar oleh terik matahari.
Pondok itu berbentuk rumah panggung, supaya terhindar dari ancaman binatang. Sekalipun demikian
kami dapat mencium adanya tamu‐tamu yang tidak diundang. Seekor ular menjalar melalui kaki. Cicak
berkeliaran di atas atap. Diatas lantai terhampar sehelai tikar kasar. Aku terkapar di atas tikar itu. Pahaku
menjadi bantal Inggit. Dan Sukarti menggolekkan kepalanya diatas badan ibunya. Bunyi binatang buas di
malam hari di sekeliling tempat pelarian kami membikin badan jadi dingin. Tetangga kami adalah
harimau, beruang, kucing hutan, rusa, babi‐hutan dan monyet tak terhitung banyaknya. Teriakan monyet
yang membisingkan di atas pohon‐pohon kayu tidak henti‐hentinya. “Raja hutan tidak akan menyerang,
kecuali kalau dia lapar,” cerita polisi yang menyandang tempat minum. Kami mendo’a, semoga binatangbinatang
itu tidak mengingini kami. Sebagian besar dari keberanianku adalah berkat kawal kehormatan
kami yang berkeliling tidak lebih dari beberapa kaki jauhnya.
Di tengah malam Sukarti mengintip di pinggir teratak itu yang tidak berpintu. “Saya takut, Oom,” dia
menggigil. “Oom tidak takut?”
“Ya, Karti,” bisikku menenangkan hatinya. “Oom takut. Tapi polisi ini membikin Oom berani.” Aku
merangkak dengan Karti ke bagian pinggir dan mengintip ke bawah. “Kaulihat keenam orang itu? Di
tengah malam sunyipun polisi menjaga berganti‐ganti pakai bedil. Polisi berjaga‐jaga. Mereka lebih takut
lagi daripada kita kalau tidak menyelamatkan kita dari binatang buas. Sangat besar tanggung jawab polisi
untuk menyerahkan Sukarno hidup‐hidup ke tangan pembesar di Padang. Karena itu mari, marilah kita
tidur dan biarlah polisi menjaga keselamatan kita. ya ?”
Di subuh itu kami sarapan dengan buah‐buahan dari hutan, nasi dari persediaan yang dibawa oleh
pengawal kami dan singkong sedikit. Hari masih gelap ketika kami kembali mengayunkan langkah.
Menjelang siang kami jumpai sebuah sungai mengalir. Mandilah kami dengan pakaian yang lekat di badan
di air yang jernih dan sejuk itu dan melepaskan dahaga sepuas‐puas hati. Masuk sedikit lagi ke dalam
semak‐belukar, dikelilingi oleh sawah yang terhampar, ada sebuah dangau. Kami memasuki dangau itu
untuk tidur‐tiduran sekedar pelepas kelelahan.
Kami dapat mendengar gemerisik binatang liar pada dedaunan yang tidak bergerak dan kami melangkahi
jejak harimau yang tak terhitung banyaknya, namun satu‐satunya binatang yang menghalangi jalan kami
ialah siamang. Kami melihat siamang hampir sebesar orang hutan berdiri tegak seperti manusia. Berdiri di
atas kakinya yang belakang binatang‐binatang itu mendekati kami, pada waktu kami lewat dengan
langkah yang berat. Akan tetapi kami tidak diapa‐apakan, selain daripada jantung kami yang memukulmukul
dada dengan keras.
Dengan menggunakan korek api yang dibawa oleh polisi, kami memasak nasi dalam kaleng, memasukkan
sayuran ke dalamnya dan menambahkan ikan yang ditangkap dari sungai. Ini dibagi diantara kami yang
sepuluh orang. Makanan ini tidaklah mewah, tapi kami juga tidak mati kelaparan karenanya. Inggit terlalu
amat lelah, sehingga pada suatu kali ia makan sambil berdiri. “Aku terlalu capek,” ia mengeluh panjang
sambil bersandar lesu ke tebing suatu lurah yang sedang kami lalui. “Kalau aku duduk, takut nanti tidak
bisa lagi berdiri.”
Di hari ketiga salah seorang polisi Belanda menyerah karena putus asa dan kehabisan tenaga. Kami hanya
memikirkan diri kami sendiri, tetapi, di samping matahari yang membakar, haus, kehabisan tenaga dan
gangguan binatang, para pengiring kami harus pula mengawal kami. Mereka tidak ada melakukan
tindakan yang kejam terhadap kami. Sekalipun kami adalah orang tawanan dan orang yang menawan,
kami semua sama merasakan pahit getirnya perjalanan. Tetapi jarang terjadi percakapan. Tiada manusia
yang lewat dan kami tidak merasakan kegembiraan. Aku sendiri berusaha untuk berolok‐olok. Sudah
menjadi pembawaanku untuk selalu bergembira, betapapun suasananya. “Sekalipun ada penyerbuan,
akan tetapi saya berterimakasih kepada saudara‐saudara, karena sudah memperlihatkan daerah
pedalaman ini kepada saya,” aku berolok‐olok.
Seorang yang pendek dan botak tersenyum, “Selama empat tahun di Bengkulu apakah tuan tidak pernah
melangkah keluar batas yang dijaga kuat untuk tuan ?”
“Ada, sekali. Saya membuat suatu cerita sandiwara yang dipertunjukkan pada malam amal di suatu
tempat diluar batas. Ini terjadi tepat setelah Residen baru menggantikan pejabat lama yang saya kenal
baik. Orangnya sejenis manusia yang menghamba kepada.peraturan. Saya bertanya kepadanya, ‘Tuan
Residen, dapatkah tuan mengizinkan saya untuk pergi ke tempat ini yang terletak sedikit diluar batas ?”
“Untuk memutuskan sendiri mengenai persoalan yang sangat penting ini rupanya tidak mungkin baginya.
Karena itu dia bersusah payah mengirim telegram kepada Gubernur Jendral di Jawa. Lalu apa jawab
Gubernur Jendral. Dia menelegram kembali, menyatakan kegembiraannya mendengar semua itu.
Katanya, ‘Saya gembira mendengar bahwa Ir. Sukarno tidak lagi berpolitik dan memusatkan perhatiannya
pada pertunjukan sandiwara? Apakah ini tidak menggelikan?!”
Polisi itu terpaksa tertawa menunjukkan penghargaan. Ketika Riwu meluncur dari pohon kelapa dan
membelah kelapa sehingga kami dapat menikmati airnya yang segar, aku menceritakan kisah Manap
Sofiano, seorang pemain yang menjalankan peran primadona dalam pertunjukanku.
“Suatu hari dia membeli piano dalam lelang dan menyampaikan kepada tukang lelang, ‘Sukarno akan
menjamin pembayarannya.’ ‘O, baik,’ jawab orang itu setuju, ‘kalau tuan kawan dari Sukarno, baiklah.’
Tiga bulan kemudian Sofiano mengepak barang‐barangnya hendak pindah. Sebelum dia pergi saya
katakan, ‘Hee, tinggalkan dulu surat perjanjian yang diketahui oleh kepala kampung dan yang
menyatakan bahwa engkau berjanji hendak membayarnya. Dengan begitu, kalau sekiranya kaulupa, saya
mempunyai dasar yang sah.’
“Setelah berbulan‐bulan tidak ada kabar‐berita dari Sofiano, saya menulis surat kepadanya, ‘Sudah
sampai waktunya. Bayar sekarang, kalau tidak, akan saya ajukan ke depan pengadilan.’ Sofiano kemudian
membalas, ‘Saya tidak menyusahkan diri saya sendiri, akan tetapi saya mempunyai lima orang anak.
Kalau saya masuk penjara, mereka akan terlantar.’
“Tentu saya tidak mau menyakiti anak‐anak yang tidak bersalah, jadi apa lagi yang dapat saya lakukan?
Saya kemudian membayar utang sejumlah 60 rupiah itu. Disamping itu,” aku tersenyum meringis, “dia
seorang pemain yang baik, sehingga saya dapat mema’afkan segala‐galanya.”
Dengan percakapan ringan demikian ini aku mencoba menaikkan semangat pasukan kami yang melarat
itu. Di hari yang keempat kami terlepas dari daerah hutan dan menumpang bis menuju kota. Bertepatan
dengan kedatanganku, kapal yang direncanakan untuk mengangkut kami telah meledak menjadi sepihan
dekat pulau Enggano, tidak jauh dari pantai. Tentara Jepang berada dalam jarak beberapa hari perjalanan
di belakang kami. Angkatan laut Jepang sudah berada beberapa mil dari kami.
Kota Padang diselubungi oleh suasana chaos, suasana bingung dan ragu. Hanya dalam satu hal orang
tidak ragu lagi, yaitu bahwa Belanda penakluk yang perkasa itu sedang dalam keadaan panik. Para
pedagang meninggalkan tokonya. Terjadilah perampokan, penggarongan, suasana gugup. “Lihat,” kata
seorang Belanda, yang tingginya satu meter delapan puluh lima, mengejek ketika dia hendak lari
membiarkan kami tidak dilindungi, ,Belum lagi kami pergi, kamu orang Burniputera sudah tidak sanggup
mengendalikan diri sendiri.”
Tentara Belanda mencoba untuk mengangkutku dengan pesawat terbang, akan tetapi semuanya terpakai
atau rusak. Persoalan Negeri Belanda sekarang bukan bagaimana menyelamatkan Sukarno. Persoalan
Negeri Belanda sekarang adalah bagaimana menyelamatkan dirinya sendiri. Mereka seperti pengecut,
mereka lari pontang panting. Belanda membiarkan kepulauan ini dan rakyat Indonesia jadi umpan tanpa
pertahanan. Tidak ada yang mempertahankannya, kecuali Sukarno. Negeri Belanda membiarkanku
tinggal. Ini adalah kesalahan yang besar dari mereka.
Sesampai di hotel aku mengatakan pada Inggit, “Kau, Riwu, dan Sukarti tinggal dulu. disini.”
Dimana‐mana orang berlari dan berteriak dan membuat persiapan terburu‐buru pada detik‐detik terakhir.
“Kau mau kemana?” tanya Inggit gemetar ketakutan.
“Kawanku Waworuntu tinggal disini. Aku harus mencarinya dan berusaha mencari tempat tinggal.”
Waworuntu menyambutku dengan tangan terbuka. Dia mernelukku. “Sukarno, saudaraku,” dia berteriak
dan air mata mengalir ke pipinya. “Saya mendapat rumah bagus disini dan banyak kamarnya, tapi saya
sendirian saja. Isteri saya dan anak‐anak diungsikan dan tidak ada orang tinggal dengan saya. Bawalah
keluarga Bung Karno kesini …. bawalah kesini dan anggaplah ini rumah Bung sendiri.” Orang yang baik
hati ini dengan kemauannya sendiri pindah dari kamar‐tidurnya yang besar di depan di sebelah ruang
tarnu, dan mengosongkannya untuk Inggit dan aku.
Ini terjadi beberapa hari sebelum Balatentara Kerajaan Dai Nippon menduduki Padang. Ketika aku
berjalan‐jalan di sepanjang jalan aku menyadari, bahwa saudara‐saudaraku yang terlantar, lemah, patuh
dan tidak mendapat perlindungan perlu dikurnpulkan. Tidak ada seorangpun yang mengawasinya. Tidak
seorangpun, kecuali Sukarno. Tindakan‐tindakan yang benar adalah usaha untuk memenuhi bakti kepada
Tuhan. Aku menyadari, bahwa waktunya sudah datang lagi bagiku untuk terus maju dan mendjawab
Panggilan itu. Segera aku mengambil oper tampuk pimpinan.
Disana ada suatu organisasi dagang setempat. Aku menemui ketuanya dan dia berusaha mengumpulkan
orang‐orangnya. Kemudian aku menyuruh Waworuntu ke satu jurusan dan Riwu ke jurusan lain untuk
mengumpulkan yang lain. Diadakanlah rapat umum di lapangan pasar. Disana aku membentuk Komando
Rakyat yang bertugas sebagai pemerintahan sementara dan untuk menjaga ketertiban. “Saudarasaudara,”
aku menggeledek dalam pidatoku yang pertama semenjak sembilan tahun, “Saya minta kepada
saudara‐saudara untuk mematuhi tentara yang akan datang. Jepang mempunyai tentara yang kuat.
Sebaliknya kita sangat lemah. Tugas saudara‐saudara bukan untuk melawan mereka. Ingatlah, kita tidak
mempunyai senjata. Kita tidak terlatih untuk berperang. Kita akan dihancurleburkan, jikalau kita
mencoba‐coba untuk melakukan perlawanan secara terang‐terangan.
“Orang yang tidak bersenjata tidak mungkin melawan prajurit‐prajurit yang puluhan ribu, akan tetapi
sebaliknya ingatlah saudara‐saudara, sekalipun semua tentara dari semua negeri di seluruh jagad ini
digabung menjadi satu tidak akan mampu untuk membelenggu satu jiwa yang tunggal, karena ia telah
bertekad untuk tetap merdeka. Saudara‐saudara, saya bertanya kepada saudara‐saudara semua :
Siapakah yang dapat membelenggu suatu rakyat jikalau semangat rakyat itu sendiri tidak mau
dibelenggu?
“Kita harus mencari kemenangan yang sebesar‐besarnya dari musuh ini. Maka dari itu, saudara‐saudara,
hati‐hatilah. Rakyat kita harus diperingatkan supaya jangan mengadakan perlawanan. Walaupun
bagaimana, hindarkanlah pertumpahan darah di saat‐saat permulaan. Jangan panik. Saya ulangi : jangan
panik. Ketentuan pertama yang diberikan oleh pemimpinmu adalah untuk mentaati orang Jepang. Dan
percaya. Percaja kepada Allah Subhanahuwata’ala, bahwa Ia akan membebaskan kita.”
Rapat itu diakhiri dengan do’a bersama kang kupimpim sendiri sebagai Imam. Orang Islam tidak dapat
mengkhotbahkan atau mengadukan isi daripada do’a. Ia harus pasti. Kata demi kata. Sampai pada satu
titik, disebabkan karena dadaku terlalu bergolak, aku lupa kata‐kata dari Ayat selanjutnya dan di hadapan
ribuan orang yang menunggu‐nunggu lanjutannya aku mendesis kepada seorang Haji yang duduk bersila
dekat itu,
“Ehh — apa lagi terusnya?”
Do’a itu berakhir, rakyat bubar, aku kembali ke rumah Waworuntu dan menunggu. Aku tidak perlu lama
menunggu. Seminggu kemudian mereka datang. Waktu itu jam empat pagi. Mungkin juga jam lima. Aku
berbaring di tempat tidur, akan tetapi aku tidak tidur. Pikiranku tegang. Mataku nyalang sama sekali.
Malam itu adalah malam yang sunyi sepi. Tiada terdengar suara yang ganjil. Sesungguhnya, pun tidak
terdengar suara yang biasa. Keluargaku tidur dengan tenang. Tiba‐tiba mereka terbangun oleh bunyi
yang semakin santer. Mula‐mula menderu seperti guntur. Suara yang menggulung‐gulung itu semakin
keras, semakin keras, semakin keras lagi. Bunyi yang menakutkan dan membikin badan jadi dingin
membeku adalah gunturnya kereta‐kereta berlapis baja dan tank‐tank dan balatentara berjalan‐kaki
berbaris memasuki kota Padang.
Jepang sudah datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar