Rabu, 20 Juni 2012

AGRARISCHE WET


Dalam Buku: ”Mengkritisi UU Pokok Agraria” (2009), Soedjarwo Soeromihardjo menuliskan: ”Sewaktu mahasiswa, di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (UI), sekarang Institut Pertanian Bogor (IPB), saya mengambil Jurusan Sosial Ekonomi. Ilmu Politik Agraria diajarkan di Tingkat Sarjana. Yang mengajar Bapak Singgih Praptodihardjo. Kuliah beliau, mengenai kejadian-kejadian praktis terutama yang menyangkut kehidupan petani, seperti masalah landreform, penggarapan tanah, persewaan tanah petani untuk tebu dan rosella, dan sebagainya. Beliau juga bercerita mengani Agrarische Wet (AW), hukum agraria jaman penjajahan Belanda yang saat itu masih berlaku.”
”Pada tahun 1958 Fakultas Pertanian UI mengadakan Simposium Nasional, seingat saya dalam rangka memberikan pendapat dan saran yang diminta oleh Pemerintah dan DPR guna menyempurnakan Rancangan Undang Undang Pokok Agraria (R-UUPA) yang sedang dibahas di DPR sebagai pengganti AW.”(cetak tebal dan garis bawah ditambahkan)
Dan di bawah adalah catatan tentang Agrarische Wet:
Agrarische Wet (AW) ditetapkan atas desakan-desakan Kelompok Liberal dalam Tweede Kamer Parlemen negeri Belanda, diantaranya Ir. Van Kol, seorang Landbouw Consulent yang lama bertugas di Hindia Belanda, antara lain di Karesidenan Besuki. Setelah pensiun pulang ke Negari Belanda, menjadi politisi berfaham liberal yang saat itu di Eropa sedang berkembang pesat liberalisme. pada dasarnya tujuan dari AW adalah untuk kepentingan pengusaha besar dengan menyelipkan vervreemdingsverbod larangan pengasingan tanah pribumi, yang seakan-akan melindungi rakyat jajahan, namun dalam praktek tidak demikian. Tanah milik rakyat tetap dapat di’kuasai’ untuk diambil manfaatnya oleh pengusaha besar, misalnya adanya kebijakan sewa tanah sawah untuk perkebunan tebu bagi kepentingan Pabrik Gula. Di samping itu juga adanya ’pemilikan tanah topengan’ dengan atas nama istri pribumi. Sewaktu saya bertugas di Jawa Timur sempat menyelesaikan ’pemilikan tanah topengan’ di Kabupaten Banyuwangi.
Beliau (Bapak Singgih Praptodihardjo) juga mengutarakan bahwa semula ada pendapat bahwa dasar AW hukum adat, namun akhirnya hukum adat tidak dijadikan dasar AW. Setelah AW disahkan oleh Tweede Kamer pada 1870 (S. 1870-55), banyak ahli hukum mempermasalahkan atas dasar apa pelaksanaan produk Tweede Kamer Parlemen Negri Belanda itu di Hindia Belanda. Oleh karena itu untuk melaksanakan AW dikeluaran ”Sabda raja” yaitu algemene domeinverklaring tersebut dalam Staatsblad (S) 1875-119a, ”semua tanah di Hindia Belanda yang tidak bisa ditunjukkan eigendom-nya menjadi milik Raja Belanda” (C. Van Vollenhioven, ’Penemuan hukum Adat’). Sebelum algemene domeinverklaring telah dikeluarkan domeinverklaring untuk Sumatera Utara (S. 1874-94f), untuk kepentingan perkebunan. Setelah 1875 dikeluarkan untuk Menado (S. 1877-55) dan untuk Karesidenan Kalimantan Selatan dan Timur (S. 1888-58)
Soekarno dalam MENCAPAI INDONESIA MERDEKA, 80-an tahun yang lalu, menuliskan:
Tetapi lambat laun di Eropah modern-kapitalisme mengganti vroeg-kapitalisme yang sudah tua bangka. Paberik-paberik, bingkil-bingkil, bank-bank, pelabuhan-pelabuhan, kota-kota industri timbullah seakan-akan jamur di musim dingin, dan tatkala modern-kapitalisme ini sudah dewasa, maka modal kelebihannya alias surpluskapitaal-nya lalu ingin masukkan di Indonesia – modern-imperialisme lalu menjelma di muka ini, ingin menggantikan imperialisme tua yang juga sudah tua bangka.
Tak berhenti-henti-begitulah saya tempo hari menulis dalam saya punya pleidooi-tak berhenti-henti modern-imperialisme itu memukul-mukul atas pintu gerbang Indonesia yang kurang lekas dibukanya, tak berhenti-henti kampiun-kampiunnya modern-imperialisme yang tak sabar lagi itu menghantam-hantam di atas pintu gerbang itu, tak berhenti-henti penjaga-penjaga pintu gerbang itu saban-saban sama gemetar mendengar dengungnya pekik ”naar vrij arbeid!”, ”ke arah kerja merdeka!” daripada kaum-kaum modern-kapitalisme yang tak mau memakai lagi sistim kuno yang serba paksa itu, melainkan ingin mengadakan sistim baru yang memakai ”kaum buruh merdeka”, ”penyewaan tanah merdeka”, ”persaingan merdeka”, dls. Dan akhirnya, pada kira-kira tahun 1870, dibukalah gerbang itu! Sebagai angin yang makin lama makin meniup, sebagai alian sungai yang makin lama makin membanjir, sebagai gemuruhnya tentara menang yang masuk ke dalam kota yang kalah, maka sesudah Agrarishchewet dan Suikerwet de Waal di dalam tahun 1870 diterima baik oleh Staten Generaal di negeri Belanda, masuklah modal partikelir di Indonesia ……
Cara pengambilan berobah, sistimnya berobah, wataknya berobah – tetapi banyakkah perobahan bagi rakyat Indonesia? Banjir harta yang ke luar dari Indonesia bukan semakin surut, tetapi malahan makin besar, drainage Indonesia malahan makin makan! ”Tak pernahlah untung bersih itu mengalirnya begitu deras sebagai justru di bawah pimpinannya exploitant baru itu; aliran itu hanyalah melalui jalan-jalan yang lebih tenang”, begitulah seorang politikus pernah menulis … *** (KNPK, 5/02/2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar