Rabu, 27 Juni 2012

Bung Karno: Pembuangan





ENDEH, sebuah kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh
Gubernur Jendral sebagai tempat dimana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai
penduduk sebanjak 5.000 kepala. Keadaannya masih terbelakang. Mereka jadi nelayan. Petani kelapa.
Petani biasa.
Hingga sekarangpun kota itu masih ketinggalan, ia baru dapat dicapai dengan jip selama 8 jam perjalanan
dari kota yang terdekat. Jalan rayanya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal yang ditebas melalui
hutan. Di musim hujan lumpurnya menjadi bungkah‐bungkah. Dan apabila matahari yang
menghanguskan memancar dengan terik, maka bungkah‐bungkah itu menjadi keras dan terjadilah
lobang dan aluran baru. Endeh dapat dijalani dari ujung ke ujung dalam beberapa jam saja. Ia tidak
mempunyai telpon, tidak punya telegrap. Satu‐satunya hubungan yang ada dengan dunia luar dilakukan
dengan dua buah kapal pos yang keluar masuk sekali sebulan. Jadi, dua kali dalam sebulan kami
menerima surat‐surat dan surat kabar dari luar.
Di dalam kota Endeh terdapat sebuah kampung yang lebih kecil lagi, terdiri dari pondok‐pondok beratap
ilalang, bernama Ambugaga. Jalanan Ambugaga itu sangat sederhana, sehingga daerah rambahan
dimana terletak rumahku tidak bernama. Tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi aku
membawa sabun ke Wola Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah‐tengahnya
berbingkah ‐bingkah batu. Di sekeliling dan sebelah menyebelah rumah ini hanya terdapat kebun pisang,
kelapa dan jagung. Di seluruh pulau itu tidak ada bioskop, tidak ada perpustakaan ataupun macam
hiburan lain.
Dalam segala hal maka Endeh, di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia.
“Kenapa, ya? Kenapa disini?” Inggit bertanya.
“Pulau Muting, Banda atau tempat yang jelek seperti itu, ke tempat‐tempat mana rakyat kita diasingkan,
tidak akan lebih baik daripada ini,” keluhku dengan berat ketika kami memeriksa rumah yang gelap dan
kosong di malam hari kami sampai disana. “Di waktu Belanda mendapat akal untuk mengadakan
pembuangan, mula‐mula orang kita dibuang keluar Indonesia. Tapi, kemudian mereka menyadari, biar
kemanapun kita dieksternir, kita dapat menyusun kekuatan untuk melawan mereka. Belanda akhirnya
memutuskan untuk mengasingkan para pemberontak di dalam negeri saja, dimana mereka langsung
dapat mengawasi kita.
“Kenapa dipilih Flores?” Inggit mengulangi ketika membuka keranjang buku, satu‐satunya kekayaan
pribadiku yang kami bawa. “Kebanyakan para pemimpin diasingkan ke Digul.” ,,Itu makanya,”
kuterangkan sambil mengeluarkan buku‐buku sekolah yang kubawa, sehingga setiap pagi dan malam aku
dapat mengajar Ratna Djuami di rumah. “Di Digul ada 2.600 orang yang dibuang. Tentu aku akan
memperoleh kehidupan yang enak di sana. Dapatkah kau bayangkan, apa yang akan diperbuat Sukarno
dengan 2.600 prajurit yang sudah disiapkan itu? Aku akan merubah muka Negeri Belanda dari New
Guinea uang terpencil itu.” Inggit tidak pernah mengeluh. Sudah menjadi nasibnya dalam kehidupan ini
untuk memberiku ketenangan pikiran dan memberikan bantuan dengan kasih mesra, bukan menambah
persoalan. Akan tetapi aku juga dapat merasakan, bahwa dia susah. Bukan mengenai dirinya sendiri. Dia
susah mengenai diriku. Memang terasa lebih berat untuk memandang seseorang yang dicintai kena siksa
daripada mengalami sendiri siksaan itu. Sungguh pedih bagi seorang isteri untuk menyaksikan suaminya
direnggutkan dari kekuatan hidupnya, dari cita‐citanya, dari kegembiraan hidupnya, bahkan direnggutkan
sedikit dari kelaki‐lakiannya. Aku menjadi seekor burung elang yang telah dipotong sayapnya. Setiap kali
Inggit memandangiku, setiap kali itu pula setetes darah menitik dari uratnya.
Aku tidak pernah mengeluh tentang kesedihanku kepada Inggit. Kalau ada, kami jarang membicarakan
soal yang rumit dari hati ke hati. Sekalipun hatiku sendiri gelap dengan keputusasaan, namun aku
mencoba menggembirakan hatinya. Aku selalu memperlihatkan wajah yang baik, sehingga wajah itu
tidak menunjukkan apa yang sesungguhnya tergurat dalam hatiku.
Akh, saat yang sangat tidak menyenangkan bagiku. Kedua reserse yang mengantarku menyerahkanku
dari kapal seperti menyerahkan muatan ternak yang lain. Pada waktu kapal mereka mengangkat sauh,
kedua orang dengan siapa aku hanya boleh berbicara, di luar keluargaku, sudah pergi. Setiap orang
menyingkir daripadaku. Endeh kembali menjadi penjaraku, hanya lebih besar dari yang sudah‐sudah. Di
sini bukan saja aku tidak bisa mendapat kawan, akan tetapi aku malahan kehilangan satu orang yang turut
dengan kami. Mertuaku, Ibu Amsi yang baik dan tersayang itu meninggal di atas pangkuanku. Akulah
yang membawanya ke kuburan. Ia menderita sakit arterio‐sclerosis. Pada suatu malam ia pergi tidur. Esok
paginya ia tidak bangun‐bangun. Keesokan harinya tidak bangun. Di hari berikutnyapun tidak. Aku
menggoncang‐goncang badannya dengan keras, akan tetapi di pagi tanggal 12 Oktober 1935, setelah 5
hari dalam keadaan tidur, ia pergi dengan tenang dalam keadaan belum sadar.
Aku sangat lekat kepada orang tua ini. Di bulan‐bulan pertama yang sangat menyiksa, di tempat
pembuangan itu dikala batin kami dirobek‐robek tak kenal ampun setiap jam setiap detik, di waktu itu
tidak satupun perkataan yang tidak enak keluar antara mertuaku dan aku sendiri. Bagaimana kami dapat
tinggal bersama dengan rukun adalah karena kami orang baik‐baik. Aku juga sedikit, barangkali. Ibu Amsi
lebih sederhana lagi daripada anaknya. Ia tidak bisa tulis bada. Tapi ia seorang wanita besar. Aku
mendintainya setulus hati.
Dengan tanganku sendiri kubuat kuburannya. Aku sendiri membangun dinding kuburan itu dengan batu
tembok. Aku seorang diri mendari batu kali, memotong dan mengasahnya untuk batu nisan. Di
pekuburan kampung yang sederhana melalui jalanan sempit jauh di tengah hutan berkumpullah beberapa
gelintir manusia untuk memberikan penghormatannya yang terachir. Ini adalah kemalanganku yang
pertama. Dan, terasa berat.
Satu‐satunya manusia yang tinggal, dengan siapa aku dapat berbicara, adalah Inggit. Di suatu malam
ketika kami duduk berdua di beranda kecil, hanya berdua —seperti biasanya— Inggit mengalihkan
pandangannya sebentar dari jahitannya untuk mengungkapkan, “Tidak mungkin orang‐orang di sini tidak
mengenalmu. Mereka tentu sudah membaca tentang dirimu atau melihat gambarmu di surat kabar.
Sudah pasti banyak orang sini yang sudah mengenalmu. Sudah pasti banyak.”
“Mereka tahu siapa aku, baiklah. Kalau sekiranya mereka tidak pernah mendengar tentang diriku, tentu
Belanda tidak menjalankan tindakan pengamanan untuk merahasiakan kedatangan kita. Rakyat tidak
tahu sama sekali kedatangan Sukarno. Bahkan pegawai pemerintahanpun tidak tahu kapan kita sampai
disini.”
Aku mengerti kemana tujuan Inggit. Ia ingin memperoleh jawaban, mengapa setiap orang menyingkir,
seperti aku ini hama penyakit. “Orang‐orang yang terkemuka disini, tidak mengacuhkanku, bukan karena
tidak kenal. Akan tetapi justru karena mereka mengenalku,” kataku. “Orang‐orang terpandang di sini
terdiri dari orang Belanda, amtenar‐amtenar bangsa kita dan orang‐orang yang memerintah seperti Raja.
Mereka sama sekali tidak mau tahu denganku. Bahkan mereka tidak mau terlihat bersama‐sama
denganku. Aku tentu akan menyebabkan mereka kehilangan kedudukannya.”
“Lagi pula, negeri ini terlalu kecil,” bisiknya.
“Yah,” aku mengangguk dengan lesu, “negeri ini terlalu kecil.?”
Kami keduanya membisu, akan tetapi bau dari pokok persoalan itu masih saja mengapung dengan berat
dalam ruangan itu, seperti bau wangi‐wangian yang murah. Akulah pertama memecah kesunyian yang
pekat itu.
“Orang tinggi‐tinggi ini adalah alat. Boneka Belanda. Mereka tidak mau mendekat, kecuali untuk
memata‐mataiku. Bahkan kaum keluarganya dilarang untuk berkenalan denganku. Dan mereka tidak
mau melanggarnya, karena takut masuk daftar hitam Belanda. Setiap orang merasa takut.”
Inggit menambahkan, “Kudengar adik Raja tertarik pada pergerakan kebangsaan, sampai Belanda
mengusirnya dari sekolah di Surabaya. Kemudian dia dipulangkan kemari, sehingga tidak dapat lagi
mempelajari politik.”
“Itulah yang kumaksud,” kataku. “Mana mungkin ia jadi kawanku. Dia berada disini karena alasan yang
sama denganku — sebagai hukuman.”
“Tapi rakyat biasapun menyingkir dari kita,” Inggit menegaskan dengan suara kecil.
“Aku tahu.”
“Jadi bukan karena kita tidak mau kenal.”
“Tidak. Bukan karena kita tidak mau kenal.”
Inggit sedang menjahit baju kebaya untuk dia sendiri. Sambil meletakkan jahitannya ia memandang
kepadaku.
“Coba,” aku merenung dengan keras, “di Sukamiskin badanku dikurung. Di Flores semangatku berada
dalam kurungan. Disini aku diasingkan dari masyarakat, diasingkan dari orang‐orang yang dapat
mempersoalkan tugas hidupku. Orang disini yang mengerti, takut untuk berbicara. Mereka yang mau
berbicara, tidak mengerti. Inilah maksud yang terutama dari pembuangan ini. Baiklah! Kalau begitu
keadaannya, aku akan bekerja tanpa bantuan orang‐orang terpelajar yang tolol ini. Aku akan mendekati
rakyat jelata yang paling rendah. Rakyat‐rakyat yang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal
politik. Rakyat‐rakyat yang tak dapat menulis dan yang merasa dirinya tidak kehilangan apa‐apa. Dengan
begini, setidak‐tidaknya ada orang dengan siapa aku berbicara.”
Aku membentuk masyarakatku sendiri dengan pemetik kelapa, supir, bujang yang tidak bekerdja, inilah
kawan‐kawanku. Pertama aku berkenalan dengan saudara Kota, seorang nelayan. Kukatakan padanya
bahwa tidak ada larangan berkunjung ke rumahku. Dia datang ke rumahku. Kemudian dia membawa
Darham tukang jahit. Setelah itu aku datang ke tempat mereka. Dan begitulah mulanya.
Aku mendekat kepada rakyat jelata, karena aku melihat diriku sendiri di dalam orang‐orang yang melarat
ini. Seperti di pagi yang berhujan dalam bulan Mei aku nongkrong seorang diri di sudut beranda yang kecil
itu. Ah, aku rnerasa kasihan terhadap diriku! Aku merindukan pulau Jawa, aku merindukan kawan‐kawan
untuk mencintaiku. Merindukan hidup dan segala sesuatu yang dirampas dariku. Selagi duduk di sana aku
melihat seorang lelaki lewat. Seorang diri. Dan basah‐kuyup. Tiba‐tiba ia menggigil. Kukira belas kasihku
meliputi seluruh bangsa manusia, karena melihat orang itu menggigil akupun menggigil. Sungguhpun
badanku kering, aku serta‐merta merasa basah kuyup. Tentu, perasaan ini dapat diterangkan dengan
pertimbangan akal, akan tetapi ia lebih daripada itu. Aku sangat perasa terhadap orang yang miskin — aik
dia miskin harta maupun miskin dalam jiwanya.
Di samping kekosongan kerda, kesepian dan ketiadaan kawan aku juga menderita suasana tertekan yang
hebat sekali. Flores adalah puncak penganiayaan pada hari‐hari pertama itu. Aku memerlukan suatu
pendorong sebelum aku membunuh semangatku sendiri. Itulah sebabnya aku mulai menulis cerita
sandiwara. Dari 1934 sampai 1938 dapat kuselesaikan 12 buah.
Karyaku yang pertama dijiwai oleh Frankenstein, bernama “Dr. Setan”. Peran utama adalah seorang
tokoh Boris Karloff Indonesia yang menghidupkan mayat dengan memindahkan hati dari orang yang
hidup. Seperti semua karyaku yang lain, cerita ini membawakan suatu moral. Pesan yang tersembunyi di
dalamnya adalah, bahwa tubuh Indonesia yang sudah tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup lagi.
Aku menyusun suatu perkumpulan Sandiwara Kelimutu, dinamai menurut danau yang mempunyai air tiga
warna di Pulau Bunga. Aku menjadi direkturnya. Setiap cerita dilatih malam hari selama dua minggu di
bawah pohon kayu, diterangi oleh sinar bulan. Kami hanya mempunyai satu naskah, karena itu aku
membacakan setiap peran dan para pemainku yang bermain secara sukarela mengingatnya dengan
mengulang‐ulang. Kalau orang dalam keadaan kecewa, betapapun besarnya rintangan akan dapat
disingkirkannya. Inilah satu‐satunya napas kehidupanku. Aku harus menjaganya supaya ia hidup terus.
Kalau salah seorang tidak dapat memainkan perannya dengan baik, aku melatihnya sampai jauh malam.
Aku malahan berbaring berkali‐kali di lantai untuk memberi contoh kepada Ali Pambe, seorang montir
mobil, bagaimana memerankan dengan baik seseorang yang mati.
Untuk melatih anggota‐anggota sehingga mencapai hasil baik sungguh banyak kesukaran yang harus
ditempuh. Pada suatu kali, Ali Pambe memerankan juru bahasa dari bahasa Endeh ke bahasa Indonesia.
Tetapi Ali buta huruf. lidah Indonesianya masih kaku. Karena itu aku harus mengajarnya dulu berbahasa
Indonesia sebelum aku dapat mengajarkan perannya.
Perkumpulan semua terdiri dari laki‐laki oleh karena kaum wanita takut dituduh terlalu berani. Cukup
aneh, di Pulau Bunga yang terbelakang dan masih kuno itu ada suatu daerah — bernama Keo — dimana
sampai sekarang anak‐anak gadis diizinkan mengadakan hubungan jasmaniah dengan laki‐laki. Dan yang
paling baik diantara mereka — paling pandai dalam memuaskan laki‐laki — itulah jang paling diidamkan
untuk perkawinan. Dalam umur dua‐puluhan gadis‐gadis ini adalah yang kuberi istilah “jenis Afrika yang
belum beradab, liar dan tidak dapat dijinakkan”. Bagiku perempuan dapat disamakan dengan benua.
Dalam umur tigapuluh dia seperti Asia — berdarah panas dan menangkap. Dalam usia 40 tahun ia adalah
Amerika — unggul dan jagoan. Sampai pada umur limapuluh tahun ia menyamai Eropa— layu dan
berjatuhan.
Lepas dari persamaan secara ilmu bumi yang demikian, tak seorangpun wanita Pulau Bunga mau
memegang peranan di atas panggung. bahkan juga tidak nenek‐nenek yang sudah berumur 40 tahun
yang mengingatkanku pada benua Australia —justru terlalu jauh dari jalan yang ditempuh! Alasan yang
pertama, kebiasaan wanita Islam selalu berada dalam bayangan. Yang kedua, wanita ini takut kepadaku.
Dari itu, aku memecahkan persoalan ini dengan hampir tidak menulis peran wanita. Dan kalaupun ada, ia
dimainkan oleh laki‐laki.
Aku sendiri menyewa sebuah gudang dari gereja dan menyulapnya menjadi gedung kesenian. Aku sendiri
yang menjual karcisnya. Setiap pertunjukan berlangsung selama tiga hari dan kami bermain di hadapan
500 penonton. Ini adalah suatu kejadian besar dalam masyarakat di sana. Orang‐orang Belanda juga
membeli karcis. Hasilnya dipergunakan untuk menutupi pengeluaran kami.
Aku membuat pakaian untuk keperluan ini. Aku menggambar dinding belakang panggung darurat,
sehingga ia terlihat seperti hutan atau istana atau apa saja yang hendak kami lukiskan. Aku membuat
pita‐pita reklame dari kertas dan menggantungkannya di tempat‐tempat umum seperti pasar malam. Aku
membuat alat dan perabot kami. Aku melatih dua orang laki‐laki dan dua wanita untuk menyanyikan
keroncong— lagu‐lagu gembira — yang diperdengarkan di dalam waktu istirahat. Dan aku bersyukur atas
usaha ini semua. Ia memberikan keasyikan padaku. Ia mengisi detik‐detik yang suram ini.
Setelah tiap kali pertunjukan, kubawa para pemainku makan kerumah. Ya, aku bekerja keras sekali untuk
menyelenggarakan sandiwara ini, dan untuk menyenangkan hati pemain‐pemainnya. Ini besar artinya
bagiku.
Tidak ada yang dapat menghalang‐halangiku bertindak. Aku menjadi seorang penyelundup terkenal dan
berpengalaman dan aku juga berhasil memperoleh kelambu untuk kami. Dalam perusahaan pelajaran
antar pulau awak kapalnya adalah orang‐orang Indonesia dan semua mereka menjadi simpatisan. Ketika
terdengar bahwa Bung Karno memerlukan kelambu, seorang kelasi sedara pribadi menyelundupkan satu
untukku dalam pelajaran selanjutnya. Tidak ada kesukaran dalam hal ini.
Di suatu pagi yang sayu turunlah dari sebuah kapal yang akan menuju Surabaya seorang stokar berbadan
tegap lagi kekar. Ia datang kepadaku di dermaga yang penuh‐sesak, seperti biasanya kalau kapal datang.
Dengan diam‐diam dia membisikkan kepadaku, “Bung, katakanlah kepada kami, kami akan
menyelundupkan Bung Karno. Tidak ada orang yang akan tahu.”
“Terimakasih, saudara. Lebih baik jangan,” aku memandang kepadanya dengan perasaan terirnakasih.
“Memang seringkali terbuka jalan seperti yang saudara sarankan itu. Dan sering datang pikiran
menggoda, untak lari sedara diam‐diam dan kembaili bekerja bagi rakyat kita.”
,,Kalau begitu mengapa tidak dicoba saja?” ia mendesak. “Kami akan sembunyikan Bung Karno dan
membawa Bung ke tempat kawan‐kawan. Kami damin selamat.”
“Kalau saya lari, ini hanya saya lakukan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Begitu saya mulai bekerja,
saya akan ditangkap lagi dan dibuang kembali. Jadi tidak ada gunanya.”
“Apakah Bung Karno tidak bisa bekerja secara rahasia?”
“Itu bukan caranya Bung Karno. Nilaiku adalah sebagai lambang di atas. Dengan tetap tinggal disini rakyat
Marhaen melihat, bagaimana pemimpinnya juga menderita untuk cita‐cita. Saya telah memikirkan
bujukan hatiku untuk lari dan mempertimbangkan buruk baiknya. Nampaknya lebih baik bagi Sukarno
untuk tetap menjadi lambang daripada pengorbanan menuju cita‐cita.”
“Sekiranya di suatu saat berubah pendirian Bung Karno, tak usah ragu. Sampaikanlah kepada kami.”
Aku merangkul kawanku itu ke dadaku dan tanpa ragu‐ragu menciumnya pada kedua belah pipinya.
“Terima kasih, di satu masa kita semua akan merdeka, begitupun saya.”
“Bung betul‐betul yakin?” stokar itu bertanya.
“Jawabanku khas menurut cara Jawa. Aku menjawab dengan kiasan. “Kalau ada asap di belakang kapal
ini, tentu ada apinya. Keyakinan ini didasarkan pada pertimbangan akal. ‘llmul yakin. Kalau saya berjalan
di belakang kapal ini dan melihat api itu dengan mata kepala sendiri, maka keyakinanku berdasarkan
penglihatan.’AinuIyakin. Akan tetapi mungkin penglihatan saya salah. Kalau saya memasukkan tangan
saya ke dalam api itu dan tangan saya hangus, maka ini adalah keyakinan yang sungguh‐sungguh
berdasarkan kebenaran yang tak dapat dibantah lagi. Maka dengan Hakku’lyakin inilah saya memahami,
bahwa kita akan merdeka.
“Belanda berbaris berdampingan dengan keju dan mentega, sedang kita berbaris bersama‐sama dengan
mataharinya sejarah. Di satu hari, betapapun juga, kita akan menang. Dalam fajar itu, saudara, saya tidak
akan lari dengan diam‐diam, akan tetapi saya akan berpawai keluar dari sini dengan kepala yang tegak.”
Dikurangi dengan pajak, maka hasilku dalam pembuangan ini dari pemerintah kurang dari sepuluh dollar
seminggu. Kemari kami karenanya sering kosong. Karena itu aku mencari uang tambahan dengan
menjualkan bahan pakaian dari sebuah toko tekstil di Bandung. Mereka memberikan komisi 10% pada
setiap barang yang kujualkan. Dengan menjajakannya dari rumah ke rumah membawa contoh, aku
berkata, “Nyonya, harga saya lebih murah dari toko‐toko disini. Apa nyonya mau memesan sama saya?”
Kemudian kukirim pos wisel ke toko ini dan setelah selang boberapa kapal kain itu datang. Lamanya
sampai berbulan‐bulan, akan tetapi satu hal yang ada padaku, yaitu waktu. Apa perlunya aku cepatcepat?
Aku malahan mendapat bagian yang kecil dengan seorang pedagang sekutuku. Kami membuat
harga rahasia antara kami berdua. Berapa lebih yang dia peroleh itu menjadi bagiannya. Dengan jalan
begini dia mendapat keuntungan sedikit dan akupun memperoleh bagianku sedikit.
Hendaknya jangan ada diantara kawan‐kawanku di Jawa yang membanggakan diri, bahwa dia terus
menerus membantu kami dengan kiriman makanan dan pakaian selama masa ini. Ya, mungkin ada satu
dua, akan tetapi jarang sekali. Kalaupun ada kiriman yang datang, aku segera meneruskan sebagian besar
dari isinya kepada kawan‐kawan yang tidak beruntung di Digul. Ini kulakukan juga kalau aku memperoleh
sisa uang boberapa rupiah.
Sekalipun kami hanya punya uang sedikit, kami berhasil mencukupi diri sendiri. Aku orang yang
sederhana. Kebutuhanku sederhana. Misalnya, aku tidak minum susu atau minuman lain yang datang dari
luar negeri, pun tidak makan daging dari binatang berkaki empat. Makananku terdiri dari nasi, sayur,
buah‐buahan, terkadang ayam atau telor dan ikan asin kering sedikit. Sayuran diambil dari yang kutanam
di pekarangan samping rumah. Ikan kudapat dari kawan‐kawanku para nelayan.
Di Endeh aku dibatasi bergerak, juga untuk menikmati kesenangan yang kecil‐kecil. Aku dibolehkan pergi
ke tepi pantai untuk menyaksikan kawan‐kawanku para nelayan, akan tetapi tidak boleh naik perahu
untuk berbicara dengan mereka. Naik perahu dapat berarti melarikan diri. Aku juga boleh berkeliaran
dalam batas lima kilometer dari rumah. Akan tetapi lewat satu langkap saja, aku jadi sasaran hakuman.
Di kota ini ada delapan orang polisi, jadi sungguhpun berpakaian preman aku mengenal mereka itu. Di
samping itu, hanya mereka yang memakai sepeda hitam dengan merek “Hima”. Yang terlalu jelas adalah
bahwa mereka berada pada jarak yang tetap waktu mengiringkanku. Kalau seorang Belanda yang
misterius selalu berada pada jarak 60 meter di belakangku, maka tahulah aku.
Aku teringat di suatu sore ketika seorang “preman” membuntutiku di jalan raya jang juga dijalani oleh
angsa, kambing, kerbau dan sapi. Aku bersepeda melalui rumah‐rumah panggung dan menuju ke sungai.
Jalan menuju ke situ pendek, jadi dia lalu mendayung mengembus‐ngembus hampir bahu‐membahu
denganku. Pada waktu dia berhenti di sana untuk menjalankan mata‐mata, dua ekor anjing melompat
padanya sambil menyalak dan menggeram‐geram. Pemaksa hukum yang tinggi kejam ini karena
kagetnya memanjat ke atas sepedanya dan berdiri di atas tempat duduk dengan kedua belah tangannya
berpegang erat ke pohon. Sungguhpun aku kepanasan dan dalam keadaan kotor di waktu itu, namun
pemandangan ini lebih menyegarkan badanku daripada air sungai yang sejuk.
Setelah itu aku memprotes kepada kepalanya, “Saya tidak peduli apakah anak buah tuan ‘secara rahasia’
membayangi saya, akan tetapi saya tidak ingin dia terlalu dekat.”
Orang itu menyampaikan penjesalannya. “Ma’af, tuan Sukarno. Kami menginstruksikan kepadanya untuk
tetap berada dalam jarak 60 meter.”
Aku berada dalam pengawasan tetap. Di suatu sore aku mengajar sekelompok pemuda menyanyikan lagu
kebangsaan “Indonesia Raya”. Karena ia terlarang, untuk keamanan aku memilih suatu tempat di luar
rumahku. Bukan karena aku akan kehilangan sesuatu, tidak, aku ingin melindungi anak‐anak ini. Masih
saja ada orang yang melaporkan kejahatan yang sungguh‐sungguh ini.
Saudara dari Raja lalu diperintahkan untuk memperoleh kepastian, kejahatan apa yang telah dilakukan
oleh Sukarno dengan tindakan pengkhianatannya merusak anak‐anak di bawah umur. Dengan patuh dia
menyuarakan akibat psikologis terhadap penduduk preman. Jawabnya adalah, “Tidak ada sama sekali.
Mereka tidak dibakar dengan semangat. Mereka bahkan tidak tahu apa arti ‘Indonesia Raya’.”
Sekalipun demikian, aku dipanggil ke kantor polisi, diperiksa dengan keras dan didenda F 5,‐—yaitu dua
dollar.
Pulau Bunga akan tetap kekal melekat dalam kenanganku, karena berbagai alasan. Di sinilah aku
mendengar, bahwa Pak Tjokro telah pergi mendahului kami. Sebelum ia pergi, ketika masih dalam sakit
keras, aku menulis surat kepadanya, “Bapak, sebagai patriot besar yang menghimpun rakyat kita dalam
perjuangan untuk kemerdekaan, tidak akan kami lupakan untuk selama‐lamanya. Saya mendo’akan agar
bapak segera sembuh kembali.” Berminggu‐minggu kemudian, ketika kapal datang membawa surat
kabar kami, disampaikanlah suatu kisah tentang bagaimana Pak Tjokro sebelum menghembuskan napas
memperlihatkan surat Sukarno kepada setiap orang. Aku menangis mengenang kawanku yang tercinta
itu.
Juga terjadi di Pulau Bunga, aku membersihkan diri dari segala tahayul. Selamanya aku percaya pada hari
baik dan hari nahas, aku percaya pada jimat yang membawa rahmat dan jimat yang mempunyai pengaruh
jahat. Di Bandung ada orang jang memberiku sebentuk cincin pakai batu. Dalam batu itu terlihat lobang
berisi cairan hitarn yang tidak pernah tenggelam. Seperti biji kecil yang mengapung dan selalu berada di
atas. Seorang pengagum memberikan benda yang aneh ini kepadaku dengan ucapan, “Sukarno, semoga
engkau tetap berada di atas seperti biji yang mengapung ini.” Ia dinodai oleh kekuatan guna‐guna, tapi
aku mempercayainya. Di waktu itu aku mempercayai apa saja, karena aku memerlukan segala kekuatan
yang bisa kuperoleh.
“Jangan lupa, Sukarno,” katanya, “Batu ini bukan sembarang batu. Dia membawa untung.”
Baiklah, aku percaya. Tidak lama setelah itu aku dibuang ke Pulau Bunga. Aku tidak begitu percaya lagi
kepadanya. Demikianlah, ketika kuyakinkan pada diriku sendiri, kepercayaan yang kegila‐gilaan ini harus
dihentikan. Dan kukatakan pada diriku, “Engkau sudah melihat, penyakit tahayul yang jahat, akan tetapi
mengapa engkau tidak pernah makan di piring retak, oleh karena engkau percaya bahwa bencana akan
menimpamu kalau engkau melakukannya?”
Harus kuakui bahwa ini benar. Suatu hari aku sengaja minta piring retak. Aku gemetar sedikit karena
pikiran sudah cukup ruwet tanpa menambah keruwetan itu dengan pelanggaran kepercayaan yang kuat
ini.
Akan tetapi kuletakkan juga piring itu diatas meja dan memandangnya. Kemudian aku berpidato kepada
piring yang ganjil ini yang begitu berkuasa terhadap jiwaku. Kataku, “Hei engkau …. engkau barang yang
mati, tidak bernyawa dan dungu. Engkau tidak punya kuasa untuk menentukan nasibku. Kutantang kau.
Aku bebas darimu. Sekarang aku makan dari dalammu.”
Beginilah caranya aku mengatasi tiap‐tiap rasa takut yang mengganggu pikiranku. Aku hadapi rasa takut
ini dengan tenang dan sejak itu tidak takut lagi.
Aaaah, masih saja batu itu ada padaku. Aku sangat ingin mempunyai keberanian untuk melepaskan
pembawa untung besar ini. Selagi berpikir keras tentang batu ini, kebetulan uang sedang tidak ada. Sudah
menjadi sejarah dari Sukarno bahwa ia tak pernah punya uang, sedangkan ini adalah harta yang
senantiasa diperlukannya. Sampai kini keadaannya sama saja. Keadaanku sangat melarat ketika aku
berkenalan dengan seorang saudagar kopra yang makmur di kota itu. Aku memutuskan untuk menjual
pembawa untung yang besar ini kepadanya.
Dan sebagai penjual yang pandai kutawarkan batu itu dengan perkataan yang muluk‐muluk.
“Coba lihat,” kataku mengadu untung, “Saya punya barang yang susah didapat. Orang akan selalu
beruntung besar dengan batu seperti ini, karena batu begini hanya ada satu‐satunja. Tidak ada duanya di
dunia.” Kebetulan ucapanku ini memang benar dan aku tidak rnembohong dan kebetulan pula aku sangat
memerlukan uang dan ingin memperoleh sebanyak mungkin dari dia.
Kemudian aku menekan gas yang terakhir, “Dengarlah, begini. Saudara saya lihat adalah orang yang
mempunyai sifat‐sifat baik, maka dari itu saya menawarkan suatu kesempatan yang sangat istimewa.
Kalau saudara menyerahkan seratus limapuluh rupiah, yang tidak berarti bagi saudara, saya akan berikan
batu ini.”
“Setuju,” teriaknya dan segera mengadakan pertukaran. Caraku melakukan jual beli begitu berhasil,
sehingga ia betul‐betul takut aku akan merubah pendirian lagi.
Dan dengan begitu berpindah tanganlah hartaku yang terahir itu, benda pembawa untung dan terjamin
kekuatannya. Tidakkah aku harus berterima kasih kepada Pulau Bunga, karena aku dibebaskan dari
belenggu tahayul? .
Di Endeh yang terpencil dan membosankan itu banyak waktuku terbuang untuk berpikir. Di depan
rumahku tumbuh sebatang pohon keluih. Jam demi jam aku lalu duduk bersandar di situ, berharap dan
berkehendak. Dibawah dahan‐dahannya aku mendo’a dan memikirkan akan suatu hari ….. suatu hari …..
Ia adalah perasaan yang sama seperti yang menguasai Mac Arthur dikemudian hari. Dengan
menggetarnya setiap jaringan otot dalam seluruh tubuhku, aku menggetarkan keyakinanku, bahwa
bagaimanapun juga — di suatu tempat— disuatu hari — aku akan kembali. Hanya patriotisme yang
berkobar‐kobarlah dan yang masih tetap membakar panas dadaku di dalam, yang menyebabkan aku
terus hidup.
Inggit selamanya menyakinkan padaku, bahwa dia merasakan di dalam tulang‐tulangnya aku di satu hari
akan menjadi orang yang memegang peranan. Akan tetapi aku tidak pernah mempersoalkannya. Aku
tidak pernah berbicara tentang masa depan, aku hanya memikirkannya. Pada setiap jam aku dalam
keadaan bangun aku memikirkannya.
Kukira, selama tiga setengah abad dibawah penjajahan Belanda dunia luar hanya satu kali mendengar
tentang negeri kami. Di tahun 1883 Rakata, gunung kami yang terkenal itu, meletus. Ia memuntahkan
batu, kerikil dan abu menempuh orbit yang mengelilingi bumi selama bertahun‐tahun. Lama setelah itu,
ketika langit di Eropa menjadi merah, orang menunjuk kepada gunung Rakata. Ini sama halnya denganku.
Aku telah membikin ribut‐ribut dan sekarang aku disuruh diam.
Ketika sekawanan kucing berkandang dekat pohon keluih itu dan karena tempat itu tidak lagi tenang, aku
lalu berjalan‐jalan ke dalam hutan. Aku mencari tempat yang tenang dimana angin mendesirkan daundaunan
bagai bisikan, karena bisikan Tuhan ini terdengar seperti nyanyian nina bobok di telingaku. Ialah
nyanyian dari pulau Jawaku ang tercinta.
Tempat pelarian menyendiri yang kugemari adalah di bawah pohon sukun yang menghadap ke laut.
Sukun, sejenis buah‐buahan seperti avocado, adalah semacam buah yang kalau dikupas, diiris panjangpanjang
seperti ketimun, rasanya menyerupai ubi. Aku lalu duduk dan memandang pohon itu. Dan aku
melihat pekerjaan daripada Trimurti dalam agama Hindu. Aku melihat Brahma Yang Maha Pencipta
dalam tunas yang berkecambah dikulit kayu yang keabu‐abuan itu. Aku melihat Wishnu Yang Maha
Pelindung dalam buah yang lonjong berwarna hijau. Aku melihat Shiwa Yang Maha Perusak dalam dahandahan
mati yang gugur dari batangnya yang besar. Dan aku merasakan jaringan‐jaringan yang sudah tua
dalam badanku menjadi rontok dan mati di dalam.
Kemudian aku dihinggapi oleh penyakit kepala dan merasa tidak sehat sama sekali. Tapi setiap pagi aku
masih merangkak keluar tempat tidur untuk duduk‐duduk dibawah pohon sukun jauh dari rumah. Pohon
sukun itu berdiri di atas sebuah bukit kecil menghadapi teluk. Disana, dengan pemandangan ke laut lepas
tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung
dan dimana sesekali seekor kambing yang sedang bertualang lewat sendirian, disana itulah aku duduk
melamun jam demi jam.
Terkadang terasa udara yang dingin di tepi pantai laut itu dan aku kedinginan. Seringkali aku merasa
dingin, sedang keadaan udara tidak dingin sama sekali. Tapi masih saja aku duduk di sana. Suatu
kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari.
Aku memandangi samudra bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukul pantai
dengan pukulan berirama. Dan kupikir‐pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti‐hentinya. Pasang naik
dan pasang surut, namun ia terus menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami,
kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudera luas, adalah
hasil ciptaan Tuhan, satu‐satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu ….. aku
harus tahu sekarang …. bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah
airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada.
Di suatu hari aku tidak mempunyai kekuatan untuk duduk di bawah pohon itu seperti biasanya. Aku tak
dapat bangun dari tempat‐tidur.
Yaitu di hari dokter menyampaikan, bahwa aku mendekati kematianku karena menderita malaria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar