“Membantu si miskin adalah dambaan hatiku yang
terbesar,dan hal ini selalu membawa saya ke tengah orang-orang melarat sehingga
memungkinkan saya mengidentifikasi diri saya dengan mereka.”
Mahatma Gandhi
Pendahuluan
Suatu pagi 25 Oktober 1925, suatu hari di musim gugur
yang hangat di selatan Prancis, Madeline Slade, seorang wanita 33 tahun
berkebangsaan Inggris berlayar menuju Bombay, India (Sudhir Kakar, Gandhi
Cintaku , 2004;21). Jauh-jauh dia pergi meninggalkan tanah kelahirannya
beserta seluruh keluarganya demi satu tujuan, bertemu sekaligus bergabung
dengan tokoh yang diidolakannya : Mohandas Karanchand Gandhi. Bagi dia, seorang
Gandhi bukanlah sekadar idola, melainkan lebih sebagai panutan hidup dan bahkan
lentera yang menuntunnya pada sebuah kesejatian hidup. Gandhi adalah guru yang
menjadi acuan ke mana hidupnya akan digulirkan.
Pada belahan bumi Barat, kita telah mengenal banyak
tokoh berpengaruh dalam hal perjuangan dan perlawanan. Kita mengenal Fidel
Castro dengan revolusi Kubanya. Kita mengenal Che Guevara dengan
kepemimpinannya yang kharismatik di hadapan massa aksi. Kita mengenal Marx dan
kaum Marxisnya dengan perlawanannya menentang kesenjangan antar kelas akibat
Kapitalisme dan Neoliberal. Begitupun yang belahan Timur. Kita mengenal nama-nama
Mao Tse Tum, Soekarno dan lain-lain. Dari sekian nama tokoh berpengaruh di
Timur, satu nama yang tak bisa kita loewatkan adalah Mohandas Karamchand Gandhi
atau yang lebih dikenal dengan jnama Mahatma Gandhi.
Menyebut nama Gandhi adalah menyebut satu sosok
pribadi ‘pejuang' yang unik. Kita tahu, dari sekian banyak kisah perjuangan dan
revolusi yang ada dalam catatan sejarah, hampir sebagian besar adalah merupakan
aksi massa. Aksi massa di sini dalam arti aksi yang melibatkan kumpulan massa
dalam satu tindakan fisik sebagai satu bargaining position dengan pihak
lawan. Aksi yang ada sebagian besar adalah aksi-aksi massa yang turun ke jalan
sebagai bentuk show of force dalam satu tahapan perjuangan. Namun tidak
dengan konsep perjuangan yang digagas oleh Gandhi. Ide-ide yang digagas oleh
Gandhi semacam seruan tentang Ahimsa (nir-kekerasan), Satyagraha (keteguhan
berpegang pada kebenaran) atau swadeshi (gerakan cinta produksi dalam negeri)
misalnya, adalah seruan perjuangan yang bisa dikatakan sangat jauh dengan
konsep perjuangan aksi massa sebagaimana lazimnya. Dalam satu pandangan
politiknya, Gandhi justru merumuskan satu konsep yang, mungkin, bagi banyak
orang justru tidak populis dan tidak sesuai dengan tujuan perjuangan yaitu
tercapainya swaraj (kemerdekaan). Saat itu Gandhi merumuskan tiga hal
dalam perjuangan politiknya, yaitu :
• Bersatunya penganut agama Hindu dan agama
Islam sebagai dua komunitas agama terbesar di India, dalam satu kerukunan,
kebersamaan dan ikatan sesama warga India.
• Dihapuskannya kasta pariah dalam
tatanan kehidupan masyarakat India. Yaitu kasta ‘orang-orang terbuang' atau
golongan orang yang tidak termasuk dalam empat kasta yang ada ( brahmana ,
ksatrya , waisya , sudra )
• Dibudayakannya kegiatan pemintalan benang
dalam setiap keluarga masyarakat India.
Satu pilihan politis yang diambil Gandhi dengan
konsekuensi berkurangnya pendukung setia dia lebih dari setengah jumlah
sebelumnya. Apa yang sejatinya menjadi dasar pertimbangan Gandhi dalam
merumuskan konsep tersebut, sehingga seorang Gandhi rela mengambil konsekuensi
yang sedemikian besarnya?
Bahasan
Memulai perjuangannya semenjak persentuhannya dengan
rakyat India di Afrika Selatan, secara perlahan Gandhi mengokohkan diri sebagai
salah satu tokoh perjuangan India yang cukup besar. Saat itu dia melihat segala
bentuk penindasan yang dialami oleh warga India di Afrika Selatan. Datang
sebagai seorang pengacara, seorang Gandhi melakukan berbagai hal yang semakin
memposisikan Gandhi sebagai tokoh sentral perjuangan. Begitupun saat dia telah
kembali tinggal di India. Mulai penolakannya terhadap serangkaian UU ataupun
RUU buatan Inggris yang merugikan dan bahkan menindas warga India,
perlawanannya membela kaum petani miskin India yang dieksploitasi habis-habisan
oleh para tuan tanah dan sederet kasus-kasus lainnya, semakin memposisikan
Gandhi sebagai salah satu tokoh sentral India.
Tahun 1920, tercatat bahwa ketokohan Gandhi di bidang
politik sangat dominan. Sebelumnya, belum pernah ada pemimpin politik India
yang memiliki pengaruh sebesar Gandhi. Bernagai pembaruan dilakukannya antara
lain mengubah Kongres Nasional India (India National Congress) yang tadinya
sebuah partai kaum elit dan eksklusif kini menjadi partai massa. Dukungan pada
Gandhi dalam wadah ini mengakar sampai ke pelosok desa dan seluruh penjuru
perkotaan India. Gandhi dengan lugas dan sederhana berpesan : “Bukanlah
kekuatan senjata Bangsa Inggris, tetapi ketundukan tanpa syarat bangsa
India-lah yang menyebabkan tanah air ini tetap berada dalam erbudakan bangsa
asing.” (Francis Alappatt, Mahatma Gandhi : Prinsip Hidup, Pemikiran Politik
Dan Konsep Ekonomi , 2005:19).
Gandhi memimpin gerakan non-koperatif dan
nir-kekerasan melawan Pemerintah Inggris dengan aksi boikot terhadap segala
sesuatu yang menyangkut dengan Inggris.Hal ini menyangkut segala hal, misalnya,
boikot segala barang dan jasa produksi Inggris, termasuk pemboikotan terhadap
kinerja seluruh institusi yang beroperasi dan diperuntukkan bagi orang-orang
Inggris. Gerakan ini benar-benar menggugah semangat baru dan berhasil menggedor
rasa ketakutan India pada penguasa asing. Hal ini berbuah dengan ditangkapnya
sebagian besar satyagrahis ( para penngikut setia ajaran Satyagraha )
dan dijebloskannya ke penjara. Hal ini semakin mengukuhkan tekad perjuangan
rakyat India. Namun Gandhi juga yakin bahwa ekses gerakan ini juga merambat
pada upaya kekerasan, satu hal yang bertentangan pada konsep Gandhi tentang
Ahimsa, yaitu konsep perjuangan nir-kekerasan. Oleh karena itu, Gandhi
senantiasa bersiap untuk berpuasa sebagai upaya penebusan dosa atas segala
kekerasan yang terjadi. Kekerasan mencapai puncak saat pada tanggal 5 Februari
1922, saat terjadi pembunuhan massal 23 orang polisi dalam sebuah kerusuhan
massadi Chauri Chaura, sebah desa terpencil di India Selatan. Ini kemudian yang
memicu Gandhi untuk menghentikan program pembangkangan sipilnya. 10 Maret 1922,
Gandhi resmi dipenjara. Dan selepas dia dari penjara dua tahun sesudahnya,
kondisi India semakin parah dengan timbulnya konflik dan sentimen antar dua
pemeluk agama terbesar di India : Hindu dan Islam.
• Ajaran-Ajaran Gandhi
Tidak ada literatur-literatur atau referensi-referensi
yang khusus memuat pokok-pokok ajaran Gandhi dalam satu kumpulan yang
sistematis dan terstruktur. Sebagaimana semangat perjuangannya, ajaran-ajaran
Gandhi mengalir bersama kebersamaannya dalam kehidupan sosial rakyat India.
Pokok-pokok pikiran Gandhi terangkum dalam satu rentang sejarah dan riwayat
hidupnya di tengah perjuangan rakyat India. Telah banyak yang telah ditulis
Gandhi dalam kehidupan publiknya. Beberapa tulisan itu diantaranya The
Autobiography (namun buku ini tidak pernah selesai sampai akhir hayat Gandhi),
Satyagraha in South Africa, Hind Swaraj dan General Knowledge About Health.
Namun secara umum, beberapa hal utama yang selalu
diserukan oleh Gandhi dalam banyak kesempatan yaitu, diantaranya :
• Ahimsa
Ajaran ini berasal dari kata himsa (kekerasan).
Sesuai dengan asal katanya, ajaran ini menyerukan kepada seluruh umat manusia
untuk menjunjung tinggi semangat nir-kekerasan (non-violence) dalam setiap laku
kehidupannya. Secara harfiah, ahimsa memiliki makna tidak menyerang,
tidak melukai atau tidak membunuh. Ajaran ini sebenarnya merupakan ajaran
klasik dari agama Hindu yang mengajarkan prinsip-prinsip etis dalam kehidupan.
Ajaran ini yang kemudian dimaknai secara lebih mendalam dan dikembangkan lebih
lanjut oleh Gandhi. Gandhi menekankan bahwa makna ahimsa sebagai
nir-kekerasan tidak semata-mata berkonotasi negatif (nir/a = tidak), namun juga
berkonotasi positif sebagai sebuah semangat dan pedoman hidup.
Dari pemaknaan di atas dapat terlihat bahwa makna
ahimsa lebih menekankan pada makna penolakan atau penghindaran secara total
terhadap segenap keinginan, kehendak atau tindakan yang mengarah pada bentuk
penyerangan atau melukai. Dalam kerangka pemikiran positif, ahimsa adalah
cinta, karena hanya cinta yang bisa muncul secara spontan dan memungkinkan
seseorang bertindak selaras dengan hati dan pikirannya. Gandhi berpendapat, “
Nir-kekerasan (non-violence) adalah cinta. Nir-kekerasan itu bertindak menyatu
dalam diam, nyaris terselubung dalam kerahasiaan sebagaimana yang dilakukan
cinta.” (2005:60-61)
• Satyagraha
Ajaran ini berarti “keteguhan berpegang pada
kebenaran”. Ajaran ini menyerukan untuk tidak ada sedikitpun toleransi atau
sikap kompromin dalam menegakkan nilai kebenaran. Cikal bakal ajaran ini adalah
peristiwa di Afrika Selatan yang melibatkan warga India di sana. Tanggal 22
Agustus 1906, Pemerintah Tansvaal, Afrika Selatan dalam UUnya mewajibkan
seluruh warga India untuk melapor pada pemerintah setempat, membubuhkan sidik
jari dan akan menerima sertifikat. Sertifikat itu harus dibawa kemanapun yang
bersangkutan bepergian, dengan ancaman pelanggaran adalah dipenjara dan bahkan
sampai deportasi. Ini tentu menyulut protes dari para warga India. Namun
peerintah tetap bersikukuh dan memenjarakan setiap warga yang membangkang.
Tanggal 11 September 1906 Gandhi memimpin seluruh warga India untuk memprotes
kebijakan tersebut. Mereka bersumpah untuk tetap berpegang pada pendirian dan
bersedia menanggung segala konsekuensinya. Mereka menganggap bahwa sua pilihan
antara membayar dena atau deportasi adalah pilihan yang tidak layak untuk
dipilih. Ketika seorang India memilih salah satu pilihan itu maka sejatinya
yang ada adalah kekalahan dan itu berarti warga India tidak lagi bisa menjaga
kehormatan dirinya.
• Swadeshi
Menurut Gandhi, konsep swasedhi erat kaitannya dengan
semangat swaraj sebagai cita-cita bersama seluruh warga India, bahkan
seluruh manusia. Dalam bahasa sederhana, Gandhi mengartikannya sebagai
“menggunakan apa yang dihasilkan oleh negeri sendiri”. Konsep swadeshi mengarah
pada swaraj dalam arti pemerintah oleh negeri sendiri (self-rule) yang
senyatanya bertumpu pada kekuatan sendiri (self-reliance). Gandhi menuliskan
“Satu negara yang rakyatnya tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhan
sandang dan pangannya, tiidak akan bisa menikmati swaraj yang sesungguhnya.”
(2005:112)
Sejatinya tidak hanya tiga poin tersebut yang menjadi
inti ajaran Gandhi. Namun dari tiga semangat yang digaungkan tersebut kita bisa
setidaknya meraba-raba untuk mencari tahu landasan-landasan pemikiran dalam
setiap gerakan politik Gandhi.
• Gerakan Politik Roda Pintal
Jauh hari setelah Gandhi bebas dari penjara, melihat
kondisi warga India yang semakin mengenaskan, Gandhi menyimpulkan bahwa warga
India belum benar-benar terdidik dan paham akan semangat Satyagraha yang
sesungguhnya. Sebagai solusinya, dia mencoba tetap mengumandangkan semangat
tindakan non-koopertif dengan tetap menekankan aspek nir-kekerasan yang menjadi
pijakn dasar dalam perjuangan. Gandhi memulai gerakannya dengan gerakan yang
sekaligus menjadi momen paling dramatis dalam sejarah perjuangan Gandhi. Sebagai
upaya perlawanan terhadap pajak garam yang diberlakukan Inggris, setelah segala
upaya telag ditempuh dan gagal, Gandhi mencanangkan gerakan mengambil garam
dari tangannya sendiri. Seruan ini disambut secara besar-besaran oleh segenap
rakyat India. Pada 12 Maret 1930 di pagi buta Gandhi bersama 78 sukarelawan
mulai perjalanannya dari Sabarmati menuju wilayah pantai Dandi dengan jarak
tempuh sekitar 241 mil dan membutuhkan waktu sekitar 24 hari perjalanannya.
Sesampai di tujuan, mereka melakukan perlawanan terhadap UU tentang Pajak garam
dengan memproduksi sendiri garam dari air laut.
Pasca gerakan perlawanan pajak garam tersebut, secara
lebih jauh, Gandhi menggagas tiga konsep dasar sebagai satu tahapan mencapai swaraj
(kemerdekaan). Tiga gagasan yang dianggap tidak populis oleh banyak pihak,
yang mengakibatkan Gandhi ditinggalkan lebih dari separuh pengikut setianya dan
sebagian besar rakyat India. Dalam pandangan mereka, perjuangan dan semangat
Gandhi telah banyak merosot seiring termakannya usia. Dalam pandangan mereka,
Gandhi telah sangat melunak dan tak dapat diharapkan lagi dalam upaya mencapai swaraj
. Tiga konsep tersebut yaitu :
• Bersatunya penganut agama Hindu dan agama
Islam sebagai dua komunitas agama terbesar di India, dalam satu kerukunan,
kebersamaan dan ikatan sesama warga India.
• Dihapuskannya kasta pariah dalam
tatanan kehidupan masyarakat India. Yaitu kasta ‘orang-orang terbuang' atau
golongan orang yang tidak termasuk dalam empat kasta yang ada ( brahmana ,
ksatrya , waisya , sudra )
• Dibudayakannya kegiatan pemintalan benang
dalam setiap keluarga masyarakat India.
1. Bersatunya Umat Hindu-Islam, Terwujudnya Daulat
Rakyat India
Gandhi meyakini bahwa metode yang diterapkan dalam
satu tahapan perjuangan erat kaitannya dengan dan bahkan tidak bisa terpisah
secara parsial dengan tujuan yang ingin dicapai. Swaraj (kemerdekaan)
sebagai tujuan bersama warga India dalam hal ini mengandung makna sebagai Truth
(kebenaran), yaitu suatu kebenaran obyektif, kebenaran kolektif yang akan
dicapai sebagai cita-cita bersama. Hal ini tentu tidak akan pernah terwujud dan
tercapai melalui metode-metode yang senyatanya bertentangan dengan semangat Truth
tersebut, yaitu perpecahan antara umat Hindu dan umat Islam sebagai sesama
waga India yang terikat dalam satu kesatuan bangsa. Perpecahan ini dimaknai
Gandhi sebagai bentuk non-Truth (ketidakbenaran) yang tentu saja
bertentangan samangat Truth dalam swaraj , yang secara otomatis
membuat swaraj sebagai cita-cita bersama tidak akan pernah terwujud.
Pembacaan masalah ini dilandasi oleh pemikiran Gandhi
yang menempatkan makna swaraj bukan sekadar kemerdekaan India dari
kolonial Inggris, namun lebih daripda itu yaitu kemerdekaan setiap individu
warga India baik secara personal ataupun dalam satu kesatuan warga India untuk
mencapai kesejatian dalam hidupnya. Gandhi memaknai pencapaian kemerdekaan dari
kolonial Inggris ‘hanya' merupakan pijakan untuk mencapai kemerdekaan yang
sesungguhnya yaitu kesejatian hidup. Ini tidak akan pernah terwujud melalui metode-metode
yang ternyata masih menyandang semangat non-truth .
2. Dihapuskannya Kasta Pariah , Satu Bentuk
Pengakuan Kesetaraan
Sebagaimana penghargaan masyarakat India terhadap
Gandhi dengan menyebutnya dengan panggilan Mahatma yang berarti Jiwa
Yang Agung (sekalipun Gandhi selalu kurang begitu suka dipanggil dengan
sebutan tersebut), dalam upaya penghormatannya terhadap Kaum Pariah ,
Gandhi menyebut kaum ini dengan sebutan Harijan (ank-anak Tuhan). Gandhi
mengungkapkan :
“ Apa yang saya dambakan, apa yang membuat saya tetap
bersemangat hidup, dan apa yang harus saya perjuangkan hingga ke titikdarah
penghabisan, adalah penghapusan ketidakadilan atas kaum yang dianggap sangat
rendah hingga tidak boleh disentuh oleh sesama manusia-karenanya mereka tidak
berkasta (untouchability atau di-pariah-kan atau dinajiskan). Saya ingin
menghapusnya hingga ke akar-akarnya, ke cabang-cabangnya... Perjuangan saya
menentang keadilan ini adalah perjuangan menentang kekejian atas kemanusiaan.
Teriakan saya akan terus bergema hingga mencapai Singgasana Yang Maha Kuasa” (2005;24-25)
Dengan kerangka pikir yang sama terhadap sinergitas
antara metode dan tujuan seperti tertera di atas, Gandhi menegaskan bahwa
segala bentuk ketidakadilan semacam yang telah diterima dan dirasakan oleh Kaum
Pariah ini hanya akan semakin menjauhkan warga India dari apa yang telah
bersama-sama mereka cita-citakan : Swaraj! .Gandhi berkeyakinan
bahwa segala sesuatu yang baik tidak akan pernah terwujud dengan cara yang
buruk. Segala tujuan yang baik tidak akan pernah tercapai melalui satu metode
yang buruk. Segala sesuatunya, baik tujuan maupun metode harus berjalan
beriringan, tak terpisahkan satu sama lain dan berfungsi secara sinergis.
3. Gerakan Roda Pintal, Gerakan Kemandirian Masyarakat
Dalam satu konsep gagasan Gandhi dalam tercapainya swaraj
adalah terciptanya satu masyarakat yang mandiri dan berkompetensi diri yang
mumpuni dalam hal upayanya meraih satu kesejahteraan integral. Terkait dengan
lalah satu pokok ajarannya yaitu swadeshi, Gandhi mencita-citakan terciptanya
desa-desa swasembada dalam bingkai desentralisasi ekonomi. Gandhi menghimbau
terhadap seluruh masyarakat India untuk selalu mempergunakan dan mengkonsumsi
segala sesuatu dari produksi industri rumah tangga dalam satu semangat penanaman
tradisi ‘cinta produksi dalam negeri'. Gandhi membanyangkan dimana satu desa
yang mempunyai kemampuan sendiri dalam mengupayakan kesejahteraan integral bagi
warga desanya sendiri.
Di balik gagasan Gandhi tentang pembudayaan roda
pintal dalam setiap rumah tangga warga India pada dasarnya tersirat banyak
aspek. Dalam perspektif pembangunan infrastruktur ekonomi, misalnya, Gandhi
ingin mengajarkan satu kemandirian ekonomi. Hal ini dirasa sangat dibutuhkan
sebagai satu komponen utama dalam terciptanya swaraj. Secara lebih jauh,
gerakan ini bahkan diharapkan sebagai cikal bakal berdirinya satu tatanan
Negara Kesejahteraan (Welfare State) di India. Dalam ranah politik, hal ini
bisa dimaknai sebagai kemandirian warga India sebagai tolok ukur kemampuannya
dalam menjalankan pemerintahan mandiri yang benar-benar lepas dari intervensi
pihak manapun. Ini kemudian menjadi (bargaining position) India di mata
internasional dalam upaya penggalian dukungan terhadap kemerdekaan India.
Dalam sisi sosial, gerakan ini juga dimaknai oleh
Gandhi sebagai upaya pendisiplinan dan pembentukan mental warga India dalam
menyongsong cita-cita swaraj. Setiap individu dalam masyarakat India, oleh
Gandhi, sebisa mungkin dikondisikan sebagai individu yang berkemampuan dan
berkompetensi untuk (minimal) menyokong kebutuhan dirinya sendiri. Dari
kompetensi itu diharapkan sebuah kemandirian masyarakat bisa tercipta dan dalam
konteks lebih besar, Negara Kesejahteraan ( Welfare State ) bisa
terwujud. Gandhi juga menyerukan adanya sumpah warga India untuk “hanya akan
menggunakan pakaian terbuat dari kapas, wol atau sutera yang diproduksi India,
baik hasil tenunan maupun pemintalan dengan tangan”. Ini tidak dimaknai sebagai
upaya nasionalisme sempit yang mengarah pada semangat eksklusifisme India, namun
semata sebagai wujud dukungan solidaritas dan kebersamaan demi perbaikan dan
kemajuan industri dalam negeri. Gandhi menulis, “Swadeshi adalah semangat di
mata kita harus membatasi diri untuk hanya menggunakan barang dan jasa yang
dihasilkan oleh lingkungan terdekat kita dan menghindari produksi yang
dihasilkan jauh dari lingkungan kita... Dalam perspektif ekonomi, saya hanya
akan memakai barang-barang yang dihasilkan oleh tetangga dekat dan melindungi
industri-industri tersebut dengan menjadikan mereka lebih efisien dan sempurna,
jika mereka belum bisa mencapainya.” Mental inilah yang kemudian diharapkan
sebagai landasan awal sekaligus andalan guna mencapai cita-cita bersama : swaraj
Simpulan
Sampai sekarang, kita tahu telah teramat banyak konsep
pemikiran yang lahir dan menghiasi kehidupan sosial, politik maupun
perekonomian dunia. Dalam konteks kekinian, mainstream Neo-Liberal atau bahkan
Kapitalisme juga telah banyak melahirkan kritik, otokritik bakan sampai teori
yang merefisi atau melengkapinya. Bingkai materialisme dalam budaya pemikiran
Barat yang akhir-akhir ini tampak mendominasi juga telah terpetakan kelemahan
dan kritiknya. Ini yang kemudian pemikiran Gandhi sebagai sebuah varian dalam
khazanah pemikiran Timur, menjadi layak dan bahkan menarik untuk dikaji dan
dibincangkan. Budaya pemikiran Timur yang secara garis besar dapat dilekatkan
dalam persamaannya mengenai konsep spiritual, kiranya menjadi jawaban sekaligus
otokritik terhadap kelemahan-kelemahan pemikiran Barat yang dirasa terlalu phisicly
namun hampa dalam isi (jiwa). Kerinduan manusia modern pada nilai-nilai
yang hakiki dalam balutan spiritualitas menjadikan Pemikiran Timur menemukan
eksistensinya.
Mohandas Karamchand Gandhi sebagai salah satu tokoh
besar dari belahan bumi Timur, juga menawarkan hal serupa dalam
ajaran-ajarannya : spiritualitas dan kesejatian jiwa. Kita bisa lihat bagaimana
Gandhi bisa mentautkan dan membumikan ajaran agama yang (terkesan) sangat
spiritualis menjadi konkret dalam realitas kehidupan keseharian, bahkan dalam
konteks kenegaraan sekalipun. Ajaran Ahimsa yang seringkali dimaknai secara
individual dengan cara pengasingan diri dan penarikan diri dari kehidupan
sosial, oleh Gandhi digubah menjadi satu semangat dari gerakan politis
kemasyarakatan. Ajaran Ahimsa kemudian menjadi sangat membumi dan kontekstual
dalam realitas kekinian kita. Bahkan kehadiran roda pintal dalam ranah budaya
keseharian masyarakat yang awalnya an-sich menjadi sangat kompleks
dengan pembacaan strategi politis yang mendalam. Gandhi bisa menuturkan pada
kita bahwa dari hal yang terkesan sangat sepele sekalipun (memintal benang),
bisa berimplikasi secara luar biasa dalam satu tatanan kenegaraan suatu bangsa.
Pun, sosok seorang Mohandas Karamchand Gandhi tetaplah
manusia biasa yang tak luput dari satu atau beberapa kelemahan dalam laku
pemikirannya. Sebut saja kelemahan dalam hal cara dia mem publish pola
pikir dia dalam lingkup masyarakat India sendiri. Terbukti, pemikiran yang dia
tawarkan tentang konsep Ahimsa, Swadeshi dan sebagainya awalnya justru kurang
populis dalam keseharian masyarakat India. Pikiran yang baik tetap saja tidak
bisa dianggap baik selama penerimaan masyarakat atasnya menjadi tidak baik.
Kiranya postulat tersebut cukup menjadi pegangan untuk mengevaluasi ‘jalan
perjuangan' Gandhi. Bukan bermaksud menisbikan apa yang telah dihasilkan
Gandhi, adalah tugas generasi selanjutnya untuk menjaga yang telah tercipta dan
melanjutkan apa yang belum tercapai. Begitu, bukan?
“Bawa pergi
apa yang bisa kaubawa, ambillah dariku haya hal-hal yang, setelah kau rnungkan,
juga benar menurutmu.”
Mahatma Gandhi
Daftar Pustaka
Alappatt, Francis. Mahatma Gandhi Prinsip Hidup,
Pemikiran Politik dan Konsep Ekonomi , Terjemahan Dari : Francis Alappatt,
Welfare” ini The Gandhian Economics ang in The Welfare State, Terj : S. Farida,
2005, Nusamedia-Nuansa : Bandung
Kakar, Sudhir. Gandhi Cintaku, Terjemahan Dari : Mira
& The Mahatma, Terj : Esti A. Budihabsari, 2005, Qanita : Bandung
Takwin, Bagus. Filsafat Timur Sebuah Pengantar Ke
Pemikiran-Pemikiran Timur, Jalasutra : Jogjakarta
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar