BAB I. PENDAHULUAN
1.1
Latarbelakang
Pengkajian filosofis
terhadap pendidikan mutlak diperlukan karena membantu dalam memberikan informasi tentang
hakekat manusia sebagai dirinya sendiri baik secara horisontal maupun secara
vertikal. Sehingga kajian tentang realitas sangat dibutuhkan dalam menentukan tujuan akhir
pendidikan. Terdapat
banyak alasan untuk mempelajari filsafat pendidikan, khususnya apabila ada
pertanyaan rasional yang seyogyanya tidak dapat dijawab oleh ilmu atau cabang
ilmu-ilmu pendidikan. Pakar dan praktisi pendidikan memandang filsafat yang
membahas konsep dan praktik pendidikan secara komprehensif sebagai bagian yang
sangat penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Terlebih lagi, di
tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melaju sangat pesat, pendidikan
harus diberi inovasi agar tidak ketinggalan perkembangan serta memiliki arah
tujuan yang jelas. Di sinilah perlunya konstruksi filosofis yang mampu
melandasi teori dan praktek pendidikan untuk mencapai keberhasilan substantif.
Disisi lain, kajian filosofis memberikan informasi yang berkaitan dengan pengetahuan, sumber
pengetahuan, nilai, dan Seperti
bagaimanakah pengetahuan itu diperoleh, bagaimana manusia dapat memperoleh
nilai tersebut. Dengan nilai tersebut apakah pendidikan layak untuk diterapkan
dan lebih jauh akan membantu untuk menentukan bagaimana seharusnya pendidikan
itu dilaksanakan. Pendidikan disisi lain tidak bisa melepaskan tujuan untuk
membentuk peserta didik yang memiliki nilai-nilai mulai spritual, agama,
kepribadian dan kecerdasan.
Praktek pendidikan memerlukan teori pendidikan, karena teori pendidikan
akan memberikan manfaat antara lain: (1) Sebagai pedoman untuk mengetahui arah
dan tujuan yang akan dicapai; (2) Mengurangi kesalahan-kesalahan dalam praktek
pendidikan karena dengan memahami teori dapat dipilih mana yang boleh dan mana
yang tidak boleh dilakukan; (3) Sebagai tolok ukur untuk mengetahui sampai
sejauh mana keberhasilan pendidikan.
Pendidikan kita tidak
sekedar menempatkan manusia sebagai alat
produksi. Manusia harus dipandang sebagai sumber daya yang utuh. Pendidikan
tidak boleh terjebak pada teori-teori neoklasik, suatu teori yang menempatkan
manusia sebagai alat-alat produksi, dimana penguasaan IPTEK bertujuan menupang
kekuasaan dan kepentingan kapitalis. pendidikan tidak memiliki basis pengembangan budaya yang jelas. Lembaga
pendidikan kita hanya dikembangkan
berdasarkan model ekonomik untuk menghasilkan/ membudaya manusia pekerja (abdi
dalem) yang sudah disetel menurut tata
nilai ekonomi yang berlatar (kapitalis)
sehingga tidak mengherankan jika keluaran pendidikan kita menjadi manusia pencari kerja dan tidak
berdaya. Bukan manusia kreatif pencipta
keterkaitan kesejahteraan dalam siklus rangkaian manfaat yang
seharusnya menjadi hal yang paling
esensial dalam pendidikan dan pembelajaran.
Salah satu prinsip
psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan
kepada siswa, tetapi siswalah yang harus aktif membangun pengetahuan dalam
pikiran mereka sendiri. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah yang siap untuk
diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan dan memberi
makna melalui pangalaman nyata.
Teori pendidikan yang berisikan
konsep-konsep dapat dipelajari dengan menggunakan berbagai pendekatan, antara
lain pendekatan filosofi yang akan melahirkan pemahaman tentang filsafat
pendidikan. Pendekatan filosofis terhadap pendidikan merupakan suatu pendekatan
untuk menelaah dan memecahkan masalah pendidikan menggunakan metode filsafat.
Pendidikan membutuhkan filsafat, karena masalah pendidikan tidak hanya
menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang terbatas pada pengalaman.
Dalam kegiatan pendidikan akan muncul
masalah yang lebih luas, kompleks, dan mendalam serta tidak terbatas oleh
pengalaman indrawi maupun fakta-fakta sehingga tidak dapat dijangkau oleh ilmu
pendidikan (science of education). Masalah-masalah tersebut antara lain adalah
tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai
pandangan hidup manusia. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan suatu fakta,
namun pembahasannya tidak dapat dikaji hanya dengan menggunakan pendekatan
sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam melalui
filsafat.
Sejarah filsafat menunjukkan bahwa tidak
hanya satu filsafat yang berkembang, melainkan banyak jenis aliran atau mazhab
filsafat. Dalam filsafat ditemukan adanya aliran seperti idealisme, realisme,
materialisme, pragmatisme, eksistensialime, dan sebagainya. Dengan demikian,
pendekatan filosofis dalam memaknai teori pendidikan akan didasari oleh
berbagai aliran filsafat tersebut. Dalam mempelajari dan mengembangkan teori
pendidikan perlu dipahami aliran-aliran filsafat yang melandasinya. Kiranya kegiatan pendidikan tidak sekedar
dipandang sebagai gejala sosial yang bersifat rasional semata akan tetapi ada
sesuatu yang mendasarinya. Peranan filsafat dalam mendasari teori ataupun
praktek pendidikan merupakan salah satu sumbangan berharga bagi pengembangan
pendidikan. Dengan memperhatikan uraian di atas, salah satu pertanyaan yang
muncul adalah: “Bagaimana aliran-aliran filsafat melandasi teori pendidikan?”
Pertanyaan tersebut akan dijawab dengan mengkaji pemikiran tentang teori
pendidikan menurut aliran-aliran filsafat yang ada. Di antara sekian banyak
aliran filsafat, kajian ini akan difokuskan untuk membahas pemikiran tentang
teori pendidikan menurut aliran filsafat realisme.
1.2.
Rumusan
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, ada beberapa rumusan
masalah yang dideskripsikan sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah tujuan
filsafat dalam pendidikan?
2.
bagaimanakah
latarbelakang munculnya filsafat realisme?
3.
bagaimanakan implikasi
Filsafat realisme dalam pendidikan?
1.3. Tujuan
Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang dan Rumusan masalah diatas, tujuan yang diharapkan dalam makalah
ini adalah:
1.
Untuk
mendeskripsikan dan menganalisis tujuan filsafat dalam pendidikan;
2.
Untuk
mendeskripsikan dan menganalisis latarbelakang munculnya filsafat realisme ;
dan
3.
Untuk
mendeskripsikan dan menganalisis implikasi Filsafat realisme dalam pendidikan.
1.4 Manfaat
Manfaat
yang diharapkan dalam makalah ini adalah;
1.
Menambah
perbendaharaan ilmu pengetahuan tentang
filsafat pendidikan pada umumnya dan filsafat realisme pada khususnya.
2.
Dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan bahwa
Pendekatan filosofis
terhadap pendidikan merupakan suatu pendekatan untuk menelaah dan memecahkan
masalah pendidikan.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Filsafat
Dalam Pendidikan
Pada hakikatnya, pendidikan mencakup kegiatan mendidik, mengajar dan melatih. Kegiatan
tersebut dilaksanakan untuk menstransformasi nilai-nilai yang dimaksud meliputi
nilai-nilai religi, budaya sains dan teknologi, seni dan keterampilan. Namun,
tanpa filsafat pendidikan tidak dapat
berbuat apa-apa dan tidak tau apa yang harus dikerjakan (Wangsa Gandhi HW,
Teguh. 2011: 67-72)
Filosofi pendidikan
merupakan kerangka landasan yang sangat fundamental bagi sistem pendidikan dan
para pendidik. Kerangka filosofis memberikan gambaran tentang cara pandang guru
terhadap pendidikan itu sendiri (termasuk didalamnya kurikulum, tujuan
pendidikan dan isi pendidikan), anak didik dan proses pembelajaran. Kerangka
filosofis harus menjadi kerangka berpikir guru atau mind set guru dalam menyelenggarakan
praksis pembelajaran. Adapun landasan pedagogis memberikan sejumlah pemahaman
konseptual dan praktis tentang bagaimana proses pendidikan itu terjadi dalam
berbagai lingkungan, termasuk didalamnya adalah pola pengasuhan anak, model
pembelajaran, metode pembelajaran dan teknik pembelajaran, penggunaan media dan
sumber belajar,
penyusunan langkah
pembelajaran dan penilaian yang mendidik.Dilihat dari pengertian praktisnya,
filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berpikir,
namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir
secara mendalam dan sungguh-sungguh. Tegasnya, filsafat adalah karya akal
manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya.
Filsafat merupakan ilmu atau pendekatan yang mempelajari dengan sungguh-sungguh
hakikat kebenaran segala sesuatu. Menurut Immanuel Kant (1724-1804) yang
seringkali disebut sebagai raksasa pemikir Barat, filsafat adalah ilmu pokok
yang merupakan pangkal dari segala pengetahuan.
Kerana luasnya lapangan filsafat, orang sepakat mempelajari filsafat dengan
dua cara, yaitu mempelajari sejarah perkembangannya (metode historis) dan
mempelajari isi atau pembahasannya dalam bidang-bidang tertentu (metode
sistematis). Dalam metode historis orang mempelajari sejarah perkembangan
aliran-aliran filsafat sejak dahulu kala sehingga sekarang. Di sini dikemukakan
riwayat hidup tokoh-tokoh filsafat di segala masa, bagaimana timbulnya aliran
filsafatnya tentang logika, tentang metafisika, tentang etika, dan tentang
keagamaan. Dalam metode sistematis orang membahas isi persoalan ilmu filsafat
itu dengan tidak mementingkan sejarahnya. Orang membagi persoalan ilmu filsafat
itu dalam bidang-bidang yang tertentu. Misalnya, dalam bidang logika
dipersoalkan mana yang benar dan yang salah menurut pertimbangan akal,
bagaimana cara berpikir yang benar dan mana yang salah. Dalam bidang etika
dipersoalkan tentang manakah yang baik dan yang buruk dalam perbuatan manusia.
Dalam metode sistematis ini para filsuf dikonfrontasikan tanpa mempersoalkan periodasi
masing-masing.
Filsafat itu sangat luas cakupan pembahasannya, yang ditujunya adalah
mencari hakihat kebenaran atas segala sesuatu yang meliputi kebenaran berpikir
(logika), berperilaku (etika), serta mencari hakikat atau keaslian
(metafisika). Sejak zaman Aristoteles hingga dewasa ini lapangan-lapangan yang
paling utama dalam filsafat selalu berputar di sekitar logika, metafisika, dan
etika. Dengan memperhatikan sejarah serta perkembangannya, filsafat mempunyai
beberapa cabang yaitu: (1) Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di
balik fisika, hakikat yang bersifat transenden dan berada di luar jangkauan
pengalaman manusia; (2) Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang
salah; (3) Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang buruk; (4)
Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek; (5) Epistomologi:
filsafat tentang ilmu pengetahuan; (6) Filsafat-filsafat khusus lainnya:
filsafat agama, filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat
alam, filsafat pendidikan, dan sebagainya.
Filsafat akan memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan
yang tersusun dengan tertib, tentang kebenaran. Fungsi filsafat adalah kreatif,
menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan
baru serta membangun keyakinan atas dasar kematangan intelektual. Filsafat
tidak hanya cukup diketahui, tetapi dapat dipraktekkan dalam hidup
sehari-sehari. Filsafat akan memberikan dasar-dasar pengetahuan yang dibutuhkan
untuk hidup secara baik, bagaimana hidup secara baik dan bahagia. Dengan kata
lain, tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam
logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisik (hakikat
keaslian).
Pendekatan
filosofis untuk menjelaskan suatu masalah dapat diterapkan dalam aspek-aspek
kehidupan manusia, termasuk dalarn pendidikan. Filsafat tidak hanya melahirkan
pengetahuan banu, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Filsafat
pendidikan adalah filsafat terapan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan
yang dihadapi. John Dewey (1964) berpendapat bahwa filsafat merupakan teon umum
tentang pendidikan. Filsafat sebagai suatu sistem berpikir akan menjawab
persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosofis dan memerlukan jawaban
filosofis pula.
Setiap praktik pendidikan atau pembelajaran tidak terlepas dari sejumlah
masalah dalam mencapai tujuannya. Upaya pemecahan masalah tersebut akan
memerlukan landasan teoretis-filosofis mengenai apa hakikat pendidikan dan
bagaimana proses pendidikan dilaksanakan. Henderson dalam Sadulloh (2004)
mengemukakan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat yang diaplikasikan untuk
menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan. Peranan filsafat yang
mendasari berbagai aspek pendidikan merupakan suatu sumbangan yang berharga
dalam pengembangan pendidikan, baik pada tataran teoretis maupun praktis.
Filsafat sebagai suatu sistem berpikir dengan cabang-cabangnya (metafisika,
epistemologi, dan aksiologi) dapat mendasari pemikiran tentang pendidikan.
Menurut Brubacher (1959), terdapat tiga prinsip filsafat yang berkaitan
dengan pendidikan, yaitu: (1) persoalan etika atau teori nilai; (2) persoalan
epistemologi atau teori pengetahuan; dan (3) persoalan metafisika atau teoni
hakikat realitas. Untuk menentukan tujuan pendidikan, memotivasi belajar,
mengukur hasil, pendidikan akan berhubungan dengan tata nilai. Persoalan
kuriikulum akan berkaitan dengan epistemologi. Pembahasan tentang hakikat
realitas, pandangan tentang hakikat dunia dan hakikat manusia khususnya, diperlukan
untuk menentukan tujuan akhir pendidikan.
Metafisika memberikan sumbangan pemikiran dalam membahas hakikat manusia
pada umumnya, khususnya yang berkaitan dengan hakikat anak, yang bermanfaat
dalam menentiikan tujuan akhir pendidikan. Mempelajari metafisika perlu sekali
untuk mengontrol tujuan pendidikan dan untuk mengetahui bagaimana dunia anak.
Epistemologi sebagai teori pengetahuan, tidak hanya menentukan pengetahuan mana
yang harus dipelajari tetapi juga menentukan bagaimana seharusnya siswa belajar
dan bagaimana guru mengajar. Pendidikan perlu mengetahui persoalan belajar
untuk mengembangkan kurikulum, proses dan metode belajar. Aksiologi akan
menentukan nilai-nilai yang baik dan yang buruk yang turut menentukan perbuatan
pendidikan. Aksiologi dibutuhkan dalam pendidikan, karena pendidikan harus
menentukan nilai-nilai mana yang akan dicapai melalui proses pendidikan.
Disadari atau tidak, pendidikan akan berhubungan dengan nilai, dan pendidikan
harus menyadari kepentingan nilai-nilai tersebut.
Dalam arti luas filsafat pendidikan mencakup filsafat praktek pendidikan
dan filsafat ilmu pendidikan (Mudyahardjo, 2001). Filsafat praktek pendidikan
membahas tentang bagaimana seharusnya pendi-dikan diselenggarakan
dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia mencakup filsafat praktek pendidikan
dan filsafat sosial pendidikan. Filsafat ilmu pendidikan adalah analisis kritis
komprehensif tentang pendidikan sebagai bentuk teori pendidikan. Aspek filsafat
dalam ilmu pendidikan dapat dilihat berdasarkan empat kategori sebagai berikut:
(1) Ontologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakekat substansi dan pola
organisasi ilmu pendidikan; (2) Epistemologi ilmu pendidikan yang membahas
tentang hakekat objek formal dan material ilmu pendidikan; (3) Metodologi ilmu pendidikan
yang membahas tentang hakekat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan;
(4) Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis
dan praktis ilmu pendidikan.
Kajian terhadap fisafat pendidikan akan memadukan keempat aspek tersebut di
atas sebagai landasan dalam menjawab tiga masalah pokok, yaitu sebagai berikut:
(1) Apakah sebenarnya pendidikan itu? (2) apakah tujuan pendidikan sebenarnya?
dan (3) Dengan cara apa tujuan pendidikan itu dapat dicapai? (Henderson, 1959).
Jawaban masalah pokok tersebut tertuang dalam: (1) Tujuan pendidikan: (2)
Kurikulum, (3) Metode pendidikan, (4) Peranan peserta didik; dan
(5) Peran tenaga pendidik.
Dalam
sejarah perkembangan filsafat telah lahir sejumlah aliran filsafat. Dengan
adanya aliran-aliran filsafat, maka konsepsi mengenai filsafat pendidikan telah
dipengaruhi oleh aliran-aliran tersebut. Dengan memperhatikan obyek filsafat
dan masalah pokok pendidikan, selanjutnya akan dibahas aliran filsafat
idealisme dan realisme dalam melandasi pengembangan teori pendidikan.
2.2 Latarbelakang Filsafat Realisme
Realisme merupakan filsafat yang
memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas
ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas
menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak
lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek
pengetahuan manusia.
Beberapa tokoh yang beraliran realisme:
Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke,
Galileo, David Hume, John Stuart Mill
2.2.1
Realisme Klasik
a.
Aristoteles (384-322 SM)
Plato percaya bahwa materi tidak
mempunyai akhir realitas dan bahwa kita seharusnya memperhatikan diri kita
sendiri dengan ide-ide. Adalah seorang murid Plato yaitu Aristoteles, lebih
lanjut, telah mengembangkan gagasan bahwa sementara gagasan-gagasan mungkin
penting bagi diri mereka sendiri, pembelajaran yang utama tentang materi
mengantarkan kita pada gagasan-gagasan yang jelas yang lebih baik. Aristoteles
belajar dan mengajar di Akademi milik plato kurang lebih selama dua puluh tahun
kemudian dia membuka sekolah sendiri, Lysium. Perbedaannya denga plato
dikembangkan secara teratur dan dalam penghormatan yang tinggi dia tidak pernah
keluar dari bawah pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Aristoteles,
gagasan-gagasan (atau bentuk-bentuk), seperti ide tentang Tuhan atau ide-ide
tentang sebuah pohon bisa ada walaupun tanpa materi, tapi tidak ada materi yang
ada tanpa bentuk. Setiap bagian dari materi memiliki baik sebuah sifat
penting/tertentu yang menyuluruh. Sifat penting dari sebuah biji pohon, sebagai
contoh, merupakan hal-hal yang penting bagi biji dan itulah perbedaan biji dari
semua biji yang lain. Sifat-sifat ini termasuk ukuranya, bentuk, berat dan
warna. Tidak ada biji yang serupa sama sekali, jadi kita bisa mengatakan
bahwa beberapa sifat penting dari suatu biji sebagaimana perbedaan yang
mendasar dari hal hal pada semua biji yang lain. Hal ini bisa disebut dengan
“bebijian” dan itu adalah hal yang universal dengan semua biji yang lain.
Mungkin hal ini bisa dipahami lebih baik dengan mengembalikan pada manusia pada
poin ini. Orang, juga, berbeda dalam sifat-sifat tertentu mereka. Mereka
memiliki perbedaan bentuk dan ukuran, dan tak ada dua orangpun yang sama
persis. Karena semua manusia sesungguhnya berpegang pada sesuatu yang
universal, dan ini bisa disebut dengan “kemanusiaan” mereka. Baik kemanusiaan
dan bebijian adalah realitas dan mereka ada secara bebas dan dihargai bagi satu
jenis sifat manusia atau biji apapun. Dengan demikian, kita bisa
mengatakan bahwa bentuk-bentuk (universal, gagasan, atau esensi) adalah
aspek-aspek non-material dari masing-masing objek materi tertentu yang
menghubungkan pada semua objek-objek penting lainnya dari kelas tersebut.
Berpikir pada non-material mungkin kita bisa sampai padanya dengan menguji
objek-objek material yang ada dalam diri mereka sendiri, terbebas dari kita.
Aristoteles berkeyakinan kita harus banyak terlibat dalam mempelajari dan
memahami ralitas pada benda-benda itu semua. Memang, dia setuju dengan Plato
dalam posisinya. Bagaimanapun juga mereka berbeda, dalam hal tadi Aristoteles
merasa seseorang bisa mendapatkan suatu bentuk dari pembelajaran benda-benda
materi tertentu, dan Plato yakin bentuk bisa dicapai hanya dengan melalui
beberapa jenis alasan yang dialektis.
Aristoteles menentang bahwa
bentuk adalah benda, sifat universal dari suatu objek (benda), berada tetap dan
tidak pernah berubah padahal komponen-komponen penting sungguh (bisa) berubah.
Sel dalam suatu biji mungkin tidak bisa dipadukan dan sebuah biji mungkin bisa
dihancurkan, tapi bentuk dari semua biji-bijian atau bebijian tetap. Dalam
istilah pada manusia lagi, meskipun person individu mati, kemanusiaannya tetap
ada. Bahkan jika semua manusia harus mati, kemanusiaan akan tetap ada,
sebagaimana halnya konsep perputaran akan ada bahkan jika keberadaan lingkaran
materi dihancurkan. Jika kita melihat pada istilah ini pada perkembangan
manusia, kita dapat melihat bahwa seperti anak, masing-masing individu
memiliki karakteristik tertentu dari kekanakan. Karena mereka tumbuh, lebih
lanjut, badan mereka berubah dan mereka memasuki pada masa pertumbuhan yang
disebut dengan masa adolesen (remaja); kemudian mereka menjadi dewasa. Sifat
kemanusiaan tetap bahkan meskipun proses pertumbuhan pada individu tersebut
berubah berapa kali.
Dengan demikian, bentuk tetap
konstan sedangkan sifat materi berubah. Aristotels dan Plato menyetujui pada
poin bahwa bentuk konstan dan materi selalu berubah. Tapi Aristoteles meyakini
bentuk ada dalam materi tertentu dan bahkan motivasi kekutan pada materi
tersebut. Dengan tanda yang sama, filosuf modern yaitu Henri Bergson berbicara
tentang sebuah hal mendasar atau prinsip dasar bahwa setiap objek memilikit dan
mengarahkanya pada istilah yang memenuhi/mengisi tujuanya. Ini bisa dilihat
dalah perkembangan yang benar pada sebuah biji yang mengisi tujuannya dalam
menjadi sebuah pohon. Ia harus mengambil sejumlah sinar matahari dan air yang
cukup, ia harus membentuk akarnya semakin dalam dan ia harus menerima makanan
denan cara yang pas/tepat. Masing-masing objek, Aristoteles berpikir, memiliki
sebuah “jiwa” yang sempit yang mengarahkannya dalam jalan yang tepat.
Aristoteles adalah seorang ilmuan
dan filosuf dan dia mempercayai bahwa meskipun kita boleh memisahkan sains dan
filsafat sesuai dengan coraknya, masih ada sebuah hubungan antara mereka yang
mana pembelajaran pada salah satunya membantu kita dalam mempelajari yang lain.
Sebagai contoh, dengan mempelajari aspek-aspek materi dari sebuah biji- selnya,
warnanya dan juga seterusnya- kita seharusnya dihantarkan lebih dalam memuju
sebuah kontemplasi(pemikiran) tentang apa sesungguhnya biji itu sendiri,
esensinya dan bentuknya. Tentu saja, sejumlah keputusan bergantung dalam
mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan yang benar. Ada beberapa pertanyaan ilmiah
dan pertanyaan filosofis dan mereka saling menyalip/mendahului. Jika kita pergi
kepantai dan mengambil kerang, kita bisa mempertanyakan diri kita sendiri
banyak pertanyaan ilmiah tentang kerang tersebut. Tersusun dari apakah ia?
Berapa lamakah ia ada? Apa yang hidup di dalamnya? Berapa beratnya? Ada banyak
pertanyaan semacam ini dan jawaban mereka cukup tentang kerang tersebut, tapi
kita akan sedang mempertanyakan hanya tentang aspek-aspek sifat psikis. Kita
juga bisa mempertanyaan jenis pertanyaan yang lain. Apa arti kerang? Siapa yang
menciptakan nama itu? Apa tujuannya? Jenis-jenis pertanyaan ini berdasarkan
filosofis, meskipun mereka bisa dibawa keluar dengan penyelidikan-penyelidikan
ilmiah. Hal ini telah ditunjukan, sebagai contoh, pada pada jurnal tahuna The
Bulletin of Atomic Physicists yang menjadi lebih berorientasi filosofi. Ini
akan mendorong klaim Aristoteles baha semakin dalam kita masuk ke dalam materi
maka kita akan semakin dihantarkan pada filsafat.
Pertanyaan-pertanyaan yang paling
penting kita bisa mempertanyakan tentang benda-benda yang menghubungkan pada
tujuan-tujuan mereka. Aristoteles merasa bahwa setiap benda memiliki sebuah
tujuan dan fungsi/kegunaan. Apakah fungsi/tujuan adanya ikan? Jika kita
mengujinya secara hati-hati kita mungkin mengatakan bahwa tujuannya ialah untuk
berenang. Fungsi dari burung adalah untuk terbang. Apa, pemikiran, yang menjadi
tujuan kemanusiaan? Aristoteles meyakinin bahwa karena manusia adalah hanya
ciptaan yang diberi kemampuan untuk berpikir, tujuan mereka adalah untuk
mengguanakan kemampuan ini. Dengan demikian, kita mencapai tujuan kita yang
benar ketika kita berpikir dan kita terus melawan ini ketika kita tidak
berpikir atau ketika kita tidak berpikir secara cerdas.
Menurut Aristoteles, ada
desain/rancangan dan perintah/atuarn dalam alam semesta ini, bagi setiap hal
yang terjadi dalam sebuah cara yang teratur. Sebuah biji menjadi sebuah batang
pohon dan bukan sejenis pohon. Seekor anak kucing menjadi kucing bukan anjing.
Kita bisa memahami alam semesta dengan mempelajari istilah dari
tujuan-tujuanya. Dengan demikian, apapun yang terjadi bisa dijelaskan menurut
tujuannya. Biji mengikuti pada tujuannya dan seekor anak kucing memiliki
tujuanyan pula. Dengan mengembalikan pada manusia, kita telah melihat bahwa
tujuan kita ialah untuk berpikir, tapi kita mengakui kita bisa menolak untuk
berpikir atau berpikir secara bodoh. Kita bisa menghindari pemikiran dengan
tidak memperhatikan, dengan menyalah arahkan pemikiran kita, atau atau dengan
selain pemikiran yang subversif. Aristoteles meyakini baha kita bisa menolak
untuk berpikir dan oleh karena itu terus menentang desain pada alam semesta ini
dan alasan bagi penciptaan kita; dengan demikian kita memiliki keinginan yang
bebas. Ketika kita terus melawan tujuan ini, lebih lanjut lagi, kita mengalami
sebuah konsekuensi dari gagasan-gagasan yang salah atau keliru, kesehatan yang
lemah, dan sebuah ketidak-bahagiaan hidup diantara benda-benda yang lain.
Bagi Aristoteles, orang yang
mengikuti sebuah tujuan yang benar mengantarkannya pada sebuah kehidupan
rasional pada moderisasi(tdk berlebih-lebihan), menghindari keekstriman
(kekerasan). Ada dua ekstrimis pengikut Aristoteles: ekstrem yang terlalu
sedikit dan ekstrem terlalu banyak. Dalam istilah makan, jika seseorang makan
terlalu banyak, seseorang akan dengan rakus dan mengalami obesitas, kurang
energi, lemah dalam kesehatan secara keseluruhan atau mati dengan sendirinya.
Orang yang tidak berlebih-lebihan atau wanita, orang yang berpikir, menghindari
semacam exsesi. Menurut Aristoteles, perspektif utama ialah Arti yang
Bermakana, sebuah jalan diantara ekstremis.
Konsep Aristoteles tentang Arti
yang Bermakna diilustrasikan dengan pemikirannya tentang sebuah jiwa sebagai
sebuah entitas untuk dijaga dalam sebuah keseimbangan. Dia berbicara tentang
tiga aspek tentang jiwa vegetatif manusia, hewan, dan rasional. Kita boleh
mengatakan bahwa ketika manusia tumbuh, mereka mengikuti ektsrim yang terlalu
sedikit, ketika mereka marah dan bermusuhan dengan aspek-aspek harmonis, mereka
mengikuti jalan yang bagi konsep Plato tentang keberadaan yang ideal dimana
keberadaan kebaikan adalah sebuah kesatuan dimana semua kelas-kelas tersebut,
yaitu, kuningan (vegetatif), perak (hewan) dan emas (rasional) adalah
keseimbangan dan keserasian. Aristoteles yakin bahwa sebuah pendidikan yang
baik membantu untuk mencapai Arti yang Bermakna dan dekat memajukan keserasian
dan keseimbangan baik jiwa dan badan.
Menurut pandangan Aristoteles,
keseimbangan adalah merupakan pusat. Dia melihat semua alam semesta dalam
seimbang dan bergaya secara teratur. Sejauh yang diperhatikan pada diri
manusia, dia tidak melihat badan dan pikiran dengan posisi yang menurut Plato;
lebih, badan adalah sarana-sarana yang mana denganya data masuk kedalam kita
melalui panca indera. Data yang masak pada panca indera diatur dengan pikiran
yang masuk akal. Prinsip universal diciptakan oleh akal dari sebuah pengujian
tertentu dengan menggunakan panca indera. Dengan demikian, badan dan pikiran
bergerak bersama dalam sebuah keseimbangan meliputi seluruh konsistensi
internal dalam diri mereka.
Aristoteles tidak memisahkan
sebuah benda tertentu dari wujud universalnya. Materi dan bentuk bukanlah dua
jenis hal yang berbeda dari sebuah wujud, melainkan sebagai aspek-aspek
fundamental dari hal yang sama. Bentuk adalah sebuah materi, karena kebentukan
materi merupakan sebuah pandangan yang keliru/salah, bukanlah sebuah realitas.
Hal penting untuk dilihat ialah semua materi berada dalam tahapan-tahapan
aktualisasi. Padahal Plato tertarik terutamanya dalam bidang dari bentuk-bentuk
atau ide-ide. Aristoteles mencoba untuk menyatukan dunia tentang materi dengan
dunia pada bentuk-bentuk. Sebagai sebuah contoh dari ini ialah pandanganya pada
kebenaran dan potensialitas. Aktualitas merupakan suatu bentuk yang lengkap dan
sempurna. Potensialitas merujuk kepada kapabilitas pada wujud yang terwujud
atau peraihan kesempurnaan dan bentuk. Ini merupakan kesatuan bentuk dan materi
yang memberikan realitas konkrit tentang benda-benda. Dengan kata lain, sebuah
individu biji mengandung bentuk dan materi yang menyusun biji “nyata” dalam
pengalaman dalam pengertian dunia yang biasa dikehidupan sehari-hari.
Hal ini lebih jauh diilustrasikan
oleh konsepsi (pengertian) Aristoteles tentang empat sebab-sebab: (1) Sebab
Material, materi yang darinya sesuatu dibentuk; (2) Sebab Formal, rancangan
yang membentuk objek material; (3) Sebab Efisien, agen yang memproduksi objek;
dan (4) Sebab Final, petunjuk yang mengarah kepada pendirian objek tersebut.
Dalam pengertian bahasa yang biasa, ketika kita berbicara tentang sebuah rumah,
material itu terbuat dari (kayu, bata, dan paku) yang merupakan Sebab
Materialnya; sketsa atau perencanaan yang mengikuti konstruksinya adalah Sebab
Formal; tukang kayu yang membangunya adalah Sebab Efisiennya; dan Sebab Finalnya
ialah bahwa ia merupakan sebuah tempat untuk tinggal, sebuah rumah. Materi ada
dalam proses, bergerak menuju akhir. Dalam pengertian ini, pemikiran
Aristoteles sangat serupa dengan pemikiran modern tentang evolusi dan dugaan/
pemikiran pada alam yang terbuka-tak terbatas. Perbedaan antara Aristoteles dan
pemiki pemikiran modern ini ialah bahwa Aristoteles melihat pergerakan ini
mengarah pada sebuah akhir yang final, jadi menurutnya alam semesta adalah
hanya semacam terbuka-tak terbatas. Kekuatan yang mengendalikan dan memproses
secara bersamaan ialah Tuhan, yang mana denganya Aristoteles mengartikan
kekuatan atau sumber petunjuk-petunjuk materi berada di luar matrei itu
sendiri, sebuah asal Realitas; dengan demikiran, Tuhan merupakan Sebab Pertama,
Tujuan Akhir, Penggerak Yang Tak-Bergerak, di luar semua materi dan bentuk.
Dalam pandangan ini, kita mungkin mengamati bahwa Filosofi Aristoteles adalah
Esoteris sama halnya dengan Filosofi Plato. Karena, bagi Aristoteles, Tuhan
adalah sebuah keterangan yang logis bagi aturan alam semesta, keteraturanya dan
prinsip-prinsip operasionalnya.
Memang, organisasi merupakan
suatu yang esensial bagi filosofi Aristoteles. Segala sesuatu bisa diatur dalam
sebuah hierarki. Sebagai contoh, manusia secara biologis adalah berasal dan
berakar dalam alam. Bagaimanapun, mereka berusaha untuk sesuatu yang diluar
mereka sendiri. Jika mereka dicirikan dengan badan, mereka juga
dikarakteristikan dengan jiwa, atau sebuah aspek rasional, kapasitas untuk
bergerak dari dalam. Jika badan dan jiwa seimbang mereka juga teratur dan jiwa
merupakan sebuah susunan yang lebih tinggi dari badan(tubuh), leibh
berkarakteristik dari manusia dibandingkan segala sesuatu apapun. Menurut
Aristoteles, manusia adalah binatang yang rasional, paling lengkap penuh maskud
mereka ketika mereka berpikir, karena berpikir merupakan ciri khas mereka yang
paling tinggi, karena itulah, dengan Aristoteles, segala sesuatu wujud mampu
diatur, karena realitas, pengetahuan dan nilai kebebasan pikiran ada, dengan
konsistensi internal mereka dan keseimbangan kemampuan memahami wujud dengan
pikiran.
Untuk mencapai struktur realitas
yang independent (bebas), Aristoteles melakukan proses yang logis. Plato
menggunakan dialektik untuk mempersatukan dugaan-dugaan yang benar tentang kebenaran.
Aristoteles telah memperhatikan masalah kebenaran juga dan dia mencari aksesnya
melalui usaja untuk menyaring dialektik. Metode yang logika yang dia kembangkan
adalah Silogisme. Pada dasarnya, silogisme adalah sebuah metode untuk menguji
pernyataan-pernyataan yang logis.
Silogisme disusun dari sebuah
pemis (dasar pikiran) utama, premis minor dan kesimpulan. Aristoteles
menggunakan silogisme untuk membantu kita berpikir secara lebih akurat dengan
menyusun pernyataan-pernyataan tentang realitas dalam sebuah logika, bentuk
yang sistematis yang sesuai dengan bukti dalam situasi tertentu dibawah
pembelajaran.
Pada dasarnya, metode logika
Aristoteles adalah deduktif; yaitu, itu berasal dari kebenaranya dari keumuman,
seperti “semua manusia musnah”. Satu permasalahan dengan metode ini ialah
bahwa jika dasar pikiran/premis pokok adalah kesalahan maka kesimpulannya akan
menjadi salah. Sebuah temuah yang berasal dari penentuan kebenaran pada pokok
dasar pemikiran; Dengan metode apakah kita bisa mengujinya dengan akurat? Jika
kita melanjutkan menggunakan silogisme, kita juga harus terus menyandarkan diri
pada dasar pemikiran umum yang tak-terbukti. Metode logika Aristoteles menemui
perbedaan dengan desakanya yang mana kita pahami lebih baik dari (prinsip umum)
dengan mempelajari objek-objek materi ilmiah. Dalam contoh berikut ini,
kebenaran Arisototeles adalah induktif; yaitu, kita menemukan kebenaran dengan
cara-cara tertentu atau sebuah proses berasal dari hal-hal yang khusus ke yang
lebih umum. Silogismenya, bagaimanapun berasal dari keumuman (semua manusia
musnah) ke kesimpulan yang khusus (Socrates mati/musnah). Masalah metode logika
ini merupakan kayu penghalang bagi para pemikir (ilmuan) selama berabad-abad.
Pendekatan silogistis membimbing pada sejumlah kesalahan atau posisi yang tak
dapat dipertahankan. Tidaklah hingga abad ke-16 tatkala Francis Bacon menemukan
sebuah pendekatan induktif yang lebih cocok.
Pangkal kebaikan menurut
Aristoteles adalah kebahagiaan; bagaimanapun, kebaikan itu terbebas dari jiwa
yang teratur secara baik-berbudi luhur. Hal ini bisa terjadi hanya karena kita
mengembangkan kebiasaan-kebiasaan atau budi luhur yang dibentuk melalui jenis
pendidikan yang utama. Pendidikan mengharuskan perkembangan/ kemajuan dari
kapasitas pemikiran kita oleh karena itu kita bisa membuat jenis-jenis pilihan
yang benar. Seperti yang sudah ditandakan, ini adalah sarana langkah/jalan pada
moderisasi. Sebuah penerimaan dan mengikuti sebuah prinsip semacam ini menjadi
inti dari proposal-proposal edukasional Aristoteles. Meskipun, Aristoteles
tidak mempelajari kejelasan ilmiah tentang gagasan-gagasan edukasional
miliknya, dia merasa bahwa sifat utama akan terbentuk dengan mengikuti Arti
Yang Bermakna. Ini akan menghasilkan perkembangan sosial yang diinginkan dan
akan menolong Negara dalam menghasilkan dan memilahara warganya yang baik.
Dalam bidang politik, Aristoteles lebih jauh mengembangkan pandanganya bahwa
ada hubungan timbal-balik antara orang yang terdidik secara tepat dan warga
Negara yang terdidik secara tepat.
Pengaruh faham Aristoteles adalah
sebuah kepentingan luas dan mencakup semacam hal-hal seperti pengenalan
kebutuhan untuk mempelajari alam secara sistematis menggunakan proses-proses
logika dalam pikiran, menghasilkan kebenaran-kebenaran umum melalui sebuah
pembelajaran keras pada particular-partikular tertentu, dan menekankan
aspek-aspek rasional pada alam manusia.
b.
Thomas Aquinas (1225-1274)
Thomas Aquinas lahir dekat Napoli, Italia pada tahun 1225. pendidikan
formalnya dimulai pada saat berumur lima tahun ketika dia dikirim ke kerajaan
Benedictin di Monte Casino. Lalu, dia belajar di Universitas Napoli dan pada
tahun 1244 dia menjadi seorang biarawan Dominican, mengabdikan kehidupannya
untuk beribadah. Hidup dalam kemiskinan dan pekerja keras intelektual. Pada
tahun 1245 dia dikirim ke Universitas di Paris, disana dia belajar dibawah
bimbingan Albertus Magnus, seorang cendikiawan pengikut folosofi Aristoteles
yang terkenal. Dia belajar dan mengajar pada Universitas di Paris hingga tahun
1259, ketika orang-orang Dominic mengirimnya kembali ke Italia untuk membantu
mengatur kurikulum bagi sekolah-sekolah Dominic. Dia kembali lagi ke Paris pada
tahun 1268 dan dia dikenal dan diingat dalam kehidupanya sebagai seorang
Profesor teologi dan sebagai seorang pemimpin eduakatif bagi orang-orang
Dominic. Dia meninggal pada tanggal 7 maret tahun 1274.
Gagasan-gagasan Aristoteles memiliki sejumlah dampak pemikiran orang
Kristen, dan dalam banyak anggapan mereka memiliki niatan untuk menggali
sekularisasi di Gereja, sebagai oposisi terhadap aliran biarawan/wati yang
dilahirkan oleh tulisan-tulisan Agusitine. Secara bertahap, gagasan Aristoteles
dikorporasikan kedalam agama Kristen dan disediakan sebuah dasar filosofis.
Thomas Aquinas menjadi kekuasaan yang mengantarkan Aristoteles kedalam abad
pertengahan dan tidak menemukan konflik yang besar antara gagasan-gagasan
paganisme para filosuf dan gagasan-gagasan wahyu agama Kristen. Dia menentang
bahwa karena Tuhan adalah sebab yang murni, kemudian alam adalah sebab dan
dengan menggunakan alasan kita, sebgaimana yang ditegaskan oleh Aristoteles,
kita bisa mengetahui hal-hal yang benar. Aquinas juga meletakan penekanan dalam
menggunakan indera kita dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang dunia, dan
bukti-buktinya tentang existensi Tuhan, sebagai contoh, berdasarkan observasi
sensoris yang sungguh-sungguh.
Aquinas meyakini Tuhan menciptakan materi bukan dari satu apapun dan Tuhan,
sebagai mana yang telah Aristoteles tetapkan, adalah Penggerak Yang
Tak-Bergerak yang memberikan arti dan tujuan kepada alam semesta. Dalam karya
monumentlnya, Summa Theologica, dia mengumpulkan pendapat-pendapat yang
setuju dengan agama Kristen. Dia menggunakan pendekatan rasional yang
diusulkan/ditegaskan oleh Aristoteles dalam menganalisa dan mencocokan dengan
pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang variatif. Sebagai buktinya, banyak
pendapat-pendapat yang mendukung dalam agama Kristen adalah henar-benar berasal
darinya, tanpa memperhatikan pada cabang apa dalam agama Kristen didasarkan. Katolik
Roma menganggap pemikiran Thomas sebagai filosofi utama.
Thomas Aquinas adalah orang paling utama dari orang-orang gereja.
Menurutnya semua kebenaran abadi pada Tuhan. Kebenaran telah diberikan oleh
Tuhan kepada manusia dengan wahyu keTuhanan, tapi tuhan juga telah memberkati
manuisa dengea kemampuan akal untuk mencari kebenaran. Sebagai mana ia menjadi
orang gereja, Aquinas tidak menjadikan alasan subordianat kewahyuan, tapi dia
benar-benar ingin memberikan alasan pada sebuah tempat yang utama. Pada
kepentingannya, dia mewacanakan teologi sebagai perhatian utama dan filosofi
sebagai “teologi handmaiden”. Dengan demikian, dengan pengenalan supremasi
teologi, dia mampu menjelajahi perkembangan filosofis pada pemikiran keagamaan
secara lebih penuh.
Aquinas
sepaham dengan Aristoteles bahwa kita datang ke alam semesta dengan sebuah
pembelajaran tertentu. Dia menerima tesis kebebasan dan “bentuk” sebagai
prinsip cirri dari semua wujud. Dia menjunjung tinggi “Prinsip Keberadaan”
Yang sama dengan pandangan Aristoteles pada setiap eksistensi yang
bergerak menuju kesempurnaan dalam bentuk (isi). Sedangkan dia menyetujui bahwa
jiwa adalah bentuk dari badan, dia berpegangan bahwa jiwa bukan berasal dari
akar-akar biologis manusia. Cukup, jiwa dari sebagai ciptaan tuhan, musnah dan
dari tuhan, Aquinas melambangkan pemikiran “skolastik” abad pertengahan, sebuah
pendekatan yang menekakankan sebuah keabadian jiwa manusia dan keselamatan.
Skolastik menggabungkan filosofi Aristoteles dengan pengajaran-pengajaran gereja,
dan Aquinas mengisi sebuah aturan penting dalam latihan ini dengan menyusun
hubungan antara akal dan iman.
Aquinas yang terkadang juga
dengan Doktor Angelis “sangat tertarik padangan pendidikan, hal ini ditandai
dengan kerja samanya bersama orang-orang dominic. Dalam sebuah cacatatan pada
gagasan-gagasan edukasional dalam buku summa theological, dia juga menulis
demagisto (seorang guru) yang mana menyetujuinya secara husus dengan filosofi
pengajarannya. Sebagai contoh ia ia memunculkan pertanyaan tentang apakan
seseorang dapat mengajar orang lain secara langsung, atau apakah aturan
pengajaran adalah hanya milik tuhan. Bahwa hanya tuhan yang disebut gur karena
keberadaannya yang mutlak. Jika seseorang mengajar bagaimanapun juga, itu
hanyalah merupakan kepandaian (seperti yang ditunjukkan agustine pada waktu
dulu) dan melalui sebuah simbol-simbol. Sebuah otak/akal manusia tidak dapat
secara langsung berhubungan dengan akal yang lain, tapi itu bisa berhubungan
secara tidak langsung. Itu sering dikatakan bahwa seorang dokter/tabib
menyembuhkan badan, manakala hal yang sebenarnya itu merupakan penyembuhan
alami yang datang dari dala, dan semua tabib/dokter bisa melakukan apa yang
disebut sebagai praktek penyembuhan eksternal dan perangsang. Jadi begitu pula
dengan pengajaran melakukan itu dengan berusaha memotifasi dan menunjukkan para
pelajar melalui ayat-ayat, tanda-tanda, symbol dan tehnik penggalian diri.
Dengan kata lain seorang guru hanya “menunjukkan” para pelajar pada pengetahuan
dan pemahaman dengan tanda-tanda dan symbol. Namun pengajaran adalah sebuah
cara untuk melayani manusia dan itu adalah bagian pekerjaan tuhan di dunia ini.
Menghantarkan murid dalam ketidak pedulian dalam pencurahan adalah merupakan
pengabdian yang terbesar seseorang yang bisa diberikan kepada orang lain.
Pusat pemikiran Aquinas adalah
pemikiran Nasrani “bahwa setiap kita dilahirkan dengan jiwa yang abadi”
meneruskan pemikiran idealisme Platonis sama baiknya dengan pemikiran relisme
pengikut Aristoteles, dia berpendapat bahwa jiwa memiliki sebuah pengetahuan
dalam yang hanya bisa dikeluarkan untuk menjelaskan kehidupan manusia lebih
lengkap. Tujuan utama dari pendidikan, seperti Aquinas melihat itu, adalah
kesempurnaan manusia dan reuni terakhir jiwa manusia dengan tuhan. Untuk mengembangkan
ini, kita harus mengembangkan kapasitas akal dan melatih kesadaran (intelegen).
Disinilah realisme Aquainas datang berdiri digaris terdepan, karena dia
memegang realitas manusia bukan spiritual atau mental tapi juga psikal dan
alami (kebiasaan). Dari sudut pandang tentang guru manusia, jalan bagi jiwa
untuk bersandar melalui indera fisiknya, dan pendidikan harus menggunakan jalan
ini untuk menyempurnakan pembelajaran. Petunjuk-petunjuk yang dapat menunjukkan
pelajar pada pelajaran yang menghantarkan pada wujud yang benar dengan kemajuan
dari yang rendah kebentuk yang lebih tinggi. Ini mengilustrasikan Aquinas
sebagai aliran Aristoteles, karena pandangannya mencakup sebuah perkembangan
kosmologi yang maju dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi. Atau
pergerakan menuju kesempurnaan.
Pandangan/gagasan-gagasan Aquinas
dalam pendidikan konsisten dengan posisi filosofisnya, demikian, pengetahuan
dapat dicapai data indra dan itu bisa mengantarkan seseorang pada tuhan yang
menyediakan/menyiapkan pelajar gagasan-gagasan dalam persepektif yang
pokok/utama. Pada esensinya, gagasan-gagasannya ialah bahwa seseorang harus
memulai dari pembelajaran materi ke pembelajaran bentuk (isi). Dia tidak setuju
dengan Agustine yang mengatakan bahwa kita dapat mengetahui tuhan hanya melalui
keimanan dan beberapa proses intuitif, lebih dari itu, Aquinas mempertahankan
bahwa manusia dapat menggunakan akal mereka untuk mencapai tuhan melalui sebuah
pembelajaran pada materi dunia. Dengan demikian, dia melihat ketidak konsistenan
antara kebebaran-kebenaran wahyu yang diterima dalam iman dan
kebenaran-kebenaran yang didapatkan melalui observasi dan pembelajaran yang
rasional yang hati-hati. Aquinas percaya bahwa pendidikan yang pokok adalah
seseorang bisa mengenal spiritual dan materi alamiyah pada individu-individu
secara penuh, karena dia berfikir bahwa sisi spiritual lebih penting dan lebih
tinggi, Aquinas dengan kuat menekankan pendidikan pada jiwa memberikan dukungan
utama.
Dalam pandangan Aquinas pentara
utama dalam pendidikan adalah keluarga, gereja, sedangkan Negara atau
masyarakat yang diatur memerankan pihak ketiga yang lemah. Keluarga dan gereja
mempunyai sebuah kewajiban untuk mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan
prinsip moral yang baik dan hukum ketuhanan. Ibu adalah guru pertama sang anak
karena anak mudah dicetak dan dibentuk. Itu adalah tugas ibu dalam membentuk
moral anak. Gereja berdiri sebagai sumber pengetahuan pada ketuhanan, dan harus
membentuk lahan untuk memmahami hukum-hukum tuhan. Negara harus merumuskan dan
menyelenggarakan undang-undang dalam pendidikan, tapi itu tidak seharusnya
membatasi keutamaan pendidikan di rumah dan di gereja.baik Ariestoteles dan
Acquinas berpegangan pada doktrin realitas dualistik ini bisa dilihat dalam
gagasan Ariestoteles tentagn materi dan bentuk dan pandangan Aquinas pada
sisi material dan sisi spiritual pada manusia,dualisme ini kemudian berlanjut
dalam konflik yang besar antara sebuah pandangan ilmiah dan religious tentang
realitas.
2.2.2
Perkembangan Realisme Modern
Salah satu pokok masalah pada
realisme klasik ialah kegagalannya dalam mengembangkan sebuah metode yang cukup
dalam pemikiran induktif.Sementara orang –orang klasik telah mampu
mengembangkan tesis bahwa realitas pengetahuan dan nilai bisa/boleh diketahui
dengan mempelajari sifat-sifat, mereka masih terbelenggu dalam gaya
berpikir deduktif yang esensial,mereka sering memiliki
kebenaran-kebenaran mereka saat memulai,tidak pernah meragukan bahwa itu adalah
sebuah sebab utama atau sebuah penggerak yagn tak bisa digerakkan,realisme
modern mengembangkan keluar percobaan-percobaan untuk mengoreksi beberapa
kesalahan-kesalahan, dan itu bisa dikatakan usaha/percobaan-percobaan
korektif sebagaimana pada inti hari ini yang kita namai “revolusi ilmiah”
yang menjalar dibudaya barat,semua filisuf sebuk berbicara denga usaha-usaha
ini, mungkin dua pemikir realis yang termuka yaitu francis Bacon dan Jhon
locke, terlibat dalam pengembangan metode-metode berpikir yang sistematis dan
cara-cara meningkatkan pemahaman manusia.
a.
Francic Bacon (1561-1626)
Frncic Bacon bukan hanya seorang
filosuf tapi juga politisi di istana Elizabet I dan Jamel I sejarah menunjukkan
Francic Bacon tidak hanya berhasil dalam usaha-usaha politisnya ( dia
dipindhakan dari kantornya karena tingkah lakunya yang memalukan),karena catatannya
dalam perkembangan filosofis agak lebih impresif (mengesankan ),latihan-latihan
filosofis Bacon adalah ambisius meskipun tidak ada kecondongan dalam
bidangnya,dia mengklaim untuk mengambil semua pengetahuan seperti lapangan
penyelidikannya yang hampir dia mencapai kesaksian bagi
kejeniusannya.Barangkali,karyanya yang paling terkenal adalah Novum
Organum, yang mana didalamnya dia menentang logika pengikut
Ariestoteles.
Bacon menyerang pengikut
Aristoteles untuk memberi masukan terhadap perkembangan sains yang lesu,
permasalan dengan teologi adalah yang diawali dogmatis dan sebuah asumsi
pendahuluan dan kemudian menarik keimpulan bagaimana juga, bacon menuduh
bahwa sains(ilmu) tidak dapat meneruskan cara/ jalan ini,karena sains harus
memperhatikan inguiri( penyelidikan) yang murni dan sederhana,inguiri tidak
dibatasi dengan dugaan-dugaan yang dipertimbangkan,bacon berpedoman bahwa
sains harus mulai dengan gaya ini dan harus mengembangkan metode-metode
penyelidikan yang bisa diterima/ dipercaya,kita bisa bebas dari ketergantungan
dengan kejadian pada bakat-bakat yang jarang dan mampu mengenmbangkan melalui
kegunaan metode tersebut. Bacon meyakini “pengetahuan adalah kekuatan ” dan itu
melalui pengakuan pengetahuan yang kita bisa sesuaikan secara kebih efektif
dengan masalah-masalah dan kekuatan yang menyerang disetiap sisi untuk
mernyempurnakan hal-hal ini, dia menemukan apa yang dia sebut metode induktif.
Bacon menentang logika
pengikut Aristoteles utamanya karena dia berfikir itu menghasilkan banyak
kesalahan, utamnya mengenai fenomena sebagai contoh pemikiran regelius seperti
Thomas Aquinas dan scholastic(orang-orang skolastik )yang menerima
axiomatis(hal yang sudah jelas kebenarannya) mempercai tenteng Tuhan,bahwa dia
ada,apa adanya,semua kegiatan dan sebagainya-dan kemudian mereka menyimpulkan
semua macam hal tentang kagunaan kekuatan Tuhan, intervensinya dalam
urusan-urusan manusia dan sebagainya. Pendekatan induktif bacon,yang
mempertanyakan bahwa kita memulai dengan bagian yang bisa diamati dan kemudian
memberikan alasan untuk pernyataan-pernyataan atau hokum-hukum yang general,
menyerang balik pendekatan skolastik, karena hal itu menuntut
verifikasi(pembaharuan) bagian khusus sebelum pembenaran(pemberian hukum)
dibuat sebagai contoh,setelah pengamatan bagian pada air yang membeku pada suhu
32 fahrenheit, kita mungkin kemudiaan menetapkan sebuah hukum umum bahwa air
membeku pada suhu 32 fahrenheit. Hukum ini valid, bagaimanapun,hanya sepanjang
air itu berlanjut membeku pada suhu ini. Jika, karena sebuah perubahan dalam
keadaan atmosfir atau keadaan bumi, air tidak lebih lama membeku pada suhu 32
fahrenheit, kemudian kita akan diwajibkan untuk mengubah atau mengganti hukum
kita melalui deduksi, seseorang mungkin juga mengubah keyakinan-keyakinan tapi
ketika seseorang memulai dengan kebenaran-kebenaran yang mutlak, dia
sedikit perlu untuk mengubah mereka dari pada ketika dia memulai dengan
data yang netral.
Sebuah contoh historis melibatkan
percekcokan antara Galileo dan gereja katolik mengenai posisi bumi dalam system
tata surya. Gereja mempertahankan teori ptoleonik. Bahwa bumi merupakan pusat
dari alam semesta. Sedangkan planet-plsnet yang lain, termasuk matahari,
berputar mengelilinginya. Posisi ini didukung oleh diduksi untuk mengawali
karena tuhan menciptakan bumi, adalah masuk akal.untuk menempatkannya di pusat,
juga karena tuhan memilih menempatkan manusia di bumi. Bumi harus telah
memiliki sebuah tempat penting dalam rencana penciptaan. Dan ini
memberikan berat yang bertambah akan pentingnya bumi menjadi tempa sentral.
Cerita dalam bible(injil) tentang jesus melawan sebuah pertempuran yang sulit
dan meminta tuhan untuk membuat matahari masih tampak untuk memberikan lebih
dari dukungan pada posisi ini. Tapi Galileo menentang karena teori Copernicus
yang mengatakan mata hari, bukan bumi sebagai pusat dari alam semesta. Posisi
dari necolas Copernicus(seperti berikutnya dalam buku the revolution of the
heavenly bodies) ditetang oleh gereja karena itu meremehkan bumi dan rencana
tuhan. Dan itu menentang kejujuran pada wahyu.galelio menggunakan sebuah
teleskop untuk memberikan bukti empiris terhadap posisi Copernicus. Dan ini
meningkatkan kemerahan gereja. Hal ini di laporkan bahwa seorang Jesuit yang
telah diundang dalam pembelajaran Galileo untuk melihat melalui teleskop
sebagai bukti menganggap bahwa setan meletakkan benda-benda tersebut
disana baginya untuk dilihat,ofisial gereja menuntut Galileo untuk menyangkal
posisinya karena karyanya selanjutnya diperkuat oleh seluruh atau bagian oleh
para ilmuan seperti Johanner Kepler,Tycho Brahe,dan Sir Isaac Newton.
Karena pendekatan induktif atau
ilmiah tak bisa menutupi banyak kesalahan,Bacon mendesak/mendorong kita menguji
ulang/kembali penerimaan pikiran-pikiran kita pada jenis-jenis “berhala-berhala”
yang mana sebelum kita membungkuk dan menutupi pikiran kita,berhala ini,
kata Bacon,utamanya ada 4.Ada dewa den,untuk hal-hal yang kita percaya karena
pengalaman kita yang terbatas,jika,sebagai contoh,seorang individu memiliki beberapa
pengalaman-pengalaman buruk dengan/yang memiliki kumis adalah jelek,sebuah
kasus yang jelas pada generalisasi yang salah.Berhala yang lain adalah berhala
rumpun untuk kita yang berniat untuk mempercayai hal-hal yang karena
kebanyakan orang mempercayai mereka,ada sejumlah penyelidikan-penyelidikan
untuk menunjukkan bahwa banyak orang akan mengubah pendapat mereka untuk
mencocokkan dengan mereka yang mayoritas.berhala yang lain bahwa Bacon
mempercayai gangguan dengan pikiran kita yaitu apa yang kita namakan berhala
market place. Berhala ini berkaitan bahasa,karena Bacon meyakini bahwa
kata-kata sering dipakai dalam cara-cara yang melindungi/mencegah
pemahaman.contohnya kata-kata seperti “liberal” dan “konservatif”bisa memiliki
sedikit pengertian ketika diaplikasikan untuk orang Karena seseorang
dapat menjadi liberal dalam sebuah isu,konservatif pada hal yang lain.Bacon
mendasarkan berhala yang terakhir sebagai berhala teater.Ini adalah berhala
pada agama-agama kita dan filosofi-filosofi yang bisa mencegah kita dari
melihat dunia secara obyektif.Dia menghendaki agar sebuah rumah tangga pada
pikiran dimana kita melepaskan diri gagasan-gagasan yang mati di masa lalu dan
melalui lagi dengan menggunakan metode induksi.
Esensinya,induksi merupakan
logika untuk sampai pada generalisasi dalam landasan observasi
sifat-sifat yang sistematis.kebenaran umum pada gagasan ini bisa ditemukan
dalam karya Ariestoteles tidak pernah mengembangkannya kedalam sebuah system
yang lengkap.Menurut Bacon,Induksi melibatkan kumpulan data tentang sifat, tapi
itu bukanlah hanya sebuah katalog nomor dat,.data harus diuji,dan dimana
perbedaan-perbedaan didapat, beberapa darinya harus dibuang dengan
catatan,bukti-bukti harus diproses atau ditafsirkan pada waktu yang
bersamaan,jika metode induksi bisa berkembang dengan baik dan diaplikasikan
secara teliti,itu akan menguntungkan kita ke tingkat yang mana itu akan
memberikan kita control yang banyak terhadap dunia luar dengan rahasia-rahasia
alam yang tidak tertutup.
b.
JHON LOCKE (1632-1704)
Mengikuti apa-apa yagn jadi
pijakan Bacon,Jhon locke berusaha menerangkan bagaimana kitra
mengembangkan pengetahuan,"dia berusaha untuk membebaskan tanah dari
berbagai sampah kotoran”sebagai latihan bentuk filosofis,yang mengganggu
pencapaian pengetahuan manusia, dia mengusahakan untuk memberikan pemikiran
pada apa yang Bacon aggap sebagai “berhala”.
Locke dilahirkan di Inggris,anak
seorang pengacara kota dia di didik di sekolah west minister dan Christ
churh college di oxfard,dimana dia kemudian menjadi pengikutnya pendidikannya
adalah klasikal dan skolastik.nantinya,dia berpaling dari tradisinya,menyerang
akar-akar pemikiran Ariestoteles dan ajaran skolasrtiknya yagn bertengger pada
perselisihan-perselisihan yang mana menurutnya agak mempertengkarkan dan menyombongkan.
Masukan-masukan Locke ke dalam
realisme berupa penyelidikan-penyeledikanya terhadap keberdan dan
kepastian pengetahuan manusia,dia menemukan keaslian gagasan objek
pemikiran,dan apapun yang akan punya akal,saat lahir,akal/otak adalah bagai
sebuah kertas putih kosong,yang diperoleh dari sumber-sumber yang bebas pada
akal(otak) atau diperoleh sebagai sebuah refleksi dari pemgalaman dengan
melalui cara refleksi dan sensasi.
Locke tidak sepenuhnya
mengingatkan dirinya dengan kealamian akan itu sendiri tapi lebih
memfokuskan pada bagaimana gagasan-gagasan atau pengetahuan dapat diperoleh
oleh akal,objek ekternal yang ada,dia berpendapat dan mencirikannya dengan dua
jenis kualitas: kualitas primer,seperti kesolidan,ukuran dan gerakan;dan
kualitas sekunder,seperti warna,rasa,bau,suara,dan kualitas “indera” yang
lain,kita bisa menyebut kualitas primer sebaik subyektif(tergantung langsung
penglaman kita tentang mereka).
Locke seorang pemikir emperis,dia
memperhatikan hal nyata dan praktis tapi dia tidak membenarkan idealisme yang
abstrak pada akhirnya,apa yang kita tahu adalah apa yang kita alami kita
mengenal sifat-sifat pada benda,apakah itu sebagai materi sifat tambahan data
yang ada dalam otak/akal menjalankan data pengalaman,dank arena
mereka datang tanpanya,akal dapat menggabungkan dan menyusun pengalaman dan
bisa menjadikan kesadaran pada gerakan-gerakannya.Dengan demikian,pengetahuan
tergantung pada sensasi dan refleksi.
Mengenai kealamiahan dunia
eksternal yang obyektif, Locke hanya sedikit berbicara pada dasarnya,dia
menerima keberadaannya,dan dia menerangkan keberadaan ini dengan “Ajaran
substansil”,yaitu substansial atau realitas eksternal merupakan pendukung
penting untuk pengalaman. Dengan demikian dia menduga sebuah realitas yang
bebas merupakan sebuah perkembangan pada kesadaran akut tentang pengalaman.
Berbeda dengan perkiraan tentang ide/gagasan atau esensi-esensi atau sebuah
realitas materi yang bebas, lapangan penyelidikannya adalah pengalaman dan
pengetahuan manusia.
Pandangan Locke dalam pendidikan,
seperti yang diekspresikan dalam buku Beberapa Pemikiran Mengenai Pendidikan
tidaklah teoritis sebagaimana halnya spekulasinya dalam epistomologi. Mereka
merupakan gagasan praktis tentang kelakuan, kemalasan, penghargaan dan hukuman,
dan keumuman yang lain dalam proses pendidikan. Pemikiran Locke mengantarkan
kepada jenis pendidikan “kesopanan” yang dicatat kuat dalam pendidikan
orang-orang Inggris. Seseorang mungkin berpendapat bahwa penolakan filosofi
Locke bertengger diatas demokrasi, gagasan-gagasan edukatifnya mengatarkan
mereka sendiri untuk menjadi seorang kaum atas (bangsawan)
2.2.3
Realisme Kontemporer
Untuk bagian yang paling penting,
realisme kontemporer telah memelihara perkembangan hal-hal yang paling kuat
sekitar tentang sain dan permasalahan sain pada sebuah alam filosofis.
Pergerakan ini terjadi paling banyak pada abad ke 20 dan telah dihubungkan
dengan perkembangan sekolah-sekolah baru tentang pemikiran seperti
positivisme logis, dan analisis linguistic. Karean, dengan perkembangan ini
telah menjadi sebuah kelanjutan pada dasar tesis kebebasan.
Dua figure yang terkenal dalam
realisme kontemporer adalah Alfred North Withehead dna Bertrand Russel. Kedua
orang ini mempunyai banyak kesamaan, termasuk keduanya sama-sama orang inggris
dan berkolaborasi dalam tulisan matematis. Pada dasarnya, keduanya dating untuk
mengajar di beberapa perguruan tinggi terkenal di Amerika, dan mereka tertarik
untuk menulis tentang pendidikan. Dengan semua persamaan ini, mereka masuk ke
dalam keunikan petunjuk-petunjuk filosofis bgai mereka masing-masing. Arah
petunjuk Whitehead adalah hamper seluruhnya platonis, dalam pencariannya
tentang bentuk-bentuk universal. Russel mengarah pada hitungan dan pembuktian
matematis, sebagai dasar generalisasi filosofis.
a.
Alfred North Whitehead (1861-1947)
Mungkin, satu hal yang paling
bermakna bagi filosofis yang kreatif lakukan adalah membawa rekonsialisasi
cara-cara yang menentang pemikiran. Aquinas melakukan ini ketika dia
mendamaikan aristotelianisme dan Kristen. Kant melakukan ini dalam mencoba
mendamaikan sain dan nilai-nilai tradisional. Alfred North Whitehead berusaha
menemukan ini degan usaha memadukan beberapa aspek-aspek idelaisme dengan
realisme yang dekat dengan pendidikan dasar-dasar filosofis pada sain modern.
Whitehead masuk kedalam
filsafat melalui matematika. Dia mengarang bersama Bertrand Russel sebuah karya
yang berjudul Principia Mathematica. Dia sudah berumur lebih dari 60th
ketika dia beralih ke filsafat dengan sebuah basis masa yang penuh dengan filsafat
di Universitas Harvard. Sebuah risalah filsafatnya yang paling mengemuka adalah
sain dan dunia modern dan beberpa pernyataan pokoknya tentang pendidikan yang
bisa ditemukan dalam filsafat Whitehead. Kareana dia berpedoman bahwa realitas
adalah proses, apa yang seorang temukan dalam proses ini adalah entitas actual
(wujud nyata) atau “kejadian” (hal atau obyek yang nyata), “prehensi” (hubungan
rasional antara orang yang berpengalaman dan obyek-obyek yang dialami) dan
“nexus” (memperluas urutan waktu “kejadian” dan “prehensi” yang mana bisa cocok
satu sama lain denga keberadaanya yang terus menerus).
Dalam banyak pengertian, whitehead berusaha untuk menyatukan pertentangan
filsosofis sperti tinjauan subyektif dan obyektif dan dia percaya bahwa kita
harus mengenali kedua aspek itu. Dia menolak sebuah realitas yang dibagi dalam
dua cabang, karena mengenai sebuah individualitas pada sebuah benda dan
hubungan atau aspek-aspek universal hal-hal itu sendiri. Apa yang dia tolak
ialah terlalu jauhnya petunjuk pada kerusakan terhadap yang lainnya. Dia
menolak pemisahan mental kedalam sebuah bidang itu sendiri. Karena kegiatan
mental harus di pandang dlaam konteks pengalman. Dia lebih memilih realisme
sebagai filsafat karena dia berpikiran itu membantu orang memperbaiki kelebihan
pemikiran yang subyektif.
Itu menampakan bahwa Whitehead menolak tesis yang bebas. Ini benar untuk
mengukur bahwa dia tidak melihat realitas obyektif dan akal yang subyektif
sebagai sesuatu yang benar-benar terpisah. Mereka ada bersama dalam sebuah
kesatuan atau bentuk yang teratur. Karena, pada saat yang sama, kesatuan
organic itu sendiri bisa dilihat sebgai sebuah system yang aktif, sebuah
realitas yang mutlak untuk berbicara, yang menggerkakan menurut prinsip
miliknya dalam sebuah proses. Filsafat sederhanaynya ialah sebuah pencarian
bentuk di alam semesta. Seseorang tidak akan pernah mampu meraik bentuk dalam
sebuah pandangan yang lengkap, meskipun dia mendapatkan aspek-aspek darinya
secara mutlak, alam semesta benar-benar memiliki rasionalitas untuk itu dan
bukanlah sebuah kewenangan.
Kita mungkin mengatakan bahwa Whitehead mengikuti langkah-langkah aristoteles
secara mantap, karena itu berhubungan bahwa bentuk(pattern) dalam istilah
Whitehead sama dengan bentuk (form). Dia juga mengikuti aristoteles dalam
memasukkan sifat-sifat ke dalam bentuk yang tajam, maka dia diperselisihkan
karena dia berpedoman bahwa sifat dari kejadian-kejadian yang harus digambarkan
dalam istilah-istilah pada proses yang tak berawal dan berakhir.
Ini membawa kita pada sebuah pertimbangan tentang pandangan Whitehead dalam
pendidikan. Menurutnya, hal yang penting yang harus dipelajari, dalam
pengertian ini, kita bisa mengatakan dia seorang platonis. Bagaiamanapun dia
tidak mau menyerah dalam mendorong bahwa pendidikan diperhatikan dengan
“gagasan” yang hidup, gagasan menghubungkan dengan pengalaman dari yang belajar
(pelajar), ide yang berguna dan tepat pada wujud yang tersambung. Dia
mengingatkan untuk menentang ide-ide yang lamban, sederhananya karena itu
berasal dari masa lalu. Ini menunjukkan orientasi organisnya bahwa pendidikan
harus menampakkan kita untuk memasuki aliran pada existensi, yaitu proses
bentuk-bentuk pada realitas.
b.
Bertrand Russell (1872-1970)
Lahir di Wales dalam lingkungan
keluarga yang ekonominya mapan. Dia memperoleh gelar sarjananya di Universitas
Cambridge dalam jurusan filsafat dan matematika. Salah seorang yang memiliki
otak diatas rata-rata pada abad ke 20, Russell mempunyai pengaruh baik sebagai
penulis dan guru. Beberapa dari bukunya adalah Our Knowledge Of External World,
Religion and Science, dan karya terkenalnya yang dikarang bersama Whitehead
yaitu Principia Mathematica (1910-1913). Dalam pendidikan dia menulis Education
and The Social Order dan Education and Modern World. Dia mengajar di Cambridge,
University of Chicago dan University of California.
Russell adalah seorang tokoh yang controversial. Selama perang dunia ke 1, dia
dipenjarakan karena kegiatan-kegiatan perdamaian. Kebenciannya atas moralitas
para juara, khususnya pandangannya dalam seks dan pernikahan, sering
mengantarkannya kedalam konflik dengan teman sebayanya yang berwarga Inggris.
Pada tahun 1960an dia ada di pusat pergerakan “Larang Bom” dan menentang perang
anti Vietnam di inggris dan eropa.
Dalam banyak pandangan Russell adalah seorang maverick (organisasi yang tidak
konvensional). Dimana Whitehead menyimpulkan bahwa alam semesta dicirikan
dengan bentuk, begitu juga Russell. Tapi Russell merasa bahwa bentuk atau pola
ini bisa dibuktikan dengan penelitian analisa matematis. Ada sebuah keharusan
yang dipegang bahwa untuk menggabungkan logika dan matematika dengan begitu
bentuk bisa dilihat baik secara verbal dan matematis.
Pada dasarnya, dia berpedoman bahwa aturan filsafat baik analitis dan
sintetits; yaitu itu harus bisa di kritik dalam tahap analisisnya dengan
mennunjukkan buah pikiran logika yang keliru dan kesalahan-kesalahan dalam
sistem-sistem terdahulu, dan itu seharusnya bisa membangun dalam tahap
sintetisnya dengan menawarkan hiphotesis tentang alam yang ada di alam semesta
yang dianalisis secara penuh. Itu sebabnya berdasar atas sain itu sendiri,
karena hanya sain yang bisa mempunyai klaim atas pengetahuan yang asli. Dari
sudut lain, ktia bisa melihat ketaatan Russell terhadap ralisme dan apa yang
kita sebut dengan tesis independen. Tidaklah banyak hasil dari sain-sain yang
dia terima sebagai metodenya. Dengan menggunakan metode-metode ini dia berharap
mampu sampai pada bangunan filsofisnya yang valid, bukan bangunan pada
generalisasi yang luas, tapi cukup satu demi satu, detail dan bangunan yang
bisa dibuktikan/tunjukan.
Seorang bisa memperoleh dua bentuk data yang penting dalam ralitas yang bebas;
data keras (hard ware) dan data yang lunak (soft ware). Data keras/ kasar
berdasar pada bukti-bukti keadaan, bukti yang dapat menahan penelitian yang
cermat pada refleksi dan tertinggal secara lengkap. Data yang lembut adalah
semacam keyakinan-keyakinan, hal hal baik yang bisa dibuktikan atau ditolak
dengan tingkatan-tingkatan kepastian. Tujuan yang ditetapkan Russell adalah
untuk melandasi bangunan filosofisnya sebanyak mungkin pada sis keras yang bisa
dibuktikan, sisi sain, tapi dia juga mengakui sis yang lunak. Dengan pedomannya
ini, seharunya membuat kita lebih teliti untuk melampaui keumuman dan
bahaya-bahaya kedekatannya dari pencapaian ketentuan-ketentuan yang salah.
Dengan menggunakan sebuah pendekatan yang hati-hati dan tenang atau lebih
terhadap sain, Russell mengharap kita mampu mulai memecahkan semacam masalah
yang membingungkan seperti kemiskinan dan kesehatan. Dia berpikir pendidikan
sebagai kunci ke dunia yang lebih baik. Jika kita hendak menggunakan
pengetahuan yang ada dan metode-metode yang mampu diuji, maka melalui
pendidikan kita mampu memberantas masalah-masalah seperti kemiskinan dna dengan
demikian mengubah dunia. Russell bahkan berspekulasi bahwa andai saja itu
dikerjakan dengan sebuah skala kecil, perubahan tersebut secara logis dapat
diselesaikan dalam satu generasi.
Untuk beberapa saat, Russell mencoba meletakkan beberapa ide/gagasan
pendidikannya dengan bekerja pada sebuah sekolah yang dia danai yang di sebut
dengan Bacon Hill, bagaimanapun juga, Radikalismenya menemui perlawanan, dan
keingintahuanya sendiri pada akhirnya membawanya pada sebab-sebab dan perubahan
yang lain. Meskipun usaha-usahanya dalam pendidikan di Bacon Hill bertermu
dengan kesusksesan yang terbatas. Russell meneruskan hingga akhir khayatnya
untuk mencoba membawa perubahan melalui pendidikan yang dianggap menguntungkan
untuk kebaikan kemanusiaan.
2.2 Implikasi Filsafat Realisme dalam Pendidikan
Aliran filsafat realisme berpendirian
bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambaran yang baik dan tepat dari
kebenaran. Konsep filsafat menurut aliran realisme adalah:
1. Metafisika-realisme; Kenyataan yang
sebenarnya hanyalah kenyataan fisik (materialisme); kenyataan
material dan imaterial (dualisme), dan kenyataan yang terbentuk dari berbagai kenyataan
(pluralisme);
2. Humanologi-realisme; Hakekat manusia
terletak pada apa yang dapat dikerjakan. Jiwa merupakan sebuah organisme
kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir
3. Epistemologi-realisme; Kenyataan hadir
dengan sendirinya tidak tergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan
kenyataan dapat diketahui oleh pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui
penginderaan. Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan memeriksa kesesuaiannya
dengan fakta; dan
4. Aksiologi-realisme; Tingkah laku manusia
diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang
lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah
teruji dalam kehidupan.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan harus universal, seragam,
dimulai sejak pendidikan yang paling rendah, dan merupakan suatu kewajiban.
Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima jenis pendidikan
yang sama. Pembawaan dan sifat manusia sama pada semua orang.
Oleh karena itulah, metode, isi, dan proses pendidikan harus seragam.
Namun, manusia tetap berbeda dalam derajatnya, di mana ia dapat mencapainya.
Oleh karena itu, pada tingkatan pendidikan yang paling tinggi tidak boleh hanya
ada satu jenis pendidikan, melainkan harus beraneka ragam jenis pendidikan.
Inisiatif dalam pendidikan terletak pada pendidik bukan pada peserta didik.
Materi atau bahan pelajaran yang baik adalah bahan pelajaran yang memberi
kepuasan pada minat dan kebutuhan pada peserta didik. Namun, yang paling penting
bagi pendidik adalah bagaimana memilih bahan pelajaran yang benar, bukan
memberikan kepuasan terhadap minat dan kebutuhan pada peserta didik. Memberi
kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa hanyalah merupakan alat dalam
mencapai tujuan pendidikan, atau merupakan strategi mengajar yang bermanfaat.
Pendidikan dalam realisme memiliki keterkaitan
erat dengan pandangan John locke bahwa
akan pikiran jiwa manusia tidak lain adalah tabula rasa, ruang kosong tak
ubahnya kertas putih kemudian menerima impresi dari lingkungan. Oleh karena itu
pendidikan dipandang dibutuhkan karena untuk membentuk setiap individu agar mereka menjadi sesuai dengan apa yang dipandang baik. Dengan
demikian, pendidikan dalam realisme kerap indentikkan sebagai upaya pelaksanaan
psikologi behavioristik kedalam ruang pengajaran. (Wangsa Gandhi HW, Teguh. 2011: 143).
Behaviorisme dari
kata behave yang berarti berperilaku dan isme berarti aliran. Behavorisme
merupakan pendekatan dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi (gagasan
awal) bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam melakukan
penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.
Jadi, karakteristik
esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah pemahaman
terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilak seseorang,
bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain dalam diri orangtersebut. Fokus behaviorisme adalah
respons terhadap berbagai tipe stimulus. Para tokoh yang memberikan pengaruh
kuat pada aliran ini adalah Ivan Pavlov dengan teorinya yang disebut classical
conditioning, John B. Watson yang dijuluki behavioris S-R
(Stimulus-Respons), Edward Thorndike (dengan teorinya Law of Efect), dan
B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut operant conditioning.
Dalam kaitannya
dengan hakikat nilai, realisme menyatakan bahwa standar tingkah laku manusia
diatur oleh hukum alam, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh
kebijaksanaan yang telah teruji dalam kehidupan Pendidikan dalam pandangan
realisme adalah proses perkembangan intelegensi, daya kraetif dan sosial
individu yang mendorong pada terciptanya kesejahteraan umum. Pendidikan yang
berdasarkan realisme konsisten dengan teori belajar S-R. Dengan demikian
pendidikan juga dapat diartikan sebagai upaya pembentukan tingkah laku oleh
lingkungan
Menurut alairan
realisme murid adalah yang mengalami
inferiorisasi berlebih sebab dia
dipandang sama sekali tidak mengetahui apapun
kecuali apa-apa yang telah pendidikan berikan. Disini dalam
pengajaran setiap siswa akan subjek
tidik tak berbeda dengan robot, ia mesti tunduk dan patuh setunduk-tunduknya
untuk diprogram dan mengerti
materi-materi yang telah di
tetapkan sedemikian rupa.
Pada ujung
pendidikan, realisme memiliki proyeksi
ketika manusia akan dibentuk
untuk hidup dalam nilai-nilai yang telah menjadi common sense sehingga mereka
mampu beradaptasi dengan
lingkungan-lingkungan yang ada. Sisi buruk model pendidikan dalam hal ini cenderung banyak dikendalaikan.
Corak lain
pendidikan realisme adalah tekanan-tekanan hidup yang terarah dalam
pengaturan-pengaturan serta keteraturan yang bersifat mekanistik. Meskipun
tidak semua pengaturan yang bersifat
mekanistik buruk, apa yang diterapkan oleh realisme dalam ruang pendidikan melahirkan berbagai hal kemudian menuai
banyak kecaman sebab dinilai telah menjadi penyebab dehumanisasi (Wangsa Gandhi
HW, Teguh. 2011: 143-144).
Menurut Power (1982), implikasi filsafat pendidikan realisme adalah sebagai
berikut: (1) Tujuan: penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial; (2)
Kurikulum: komprehensif mencakup semua pengetahuan yang berguna berisi
pentahuan umum dan pengetahuan praktis; (3) Metode: Belajar tergantung pada
pengalaman baik langsung atau tidak langsung. Metodenya harus logis dan
psikologis. Metode pontiditioning (Stimulua-Respon) adalah metode pokok yang
digunakan; (4) Peran peserta didik adalah menguasai pengetahuan yang handal
dapat dipercaya. Dalam hal disiplin, peraturan yang baik adalah
esensial dalam belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh
hasil yang baik; (5) Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, terampil
dalam teknik mengajar dan dengan keras menuntut prestasi peserta didik.
Bab 3. KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Pada hakikatnya, pendidikan mencakup kegiatan mendidik, mengajar dan melatih. Kegiatan
tersebut dilaksanakan untuk menstransformasi nilai-nilai yang dimaksud meliputi
nilai-nilai religi, budaya sains dan teknologi, seni dan keterampilan. Namun,
tanpa filsafat pendidikan tidak dapat
berbuat apa-apa dan tidak tau apa yang harus dikerjakan.
Pendidikan dalam
realisme memiliki keterkaitan erat
dengan pandangan John locke bahwa akan pikiran jiwa manusia tidak lain
adalah tabula rasa, ruang kosong tak ubahnya kertas putih kemudian menerima
impresi dari lingkungan. Oleh karena itu pendidikan dipandang dibutuhkan karena untuk membentuk setiap individu agar mereka menjadi sesuai dengan apa yang dipandang baik. Dengan
demikian, pendidikan dalam realisme kerap indentikkan sebagai upaya pelaksanaan
psikologi behavioristik kedalam ruang pengajaran.
Tujuan pendidikan : penyesuaian hidup dan tanggung jawab
social. Kurikulum: komprehensif mencakup semua
pengetahuan yang berguna berisi pentahuan umum dan pengetahuan praktis;. Metode: Stimulua-Respon adalah metode pokok yang digunakan;. Peran peserta didik adalah menguasai
pengetahuan yang handal dapat dipercaya. Dalam hal
disiplin, peraturan yang baik adalah esensial dalam belajar.
Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik; dan Peranan pendidik adalah menguasai
pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar dan dengan keras menuntut prestasi
peserta didik.
3.2 Saran
Seorang pendidik harus mempunyai bekal filsafat dan memperkaya dengan teori-teori
pembelajaran. Pendidikan dalam realisme kerap indentikkan sebagai upaya pelaksanaan
psikologi behavioristik kedalam ruang pengajaran dan tekanan-tekanan hidup yang terarah dalam
pengaturan-pengaturan serta keteraturan yang bersifat mekanistik. Sehingga diperlukan
Paradigma baru pendidikan yang menarik dan memanfaatkan
potensi siswa berdasarkan pengalaman adalah pembelajaran kontruktivisme.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. Asmoro. 2009. Filsafat umum. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.
Bernadib, Imam. 1976. Filsafat
pendidikan. Yogyakarta. Karang Malang
Dewey. J (1964). Democracy in Education. Newyork: The
Mc Millan Company.
Drijarkasa. 2011. Filsafat manusia.Yogyakarta. kanisius.
Gandhi HW, TW.
2011. Filsafat pendidikan mazhab-mazhab
Filsafat pendidikan. Jojakarta. Ar-ruzzmedia.
Henderson, Stella van Petten, 1959. Introduction to Philosophy of Education.
Chicago: The University of Chicago Press.
J. Waluyo. 2007. Pengantar filsafat ilmu (buku Panduan
mahasiswa). Salatiga. Widya Sari.
Mudyahardjo, R.,
(2001). Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu
Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Power, E. J. (1982). Philosophy of Education. NewJersey: Prentice Hall Inc.
Sadulloh, Uyoh.
2003. Pengantar Filsafat pendidikan.
Bandung: Alfabeta.
----------------- (2004). Pengantar Pilsafat Pendidikan. Bandung: Alpabeta.
Bacaan Pendukung yang lain:
Achmadi, Asmoro. 2007. Filsafat
Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Bertens,
K. 2001. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Bertens,
K. 2001. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta : Kanisius.
Hadiwidjono, Harun. 1998. Sari Sejarah Filsafat Barat 1.
Yogyakarta : Kanisius.
Hadiwijono,
Harun. 2002. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Tafsir,
Ahmad. 2007. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra.
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Sumber-sumber internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar