Rabu, 27 Juni 2012

Bung Karno: Keluar Dari Penjara





BAB XIII: Keluar Dari Penjara

BELANDA telah menjalankan daja upaya untuk mencegah agar kebebasanku jangan menimbulkan pawai
dari rakyat. Dimana‐mana diawasi oleh pasukan patroli. Agar tercapai maksud tersebut, maka jalanan di
sekeliling rumahpun dikosongkan. Aku telah menyampaikan supaya bertindak lebih bijaksana
menghadapi ini dan tidak mengadakan penyambutan secara besar‐besaran. Sungguhpun demikian Inggit
dan beberapa ratus pengikut yang setia berbaris dengan rapi di pinggir jalan pada jam tujuh pagi yang
cerah, ketika aku mengakhiri tugasku dengan masyarakat Belanda.
Sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia untuk mengadakan selamatan, apabila seseorang keluar dari
penjara. Bukan maksudku sebagai kebiasaan orang Indonesia bila keluar dari penjara saja. Yang
kumaksud, segala kejadian —seperti dalam hal perkawinan, kenaikan kedudukan, anak lahir, ya, malah
keluar dari penjarapun— ditandai oleh suatu pesta kedamaian. Karena itu penyesuaian diriku kepada
masyarakat ramai hampir tidak dapat dilakukan secara berangsur‐angsur. Dari kakus yang gelap dan sepi
langsung melompat ke rumah Inggit, tempat bayar makan yang ribut.
Peristiwa itu menggembirakan sekali dan aku dikuasai oleh perasaan haru. Akan tetapi harus kuakui, di
saat itu yang pertama‐tama kuinginkan bukanlah pesta yang gembira atau alas tempat‐tidur sutera yang
mentereng maupun mandi yang enak, tak satupun dari kesenangan itu. Yang pertama‐tama kuinginkan
adalah seorang perempuan. Akan tetapi walaupun bagaimana, rupanya kehendak ini terpaksa mengalah
dulu. Karena soal‐soal sekunder lebih mendesak kemuka. Ratusan orang datang menyerbu siang dan
malam hendak melihat wajahku. Di malam itu, kawanku Bung Thamrin menyatakan kepadaku, “Mata
Bung Karno menyinarkan cahaya baru.”
“Tidak,” jawabku. “Mata saya menonjol karena saya semakin kurus. Kalau muka kurus, mata kelihatan
cekung.”
“Tidak,” ia menegaskan., Mata Bung jadi sangat besar. Biar gemuk sekalipun dia tetap bersinar menyalanyala.
Saya melihat ada cahaya baru di dalamnya.”
“Entahlah,” jawabku, “Saya hanya merasa bahwa saya betul‐betul dikuasai oleh suatu semangat.”
Pidatoku yang paling terkenal yang pernah kuucapkan selama hidupku adalah pidato yang kusampaikan
di malam berikutnya. Aku berangkat ke Surabaya dengan kereta ekspres untuk menyampaikan kepada
Kongres Indonesia Raya supaya mereka tetap membulatkan tekad, oleh karena Bung Karno sekarang
sudah kembali lagi dan sudah siap untuk berjuang di sisi mereka dan untuk mereka. Dengan mata yang
berlinang‐linang, aku mengakhiri pidato itu dengan menyatakan “Kecintaanku terhadap tanah air kita
yang tercinta ini belumlah padam. Pun tidak ada maksudku untuk sekedar membikin roman dan bersain,.
Tidak. Tekad saya hendak berjuang. Insua Allah, di satu saat kita akan bersatu kembali.” Menghukum
Sukarno berarti menghukum seluruh pergerakan. Belanda mengetahui hal ini. Ketika aku masuk penjara
Sukamiskin, P.N.I. dengan resmi dinyatakan sebagai partai terlarang. Kemudian, wakil‐wakilku
mendirikan Partai Indonesia, yang disingkat Partindo, akan tetapi pergerakan itu tetap tidak berdaya.
Kegiatannya terbatas, jarang mengadakan pertemuan‐pertemuan dan kalaupun diadakan, sedikit sekali
dikunjungi orang, karena tidak adanya tokoh yang menjadi lambang kekuatan.
Karena tidak adanya kepemimpinan yang kuat dan bersifat menentukan, maka dua orang tokoh
berpendidikan Negeri Belanda yaitu Sutan Syahrir dan Hatta, tidak menyetujui cara‐cara bergerak dari
kawan‐kawan seperjuangannya. Maka timbullah pertentangan antara pengikut Hatta dengan pengikut
Sukarno. Akibatnya adalah perpecahan yang tak dapat dihindarkan. Aku memerintahkan Maskun dan
Gatot, yang dibebaskan beberapa bulan sebelumku, untuk membenteng jurang yang timbul itu. Mereka
tak sanggup. Maskun lalu mengirimkan pesan ke dalam penjara, “Saya terlalu muda. Saya tidak dapat
melakukannya.” Gatot kemudian memberi kabar lagi, “Kami berdua terlalu kecil untuk dapat melakukan
pekerjaan ini. Lebih baik kami tunggu empat bulan lagi sampai Bung Karno keluar.”
Segera setelah aku keluar dari penjara, ketika anggota‐anggotaku yang lama meminta supaya aku
memasuki Partindo, aku menolak. “Tidak,” kataku dengan tegas. “Pertama saya harus berbicara dengan
Hatta dulu. Saya ingin mendengar isi hatinya. “Mereka menyatakan kepadaku, “Rakyat akan mengikuti
kemana Bung Karno pergi. Apakah mungkin Bung mengikuti Pendidikan Nasional Indonesia, partai dari
Bung Hatta?”
“Tidak ada pikiranku untuk mengikuti salah satu pihak, saya lebih condong untuk menempa keduaduanya
kembali menjadi satu. Dua partai adalah bertentangan dengan keyakinanku untuk persatuan.
Perpecahan ini hanya menguntungkan pihak lawan.”
Aku bertemu dengan pihak jang bertentangan di rumah Gatot tidak lama setelah aku bebas. “Baiklah
saudara‐saudara, sekarang apa sesungguhnya yang menjadi perbedaan pokok kita,” kataku ketika kami
bertemu pertamakali.
Dengan cara Bung Karno, partai tidak akan bisa stabil,” Hatta mengemukakan, seorang yang berlainan
samasekali denganku dalam sifat dan pembawaan. Bung Hatta adalah seorang ahli ekonomi dalam segi
dagang dan pembawaannya. Saksama, tidak dipengaruhi oleh perasaan, pedantik. Seorang lulusan
Fakultas Ekonomi di Rotterdam, cara berpikirnya masih saja menurut buku‐buku, mencoba menerapkan
rumus‐rumus ilmiah yang tidak dapat dirubah ke dalam suatu revolusi. Seperti biasa ia langsung
memasuki pokok persoalan tanpa omong iseng secara berolok‐olok sebelumnya. “Pada waktu Bung
Karno dengan ketiga orang kawan kita lainnya masuk penjara, seluruh pergerakan bercerai‐berai. Saya
mempunyai ide untuk mengadakan suatu inti dari organisasi yang akan melatih kader yang digembleng
dengan cita‐cita kita.”
“Apa gunanya kader ini? Bukankah lebih baik kita mendatangi langsung rakyat jelata dan membakar hati
mereka, seperti selama ini telah saya kerjakan?”
“Tidak,” katanya. “Konsepsi saya kita menjalankan perjuangan melalui pendidikan praktis untuk rakyat, ini
lebih baik daripada kita bekerja atas dasar daya penarik pribadi dari satu orang pemimpin. Dengan jalan
demikian, kalau para pemimpin atasan tidak ada, partai akan tetap berjalan dengan pimpinan bawahan
yang sudah sadar betul‐betul untuk apa kita berjuang. Dan menurut gilirannya, mereka akan
menyampaikan cita‐cita ini kepada generasi yang akan datang, sehingga untuk seterusnya banyak tenaga
yang akan melanjutkan cita‐cita kita. Kenyataannya sekarang, kalau tidak ada pribadi Sukarno maka tidak
ada partai. Ia terpecah samasekali oleh karena tidak adanya kepercayaan rakyat kepada partai itu sendiri,
yang ada hanya kepercayaan terhadap Sukarno.”
“Mendidik rakyat supaya cerdas akan memerlukan waktu bertahun‐tahun, Bung Hatta. Jalan yang Bung
tempuh baru akan tercapai kalau hari sudah kiamat,” kataku.
“Kemerdekaan tidak akan tercapai selagi saya masih hidup” katanja mempertahankan. “Tapi setidaktidaknya
cara ini pasti. Pergerakan kita akan terus berjalan selama bertahun‐tahun.”
“Siapakah yang akan jadi pimpinan Bung? Bukukah? Kepada siapakah jutaan rakyat akan berpegang?
Kepada kata‐katakah? Tidak seorangpun dapat digerakkan oleh kata‐kata. Kita tidak mungkin
memperoleh kekuatan dengan kata‐kata dalam buku pelajaran. Belanda tidak takut pada kata‐kata itu.
Mereka hanya takut kepada kekuatan nyata, yang terdiri dari rakyat yang menggerumutinya seperti
semut. Mereka tahu, bahwa dengan jalan mencerdaskan rakyat kekuasaan mereka tidak akan terancam.
Memang dengan mencerdaskan rakyat kita terhindar dari penjara, akan tetapi kita juga akan terhindar
dari kemerdekaan.”
“Rakyat akan mentertawakan Bung Karno kalau masuk penjara sekali lagi,” jawab Hatta. “Rakyat akan
mengatakan: Itu salahnya sendiri. Kenapa Sukarno selalu mempropagandakan Indonesia Merdeka,
sedang dia tahu bahwa Belanda akan menyetopnya. Dia itu gila. Jadi perjuangan untuk kemerdekaan
masih akan memakan waktu bertahun‐tahun lagi. Rakyat harus dididik dulu kearah itu.”
Hatta tidak berkisar setapakpun dan dengan hati yang tawar aku meninggalkan pertemuan yang
berlangsung selama beberapa jam itu Perbedaan kami seperti siang dan malam, dan Hatta sama sekali
tidak berubah pendiriannya. Masih aku mencoba untuk menghilangkan keretakan ini. Selama beberapa
bulan aku mencoba. Pada pertemuan kami selanjutnya Hatta mengatakan, “Saya hendak memberikan
jandji kepada para pengikut kita. Kalau Belanda menghalang‐halangi generasi kita ini untuk bergerak —
dan tiap gerakan selanjutnya daripada para pemimpin nasionalis tentu akan mendapat balasan yang
demikian— maka tak usahlah generasi kita ini bergerak lagi. Sebagai gantinya kita mengajar para
intellektuil yang muda‐muda yang pada satu saat akan menggantikan kita untuk meneruskan ajaranajaran
kita dan yang nanti di belakang hari akan membawa kita kepada kemerdekaan. lni adalah jandji
kepada tanah air kita. Ia merupakan soal prinsip. Soal kehormatan.”
Aku tak pernah mengerti sama sekali perkara tetek bengek secara intellektuil yang khayal ini. Hatta dan
Syahrir tak pernah membangun kekuatan. Apa yang mereka kerjakan hanya bicara. Tidak ada tindakan,
hanja bersoal jawab. Aku mencoba usaha yang terakhir. “lni adalah peperangan,” kataku. “Suatu
perjuangan untuk hidup. Ini bukanlah soal keteguhan pendirian dengan generasi yang akan datang
ataupun suatu kehormatan bagi sisa dari pergerakan, sehingga tingkatan yang lebih bawah dapat
memegang tegak prinsip‐prinsip yang telah dikurangi setelah para pemimpin mereka masuk bui.
Kehormatan tidaklah pada tempatnya dalam perjuangan mati‐matian ini. Ini adalah semata‐mata
persoalan kekuatan. Di saat Bung Hatta dan Sjahrir maju terus dengan usaha pendidikan pada waktu itu
pula kepala saudara‐saudara akan dipukul oleh musuh.
“Politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending—pembentukan kekuatan dan pemakaian
kekuatan. Dengan tenaga yang terhimpun kita dapat mendesak musuh ke pojok dan kalau perlu
menyerangnya. Mempersiapkan teori dan membuat keputusan kebijaksanaan penting yang berasal dari
buku‐buku tidaklah praktis. Saya kuatir, Hatta, saudara berpijak diatas landasan revolusioner yang
khajal.”
Pada tahun‐tahun duapuluhan, antara kami telah terdapat keretakan ketika aku menjadi eksponen utama
dari non‐kooperasi, sedang dia sebagai eksponen‐utama dengan pendirian bahwa kerjasama dengan
Pemerintah tidak menjadi halangan untuk mencapai tujuan. Hatta dan aku tak pernah berada dalam
getaran gelombang yang sama. Cara yang paling baik untuk melukiskan tentang pribadi Hatta ialah
dengan menceritakan tentang kejadian di suatu sore, ketika dalam perjalanan ke suatu tempat dan satusatunya
penumpang lain dalam kendaraan itu adalah seorang gadis yang cantik. Di suatu tempat yang
sepi dan terasing ban pecah. Jejaka Hatta adalan seorang yang pemerah muka apabila bertemu dengan
seorang gadis. Ia tak pernah menari, tertawa atau menikmati kehidupan ini.
Ketika dua jam kemudian supirnya kembali dengan bantuan ia mendapati gadis itu berbaring enak di
sudut yang jauh dalam kendaraan itu dan Hatta mendengkur di sudut yang lain. Ah, susah orangnya. Kami
tak pernah sependapat mengenai suatu persoalan.
Pada tanggal 28 Djuli 1932, aku memasuki Partindo dan dengan suara bulat terpilih sebagai ketua.
Pergerakan ini hidup kembali.
Sebagai pemimpin partai aku mendapat 70 rupiah sebulan. Dan sebagai Pemimpin Besar Revolusi di masa
yang akan datang, aku memperoleh kemajuan dalam segala hal. Pun dalam menonton film. Sekarang aku
duduk di muka layar putih. Maskun dan aku juga mendapat penghasilan sedikit dalam memimpin
bersama‐sama koran partai, “Fikiran Rakjat”, yang diselenggarakan di rumahku. Kemudian ada lagi orang
yang baya ‐makan. Sudah tentu orang‐orang seperti Maskun tidak bayar. Bagaimana aku bisa minta uang
makan daripadanya? Dia kawanku. Aku bahkan memperkenalkannya kepada isterinya.
Kuingat betul di hari perkawinannya akupun mengadakan pidato politik. Penganten baru ini tidak
berbulan madu kecuali mungkin di bawah pohon kayu di suatu tempat, karena segera setelah perkawinan
mereka tinggal dengan Inggit dan aku. Bukanlah menjadi kebiasaan anak gadis Indonesia untuk berteriak
bila orang mengadakan percintaan dengan gadis itu. Dan karena kami tidak mempunyai kasur di hari‐hari
itu, jadi tidak ada yang akan berderak‐derik. Karena itu, sungguhpun kamar kami hanya dipisahkan oleh
dinding bilik, kami tidak terganggu satu sama lain.
Dengan Ir. Rooseno aku mendirikan biro arsitek lagi. Kami mengalami masa yang sulit dengan biro arsitek
ini, karena orang lebih menyukai arsitek Tionghoa atau Belanda dan tidak akan menemui kesulitan
dengan kedua bangsa ini. Sewa kantor kami 20 rupiah. Telpon 7l/2 rupiah. Jadi setidak‐tidaknya kami
harus mendapatkan 271/2 rupiah setiap bulan. Akan tetapi seringkali kami tidak menerimanya.
Penghasilan Rooseno yang terutama didapatnya dari mengajar. Oleh karena kantongnya selalu lebih
penuh daripada kami, kebanyakan pengeluaran kami terpaksa bergantung kepadanya.
Sekali sebulan aku muncul untuk menanyakan bagian keuntunganku. Karena aku mencukupi
kebutuhanku dari kantongnya, aku akan bertanya, “Berapa kau berutang padaku?”
Dan dia akan menjawab, “Bagian Bung 15 rupiah.”
Kataku, “Baik.” Aku tidak pernah memeriksanya. Apa yang dikatakannya aku percaya saja. Kami
mengadakan pembagian kerja yang adil dan cukup beralasan. Rooseno menjadi insinyur kalkulatornya.
Dia mengerjakan soal‐soal detail. Dia yang membuat perhitungan dan kalkulasi dan
mengerjakan perhitungan ilmu pasti yang sukar itu. Sebagai arsitek seniman aku mengatur bentukbentuk
yang baik dari gedung‐gedung. Sudah tentu tidak banyak perlu diatur, akan tetapi sekalipun
demikian ada beberapa buah rumah yang kurencanakan sendiri dan sekarang masih berdiri di Bandung.
Rencanaku bagus‐bagus. Tidak begitu ekonomis akan tetapi indah.
Aku tidak begitu memikirkan benda‐benda duniawi seperti uang. Hanya orang‐orang yang tidak pernah
menghirup apinya nasionalisme yang dapat melibatkan dirinya dalam soal‐soal biasa seperti itu.
Kemerdekaan adalah makanan hidupku. Ideologi. Idealisme. Makanan daripada jiwaku. Inilah semua yang
kumakan. Aku sendiri hidup dalam kekurangan, akan tetapi apa salahnya? Mendayungkan partaiku dan
rakyjatku secara bersama‐sama ke pulau harapan, untuk itulah aku hidup.
Sesuai dengan cita‐cita dari P.N.I., partaiku yang lama, tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin
berpakaian, maka anggota‐anggota mengumpulkan uang untuk mengadakan pakaian untukku. Ganti
kain katun atau linnen, Sukarno tiba‐tiba diberi kain shantung Ganti kemeja sport dengan leher terbuka,
Sukarno mulai memakai dasi yang bagus. Pergerakan kami begitu percaya padaku, sehingga pakaian ini
diusahakan mereka secara sukarela. Aku teringat baju suteraku yang pertama. Pembelinya bernama
Saddak. O. dia sungguh‐sungguh memujaku.
Ini seperti yang dikatakan oleh Injil, “Yang kaya jiwanya membantu yang miskin dalam satu persaudaraan
yang besar.” Aku memberi mereka keberanian. Mereka memberiku pakaian —atau uang. Di pagi hari aku
keluar dari penjara sebagai seorang bebas, seorang laki‐laki yang belum pernah kulihat sebelumnya,
menggenggamkan kepadaku dengan begitu saja uang empat ratus rupiah, lain tidak karena aku tidak
mempunyai uang. Pada waktu sekarang orang ini, yang bernama Dasaad , adalah seorang kapitalissosialis
yang paling kaya di Indonesia dan kawanku yang rapat. Akan tetapi, pada waktu ia menyodorkan
rejeki yang kecil itu kepadaku, ia tak mengharapkan akan memperolehnya kembali. Seingatku ia tak
pernah menerima uang itu kembali. Aku masih saja meminjam‐minjam kepadanya.
Dalam masa ini aku menyadari untuk lebih berhati‐hati dengan ucapan‐ucapanku. Pengaruhku terhadap
rakyat sudah tumbuh sedemikian, sehingga kalau aku berkata, “Makan batu”, mereka akan memakannya.
Kukira ini timbul disebabkan karena apa yang kuucapkan dengan keras sesungguhnya adalah apa yang
mereka sendiri pikirkan dan rasakan dalam hati sanubarinya. Aku merumuskan perasaan‐perasaan yang
tersembunyi dari rakyatku menjadi istilah‐istilah politik dan sosial, yang tentu akan mereka ucapkan
sendiri kalau mereka dapat. Aku menggugat yang tua‐tua untuk mengingat kembali akan penderitaanpenderitaannya
dan melenyapkan penderitaan‐penderitaan itu. Aku menggugat para pemuda untuk
memikirkan nasib mereka sendiri dan bekerja keras untuk masa depan. Aku menjadi mulut mereka.
Sebagai pemuda aku mula‐mula mengisap kata‐kata yang tertulis dari negarawan‐negarawan besar di
dunia, kemudian kuminum ucapan‐ucapan dari para pemimpin besar dari bangsa kami, lalu menggodok
semua ini dengan falsafah dasar yang digali dari hati rakyat Marhaen. Sukarno, Telinga Besar dari rakyat
Indonesia, lalu menjadi Bung Karno, penyambung lidah rakyat Indonesia.
Aku berbicara kapan saja dan dimana saja. Di dalam dan di luar. Di bawah teriknya sinar matahari dan di
musim hujan. Pada suatu kali air hujan sudah sampai ke mata kakiku dan oleh karena banyak tempat yang
tidak bisa ditempuh, maka aku baru sampai jam tiga pada rapat yang seharusnja diadakan mulai jam
sembilan pagi. Rakyat yang sudah bercerai‐berai berkerumun lagi, berdiri dengan berpayung daun pisang
dan lain‐lain yang dapat dipakai sebagai pelindung kepala. Pada suatu saat cuaca demikian buruknya,
sehingga sekalipun pakai jas hujan aku basah kuyup oleh air yang mencucur dari langit. Di waktu itulah
aku mengajak, “Nah, sekarang, untuk memanaskan badan kita bagaimana kalau kita menyanji bersamasama?”
Di sela‐sela petir yang menggemuruh terdengarlah satu suara mengikutiku. Kemudian yang lain.
Lalu ratusan suara berpadu. Dan tidak lama antaranya menggemalah 20.000 suara menjadi satu paduan
yang gembira. Di lapangan terbuka yang sederhana ini di Jawa Tengah maka nyanyian‐nyanjian rakyat
mengikat kami menjadi satu, ikatannya lebih erat daripada rantai besi. Ketika hujan semakin reda, aku
mengakhiri wejanganku. Tak seorangpun yang meninggalkan tempat itu.
Salah seorang pengikut kemudian setelah itu memberikan komentarnya, “Ini adalah suatu kejadian yang
tidak dapat dilakukan oleh orang semata‐mata. Bakat yang demikian itu terletak Antara Bung dan alam.”
Kusampaikan kepadanya, “Sebabnya ialah karena ini bukanlah kemauan saya pribadi untuk
memperjuangkan kemerdekaan. Ia adalah kemauan Tuhan. Saya menjalankan kata‐kata Tuhan. Untuk
pekerjaan inilah saya dilahirkan.”
Pada waktu sekarang, orang‐orang anti‐Sukarno tertawa mengejek bahwa segala sesuatu diatur terlebih
dulu untuk Sukarno sebelum ia memperlihatkan diri. Aku hanya mengatakan, memang benar bahwa
rakyat berjejal‐jejal di kiri kanan jalan kalau Bapak akan berpidato. Juga adalah benar, bahwa orang dapat
memaksa seseorang untuk berdiri akan tetapi ia tidak akan dapat dipaksa untuk tersenyum dengan penuh
kepercayaan atau memandang dengan perasaan kagum atau melambai kepadaku dengan gembira. Aku
meminta kepada manusia umumnya untuk menyelidiki muka‐muka yang menengadah dari rakyatku
kalau aku berpidato. Mereka melihat tersenyum kepadaku. Mendo’akan, Mencntaiku. Ini semua tidak
dapat dipaksakan oleh pemerintah.
Pemerintah tidak dapat memaksa mereka untuk berbuat demikian seperti pemerintah Hindia Belanda
tidak dapat menyuruh mereka BERHENTI tersenyum kepadaku di masa tahun‐tahun tiga puluhan.
Dengan tiba‐tiba semangat nasional menjalari seluruh tanah air. Dengan tiba‐tiba keinginan merdeka
menular kembali.
Aku berpidato di Solo di mana puteri‐puteri dari kraton yang cantik‐cantik pada keluar untuk
mendengarkanku. Wanita‐wanita yang dipingit, dimuliakan dan yang halus ini begitu tertarik sehingga
salah seorang yang hamil memukul‐mukul perutnya berkali‐kali dan mendengungkan, “Saya ingin
seorang anak seperti Sukarno.” Mendadak aku mendapat ilham. Aku menyerahkan kepada mereka
beberapa peci dan meminta mereka berkeliling dalam lautan manusia itu mengumpulkan uang untuk
pergerakan kami. Ah, Bung, sungguh menggemparkan.
Aku malahan mencaplok terhadap Belanda. Seorang pemuda bernama Paris menjadi muridku dan pindah
sama sekali ke pihak kita. Pada kesempatan lain aku mengadakan rapat di Gresik Jawa Timur. Patih di
tempat itu juga hadir. Sebagai seorang pejabat kolonial, adalah menjadi kewajibannya yang tak dapat
disangkal lagi untuk memeriksaku dengan saksama dan melaporkan kegiatanku. Orang yang sangat baik
hati ini berdiri mendengarkan pidatoku dengan sungguh‐sungguh dan dengan seluruh hatinya. Tanpa
berpikir dia lupa pada dirinya sendiri dan dengan bersemangat turut bersorak dan bertepuk
mendengarkan pidatoku. Di antara orang banyak itu terdapat juga Van der Plas, Direktur Urusan Bumi
putera. Dan itulah kami. Kamilah orang Bumiputera. Pekerjaan Van der Plas adalah untuk mengawasi
orang‐orang yang mengawasi kami, termasuk patih itu.
Patih itu seketika juga diperhentikan. Timbullah pertengkaran yang hebat di dalam Dewan Rakyat.
Thamrin mencoba untuk mempertahankannya. Dia mengemukakan alasan, “Apa salahnya dia turut
bersorak? Bukankah dia orang Indonesia? Mengapa dia harus dilarang untuk bertepuk dan bersorak?
Mengapa dia harus kehilangan jabatan tanpa diberi kesempatan untuk mempertahankan dir ?”
Thamrin mencoba dengan gagah berani, sekalipun demikian patih itu tetap kehilangan jabatannya. Ini
adalah jabatan yang penting dan dia orang yang penting. Orang yang baik hati ini mempunyai anak dan
isteri yang harus ditanggungnya. Akupun susah memikirkannya.
Polisi mulai memperkeras jaring‐jaring mereka. Surat‐surat kabar ketika itu penuh dengan berita
pemberontakan di atas kapal Zeven Provincien, yaitu sebuah kapal perang yang para opsirnya terdiri dari
Belanda dan orang‐bawahannya orang‐orang Indonesia. Belanda, karena mengetahui tentang caraku
mempergunakan suatu keadaan. Pada waktunya, mengeluarkan larangan untuk mengadakan
pembicaraan secara terbuka mengenai peristiwa ini, takut kalau hal ini akan merangsang rakyat untuk
bangkit dan memberontak.
Persoalanku adalah, bagaimana caranya untuk menerangkan situasi itu dengan baik dalam pidato
berikutnya. Tangan polisi sudah gatal‐gatal untuk melemparkanku keluar panggung. Mereka tegang dan
gelisah. kamipun tegang dan gelisah. Kami mengatur acara sehingga aku menjadi pembicara pertama. Ini
maksudnya untuk membikin bingung polisi, yang tentu tidak akan menyangka bahwa aku akan
memberanikan diri untuk menggelorakan lima menit pertama dari rapat tersebut. Dengan jalan ini,
sekalipun mereka akan menghentikan rapat kami, aku telah menyampaikan pesan‐pesanku dan rakyat
tentu sudah akan puas melihatku. Jadi, berdirilah aku dan langsung berbicara tentang peristiwa kapal
Zeven Provincien itu. Polisi langsung bertindak terhadapku. Dan pertemuan itu segera ditutup.
Aku kembali lagi ke tempat dimana aku berada. Nomor satu dalam daftar hitam mereka, seperti aku
takkan lepas‐lepas dari daftar itu.
Para pembesar mengeluarkan perintah tentang barang siapa yang membaca “Fikiran Rakyat” atau
memakai peci akan dikenakan tahanan.
Kemudian aku menulis brosur yang bernama “Mencapai Indonesia Merdeka”. Brosur tersebut dianggap
sangat menghasut, sehingga ia dirampas dan dinyatakan terlarang segera setelah ia mulai beredar.
Banyak yang di sita. Rumah‐rumah digeledahi. Kumpulan yang terdiri dari lebih dari tiga orang dikepung.
Perangkap diperkeras.
Tanggal satu Agustus kami mengadakan pertemuan pimpinan dirumah Thamrin di Jakarta. Pertemuan ini
selesai sudah lewat tengah malam. Ketika aku turun rumah menuju jalan raya, di sana sudah berdiri
seorang Komisaris Polisi, menungguku dengan tenang di depan rumah. Kejadian ini adalah pengulangan
kembali dari penangkapan yang terdahulu. Dia rnengucapkan kata‐kata yang sama, “Tuan Sukarno, atas
nama Sri Ratu saya menangkap tuan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar