Rabu, 27 Juni 2012

Bung Karno: Pengadilan




BAB XI: Pengadilan
16 JUNI 1930, berita sura tkabar tentang pidato Gubernur Jendral pada pembukaan sidang Dewan Rakyat
memuat pengurnuman bahwa “Sukarno akan dihadapkan di muka pengadilan dengan segera.
“Tanggalnya sudah ditetapkan untuk pengadilan ini. Hanya tiga minggu sebelum aku bertemu dengan
pembela‐pembelaku yang kupilih sendiri: Suyudi S.H., ketua P.N.I. cabang Jawa Tengah, yaitu tuan rumah
dimana aku ditangkap; Sartono S.H., seorang rekan dari Algemeene Studieclub yang lama dan tinggal di
Jakarta dan menjadi Wakil Ketua yang mengurus soal keuangan partai; Sastromuljono S.H., seorang
kawan dan patriot yang tinggal di Bandung. Tidak dengan bayaran. Dan memang tidak ada uang untuk
membayar. Para pembelaku bahkan menanggung pengeluaran mereka masing‐masing.
Dalam pertemuanku yang pertama dengan Sartono aku mengatakan, “Terlintas dalam pikiran saya
bahwa menjadi kewajibankulah untuk mempersiapkan pembelaanku sendiri.”
“Bung maksud dari segi politik?”
“Ya, sedang tanggung jawab Bung mempersiapkan segi juridisnya.”
Ia kelihatan memikirkan soal itu. “Saya tahu,” ia mengerutkan dahi, “bahwa dalam kedudukan Bung
sebagai Ketua Partai, bagian Propaganda Politik, tak seorangpun yang sanggup mempersiapkan pokokpokok
persoalan seperti Bung. Akan tetapi menurut pendapat Bung, apakah prosedur ini lazim dalam
pengadilan?”
Aku memandang dalam kemata kawanku yang kelihatan suram memikirkan soal ini. Ia kelihatan seperti
memerlukan lebih banyak bantuan daripada yang kuperlukan. Aku menempatkan sebelah tanganku ke
atas bahunya untuk menyenangkan hatinya. “Sartono,” kataku, “bukan maksud saya untuk
membanggakan diri saya. Akan tetapi ketika saya masuk bui, begitulah yang kuputuskan. Kalau sudah
nasib saya untuk menahankan siksaan, biarkanlah saya. Bukankah lebih baik Sukarno menderita untuk
sementara daripada Indonesia menderita untuk selama‐lamanya?”
“Saya masih berpikir apakah ini jalan yang paling baik agar Bung bebas dari tuntutan hukum,” katanya
dengan sedih.
Ia tahu dan aku tahu, bahwa aku takkan bisa bebas. Kami diizinkan untuk bertemu antara empat mata di
suatu ruangan tersendiri selama satu jam dalam seminggu. Tiada seorangpun yang mendengarkan kami,
jadi akulah yang pertama harus mengajak untuk membicarakan apa yang terselip dalam pikiran kami
berdua. “Bung tahu betul,” aku mulai dengan lunak, “bahwa semuanya hanya akan berpura‐pura saja.
Berita bahwa kepada saya sudah dijatuhkan hukuman, telah menetes dari kawan‐kawan kita di Negeri
Belanda. Sekalipun informasi yang demikian tidak dikirimkan kepada saya, tapi saya tahu bahwa
pengaduan ke depan pengadilan ini hanya sandiwara saja. Bung pun tahu. Mereka harus menghukum
kita. Terutama saya. Saya adalah biang keladinya.”
“Ya,” keluhnya, “Saya sudah membaca berita pers di surat kabar.”,,Seperti misalnya kepala berita harian
“Sukarno PASTI dihukum’ dan ‘Tidak mungkin membebaskan Sukarno dari tuntutan kata para pembesar.’
Saya tahu. Sayapun membacanya.” Sartono membuka kaca matanya, membersihkannya lalu
memakainya kembali.
“Semenjak tanggal 29 Desember suasana hangat dari masyarakat di sini dan di Negeri Belanda tidak
henti‐hentinya menghasut,” aku menyatakan, “Kedua negeri ini menoleh padaku untuk buka suara. Aku
tidak dapat menyerahkan hal ini kepada orang lain. Ya, memang ada Bung dan pehasehat‐penasehat
lainnya, akan tetapi saudara‐saudara mempunyai segi‐segi hukumnya sendiri untuk diajukan. Tinggal dua
minggu lagi ke depan pengadilan.”
“Saja cepat‐cepat datang kemari, segera setelah mendengar kabar,” ia minta maaf, “Akan tetapi polisi
mempersulit persoalannya. Nampaknya untuk beberapa waktu seakan‐akan saya sendiri berada dalam
bahaya penahanan.”
Aku melihat kepadanya dengan mata berlinang karena terimakasih. “Sartono, saya menghargai segala
usahamu. Namun, cara ahli hukum bekerja tidak menyimpang dari ketentuan hukum. Dia sangat terikat
untuk menjalankan hukum. Suatu revolusi melemparkan hukum yang ada dan maju terus tanpa
menghiraukan hukum itu. Jadi sukar untuk merencanakan suatu revolusi dengan ahli hukum. Kita
memerlukan getaran perasaan kemanusiaan. Inilah yang akan saya kemukakan.”
Aku menyediakan kertas dari rumah. Tinta dari rumah. Sebuah kamus dari perpustakaan penjara.
Pekerjaan ini sungguh meremukkan tulang‐punggung. Aku tidak punya meja untuk dapat bekerja dengan
enak. Selain daripada tempat tidur, satu‐satunya perabot yang ada dalam selku adalah sebuah kaleng
tempat buang air. Kaleng yang menguapkan bau tidak enak itu adalah perpaduan dari tempat buang air
kecil dan tempat melepaskan hajat besar. Ia terbagi dua untuk masing‐masing keperluan itu. Perkakas
yang buruk ini tingginya sekira dua kaki dan lebar dua kaki. Setiap pagi aku harus menyeretnya dari bawah
tempat tidur, kemudian menjinjingnya ke kakus dan membersihkan kaleng itu.
Malam demi malam dan tak henti hentinya selama sebulan setengah aku mengangkat kaleng itu ke atas
tempat tidur. Aku duduk bersila dan rnenempatkannya dihadapanku.
Ia kualas dengan beberapa lapis kertas sehingga tebal dan aku mulai menulis. Dengan cara begini aku
bertekun menyusun pembelaanku yang kemudian menjadi sejarah politik Indonesia dengan nama
“lndonesia Menggugat”. Dalam buku ini aku mengungkapkan secara terperinci penderitaan yang
menyedihkan dari rakyatku sebagai akibat penghisapan selama tiga setengah abad di bawah penjajahan
Belanda. Thesis tentang kolonialisme ini, yang kemudian diterbitkan dalam selusin bahasa di beberapa
negara dan yang diguratkan dengan kata yang bernyala‐nyala, adalah hasil penulisan di atas kaleng
tempat buang air yang bertugas ganda itu.
18 Agustus 1930, setelah delapan bulan meringkuk dalam tahanan. perkara ini dihadapkan di muka
pengadilan. Secara formil aku dituduh melanggar Pasal 169 dari Kitab Undang‐undang Hukum Pidana dan
menyalahi pasal 161, 171 dan 153. Ini adalah ‘de Haatzaai Artikelen’ yaitu pasal‐pasal pencegah
penyebaran rasa benci. Secara formil aku dituduh “mengambil bagian dalam suatu organisasi yang
mempunyai tujuan menjalankan kejahatan di samping … usaha menggulingkan kekuasaan Hindia
Belanda …..”
Gedung pengadilan yang terletak di Jalan Landraad penuh sesak oleh manusia. Udara di dalam terasa
menyesakkan. Langit‐langit papan yang berwarna suram bahkan menambah pekatnya kesuraman dari
udara yang melemaskan dalam ruang pengadilan itu. Ketika aku memulai pidatoku tiada satupun
terdengar suara. Tiada satupun yang bergerak. Tiada gemerisik. Hanya putaran lembut dari kipas angin di
atas kepala terdengar merintih. Sambil berdiri di atas bangku pesakitan yang ditinggikan aku menghadap
ke meja hijau hakim dan aku mulai berbicara. Aku berbicara berjam‐jam. Pokok‐pokok dakwaan terhadap
Belanda kukemukakan menurut yang sesungguhnya. Setelah hampir mendekati akhir, ketenanganku
yang biasa melebur menjadi pernyataan kekecewaan. Aku teringat kembali ketika terpaksa berhenti
sebentar dan berusaha menguasai pikiranku. Kemudian aku mempersihkan kerongkonganku lalu
mencetuskan perasaan.
“Pengadilan menuduh kami telah menjalankan kejahatan. Kenapa? Dengan apa kami menjalankan
kejahatan, tuan‐tuan Hakim yang terhormat? Dengan pedang? Dengan bedil? Dengan bom? Senjata kami
adalah rencana, rencana untuk mempersamakan pemungutan pajak, sehingga rakyat Marhaen yang
mempunyai penghasilan maksimum 60 rupiah setahun tidak dibebani pajak yang sama dengan orang
kulit putih yang mempunyai penghasilan minimum 9.000 setahun.
“Tujuan kami adalah exorbitante rechten, hak‐hak luar biasa dari Gubernur Jendral, yang singkatnya
secara perikemanusian tidak lain daripada pengacauan yang dihalalkan. Satu‐satunya dinamit yang
pernah kami tanamkan adalah suara jeritan penderitaan kami. Medan perjuangan kami tak lain daripada
gedung‐gedung pertemuan dan surat‐surat kabar umum.
“Tidak pernah kami melanggar batas‐batas yang ditentukan oleh undang‐undang. Tidak pernah kami
mencoba membentuk pasukan serdadu‐serdadu rahasia, yang berusaha atas dasar nihilisme. Kami punya
modus operandi ialah untuk menyusun dan menggerakkan kekuatan kami dalam cara‐cara yang legal.
“Ya, kami memang kaum revolusioner. Kata ‘revolusioner’ dalam pengertian kami berarti ‘radikal’, mau
mengadakan perubahan dengan lekas. Istilah itu harus diartikan sebagai kebalikan kata ‘sabar’, kebalikan
kata ‘sedang’. Tuan‐tuan Hakim yang terhormat, sedangkan seekor cacing kalau ia disakiti, dia akan
menggeliat dan berbalik‐balik. Begitupun kami. Tidak berbeda daripada itu, Kami mengetahui, bahwa
kemerdekaan memerlukan waktu untuk mencapainya.
Kami mengetahui bahwa kemerdekaan itu tidak akan tercapai dalam satu helaan nafas saja. Akan tetapi
kami masih saja dituduh, dikatakan ‘menyusun suatu komplotan untuk mengadakan revolusi berdarah
dan terluka, agar kami dapat merebut kemerdekaan penuh ditahun 30′. Jikalau ini memang benar,
penggeledahan massal yang tuan‐tuan lakukan terhadap rumah‐rumah kami akan membuktikan satu
tempat persembunyian senjata‐senjata gelap. Tapi, tidak sebilah pisaupun yang dapat diketemukan.
“Golok. Bom. Dinamit. Keterlaluan! Seperti tidak ada senjata yang lebih tajam lagi daripada golok, bom
dan dinamit itu. Semangat perjuangan rakyat yang berkobar‐kobar akan dapat menghancurkan manusia
lebih cepat daripada ribuan armada perang yang dipersenjatai lengkap. Suatu negara dapat berdiri tanpa
tank dan meriam. Akan tetapi suatu bangsa tidak mungkin bertahan tanpa kepercayaan. Ya, kepercayaan,
dan itulah yang kami punyai. Itulah senjata rahasia kami.
“Baiklah, tentu orang akan bertanya, ‘Akan tetapi sekalipun demikian, bukankah kemerdekaan yang
engkau perjuangkan itu pada suatu saat akan direbut dengan pemberontakan bersenjata?’ “Saya akan
mendjawab: “Tuan‐tuan Hakim yjang terhormat, dengan segala kejujuran hati kami tidak tahu bagaimana
atau dengan apakah langkah terachir itu akan dilakukan. Mungkin juga Negeri Belanda akhirnya
mengerti, bahwa lebih baik mengakhiri kolonialisme secara damai. Mungkin juga kapitalisme Barat akan
runtuh.
“Mungkin juga, seperti sudah sering saya ucapkan, Jepang akan membantu kami. Imperialisme bercokol
di tangan bangsa kulit kuning maupun di tangan bangsa kulit putih. Sudah jelas bagi kita akan kerakusan
kerajaan Jepang dengan menaklukkan semenanjung Korea dan menjalankan pengawasan atas Manchuria
dan pulau‐pulau di Lautan Pasifik. Pada suatu saat yang tidak lama lagi Asia akan berada dalam bahaya
penyembelihan besar‐besaran dari Jepang. Saya hanya mengatakan, bahwa ini adalah keyakinan saya
jikalau ekor daripada naga raksasa itu sudah memukul‐mukul ke kiri dan ke kanan, maka Pemerintah
Kolonial tidak akan sanggup menahannya.
“Oleh karena itu, siapakah yang dapat menentukan terlebih dulu rencana kemerdekaan dari negeri kami,
jikalau kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam masa yang akan datang. Yang saya ketahui, bahwa
pemimpin‐pemimpin P.N.I. adalah pencinta perdamaian dan ketertiban. Kami berjuang dengan kejujuran
seorang satria. Kami tidak menginginkan pertumpahan darah. Kami hanya menghendaki kesempatan
untuk membangun harga diri daripada rakyat kami.
“Saya menolak tuduhan mengadakan rencana rahasia untuk mengadakan suatu pemberontakan
bersenjata. Sungguhpun begitu, jikalau sudah menjadi Kehendak Yang Maha Kuasa bahwa gerakan yang
saya pimpin akan memperoleh kemajuan yang lebih pesat dengan penderitaan saya daripada dengan
kebebasan saya, maka saya menyerahkan diri dengan pengabdian yang setinggi‐tingginya ke hadapan
Ibu lndonesia dan mudah‐mudahan ia menerima nasib saya sebagai pengorbanan yang harum semerbak
di atas pangkuan persadanya. Tuan‐tuan Hakim yang terhormat, dengan hati yang berdebar‐debar saya,
bersama‐sama dengan rakyat dari bangsa ini siap sedia mendengarkan putusan tuan‐tuan Hakim!”
Ketika aku dibawa kembali ke rumah penjara, wakil penuh dari Pemerintah menunjukkan keramahannya
dengan mengulurkan tangan kepadaku. Esok paginya sebuah surat kabar menulis tentang kejadian ini
dengan judul “Meester ir. Kievet de Jonge kelihatan berjabatan tangan dengan pengacau kotor”. Sesudah
tiap sidang yang banjaknya 19 kali itu, maka ada seorang Belanda yang berani memuat tulisan‐tulisan di
surat kabarnya Het Indische Volk mengenai perlakuan yang sungguh‐sungguh tidak adil terhadapku.
Dengan semakin hangatnya tajuk rencana yang dibuatnya, maka kerut dahi rekan‐rekannya semakin
dalam. Mr. J.E. Stokvis banyak kehilangan kawan karena persoalanku.
Di malam akan dijatuhkan putusan pengadilan, enam orang kawan tanpa pemberitahuan terlebih dulu
pergi ke rumah Dr. Sosrokartono, seorang ahli kebatinan yang sangat dihormati di Bandung. Kemudian
diceritakan kepadaku, bahwa keenam orang itu ingin menenangkan pikirannya dan sungguhpun hari
sudah lewat malam, mereka datang juga ke rumah ahli kebatinan itu, tanpa ada perjanjian terlebih dulu.
Sesampai di sana seorang pembantu membukakan pintu dan menyampaikan, “Pak Sosro sudah
menunggu‐nunggu” dan mengiringkan mereka masuk, dimana telah tersedia dengan rapi enam buah
korsi dalam setengah lingkaran. Kawan‐kawanku itu tentu heran. Dengan tidak bertanya terlebih dulu
akan maksud kedatangan mereka, ahli kebatinan itu hanya mengucapkan tiga buah kalimat: “Sukarno
adalah seorang Satria. Pejuang seperti Satria boleh saja jatuh, akan tetapi ia akan bangkit kembali.
Waktunya tidak lama lagi.”
Di hari berikutnya Gatot Mangkupraja, Maskun, Supriadinata dan Sukarno dijatuhi hukuman. Hukuman
Sukarno yang paling berat. Aku dikenakan empat tahun kurungan dalam sel dengan ukuran satu setengah
kali dua seperempat meter. Empat tahun lamanya aku tidak melihat matahari.
Pembela‐pembelaku naik banding ke Rand van Justitie, akan tetapi pengadilan tinggi ini tetap berpegang
kepada keputusan hukuman. Tidak lama setelah itu kami dipindahkan ke dalam lingkungan dinding
tembok yang tinggi dari penjara Sukamiskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar