1. Latar Belakang
Pembangunan
di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek di masyarakat,
baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan. Perubahan tersebut membawa dampak tidak
hanya terhadap lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai dalam tatanan kehidupan
social bermasyarakat. Namun sayangnya
perubahan yang diciptakan oleh pembangunan membawa dampak yang menyertainya
sangat mengerikan dan kompleks, karena ternyata telah melahirkan terbelakangan
dan kemiskinan dalam masyarakat. Bentuk kemiskinan yang terjadi di Indonesia
saat ini adalah suatu bentuk yang masih semu.
Untuk
program pembangunan khususnya dalam mengatasi kemiskinan di daerah sudah menggulirkan
berbagai skema program penanggulangan kemiskinan yang secara umum memberikan
dua bentuk bantuan. ”Jadi bentuk bantuannya bisa dibagi dua. Satu penyelamatan,
satu pengembangan. Jangka pendek, termasuk raskin.
Sedangkan
bantuan yang sifatnya pengembangan, umumnya berbentuk pembentukkan dan
pemberdayakan kelompok usaha ekonomi masyarakat baik yang berskala kecil maupun
mikro. Garis besarnya, pemerintah menyuntikkan modal dan memberi pendampingan.
Suatu program biasanya mencakup pula pelatihan ketrampilan, kewirausahaan, manajemen,
yang disertai pula dengan pendampingan. Asal sumber dananya yang dari APBN
maupun hutang dari lembaga donor seperti Bank Dunia. Pola-pola program tersebut
tentunya didasarkan pada definisi dan indikator kemiskinan yang ditetapkan
pemerintah pusat, serta definisi keluarga miskin. Tulisan ini berusaha untuk memaparkan
tentang kemiskinan yang terjadi di perkotaan.
Kebijakan Yang Kontradiktif
Dalam hal program-program yang menangani golongan masyarakat paling miskin
kita dapat menggarikan tiga pendekatan besar. Yang pertama adalah yang bersikap menghukum, dan tidak berniat melakukan
upaya apapun untuk mengubah atau memperbaiki sektor-sektor termiskin., tetapi
malah berusaha menyingkirkan orang-orang miskin itu secara fisik dari pandangan
umum. Dalam kebijaksanaan ini termasuk kota-kota tertutup, program pembaharuan
kota yang mementingkan pembongkaran daerah-daerah pemukiman liar dan
daerah0daerah slum, serta transmigrasi
golonga miskin yang hendak disingkirkan, tidak atas keinginan mereka sendiri.
Langkah seperti ini jarang berhasil bahkan gagal sama sekali karena untuk
melakukan itu pemerintah kekurangan sumber daya manusia yang trampil.
Jenis kedua dari pedekatan
kebijakan adalah program konsumtif mulai dari pemuhan bersubsidi dan pelayanan,
sampai pada yang menghasilkan pembayaran langsung seperti skema-skema
kesejahteraan. Sejauh kebijakan-kebijakan ini menunjang kebutuhan hidup pokok
maka hal ini hampir tidak dapat dipersalahkan, masalahnya bagi negara-negara
yang sedang berkembang seperti Indonesia adalah keteidak tersediaan sumberdaya,
membatasi lingkup kegiatan kegiatan tadi dan bisanya hanya sebagian kecil warga
miskin yang menerima bantuan. Terdapat juga pembatasan yangbersifat politis,
berupa ketidak sediaan kaum elit ekonomi dan politik untuk dikurangi jatah
pemabagian dari kue nasional bahkan memintah jatah lebih dari yang sudah
dianggarkan, itupun selalu kurang.
Kedua jenis yang pertama mencakup sebagai besar kebijakan yang dijumpai di
Indonesia. Pada dasarnya kebijakan tersebut hanyalah pulasan walaupun
dilatarbelakangi oleh motivasi yang berbeda-beda. Mereka memanfaatkan teknologi
yang mereka pahami bersama-sama dalam kemampuan birokrasi yang paling tidak
efisien sekalipun. Teknologi ini juga mudah sekali dirumuskan, dan karena
ditunjukan kepada gejala-gejala kemiskinan maka besar kemungkinan bahwa
penyebab-penyebab kemiskinan itu diabaikan.
Golongan kebijakan ketiga adalah yang berlandaskan suatu analisa dari
sumber-sumber kemiskinan, dan bolehlah disebut diagnostik atau pendekatan
struktural. Beberapa diantara program golongan kedua tadi terdapat di golongan
ketiga ini, tetapi berdasarkan kaitannya dengan penyebab yang menyolok dari
problem itu. Kaitan sebab dan akibat bsa dilihat dari suatu rasionalisasi
kebijaksanaan yang berkembang sewaktu-waktu demi kepentingan birokrasi atau
politik, tetapi tetap saja penjelasan-penjelasan khusus menuntut
kebijaksanaa-kebijaksanaan yang sejalan. Meskipu tentu saja program-program
akhirnya dapat mencari berbagai jawaban dan berasal dari berbagai motif. Namun
pada kenyataannya seperti campuraduk yang tidak ada hubungannya. Sebenarnya
dapat dilihat secara logis dalam dua tingkatan yang pertama dalam arti
mempertahakan status Quo tertetu yang kedua dalam arti program-program khusus
untuk mengendalikan atau mengubah sektor-sektor tertentu dari masyarakat,
berdasarkan suatu penjelasan-penjelasan sektor itu beroprasi.
Dengan
melihat fenomena kemiskinan yang masih banyak di perkotaan tibul paradigma dalam kebijakan
penanganan kemiskinan. Faktanya, banyak gejala kontradiktif. Pemerintah giat
membantu permodalan, tapi di sisi lain, kebijakan menaikkan BBM juga mencekik masyarakat. Belum lagi, pada
saat bersamaan, pemerintah mengizinkan membludaknya retail industry seperti
mal, hypermart, dan warung kelontong franchise masuk sampai pelosok. Ini semua
merupakan tipikal paradigma neoliberalisme. Demi pertumbuhan ekonomi yang
cepat, sektor modern-padat kapital harus diutamakan. Demi pertumbuhan pula,
investasi industri produksi maupun retail direlakan menggusur tempat tinggal
sekaligus lahan ekonomi masyarakat miskin.
Permasalahan lain terungkap dari golongan liberal yang yang memiliki
perspektif sindiri melihat kaum miskin kota.
Logikanya,
pertumbuhan ekonomi memerlukan investasi. Investasi bisa terjadi jika program
rekapitulasi perbankan berjalan. Artinya, pemerintah harus mampu menyuntikkan
dana triliunan rupiah kepada bank-bank yang kreditnya macet.
Perusahan-perusahan besar milik konglomerat harus ditolong kredit baru lagi
agar pabrik-pabriknya bisa bekerja lagi dan perlahan mulai mengangsur
hutangnya. ”Neoliberalisme di mana-mana itu eradicate the poor. Di Chili,
Argentina, Meksiko. Nggak tahu, mungkin sudah takdir itu. Bukan eradicate the
poverty. (Pemerintah) kita menghajar orang miskin, penggusuran di mana-mana,
soal tanah dan segala macam,”
Yang ironis, kebijakan penanggulangan kemiskinan ala neoliberalisme hanya bersifat sementara, di mana negara hanya boleh turun tangan jika lembaga keluarga, kelompok swadaya, atau lembaga keagamaan gagal berfungsi. Pandangan seperti ini beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi di mana sesorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal. Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Program-program structural adjustment yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh kebijakan neoliberal dalam menangani kemiskinan.
Yang ironis, kebijakan penanggulangan kemiskinan ala neoliberalisme hanya bersifat sementara, di mana negara hanya boleh turun tangan jika lembaga keluarga, kelompok swadaya, atau lembaga keagamaan gagal berfungsi. Pandangan seperti ini beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi di mana sesorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal. Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Program-program structural adjustment yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh kebijakan neoliberal dalam menangani kemiskinan.
2. Permasalahan
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas yang penulis kutip dari artikel SOROT: Banyak
Program tapi Tetap Miskin, Majalah FLAMMA EDISI 25 copyright IRE Yogjakarta.
Ternyata terjadi paradok pembangunan dimana pemerintah Yogjakarta di satu sisi
sudah sekian banyak upaya program-program dalam mengatasi kemiskinan, disisi
lain justru kemiskinan makin bertambah. Asumsi penulis dengan mengikuti
komentar hasil wawancara Majalah Flamma dengan Edi Suharto bahwa ada suatu yang
salah dari paradigma/perspektif pemerintah dalam melihat kemiskinan. Atas dasar
itulah dalam Paper ini permasalahan yang akan diangkat adalah menjawab
pertanyaan pokok “Bagaimana Perspektif/ paradigma pembangunan pemerintah dalam
mengatasi persoalan kemiskinan?“. Dan untuk memberikan penjelasan atas
permasalahan tersebut maka dapat dijelaskan dengan menjawab rumusan masalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana Perspektif Teori Pembangunan ( Teori Modernisasi
dan Dependensi ) dalam melihat Kemiskinan?
2.
Apa akar permasalahan kemiskinan di Indonesia? Dan adakah
kesalahan perspektif pembangunan yang dipakai pemerintah dalam mengatasi
kemiskinan?
3. Pembahasan
Indonesia
dalam peta pembangunan internasional termasuk dalam cakupan wilayah di dunia ke
tiga, untuk itu dalam perspektif teori pembangunan internasional maka Indonesia
termasuk dalam perspektif teori pembangunan dunia ketiga. Teori pembangunan
dunia ketiga sendiri adalah teori-teori pembangunan yang berusaha menyelesaikan
masalah yang dihadapi oleh negera-negara miskin atau negara-negara sedang yang
sedang berkembang dalam sebuah dunia yang didominasi oleh kekuatan ekonomi,
ilmu pengetahuan dan militer negara-negara adikuasa atau negara-negara industri
maju. Teori Pembangunan di dunia ke tiga memiliki perbedaan dengan teori
pembangunan bagi negara-negara adikuasa, karena persoalan yang dihadapinya
berlainan. Bagi negara-negara dunia ketiga, persoalannya adalah bagaimana
bertahan hidup atau bagaimana meletakkan dasar-dasar ekonominya supaya bis
bersaing di pasar internasional. Bagi negara-negara adikuasa persolannya adalah
bagaimana melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan ekonominya yang sudah
mapan.
Ada 3
kelompok teori pembangunan yang berkembang di dunia yaitu : 1) Teori
modernisasi. Menekankan faktor manusia dan nilai-nilai budanya sebagai pokok
persoalan dalam pembangunan. Teori modernisasi merupakan kelompok teori yang
dominan dalam mengkaji masalah pembangunan di Indonesia; 2) Teori
ketergantungan atau lebih dikenal dengan teori Dependensi. Teori ini merupakan
reaksi terhadap teori modernisasi. Teori ini mula-mula tumbuh di kalangan para
ahli ilmu sosial di Amerika Latin kemudian meluas sampai ke Amerika Serikat dan
Eropa dan Asia. Teori ini dipengaruhi oleh metoda analisis Marxis ; 3) Teori yang
merupakan reaksi terhadap teori ketergantungan atau lebih di kenal Post
Modernisme. Teori ini sering disebut sebagai teori pasca ketergantungan. Di
dalamnya ada teori sistem dunia, teori artikulasi dan sebagainya .
a) Perspektif Teori Modernisasi dalam melihat Kemiskinan .
Teori
Modernisasi lahir di tahun 1950-an di Amerika Serikat, dan merupakan respon
kaum intelektual terhadap perang dunia yang bagi penganut evolusi dianggap
sebagai jalan optimis menuju perubahan. Teori ini lahir dalam suasana ketika dunia
memasuki “perang dingin” atau peperangan idiologi antara Kapitalisme dibawah
kepemimpinan amerika serikat dengan kekuatan Komunisme dibawah kepemipinan
Negara Sosialis Uni Sovyet Rusia ( USSR) .
Adapun
penopang dari Teori Modernisasi adalah ide Weber yang melihat pada aspek-aspek
nilai budaya yaitu Variabel etos sebagai varian utama dalam melihat
keterbelakangan dunia ketiga . Tesis ini diperkuat oleh McClelland yang
menekankan psikologi individu dan menekankan bahwa kondisi psikologis
prakondisi suatu masyarakat dalam memandang prestasi (the need for achievement)
secara signifikan berkorelasi positif terhadap kelangsungan pembangunan .
Selain
itu Teori Modernisasi juga melihat bahwa masalah pembangunan merupakan masalah
penyediaan modal untuk investasi (Harood – Domar) . Gagasan ide ini kemudian
dikembangkan oleh Rostow bahwa pembangunan dikaitkan dengan perubahan dari
masyarakat agraris dengan budaya tradisional ke masyarakat yang rasional,
industrial dan berfokus pada ekonomi pelayanan. Ide ini kemudian melahirkan
konsep lima tahap pembangunan Rostow . Berbeda dengan Rostow Bert F. Hoselitz
membahas faktor-faktor non ekonomi yg ditinggalkan Rostow yang disebut faktor
“kondisi lingkungan”. Kondisi lingkungan maksudnya adalah perubahan-perubahan
pengaturan kelembagaan yg terjadi dalam bidang hukum, pendidikan,keluarga, dan
motivasi. Hoselitz menekankan bahwa meskipun seringkali orang menunjukkan bahwa
masalah utama pembangunan adalah keurangan modal (teori Harrod – Domar ), ada
masalah lain yang juga sangat penting yakni adanya ketrampilan kerja tertentu,
termasuk tenaga wiraswasta yang tangguh. Karena itu dibutuhkan perubahan
kelembagaan pada masa sebelum lepas landas, yang akan mempengaruhi pemasokan
modal, supaya modal ini bisa menajadi produktif. Perubahan kelembagaan ini akan
menghasilkan tenaga wiraswasta dan administrasi serta ketrampilan teknis dan
keilmuan yang dibutuhkan. Menurut Hoselitz, pembangunan membutuhkan pemasokan
dari beberapa unsur, seperti : pemasokan modal besar dan perbankan, serta pemasokan
tenaga ahli dan terampil.
Perspektif
umum Teori modernisasi memandang pembangunan merupakan kerja secara
Internasional yang didasarkan pada teori keuntungan komparatif yang dimiliki
oleh setiap negara mengakibatkan terjadinya spesialisasi produksi pada
tiap-tiap negara sesuai dengan keuntungan komparatif yang dimilikinya. Secara
umum, di dunia ini terdapat dua kelompok negara : 1) negara yang memproduksi
hasil pertanian ; 2) negara yang memproduksi barang industri. Antara kedua
kelompok negara ini terjadi hubungan dagang dan keduanya menurut teori di atas
saling diuntungkan. Tetapi setelah beberapa puluhan tahun kemudian, tampak
bahwa negara-negara industri menjadi semakin kaya sedangkan negara-negara
pertanian semakin tertinggal. Ini kemudiaan melahirkan dua kelompok negara
yaitu negara-negara miskin yang biasanya meruapakan negara pertanian dan
negara-negara kaya yang biasanya adalah negara industri. Teori Modernisasi
lebih melihat bahwa kemiskinan ini disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor
yang terdapat di dalam negeri negara yang bersangkutan.
Pembangunan
sendiri mempunyai dua unsur utama yaitu masalah materi yang mau dihasilkan dan
dibagi, serta masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif yang menjadi
manusia pembangunan. Pembangunan tidak hanya berurusan dengan produksi dan
distribusi barang-barang material tetapi pembangunan juga harus menciptakan
kondisi-kondisi yang membuat manusia bisa mengembangkan kreatifitasnya. Teori
Modernisasi mendasarkan selain pada faktor-faktor material sebagai penyebab
kemiskinan juga faktor manusia yang ada di dalam negara itu sendiri.
Untuk itu
maka negara-negara miskin yang kemudian di petakan dalam negara dunia ketiga
dalam perspektif teori modernisasi harus mendapatkan perhatian dari negara
maju, dan negara maju harus berupaya menciptakan replikasi model pembangunan
bergaya liberal untuk diadopsi negara-negara dunia Ketiga. Pola hubungan ini
kemudian melahirkan istilah Developmentalisme yang merupakan bagian penyokong
Teori modernisasi, sehingga teori modernisasi juga di kenal dengan teori
developmentalisme .
Fenomena
ini bisa kita lihat beberapa program yang kini dijalankan antara lain: Program
Bantuan Modal Pinjaman Lunak dan Koperasi (BMPLK); Pembinaan Usaha Kecil dan
Koperasi (PUKK) dari BUMN; Dana Bergulir Usaha Kecil Industri dan Dagang
(DBUKID); Bantuan Usaha Ekonomi Produktif Kelompok Anggrek dan Pemanfaatan
Pekarangan (BUEPKAID); Peningkatan Pelayanan Usaha Sosial Ekonomi Produktif
(P2USEP); Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP); Tenaga Kerja Mandiri
(TKM); Program GRAMEN BANK; Program Perluasan Kerja Sistem Padat Karya Program
Awal Tahun dan Padanan; Program Kompensasi Subsidi Dana Bergulir Bahan Bakar
Minyak (PKPS-BBM); Beasiswa Supersemar, Lembaga Keuangan Mikro Badan Usaha
Kredit Pedesaan; Pinjaman Tenda Bagi Pedagang Kaki Lima .
Konsep
program itu beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah
individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketakmampuan
yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi di
mana sesorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika ada sistem
pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal. Karenanya,
banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian” (adjustment),
bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Bahkan
diantara program tersebut merupakan program-program structural adjustment atau
kepentingan dari negara-negara maju yang didesakkan oleh lembaga donor macam World
Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program
Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh model replikasi kebijakan
liberal dalam menangani kemiskinan.
b) Perspektif Teori Dependensi dalam melihat Kemiskinan .
Teori Dependensi
lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara
Dunia Ketiga. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teori dependensi mewakili
“suara negara-negara pinggiran” untuk menantang hegemoni ekonomi, politik,
budaya dan intelektual dari negara maju. Munculnya teori dependensi lebih
merupakan kritik terhadap arus pemikiran utama persoalan pembangunan yang
didominasi oleh teori modernisasi. Teori dependensi lahir karena teori
modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah
alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan
modernisasi membawa kemajuan bagi negara dunia ketiga telah menumbuhkan sikap
kritis beberapa ilmuan sosial untuk memberikan suatu teori pembangunan yang
baru, yang tentu saja mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan teori yang
telah ada. Kritikan terhadap modernisasi yang dianggap sebagai “musang berbulu
domba” dan cenderung sebagai bentuk kolonialisme baru semakin mencuat dengan
gagalnya negara-negara Amerika Latin menjalankan modernisasinya. Frank sebagai
pelopor kemunculan teori dependensi, pada awalnya menyerang pendapat Rostow.
Frank menganggap Rostow telah mengabaikan sejarah. Sejarah mencatat bagaimana
perkembangan dunia ketiga yang tatanan ekonominya telah dihancurkan oleh negara
dunia pertama selama masa kolonial. Pemikiran Frank terus bergulir dan disambut
oleh pemikir sosial lainnya seperti Santos, Roxborough, Cardoso dan Galtung.
Teori
dependensi merupakan analisis tandingan terhadap teori modernisasi. Teori ini
didasari fakta lambatnya pembangunan dan adanya ketergantungan dari negara
dunia ketiga, khususnya di Amerika Latin. Teori dependensi memiliki saran yang
radikal, karena teori ini berada dalam paradigma neo-Marxis. Sikap radikal ini
analog dengan perkiraan Marx tentang akan adanya pemberontakan kaum buruh
terhadap kaum majikan dalam industri yang bersistem kapitalisme. Analisis
Marxis terhadap teori dependensi ini secara umum tampak hanya mengangkat
analisanya dari permasalahan tataran individual majikan-buruh ke tingkat antar
negara. Sehingga negara pusat dapat dianggap kelas majikan, dan negara dunia
ketiga sebagai buruhnya. Sebagaimana buruh, ia juga menyarankan, negara
pinggiran mestinya menuntut hubungan yang seimbang dengan negara maju yang
selama ini telah memperoleh surplus lebih banyak (konsep sosialisme). Analisis
Neo-Marxis yang digunakannya memiliki sudut pandang dari negara pinggiran.
Dalam
perspektif Teori dependensi tentang negara miskin Santos mengamsusikan bahwa
bentuk dasar ekonomi dunia memiliki aturan-aturan perkembangannya sendiri, tipe
hubungan ekonomi yang dominan di negara pusat adalah kapitalisme sehingga
menyebabkan timbulnya usaha melakukan ekspansi keluar dan tipe hubungan ekonomi
pada negara periferi merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan oleh
ekspansi kapitalisme oleh negara pusat. Santos menjelaskan bagaimana timbulnya
kapitalisme yang dapat menguasai sistem ekonomi dunia. Keterbatasan sumber daya
pada negara maju mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran pada
negara miskin. Pola yang dilakukan memberikan dampak negatif berupa adanya
ketergantungan yang dialami oleh negara miskin. Negara miskin akan selalu
menjadi negara yang terbelakang dalam pembangunan karena tidak dapat mandiri
serta selalu tergantung dengan negara maju. Negara maju identik menjadi negara
pusat, sedangkan negara miskin menjadi satelitnya. Konsep ini lebih dikenal
dengan istilah “pusat - periferi”. Pola hubungan antara pusat-periferi ini
dijelaskan oleh Frank bahwa kemampuan negara satelit dalam pembangunan ekonomi
terutama pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap
negara pusat sedang melemah. Pendapat ini merupakan antitesis dari modernisasi
yang menyatakan bahwa kemajuan negara dunia ketiga hanya dapat dilakukan dengan
hubungan dan difusi dengan negara maju .
Tesis
yang diajukan oleh Santos adalah pembagian ketergantungan menjadi tiga jenis
yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan dan
ketergantungan teknologi industri. Ketergantungan kolonial merupakan bentuk
ketergantungan yang dialami oleh negara jajahan. Ketergantungan kolonial
merupakan bentuk ketergantungan yang paling awal dan hingga kini telah
dihapuskan. Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan
elit negara tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja,
serta ekspor barang galian dan hasil bumi dari negara jajahan. Sementara itu,
jenis ketergantungan industri keuangan yang lahir pada akhir abad 19, maka
ekonomi negara tergantung lebih terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk
pertanian. Ekspor bahan mentah menyebabkan terkurasnya sumber daya negara,
sementara nilai tambah yang diperoleh kecil. Sumbangan pemikiran Santos
terhadap teori dependensi sebenarnya berada pada bentuk ketergantungan
teknologi industri. Dampak dari ketergantungan ini terhadap dunia ketiga adalah
ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta
terbatasnya perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri. Asumsi
dasar teori dependensi ini menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat
umum ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal,
lebih sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global (Barat dan
Non Barat, atau industri dan negara ketiga), dan kondisi ketergantungan adalah
anti pembangunan atau tak akan pernah melahirkan pembangunan. Terbelakang
adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi dan ekonomi yang rendah
diukur dari sistem kapitalis. Hal ini juga mempengaruhi pandangan-pandangan
teoritisi Dependensi diatas bahwa kemiskinan di suatu negara disebabkan karena
faktor eksternal. Kemiskinan dilihat sebagai akibat dari bekerjanya
kekuatan-kekuatan luar yang menyebabkan negara yang bersangkutan gagal melakukan
pembangunannya.
C. Akar Permasalahan
Kemiskinan di Indonesia
Apabila
kita perhatikan kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah bentuk kemiskinan
struktural (buatan) karena sebenarnya secara alamiah Indonesia mempunyai
potensi dan sumber daya yang cukup untuk tidak mengalami kemiskinan. Kemiskinan
struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian
anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial,
politik dan budaya. Struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak
berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat dalam pelaksanaan pembangunan
serta terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan
Penggalian
tentang kemiskinan yang selama ini cenderung dilakukan pada batas angka-angka
statistik makro yang kurang mendalam serta tidak detail dalam mengungkap latar
belakang masyarakat miskin. Akibatnya tidak dapat melihat persoalan secara
komperehensif mengenai dimensi-dimensi kemiskinan, karena sesungguhnya
persoalan kemiskinan terkait dan saling mempengaruhi dengan persoalan yang
lainnya. Pada sisi lain studi tentang kemiskinan juga cenderung over akademis
yang kurang memiliki daya guna pemecahan persoalan yang sifatnya praksis
penanggulangan kemiskinan, sekaligus gagal mengungkap akar penyebab kemiskinan.
Ada tiga
sisi yang menjadi akar penyebab dari terjadinya kemiskinan struktural yaitu :
1.
Pemahaman akan kemiskinan yang tidak tepat dan sepihak. Kemiskinan
lebih dikaji dari aspek ekonomi saja. Aspek-aspek lain yang berkaitan erat
dengan persoalan kemiskinan seperti aspek politik, kultural, serta sosial
dikaji secara terpisah. Persoalan kemiskinan dipahami tanpa mengkaji dampak
dari kebijakan publik atau pemerintah terhadap keberadaan rakyat miskin
2.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak melibatkan
masyarakat yang terkena sasaran, baik di tingkat perencanaan maupun sampai ke
tingkat pelaksanaannya.
3.
Tidak ada evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di
perkotaan untuk melihat dampak yang terjadi.
Oleh
karena itu sudah seharusnya kita mengerti apa yang menjadi masalah mendasar
dalam proses mengentaskan kemiskinan ini. Pemahaman kemiskinan saat ini
mempunyai arti yang lebih luas yang didefinisikan sebagai kemiskinan majemuk
yaitu suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai
manusia. Kebutuhan asasi tersebut meliputi kebutuhan akan subsistensi, afeksi,
keamanan, identitas, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, waktu luang.
Kemiskinan
subsistensi pada rakyat miskin kota seperti yang terjadi di Yogjakarta
(lampiran) merupakan contoh dimana rendahnya pendapatan, tak terpenuhinya
kebutuhan akan sandang, pangan, papan serta kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya.
Kemiskinan perlindungan karena meluasnya budaya kekerasan atau tidak memadainya
sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan dasar rakyat miskin kota; kemiskinan
afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola hubungan
eksploitatif antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam; kemiskinan
pemahaman karena kualitas pendidikan yang rendah, selain faktor kuantitas yang
tidak mampu memenuhi kebutuhan; kemiskinan partisipasi karena adanya
diskriminasi dan peminggiran rakyat dari proses pengambilan keputusan;
kemiskinan identitas karena dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya
lokal yang mengakibatkan hancurnya nilai sosio kultural yang ada.
Dimensi
kemiskinan majemuk yang dialami masyarakat miskin dapat teridentifikasi dari
beberapa aspek berupa rendahnya kesejahteraan, akses pada sumber daya,
kesadaran kritis, partisipasi dan posisi tawar. Aspek ekonomi bukanlah
satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor-faktor yang lain, seperti politik dan
sosial budaya, mempunyai peranan yang sangat kuat dalam melatarbelakangi
munculnya lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan.
Paradigma
ekonomi yang dipakai dalam penyusunan pembangunan, membuat pemilik modal
menguasai segala-galanya. Penguasaan ekonomi dengan dalih demi ‘keuntungan
bersama’, menjadi penyebab dasar kemiskinan dalam masyarakat dan menimbulkan
kebijakan ekonomi yang semena-mena. Aspek sosial budaya banyak sekali
mempengaruhi terjadinya proses pemiskinan. Tradisi yang ada tidak sedikit yang
memberikan ‘pembenaran’ dalam pemenuhan kebutuhan dasar. ‘Pembenaran tradisi’
bahwa anak harus ikut menanggung kemiskinan keluarga, di satu sisi memunculkan
kasus pekerja anak; dan di sisi lain terjadi pemberontakan yang melahirkan
realita anak jalanan pada banyak kota di Indonesia. Modernisasi yang
dipaksakan, memunculkan kemiskinan dalam bentuk yang lain. Kepentingan politik
tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi. Struktur birokrasi yang
tidak aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan banyak kebijakan yang
semakin memiskinkan rakyat
d) Adakah kesalahan perspektif pembangunan ?
Bila kita
telusuri lebih teliti bahwa kesimpulan yang ditemukan akan lebih memandang
bahwa perspektif pembangunan pemerintah selama ini tentang kemiskinan, sebagai
realitas yang selalu dilihat dari sudut ekonomi, dimana batasan kemiskinan
adalah suatu kondisi di mana orang tidak memiliki harta benda atau mempunyai
pendapatan di bawah batasan nominal tertentu. Kemiskinan selalu dilihat bahwa
persoalan individu manusia itu kenapa miskin atau persoalan yang ada dalam
manusia itu sendiri. Tingkat kemiskinan ini dinilai atau ditentukan berdasarkan
ukuran-ukuran materi yang sudah didefinisikan sebelumnya, seperti: kondisi
fisik dari bangunan atau lingkungan permukiman. Pengertian kemiskinan yang
ekonomistik ini akan melahirkan bentuk-bentuk kebijakan penanggulangan
kemiskinan dalam bantuan ekonomi saja. Kebijakan pengentasan kemiskinan dari
pemerintah melalui program yang ada seperti : program recovery, hanya menjadi
program penyaluran dana bantuan saja tanpa mencoba memahami kemiskinan yang
menjadi penyebabnya. Kebijakan itu cenderung semakin memiskinkan masyarakat,
karena menimbulkan ketergantungan ekonomi, tanpa memberikan solusi untuk lepas
dari lingkaran kemiskinan. Perspektif inilah dalam teori pembangunan cenderung
mengarah pada perspektif Modernisme
Akibatnya
Kebijakan pemerintah yang berkait dengan penanggulangan kemiskinan selama ini
tidak memenuhi target dan sasaran; bahkan cenderung memunculkan kemiskinan yang
baru sebagaimana dalam artikel (lampiran). Hal ini didasarkan bahwa pemerintah
selalu menggunakan prinsip trickle down effect yang melihat bahwa proses
pelipatan modal atau keuntungan akan terdistribusi kepada kelompok-kelompok di
bawahnya. Seperti program dengan setiap masyarakat dibentuk kelompok, diberi
modal, motivasi berwirausaha, kapasitas manajerialnya ditingkatkan,
aktivitasnya didampingi, serta dikontrol kinerjanya, namun ini menjadi
kontradiktif pemerintah giat membantu permodalan UKM, tapi di sisi lain,
kebijakan menaikkan BBM juga mencekik UKM. Belum lagi, pada saat bersamaan,
pemerintah mengizinkan membludaknya retail industry seperti mal, hypermart, dan
warung kelontong franchise masuk sampai pelosok akibatnya sulit bisa bersaing
melawan supermarket. Ada juga kebijakan program lebih merupakan pendekatan ekonomi
dengan dasar belas kasihan. Seperti BLT ataupun raskin dinilai banyak kalangan
tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan. “Dampaknya seperti orang dikasih ikan
yang langsung habis. Kalau kita memberi kail dan umpan, mereka bisa mencari
ikan sendiri “.
Selain
itu juga ada kebijakan pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan banyak
menggunakan dana recovery yang merupakan dana pinjaman atau hutang dari luar
negeri. Seperti program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian”
(adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar
bebas. Bahkan diantara program tersebut merupakan program-program structural
adjustment atau kepentingan dari negara-negara maju yang didesakkan oleh
lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman
Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh
model replikasi kebijakan liberal dalam menangani kemiskinan. Program tersebut
banyak memunculkan permasalahan; karena tidak tepat ke sasaran dan pelaksanaan
program yang tidak jelas. Program ini tidak hanya menimbulkan pemiskinan secara
ekonomi, namun dalam konteks yang lebih luas meliputi sosial, budaya dan
politik. Rakyat miskin menjadi sangat tergantung pada bantuan orang lain atau
luar negeri dan tidak inisiatif untuk bangkit dari kemiskinan dengan kemampuan
sendiri. Beban utang dari dana pinjaman menjadi terbebankan ke rakyat miskin.
Perspektif demikian yang oleh Teoritisi dependensi dikatakan bahwa bantuan
negara maju dengan melakukan replikasi pembangunan pada negara berkembang
terutama replikasi program penanggulangan kemiskinan dengan disertai bantuan
atau hutang lunak justru akan menyebabkan ketergantungan pada negara berkembang
atau dunia ketiga dan ini justru yang menjadikan penyebab kemiskinan.
4. Kesimpulan
Ada 3
kelompok teori pembangunan yang berkembang di dunia yaitu : 1) Teori
modernisasi ; 2) Teori ketergantungan atau lebih dikenal dengan teori
Dependensi. ; 3) Teori yang merupakan reaksi terhadap teori ketergantungan atau
lebih di kenal Post Modernisme. Dalam melihat masalah kemiskinan Perspektif
Teori Modernisasi lebih melihat bahwa kemiskinan ini disebabkan oleh
faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negeri negara
yang bersangkutan. Sedangkan pandangan-pandangan teoritisi Dependensi
mengatakan bahwa kemiskinan di suatu negara disebabkan karena faktor eksternal.
Kemiskinan dilihat sebagai akibat dari bekerjanya kekuatan-kekuatan luar yang
menyebabkan negara yang bersangkutan gagal melakukan pembangunannya.
Selama
ini di Indonesia perspektif pembangunan pemerintah tentang kemiskinan merupakan
suatu realitas yang selalu dilihat dari sudut ekonomi, kemiskinan selalu
dilihat bahwa persoalan individu manusia itu kenapa miskin atau persoalan yang
ada dalam manusia itu sendiri. Tingkat kemiskinan ini dinilai atau ditentukan
berdasarkan ukuran-ukuran materi yang sudah didefinisikan .Pengertian
kemiskinan yang ekonomistik ini akan melahirkan bentuk-bentuk kebijakan
penanggulangan kemiskinan dalam bantuan ekonomi saja. Akibatnya Kebijakan
pemerintah yang berkait dengan penanggulangan kemiskinan selama ini tidak
memenuhi target dan sasaran; bahkan cenderung memunculkan kemiskinan yang baru.
Bahkan banyak program yang memunculkan permasalahan; karena tidak tepat ke
sasaran dan pelaksanaan program yang tidak jelas.
Banyak
Program kemiskinan ini tidak hanya menimbulkan pemiskinan secara ekonomi, namun
dalam konteks yang lebih luas meliputi sosial, budaya dan politik. Rakyat
miskin menjadi sangat tergantung pada bantuan orang lain atau luar negeri dan
tidak inisiatif untuk bangkit dari kemiskinan dengan kemampuan sendiri. Beban
utang dari dana pinjaman menjadi terbebankan ke rakyat miskin. Perspektif
demikian yang oleh Teoritisi dependensi dikatakan bahwa bantuan negara maju dengan
melakukan replikasi pembangunan pada negara berkembang terutama replikasi
program penanggulangan kemiskinan dengan disertai bantuan atau hutang lunak
justru akan menyebabkan ketergantungan pada negara berkembang atau dunia ketiga
dan ini justru yang menjadikan faktor penyebab kemiskinan.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut