Sabtu, 16 Juni 2012

ANALISA PERMASALAHAN KEMISKINAN KOTA





1. Latar Belakang
Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek di masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan. Perubahan tersebut membawa dampak tidak hanya terhadap lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai dalam tatanan kehidupan social  bermasyarakat. Namun sayangnya perubahan yang diciptakan oleh pembangunan membawa dampak yang menyertainya sangat mengerikan dan kompleks, karena ternyata telah melahirkan terbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat. Bentuk kemiskinan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah suatu bentuk yang masih semu.
Untuk program pembangunan khususnya dalam mengatasi kemiskinan di daerah sudah menggulirkan berbagai skema program penanggulangan kemiskinan yang secara umum memberikan dua bentuk bantuan. ”Jadi bentuk bantuannya bisa dibagi dua. Satu penyelamatan, satu pengembangan. Jangka pendek, termasuk raskin.
Sedangkan bantuan yang sifatnya pengembangan, umumnya berbentuk pembentukkan dan pemberdayakan kelompok usaha ekonomi masyarakat baik yang berskala kecil maupun mikro. Garis besarnya, pemerintah menyuntikkan modal dan memberi pendampingan. Suatu program biasanya mencakup pula pelatihan ketrampilan, kewirausahaan, manajemen, yang disertai pula dengan pendampingan. Asal sumber dananya yang dari APBN maupun hutang dari lembaga donor seperti Bank Dunia. Pola-pola program tersebut tentunya didasarkan pada definisi dan indikator kemiskinan yang ditetapkan pemerintah pusat, serta definisi keluarga miskin. Tulisan ini berusaha untuk memaparkan tentang kemiskinan yang terjadi di perkotaan.



Kebijakan Yang Kontradiktif
Dalam hal program-program yang menangani golongan masyarakat paling miskin kita dapat menggarikan tiga pendekatan besar. Yang pertama adalah yang bersikap menghukum, dan tidak berniat melakukan upaya apapun untuk mengubah atau memperbaiki sektor-sektor termiskin., tetapi malah berusaha menyingkirkan orang-orang miskin itu secara fisik dari pandangan umum. Dalam kebijaksanaan ini termasuk kota-kota tertutup, program pembaharuan kota yang mementingkan pembongkaran daerah-daerah pemukiman liar dan daerah0daerah slum, serta transmigrasi golonga miskin yang hendak disingkirkan, tidak atas keinginan mereka sendiri. Langkah seperti ini jarang berhasil bahkan gagal sama sekali karena untuk melakukan itu pemerintah kekurangan sumber daya manusia yang trampil.
Jenis kedua dari pedekatan kebijakan adalah program konsumtif mulai dari pemuhan bersubsidi dan pelayanan, sampai pada yang menghasilkan pembayaran langsung seperti skema-skema kesejahteraan. Sejauh kebijakan-kebijakan ini menunjang kebutuhan hidup pokok maka hal ini hampir tidak dapat dipersalahkan, masalahnya bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia adalah keteidak tersediaan sumberdaya, membatasi lingkup kegiatan kegiatan tadi dan bisanya hanya sebagian kecil warga miskin yang menerima bantuan. Terdapat juga pembatasan yangbersifat politis, berupa ketidak sediaan kaum elit ekonomi dan politik untuk dikurangi jatah pemabagian dari kue nasional bahkan memintah jatah lebih dari yang sudah dianggarkan, itupun selalu kurang.
Kedua jenis yang pertama mencakup sebagai besar kebijakan yang dijumpai di Indonesia. Pada dasarnya kebijakan tersebut hanyalah pulasan walaupun dilatarbelakangi oleh motivasi yang berbeda-beda. Mereka memanfaatkan teknologi yang mereka pahami bersama-sama dalam kemampuan birokrasi yang paling tidak efisien sekalipun. Teknologi ini juga mudah sekali dirumuskan, dan karena ditunjukan kepada gejala-gejala kemiskinan maka besar kemungkinan bahwa penyebab-penyebab kemiskinan itu diabaikan.
Golongan kebijakan ketiga adalah yang berlandaskan suatu analisa dari sumber-sumber kemiskinan, dan bolehlah disebut diagnostik atau pendekatan struktural. Beberapa diantara program golongan kedua tadi terdapat di golongan ketiga ini, tetapi berdasarkan kaitannya dengan penyebab yang menyolok dari problem itu. Kaitan sebab dan akibat bsa dilihat dari suatu rasionalisasi kebijaksanaan yang berkembang sewaktu-waktu demi kepentingan birokrasi atau politik, tetapi tetap saja penjelasan-penjelasan khusus menuntut kebijaksanaa-kebijaksanaan yang sejalan. Meskipu tentu saja program-program akhirnya dapat mencari berbagai jawaban dan berasal dari berbagai motif. Namun pada kenyataannya seperti campuraduk yang tidak ada hubungannya. Sebenarnya dapat dilihat secara logis dalam dua tingkatan yang pertama dalam arti mempertahakan status Quo tertetu yang kedua dalam arti program-program khusus untuk mengendalikan atau mengubah sektor-sektor tertentu dari masyarakat, berdasarkan suatu penjelasan-penjelasan sektor itu beroprasi.
Dengan melihat fenomena kemiskinan yang masih banyak di perkotaan tibul paradigma dalam kebijakan penanganan kemiskinan. Faktanya, banyak gejala kontradiktif. Pemerintah giat membantu permodalan, tapi di sisi lain, kebijakan menaikkan BBM juga mencekik masyarakat. Belum lagi, pada saat bersamaan, pemerintah mengizinkan membludaknya retail industry seperti mal, hypermart, dan warung kelontong franchise masuk sampai pelosok. Ini semua merupakan tipikal paradigma neoliberalisme. Demi pertumbuhan ekonomi yang cepat, sektor modern-padat kapital harus diutamakan. Demi pertumbuhan pula, investasi industri produksi maupun retail direlakan menggusur tempat tinggal sekaligus lahan ekonomi masyarakat miskin.
Permasalahan lain terungkap dari golongan liberal yang yang memiliki perspektif sindiri melihat kaum miskin kota.
Logikanya, pertumbuhan ekonomi memerlukan investasi. Investasi bisa terjadi jika program rekapitulasi perbankan berjalan. Artinya, pemerintah harus mampu menyuntikkan dana triliunan rupiah kepada bank-bank yang kreditnya macet. Perusahan-perusahan besar milik konglomerat harus ditolong kredit baru lagi agar pabrik-pabriknya bisa bekerja lagi dan perlahan mulai mengangsur hutangnya. ”Neoliberalisme di mana-mana itu eradicate the poor. Di Chili, Argentina, Meksiko. Nggak tahu, mungkin sudah takdir itu. Bukan eradicate the poverty. (Pemerintah) kita menghajar orang miskin, penggusuran di mana-mana, soal tanah dan segala macam,”
Yang ironis, kebijakan penanggulangan kemiskinan ala neoliberalisme hanya bersifat sementara, di mana negara hanya boleh turun tangan jika lembaga keluarga, kelompok swadaya, atau lembaga keagamaan gagal berfungsi. Pandangan seperti ini beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi di mana sesorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal. Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Program-program structural adjustment yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh kebijakan neoliberal dalam menangani kemiskinan.

2. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas yang penulis kutip dari artikel SOROT: Banyak Program tapi Tetap Miskin, Majalah FLAMMA EDISI 25 copyright IRE Yogjakarta. Ternyata terjadi paradok pembangunan dimana pemerintah Yogjakarta di satu sisi sudah sekian banyak upaya program-program dalam mengatasi kemiskinan, disisi lain justru kemiskinan makin bertambah. Asumsi penulis dengan mengikuti komentar hasil wawancara Majalah Flamma dengan Edi Suharto bahwa ada suatu yang salah dari paradigma/perspektif pemerintah dalam melihat kemiskinan. Atas dasar itulah dalam Paper ini permasalahan yang akan diangkat adalah menjawab pertanyaan pokok “Bagaimana Perspektif/ paradigma pembangunan pemerintah dalam mengatasi persoalan kemiskinan?“. Dan untuk memberikan penjelasan atas permasalahan tersebut maka dapat dijelaskan dengan menjawab rumusan masalah sebagai berikut :
1.                  Bagaimana Perspektif Teori Pembangunan ( Teori Modernisasi dan Dependensi ) dalam melihat Kemiskinan?
2.                  Apa akar permasalahan kemiskinan di Indonesia? Dan adakah kesalahan perspektif pembangunan yang dipakai pemerintah dalam mengatasi kemiskinan?
3. Pembahasan
Indonesia dalam peta pembangunan internasional termasuk dalam cakupan wilayah di dunia ke tiga, untuk itu dalam perspektif teori pembangunan internasional maka Indonesia termasuk dalam perspektif teori pembangunan dunia ketiga. Teori pembangunan dunia ketiga sendiri adalah teori-teori pembangunan yang berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh negera-negara miskin atau negara-negara sedang yang sedang berkembang dalam sebuah dunia yang didominasi oleh kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan dan militer negara-negara adikuasa atau negara-negara industri maju. Teori Pembangunan di dunia ke tiga memiliki perbedaan dengan teori pembangunan bagi negara-negara adikuasa, karena persoalan yang dihadapinya berlainan. Bagi negara-negara dunia ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup atau bagaimana meletakkan dasar-dasar ekonominya supaya bis bersaing di pasar internasional. Bagi negara-negara adikuasa persolannya adalah bagaimana melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan ekonominya yang sudah mapan.
Ada 3 kelompok teori pembangunan yang berkembang di dunia yaitu : 1) Teori modernisasi. Menekankan faktor manusia dan nilai-nilai budanya sebagai pokok persoalan dalam pembangunan. Teori modernisasi merupakan kelompok teori yang dominan dalam mengkaji masalah pembangunan di Indonesia; 2) Teori ketergantungan atau lebih dikenal dengan teori Dependensi. Teori ini merupakan reaksi terhadap teori modernisasi. Teori ini mula-mula tumbuh di kalangan para ahli ilmu sosial di Amerika Latin kemudian meluas sampai ke Amerika Serikat dan Eropa dan Asia. Teori ini dipengaruhi oleh metoda analisis Marxis ; 3) Teori yang merupakan reaksi terhadap teori ketergantungan atau lebih di kenal Post Modernisme. Teori ini sering disebut sebagai teori pasca ketergantungan. Di dalamnya ada teori sistem dunia, teori artikulasi dan sebagainya .

a) Perspektif Teori Modernisasi dalam melihat Kemiskinan .
Teori Modernisasi lahir di tahun 1950-an di Amerika Serikat, dan merupakan respon kaum intelektual terhadap perang dunia yang bagi penganut evolusi dianggap sebagai jalan optimis menuju perubahan. Teori ini lahir dalam suasana ketika dunia memasuki “perang dingin” atau peperangan idiologi antara Kapitalisme dibawah kepemimpinan amerika serikat dengan kekuatan Komunisme dibawah kepemipinan Negara Sosialis Uni Sovyet Rusia ( USSR) .
Adapun penopang dari Teori Modernisasi adalah ide Weber yang melihat pada aspek-aspek nilai budaya yaitu Variabel etos sebagai varian utama dalam melihat keterbelakangan dunia ketiga . Tesis ini diperkuat oleh McClelland yang menekankan psikologi individu dan menekankan bahwa kondisi psikologis prakondisi suatu masyarakat dalam memandang prestasi (the need for achievement) secara signifikan berkorelasi positif terhadap kelangsungan pembangunan .
Selain itu Teori Modernisasi juga melihat bahwa masalah pembangunan merupakan masalah penyediaan modal untuk investasi (Harood – Domar) . Gagasan ide ini kemudian dikembangkan oleh Rostow bahwa pembangunan dikaitkan dengan perubahan dari masyarakat agraris dengan budaya tradisional ke masyarakat yang rasional, industrial dan berfokus pada ekonomi pelayanan. Ide ini kemudian melahirkan konsep lima tahap pembangunan Rostow . Berbeda dengan Rostow Bert F. Hoselitz membahas faktor-faktor non ekonomi yg ditinggalkan Rostow yang disebut faktor “kondisi lingkungan”. Kondisi lingkungan maksudnya adalah perubahan-perubahan pengaturan kelembagaan yg terjadi dalam bidang hukum, pendidikan,keluarga, dan motivasi. Hoselitz menekankan bahwa meskipun seringkali orang menunjukkan bahwa masalah utama pembangunan adalah keurangan modal (teori Harrod – Domar ), ada masalah lain yang juga sangat penting yakni adanya ketrampilan kerja tertentu, termasuk tenaga wiraswasta yang tangguh. Karena itu dibutuhkan perubahan kelembagaan pada masa sebelum lepas landas, yang akan mempengaruhi pemasokan modal, supaya modal ini bisa menajadi produktif. Perubahan kelembagaan ini akan menghasilkan tenaga wiraswasta dan administrasi serta ketrampilan teknis dan keilmuan yang dibutuhkan. Menurut Hoselitz, pembangunan membutuhkan pemasokan dari beberapa unsur, seperti : pemasokan modal besar dan perbankan, serta pemasokan tenaga ahli dan terampil.
Perspektif umum Teori modernisasi memandang pembangunan merupakan kerja secara Internasional yang didasarkan pada teori keuntungan komparatif yang dimiliki oleh setiap negara mengakibatkan terjadinya spesialisasi produksi pada tiap-tiap negara sesuai dengan keuntungan komparatif yang dimilikinya. Secara umum, di dunia ini terdapat dua kelompok negara : 1) negara yang memproduksi hasil pertanian ; 2) negara yang memproduksi barang industri. Antara kedua kelompok negara ini terjadi hubungan dagang dan keduanya menurut teori di atas saling diuntungkan. Tetapi setelah beberapa puluhan tahun kemudian, tampak bahwa negara-negara industri menjadi semakin kaya sedangkan negara-negara pertanian semakin tertinggal. Ini kemudiaan melahirkan dua kelompok negara yaitu negara-negara miskin yang biasanya meruapakan negara pertanian dan negara-negara kaya yang biasanya adalah negara industri. Teori Modernisasi lebih melihat bahwa kemiskinan ini disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negeri negara yang bersangkutan.
Pembangunan sendiri mempunyai dua unsur utama yaitu masalah materi yang mau dihasilkan dan dibagi, serta masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif yang menjadi manusia pembangunan. Pembangunan tidak hanya berurusan dengan produksi dan distribusi barang-barang material tetapi pembangunan juga harus menciptakan kondisi-kondisi yang membuat manusia bisa mengembangkan kreatifitasnya. Teori Modernisasi mendasarkan selain pada faktor-faktor material sebagai penyebab kemiskinan juga faktor manusia yang ada di dalam negara itu sendiri.
Untuk itu maka negara-negara miskin yang kemudian di petakan dalam negara dunia ketiga dalam perspektif teori modernisasi harus mendapatkan perhatian dari negara maju, dan negara maju harus berupaya menciptakan replikasi model pembangunan bergaya liberal untuk diadopsi negara-negara dunia Ketiga. Pola hubungan ini kemudian melahirkan istilah Developmentalisme yang merupakan bagian penyokong Teori modernisasi, sehingga teori modernisasi juga di kenal dengan teori developmentalisme .
Fenomena ini bisa kita lihat beberapa program yang kini dijalankan antara lain: Program Bantuan Modal Pinjaman Lunak dan Koperasi (BMPLK); Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK) dari BUMN; Dana Bergulir Usaha Kecil Industri dan Dagang (DBUKID); Bantuan Usaha Ekonomi Produktif Kelompok Anggrek dan Pemanfaatan Pekarangan (BUEPKAID); Peningkatan Pelayanan Usaha Sosial Ekonomi Produktif (P2USEP); Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP); Tenaga Kerja Mandiri (TKM); Program GRAMEN BANK; Program Perluasan Kerja Sistem Padat Karya Program Awal Tahun dan Padanan; Program Kompensasi Subsidi Dana Bergulir Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM); Beasiswa Supersemar, Lembaga Keuangan Mikro Badan Usaha Kredit Pedesaan; Pinjaman Tenda Bagi Pedagang Kaki Lima .
Konsep program itu beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi di mana sesorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal. Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Bahkan diantara program tersebut merupakan program-program structural adjustment atau kepentingan dari negara-negara maju yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh model replikasi kebijakan liberal dalam menangani kemiskinan.

b) Perspektif Teori Dependensi dalam melihat Kemiskinan .
Teori Dependensi lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara Dunia Ketiga. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teori dependensi mewakili “suara negara-negara pinggiran” untuk menantang hegemoni ekonomi, politik, budaya dan intelektual dari negara maju. Munculnya teori dependensi lebih merupakan kritik terhadap arus pemikiran utama persoalan pembangunan yang didominasi oleh teori modernisasi. Teori dependensi lahir karena teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan modernisasi membawa kemajuan bagi negara dunia ketiga telah menumbuhkan sikap kritis beberapa ilmuan sosial untuk memberikan suatu teori pembangunan yang baru, yang tentu saja mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan teori yang telah ada. Kritikan terhadap modernisasi yang dianggap sebagai “musang berbulu domba” dan cenderung sebagai bentuk kolonialisme baru semakin mencuat dengan gagalnya negara-negara Amerika Latin menjalankan modernisasinya. Frank sebagai pelopor kemunculan teori dependensi, pada awalnya menyerang pendapat Rostow. Frank menganggap Rostow telah mengabaikan sejarah. Sejarah mencatat bagaimana perkembangan dunia ketiga yang tatanan ekonominya telah dihancurkan oleh negara dunia pertama selama masa kolonial. Pemikiran Frank terus bergulir dan disambut oleh pemikir sosial lainnya seperti Santos, Roxborough, Cardoso dan Galtung.
Teori dependensi merupakan analisis tandingan terhadap teori modernisasi. Teori ini didasari fakta lambatnya pembangunan dan adanya ketergantungan dari negara dunia ketiga, khususnya di Amerika Latin. Teori dependensi memiliki saran yang radikal, karena teori ini berada dalam paradigma neo-Marxis. Sikap radikal ini analog dengan perkiraan Marx tentang akan adanya pemberontakan kaum buruh terhadap kaum majikan dalam industri yang bersistem kapitalisme. Analisis Marxis terhadap teori dependensi ini secara umum tampak hanya mengangkat analisanya dari permasalahan tataran individual majikan-buruh ke tingkat antar negara. Sehingga negara pusat dapat dianggap kelas majikan, dan negara dunia ketiga sebagai buruhnya. Sebagaimana buruh, ia juga menyarankan, negara pinggiran mestinya menuntut hubungan yang seimbang dengan negara maju yang selama ini telah memperoleh surplus lebih banyak (konsep sosialisme). Analisis Neo-Marxis yang digunakannya memiliki sudut pandang dari negara pinggiran.
Dalam perspektif Teori dependensi tentang negara miskin Santos mengamsusikan bahwa bentuk dasar ekonomi dunia memiliki aturan-aturan perkembangannya sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara pusat adalah kapitalisme sehingga menyebabkan timbulnya usaha melakukan ekspansi keluar dan tipe hubungan ekonomi pada negara periferi merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan oleh ekspansi kapitalisme oleh negara pusat. Santos menjelaskan bagaimana timbulnya kapitalisme yang dapat menguasai sistem ekonomi dunia. Keterbatasan sumber daya pada negara maju mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran pada negara miskin. Pola yang dilakukan memberikan dampak negatif berupa adanya ketergantungan yang dialami oleh negara miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara yang terbelakang dalam pembangunan karena tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan negara maju. Negara maju identik menjadi negara pusat, sedangkan negara miskin menjadi satelitnya. Konsep ini lebih dikenal dengan istilah “pusat - periferi”. Pola hubungan antara pusat-periferi ini dijelaskan oleh Frank bahwa kemampuan negara satelit dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap negara pusat sedang melemah. Pendapat ini merupakan antitesis dari modernisasi yang menyatakan bahwa kemajuan negara dunia ketiga hanya dapat dilakukan dengan hubungan dan difusi dengan negara maju .
Tesis yang diajukan oleh Santos adalah pembagian ketergantungan menjadi tiga jenis yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan dan ketergantungan teknologi industri. Ketergantungan kolonial merupakan bentuk ketergantungan yang dialami oleh negara jajahan. Ketergantungan kolonial merupakan bentuk ketergantungan yang paling awal dan hingga kini telah dihapuskan. Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang galian dan hasil bumi dari negara jajahan. Sementara itu, jenis ketergantungan industri keuangan yang lahir pada akhir abad 19, maka ekonomi negara tergantung lebih terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian. Ekspor bahan mentah menyebabkan terkurasnya sumber daya negara, sementara nilai tambah yang diperoleh kecil. Sumbangan pemikiran Santos terhadap teori dependensi sebenarnya berada pada bentuk ketergantungan teknologi industri. Dampak dari ketergantungan ini terhadap dunia ketiga adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta terbatasnya perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri. Asumsi dasar teori dependensi ini menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global (Barat dan Non Barat, atau industri dan negara ketiga), dan kondisi ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah melahirkan pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi dan ekonomi yang rendah diukur dari sistem kapitalis. Hal ini juga mempengaruhi pandangan-pandangan teoritisi Dependensi diatas bahwa kemiskinan di suatu negara disebabkan karena faktor eksternal. Kemiskinan dilihat sebagai akibat dari bekerjanya kekuatan-kekuatan luar yang menyebabkan negara yang bersangkutan gagal melakukan pembangunannya.

C. Akar Permasalahan Kemiskinan di Indonesia
Apabila kita perhatikan kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah bentuk kemiskinan struktural (buatan) karena sebenarnya secara alamiah Indonesia mempunyai potensi dan sumber daya yang cukup untuk tidak mengalami kemiskinan. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya. Struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat dalam pelaksanaan pembangunan serta terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan
Penggalian tentang kemiskinan yang selama ini cenderung dilakukan pada batas angka-angka statistik makro yang kurang mendalam serta tidak detail dalam mengungkap latar belakang masyarakat miskin. Akibatnya tidak dapat melihat persoalan secara komperehensif mengenai dimensi-dimensi kemiskinan, karena sesungguhnya persoalan kemiskinan terkait dan saling mempengaruhi dengan persoalan yang lainnya. Pada sisi lain studi tentang kemiskinan juga cenderung over akademis yang kurang memiliki daya guna pemecahan persoalan yang sifatnya praksis penanggulangan kemiskinan, sekaligus gagal mengungkap akar penyebab kemiskinan.

Ada tiga sisi yang menjadi akar penyebab dari terjadinya kemiskinan struktural yaitu :
1.    Pemahaman akan kemiskinan yang tidak tepat dan sepihak. Kemiskinan lebih dikaji dari aspek ekonomi saja. Aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan persoalan kemiskinan seperti aspek politik, kultural, serta sosial dikaji secara terpisah. Persoalan kemiskinan dipahami tanpa mengkaji dampak dari kebijakan publik atau pemerintah terhadap keberadaan rakyat miskin
2.    Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak melibatkan masyarakat yang terkena sasaran, baik di tingkat perencanaan maupun sampai ke tingkat pelaksanaannya.
3.    Tidak ada evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di perkotaan untuk melihat dampak yang terjadi.
Oleh karena itu sudah seharusnya kita mengerti apa yang menjadi masalah mendasar dalam proses mengentaskan kemiskinan ini. Pemahaman kemiskinan saat ini mempunyai arti yang lebih luas yang didefinisikan sebagai kemiskinan majemuk yaitu suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai manusia. Kebutuhan asasi tersebut meliputi kebutuhan akan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, waktu luang.
Kemiskinan subsistensi pada rakyat miskin kota seperti yang terjadi di Yogjakarta (lampiran) merupakan contoh dimana rendahnya pendapatan, tak terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan, papan serta kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya. Kemiskinan perlindungan karena meluasnya budaya kekerasan atau tidak memadainya sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan dasar rakyat miskin kota; kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola hubungan eksploitatif antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam; kemiskinan pemahaman karena kualitas pendidikan yang rendah, selain faktor kuantitas yang tidak mampu memenuhi kebutuhan; kemiskinan partisipasi karena adanya diskriminasi dan peminggiran rakyat dari proses pengambilan keputusan; kemiskinan identitas karena dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya lokal yang mengakibatkan hancurnya nilai sosio kultural yang ada.
Dimensi kemiskinan majemuk yang dialami masyarakat miskin dapat teridentifikasi dari beberapa aspek berupa rendahnya kesejahteraan, akses pada sumber daya, kesadaran kritis, partisipasi dan posisi tawar. Aspek ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor-faktor yang lain, seperti politik dan sosial budaya, mempunyai peranan yang sangat kuat dalam melatarbelakangi munculnya lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan.
Paradigma ekonomi yang dipakai dalam penyusunan pembangunan, membuat pemilik modal menguasai segala-galanya. Penguasaan ekonomi dengan dalih demi ‘keuntungan bersama’, menjadi penyebab dasar kemiskinan dalam masyarakat dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang semena-mena. Aspek sosial budaya banyak sekali mempengaruhi terjadinya proses pemiskinan. Tradisi yang ada tidak sedikit yang memberikan ‘pembenaran’ dalam pemenuhan kebutuhan dasar. ‘Pembenaran tradisi’ bahwa anak harus ikut menanggung kemiskinan keluarga, di satu sisi memunculkan kasus pekerja anak; dan di sisi lain terjadi pemberontakan yang melahirkan realita anak jalanan pada banyak kota di Indonesia. Modernisasi yang dipaksakan, memunculkan kemiskinan dalam bentuk yang lain. Kepentingan politik tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi. Struktur birokrasi yang tidak aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan banyak kebijakan yang semakin memiskinkan rakyat

d) Adakah kesalahan perspektif pembangunan ?
Bila kita telusuri lebih teliti bahwa kesimpulan yang ditemukan akan lebih memandang bahwa perspektif pembangunan pemerintah selama ini tentang kemiskinan, sebagai realitas yang selalu dilihat dari sudut ekonomi, dimana batasan kemiskinan adalah suatu kondisi di mana orang tidak memiliki harta benda atau mempunyai pendapatan di bawah batasan nominal tertentu. Kemiskinan selalu dilihat bahwa persoalan individu manusia itu kenapa miskin atau persoalan yang ada dalam manusia itu sendiri. Tingkat kemiskinan ini dinilai atau ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran materi yang sudah didefinisikan sebelumnya, seperti: kondisi fisik dari bangunan atau lingkungan permukiman. Pengertian kemiskinan yang ekonomistik ini akan melahirkan bentuk-bentuk kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam bantuan ekonomi saja. Kebijakan pengentasan kemiskinan dari pemerintah melalui program yang ada seperti : program recovery, hanya menjadi program penyaluran dana bantuan saja tanpa mencoba memahami kemiskinan yang menjadi penyebabnya. Kebijakan itu cenderung semakin memiskinkan masyarakat, karena menimbulkan ketergantungan ekonomi, tanpa memberikan solusi untuk lepas dari lingkaran kemiskinan. Perspektif inilah dalam teori pembangunan cenderung mengarah pada perspektif Modernisme
Akibatnya Kebijakan pemerintah yang berkait dengan penanggulangan kemiskinan selama ini tidak memenuhi target dan sasaran; bahkan cenderung memunculkan kemiskinan yang baru sebagaimana dalam artikel (lampiran). Hal ini didasarkan bahwa pemerintah selalu menggunakan prinsip trickle down effect yang melihat bahwa proses pelipatan modal atau keuntungan akan terdistribusi kepada kelompok-kelompok di bawahnya. Seperti program dengan setiap masyarakat dibentuk kelompok, diberi modal, motivasi berwirausaha, kapasitas manajerialnya ditingkatkan, aktivitasnya didampingi, serta dikontrol kinerjanya, namun ini menjadi kontradiktif pemerintah giat membantu permodalan UKM, tapi di sisi lain, kebijakan menaikkan BBM juga mencekik UKM. Belum lagi, pada saat bersamaan, pemerintah mengizinkan membludaknya retail industry seperti mal, hypermart, dan warung kelontong franchise masuk sampai pelosok akibatnya sulit bisa bersaing melawan supermarket. Ada juga kebijakan program lebih merupakan pendekatan ekonomi dengan dasar belas kasihan. Seperti BLT ataupun raskin dinilai banyak kalangan tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan. “Dampaknya seperti orang dikasih ikan yang langsung habis. Kalau kita memberi kail dan umpan, mereka bisa mencari ikan sendiri “.
Selain itu juga ada kebijakan pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan banyak menggunakan dana recovery yang merupakan dana pinjaman atau hutang dari luar negeri. Seperti program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Bahkan diantara program tersebut merupakan program-program structural adjustment atau kepentingan dari negara-negara maju yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh model replikasi kebijakan liberal dalam menangani kemiskinan. Program tersebut banyak memunculkan permasalahan; karena tidak tepat ke sasaran dan pelaksanaan program yang tidak jelas. Program ini tidak hanya menimbulkan pemiskinan secara ekonomi, namun dalam konteks yang lebih luas meliputi sosial, budaya dan politik. Rakyat miskin menjadi sangat tergantung pada bantuan orang lain atau luar negeri dan tidak inisiatif untuk bangkit dari kemiskinan dengan kemampuan sendiri. Beban utang dari dana pinjaman menjadi terbebankan ke rakyat miskin. Perspektif demikian yang oleh Teoritisi dependensi dikatakan bahwa bantuan negara maju dengan melakukan replikasi pembangunan pada negara berkembang terutama replikasi program penanggulangan kemiskinan dengan disertai bantuan atau hutang lunak justru akan menyebabkan ketergantungan pada negara berkembang atau dunia ketiga dan ini justru yang menjadikan penyebab kemiskinan.

4. Kesimpulan
Ada 3 kelompok teori pembangunan yang berkembang di dunia yaitu : 1) Teori modernisasi ; 2) Teori ketergantungan atau lebih dikenal dengan teori Dependensi. ; 3) Teori yang merupakan reaksi terhadap teori ketergantungan atau lebih di kenal Post Modernisme. Dalam melihat masalah kemiskinan Perspektif Teori Modernisasi lebih melihat bahwa kemiskinan ini disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negeri negara yang bersangkutan. Sedangkan pandangan-pandangan teoritisi Dependensi mengatakan bahwa kemiskinan di suatu negara disebabkan karena faktor eksternal. Kemiskinan dilihat sebagai akibat dari bekerjanya kekuatan-kekuatan luar yang menyebabkan negara yang bersangkutan gagal melakukan pembangunannya.
Selama ini di Indonesia perspektif pembangunan pemerintah tentang kemiskinan merupakan suatu realitas yang selalu dilihat dari sudut ekonomi, kemiskinan selalu dilihat bahwa persoalan individu manusia itu kenapa miskin atau persoalan yang ada dalam manusia itu sendiri. Tingkat kemiskinan ini dinilai atau ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran materi yang sudah didefinisikan .Pengertian kemiskinan yang ekonomistik ini akan melahirkan bentuk-bentuk kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam bantuan ekonomi saja. Akibatnya Kebijakan pemerintah yang berkait dengan penanggulangan kemiskinan selama ini tidak memenuhi target dan sasaran; bahkan cenderung memunculkan kemiskinan yang baru. Bahkan banyak program yang memunculkan permasalahan; karena tidak tepat ke sasaran dan pelaksanaan program yang tidak jelas.
Banyak Program kemiskinan ini tidak hanya menimbulkan pemiskinan secara ekonomi, namun dalam konteks yang lebih luas meliputi sosial, budaya dan politik. Rakyat miskin menjadi sangat tergantung pada bantuan orang lain atau luar negeri dan tidak inisiatif untuk bangkit dari kemiskinan dengan kemampuan sendiri. Beban utang dari dana pinjaman menjadi terbebankan ke rakyat miskin. Perspektif demikian yang oleh Teoritisi dependensi dikatakan bahwa bantuan negara maju dengan melakukan replikasi pembangunan pada negara berkembang terutama replikasi program penanggulangan kemiskinan dengan disertai bantuan atau hutang lunak justru akan menyebabkan ketergantungan pada negara berkembang atau dunia ketiga dan ini justru yang menjadikan faktor penyebab kemiskinan.


1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus