Oleh
Erwiza Erman
(Peneliti
di Pusat Penelitian Regional, LIPI)
1. Pendahuluan
Ketika penulis mengikuti sebuah workshop dan
peluncuran buku sejarah lisan di Leiden
pada bulan April 2002, seorang Indolog Belanda menyambut sengit penerbitan buku
tersebut. Ia berkomentar bahwa proyek sejarah lisan yang dirancang oleh KITLV
di Leiden adalah sia-sia, tak ada manfaat dan menghamburkan dana yang begitu
besar. Tentu saja semua peserta workshop terhenyak. Alasannya adalah bahwa
informasi yang diperoleh khususnya dari kesaksian Indo Belanda sudah
diterbitkan dalam berbagai buku, sehingga tak ada tersisa lagi informasi yang
akan digali mengenai masyarakat Indo-Belanda. Di tengah keterhenyakan peserta
workshop, sebagai peserta Indonesia,
penulis memberikan penjelasan khususnya sebagai pengguna pertama --meskipun
masih illegal—hasil wawancara mereka terutama yang berkaitan dengan pengalaman
dan hubungan sosial mandor yang Indo dengan
para penambang Indonesia.
Kritik peserta workshop ini nampaknya tidak membuahkan hasil nyata, karena Buku
yang berjudul ‘Mondeling geshiedenis’
terbitan KITLV, Leiden tersebut kemudian kembali bermanfaat ketika proyek
penelitian mengenai sejarah pembantu yang sedang dilakukan kini oleh salah
seorang kolega penulis. Banyak informasi mengenai pandangan, sikap dan
cara-cara di mana majikan yang Belanda totok atau Indo-Belanda memperlakukan para pembantunya, ditemukan
bermanfaat untuk menganalisa hubungan pembantu dan majikan dalam dunia domestik
yang sangat personal.
Paper ini akan melihat masalah penggunaan
sejarah lisan dalam historiografi Indonesia. Kapan, dan sejauhmana
penggunaan sejarah lisan sebagai sumber penulisan sejarah Indonesia digunakan, untuk apa dan
mengapa diperlukan. Informasi jenis apa yang diharapkan dalam penggunaan
sejarah lisan dan masalah-masalah apa saja yang muncul dalam pelaksanaan
wawancara, bagaimana hubungan pewawancara dan yang diwawancarai, dan bagaimana
cara-cara memberdayakan yang diwawancarai, sehingga muncul informasi-informasi
yang lebih dalam dan rinci mengenai persoalan yang ditanyakan. Lalu bagaimana
pula cara sejarawan membaca informasi yang diproduksi sumber-sumber lisan ini?
Sebelum masuk ke persoalan-persoalan metodologis dan teknis mengenai penggunaan
sumber-sumber lisan dan masalah-masalah yang muncul darinya, bagian pertama
paper ini akan melihat perkembangan historiografi Indonesia dan masalah penggunaan
sumber. Bagian kedua akan melihat historiografi sejarah lisan baik dalam
konteks yang lebih umum dan lalu mencoba melihat perkembangannya di Indonesia.
Bagian ketiga akan melihat penggunaan sumber-sumber lisan, dan masalah-masalah
yang muncul.
2.
Perkembangan Historiografi Indonesia
dan Problematika Sumber
Arah baru perkembangan historiografi Indonesia
sejak tahun 1970an dan 1980an bermula. Tema-tema bergeser dari sejarah
orang-orang besar, tradisi besar ke sejarah orang-orang kecil atau rakyat
biasa. Disertasi Sartono Kartodirdjo mengenai pemberontakan Banten tahun 1888
dengan perspektif yang Indonesia sentris selain membawa perubahan dramatis
terhadap pendekatan dan sumber-sumber yang digunakan, juga telah memperoleh banyak pengikut, terutama dari para
muridnya di universitas Gajahmada dan para sejarawan Indonesia yang dididik di
Belanda dalam program kerjasama Indonesia Belanda. Sejarah pedesaan dengan berbagai tema
bermunculan, seperti gerakan petani, gerakan mesianis, peranan para bekel, tanam
paksa, dan studi berbagai komoditi pertanian seperti lada, tembakau, kopi, untuk
menyebut beberapa di antaranya, cukup memberikan variasi dan diversifikasi yang
kaya mengenai sejarah pedesaan Indonesia, Jawa dan luar Jawa. Walaupun
demikian, periodesasi yang dipilih cendrung periodesasi kolonial dengan
penggunaan sumber-sumber Belanda yang cukup dominan, tetapi dengan pendekatan Indonesia
sentris.
Kecendrungan menjadikan pedesaan sebagai
objek penelitian juga dilakukan oleh para Indonesianis baik yang ada di Belanda, Australia,
Amerika dan Jepang sendiri. Baik dalam rangka memberikan respon terhadap teori
involusinya Geertz mengenai petani Jawa maupun reaksi terhadap pendekatan yang
lebih sosiologis dari Jan Breman mengenai desa-desa di Jawa yang statis, yang
jelas tema-tema seperti kehidupan masyarakat petani di perkebunan tebu oleh
Robert Elson, kaitan pemetaan geografis Jawa, lingkungan, dengan produksi
pertanian, dan penduduk, oleh van der Eng, konjunktur produksi tanaman pokok,
perkembangan demografis dan ekonomi pedesaan, diversifikasi ekonomi pedesaan
Jawa oleh Boomgaard, kaitan antara kemunculan elit dengan komersialisasi
pertanian kopi di Sumatera Barat oleh Elizabeth Graves, kontrol dan mobilisasi
petani masa pendudukan Jepang oleh Aiko Kurasawa, patut diakui sebagai arah
baru yang kaya dalam perkembangan historiografi Indonesia di era tahun 1980an.
Apa yang patut dicatat dari hasil-hasil penelitian mereka ini adalah tidak
berlakunya involusi bagi seluruh petani Jawa, dan melumpuhkan generalisasi yang
dibuat sosiolog Belanda mengenai masyarakat pedesaan Jawa yang tertutup dan
statis sebelum kedatangan pemerintah kolonial Belanda.
Tema-tema lain seperti sejarah intelektual
Islam dan perubahan sosial oleh Taufik Abdullah di Sumatera Barat tahun 1930an,
juga menandai diversifikasi historiografi Indonesia di era tahun 1970an.
Pengikutnya kalau boleh dikatakan demikian, sebagian besar juga telah melakukan
berbagai studi perkembangan intelektual Islam di berbagai daerah. Disertasi
Azumardi Azra mengenai jaringan tokoh-tokoh
gerakan modernis Islam di Sumatera Barat dengan dunia Arab, dan gerakan
modernis Islam di Palembang oleh Jeroen Peter (Belanda) misalnya cukup
memberikan pengayaan mengenai tema sejarah intelektual Islam Indonesia.
Dipelopori oleh A.B. Lapian, sejarah maritim
mulai dikembangkan. Sejarah mengenai bajak laut, raja laut dan seterusnya kini
sudah mengalami pergeseran yang lebih bervariatif dari sudut permasalahan dan
wilayah. Studi tentang bajak laut kini sudah mulai mencakup kawasan Asia
Tenggara dengan diterbitkannya buku Piracy in South East Asia Tenggara tahun
2005 oleh Institut Asia Tenggara di Singapura. Tema-tema juga mengalami
variasi. Misalnya tema organisasi produksi nelayan di Jawa oleh Masyhuri, di
Pekalongan oleh Pudjo Semedi, dan sekelompok sejarawan Semarang yang meneliti
mengenai berbagai pelabuhan seperti perdagangan di pelabuhan Makassar oleh
Edward Polinggomang, buruh pelabuhan Makassar oleh M.Rasyid A, pelabuhan Cilacap
oleh Susanto Zuhdi, dan oleh sekelompok sejarawan dari Universitas Diponegoro,
Semarang (Singgih, Agus Supriyono, Endang Susilowati dan Indrianto) telah dan
sedang mempelajari peranan Laut Jawa,
pelabuhan Semarang, Banjarmasin, dan Surabaya. Dilihat dari tema, wilayah dan
periodesasi, pergeseran sudah mulai terjadi, meskipun masih kecil, tidak hanya
berfokus pada periode kolonial, akan tetapi juga melampaui batas regim. Sebuah
studi longue duree masyarakat maritim,
masyarakat nelayan dan masyarakat pelabuhan, sudah muncul.
Tema-tema lain seperti sejarah perburuhan
baik buruh di sektor pertambangan[2],
perkebunan, buruh perkotaan, dan buruh di perusahaan-perusahaan lain, studi
tentang gender untuk menyebut beberapa di antaranya, mulai dikembangkan di Indonesia.
Misalnya proyek penelitian Urban
Workers: Change and Continuity in Indonesia (1930-1965) yang sedang dalam
proses penyelesaian akhir, kerjasama dengan Nederlands Instituut voor Oorlog
Documentatie (NIOD), Belanda. Fokus perhatian tidak hanya pada buruh di
sektor formal, akan tetapi juga pada orang-orang yang bekerja di sektor
informal seperti pembantu, dan tukang becak.[3]
(Saptari 2005; Erwiza Erman 2005). Sayangnya dalam paper yang terbatas ini
penulis tidak akan memetakan seluruh perkembangan historiografi Indonesia
mutakhir secara rinci berdasarkan tema-tema, periodesasi, pendekatan yang
digunakan serta sumber-sumber yang dipakai.
Persoalannya kemudian tidak hanya pada masalah
bagaimana memperoleh sumber informasi baik tertulis maupun lisan, akan tetapi
juga terletak pada bagaimana merumuskan pertanyaan-pertanyaan. Nampaknya
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terhadap sumber informasi atau terhadap
karya-karya sejarah yang sudah diterbitkan masih konvensional. Persoalan
merumuskan pertanyaan juga menyangkut persoalan pendekatan atau metodologis.
Pertanyaan-pertanyaan baru akan bisa muncul, jika para sejarawan juga berdialog
dengan ilmuwan sosial yang lain. Sayangnya, kondisi seperti itu jarang terjadi
di kalangan sejarawan, tidak hanya di Indonesia, akan tetapi juga di negeri
Belanda. Dialog antar disiplin kurang berkembang. [4]
Di dalam komunitas ilmuwan Belanda yang lebih luas –khususnya ilmuwan
sosial—tetap ada pikiran bahwa sejarah terdiri dari pekerjaan meluruskan fakta,
sejenis pekerjaan jurutulis tingkat tinggi. Kini di Indonesia, diskusi-diskusi
mengenai ‘meluruskan sejarah’ sedang berkembang, khususnya sejak jatuhnya rezim
Orde Baru dan bermulanya era reformasi. Meluruskan sejarah terutama dari
kelompok yang kalah dan dirugikan pada masa peralihan politik Orde Lama ke Orde
Baru, kini sedang berlangsung oleh kelompok tersebut dan juga menjadi
debat-debat di kalangan sejarawan profesional sendiri yang ikut sebagai
jurutulis tingkat tinggi dan yang tidak.
Terlepas dari problem meluruskan fakta
sejarah atau semacam pekerjaan jurutulis
tingkat tinggi, tema-tema baru yang nampak dalam perkembangan historiografi
Indonesia sejak akhir tahun 1980an dan 1990an menuntut informasi yang lebih
bervariasi yang belum tentu dapat ditemukan dalam sumber-sumber tertulis.
Penggunaan sumber-sumber lisan merupakan alternatif penting. Sebelum
menjelaskan penggunaan sumber-sumber lisan dalam historiografi Indonesia umumnya dan problem yang dihadapi,
uraian di bawah ini akan memfokuskan perhatian pada perkembangan historiografi
sejarah lisan baik di luar dan di Indonesia sendiri.
2.
Perkembangan Historiografi Sejarah Lisan
Perkembangan historiografi sejarah lisan
tidak memperlihatkan sebuah garis yang linear. Di Eropa sampai abad ke 19, boleh dikatakan
historiografi sejarah lisan, marginal. Para sejarawan profesional
mendasarkan informasi pada arsip-arsip primer dan sumber-sumber dokumenter
lainnya. Penggunaan dan validitas pembuktian informasi lisan baru muncul
setelah abad ke-19 dan kemudian meningkat sejak Perang Dunia Kedua, seiring
dengan meningkatnya teknologi rekaman melalui tape recorder. Waktu dan pola kebangkitan sejarah lisan
ini tentu saja berbeda dari suatu negara dengan negara lain. Di Amerika
Serikat, pada tahun 1948 kegiatan sejarah lisan dipelopori oleh Universitas
Colombia, yang memfokuskan perhatian pada elite, sementara di Inggris dalam
tahun 1950an dan 1960an, lebih tertarik merekam pengalaman ‘ordinary working
people’. Pilihan subjek semacam ini tidak bisa dilepaskan dari komitmen politik
negara itu. Proyek sejarah lisan di negara ini
dipelopori oleh para sejarawan sosial yang melihat ‘history from below’. [5]
Meskipun kemunculan sejarah lisan dan
pola-pola perkembangannya bervariasi dari satu negara ke negara lain, tetapi
ide-ide dan debat-debat tentangnya terbukti sangat kritis dalam membentuk
pendekatan kontemporer untuk sejarah lisan dan terbukti juga sangat
mempengaruhi para sejarawan sejarah lisan di berbagai belahan dunia. Di era
1970an, muncul kritik terhadap sejarah lisan mengenai keakuratan pembuktian
sumber-sumber lisan. Mereka beragumen bahwa memori tidak dapat digunakan
sebagai sumber sejarah yang akurat. Kritik-kritik semacam ini ditangkis oleh
Paul Thompson dengan menerbitkan buku yang berjudul The Voice of the Past: Oral History yang menjadi buku standar untuk
para sejarawan lisan di berbagai belahan dunia. Buku ini diterbitkan pada tahun
1978. Ia beragumen bahwa sejarah lisan telah membawa pergeseran dalam fokus dan
membuka areal penelitian baru, dan juga menemukan informasi baru yang tak ada
dalam sumber-sumber lisan. Sebagai seorang sejarawan sosialis Inggris, Thompson
menghasilkan sebuah buku ‘The making of English Working Class’,[6]
yang membahas tidak hanya masalah disiplin kerja, akan tetapi juga
pengalaman-pengalaman buruh Inggris dan budaya mereka dengan informasi yang
diperoleh dari wawancara. Buku ini kemudian menjadi buku pegangan bagi para
peneliti sejarah buruh, karena membuka tabir mengenai pengalaman-pengalaman
budaya yang memberikan referensi terhadap politik buruh di tempat kerja.
Di Amerika Serikat, beberapa sejarawan yang
mendasarkan penelitiannya pada sumber-sumber lisan, menemukan bahwa sejarah
lisan menjadi ‘alat yang kuat untuk menganalisa dan mengevaluasi sifat dari proses
memori sejarah. Artinya bagaimana
orang mengartikan masa lalunya, bagaimana mereka menghubungkan pengalaman
individu dan konteks sosialnya, bagaimana masa lalu menjadi bagian dari masa
kini, dan bagaimana orang menggunakan sumber-sumber lisan untuk
menginterpretasikan kehidupan mereka dan dunia yang mengitarinya.[7] Pendekatan-pendekatan
baru dalam sejarah lisan ini disampaikan dalam sebuah seminar internasional
pertama yang diadakan di Essex, Inggris pada tahun 1979, dan diterbitkannya
sebuah jurnal internasional mengenai sejarah lisan pada tahun 1980. Sejarah
sebagaimana selalu disitir oleh para sejarawan konvensional sebagai ‘sesuatu
yang sebenarnya terjadi’ di sini mengalami transformasi. Penulisan sejarah dan
pendekatan terhadap sejarah lisan bukan lagi semata-mata sebagai pekerjaan
mencari keakuratan data, seperti tanggal, tempat dan sebagainya, akan tetapi
yang penting juga adalah mencari peranan subjektivitas dalam sejarah, seperti
pengertian-pengertian yang sadar dan tidak sadar mengenai pengalaman
sebagaimana dihidupkan, dan diingat. Sejarah lisan juga memperlihatkan
bagaimana pengaruh budaya publik dan ideologi atas memori individu atau memori
kolektif yang bisa saja diungkapkan dalam bentuk diam dalam wawancara.
Pendekatan-pendekatan semacam ini menandai perkembangan baru dalam sejarah
lisan yang digagas oleh sejarawan Itali, Luisa Passerini.[8] Alessandro
Portelli yang juga sejarawan Itali
memberikan argumentasi terhadap eksistensi penggunaan sejarah lisan yang tetap
dikritik keakuratannya. Apa yang membuat sejarah lisan berbeda menurutnya
adalah pada ‘orality, narrative form,
subjectivity, the different credibility of memory’, dan juga hubungan
antara pewawancara dan yang diwawancarai yang semuanya itu lebih merupakan
kekuatan, sumber informasi daripada memperlihatkan kelemahan dan problematikanya.[9]
Perkembangan historiografi sejarah lisan
pada tahap berikutnya juga mengalami kritik dari segi pendekatan. Memori dari
kelas buruh Turin di Italy yang direkam oleh Passerini juga mendapat kritik,
terutama dari kelompok sejarawan yang bekerja di Centre for Contemporary Cultural
Studies’ di Birmingham, Inggris. Meskipun Passerini mampu menganalisa pengalaman
subjektif dari kelas buruh untuk ‘mengungkapkan dirinya’, tetapi ia tidak
melihat bagaimana memori kelas buruh yang tertekan ini dipengaruhi oleh
sejarah-sejarah dominan. Karena
itu informasi yang diperoleh dari sumber-sumber lisan kelas buruh ini
memerlukan intrepretasi yang kritis.[10]
Memori-memori perorangan itu semestinya ditempatkan dalam proses yang lebih
luas dari ‘produksi sosial dari memory’ atau memori perorangan juga harus
ditempatkan dalam konteks ‘popular memory’. Karena itu ada kaitan erat antara
kesaksian-kesaksian lisan yang diperoleh dari memori perorangan dan memori sosial.
Dilihat dari sudut
pendekatan, perkembangan historiografi sejarah lisan kemudian menjadi semakin
kompleks, karena dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan metodologis dan
teoritis ilmu sosial seperti pendekatan post-strukturalis dan post-modernis.
Perkembangan-perkembangan ini membawa perubahan dalam pendekatan sejarah lisan.
Isu-isu di seputar hubungan-hubungan sejarah lisan dan
interkoneksi antara ‘language, power and meaning’ didiskusikan. Joan Sangster, sejarawan Kanada telah
menjelaskan misalnya debat-debat feminis mengenai konstruksi sosial dari
memori, dilema-dilema etik sejarah lisan, dilema-dilema teoritis yang dilakukan
dengan pendekatan post-strukturalis dan post-modernis.[11]
Tanpa dasar yang kuat, katanya, narasi-narasi lisan dalam konteks sosial dan
materialnya, pemahaman mengenai bentuk narasi dan tentang representasi bisa
jadi tak ada kaitan dengan kritik terhadap penindasan dan ketidaksamaan, misalnya di kalangan buruh dan antara
buruh perempuan dan laki-laki. Disadari atau tidak, pendeknya semakin banyak
kritik dan pendekatan-pendekatan baru dalam penggarapan sejarah lisan pada
gilirannya semakin memerlukan pendekatan yang kompleks pula, interdisiplin. Pendekatan-pendekatan
untuk melakukan wawancara dan menginterpretasikan hasil wawancara membutuhkan
alat dari berbagai disiplin ilmu sosial lain, apakah itu dari studi-studi
budaya, bahasa, antropologi dan studi-studi komunikasi atau karya-karya yang
berkaitan, misalnya dalam mencari informasi dan menginterpretasikan hasil
informasi lewat sejarah lisan, misalnya mengenai identitas, memori dan narasi
perorangan.
Pertanyaannya kini adalah sejauhmana perkembangan
historiografi sejarah lisan di Indonesia? Di Indonesia, proyek sejarah lisan baru
dikembangkan di bawah koordinasi Arsip Nasional pada tahun 1970an. Mengikuti
perkembangannya di Amerika, fokus perhatian sejarah lisan ini lebih pada
kelompok elit; bekas menteri, para pemimpin partai politik, militer, dan para
pemimpin PRRI/Permesta. Selain itu, periode pendudukan Jepang pada tahun
1980an, juga menjadi fokus perhatian. Persoalan-persoalan seperti Tonarigumi,
Keibodan, Seinendan, Fujinkai dan Gyugun, menjadi fokus perhatian para peneliti
sejarah lisan.[12] Ada usaha-usaha untuk
melebarkan sayap sejarah lisan ke daerah-daerah, akan tetapi sejauhmana
usaha-usaha itu dicapai, kurang diketahui. Sayangnya, penulis tidak memiliki
informasi yang memadai sejak tahun 1988, ketika tidak lagi berkecimpung dalam
proyek sejarah lisan ARNAS-RI, untuk mengetahui seberapa jauh pemilihan tema
dan pendekatan-pendekatan metodologis terhadap sejarah lisan.
Perkembangan sejarah lisan akhir-akhir ini
agaknya cukup menggembirakan, karena selain Arsip Nasional, ada berbagai
organisasi sosial atau institusi yang mencoba mengembangkan sejarah lisan untuk
berbagai tema. Tema yang kini banyak diminati misalnya tentang sejarah lisan kelompok
korban PKI, dan mengenai romusha yang dilakukan oleh periset dari Yale
University bekerja sama dengan beberapa peneliti di Yogyakarta, dan kelompok
sejarawan di Makassar mengenai periode masa pendudukan Jepang. Selain itu ada
lagi kelompok sejarawan yang tergabung dalam proyek Indonesian Across Orders yang didanai oleh Institut Perang dan
Dokumentasi Belanda dengan berbagai tema, seperti simbolisme kota, buruh
perkotaan, prostitusi, pembantu, dan tukang becak, penenun Yogyakarta, untuk
menyebut beberapa di antaranya, yang pada dasarnya memperlihatkan keberagaman tema dan kelompok
dan kelas sosial.
Dilihat dari perkembangan historiografi Indonesia dan sekaligus historiografi sejarah
lisan Indonesia,
nampak ada pergeseran tema dari yang berfokus pada elit ke kelompok sosial
kelas bawah. Dengan begitu, manusia tanpa sejarah atau “people without history”
seperti diistilahkan oleh Eric Wolf [13]
akan memiliki sejarahnya sendiri dan bukan lagi sebagai sebuah kelompok sosial
yang memiliki ‘hidden history’. Sudah tidak diragukan lagi bahwa keberagaman
tema dan fokus perhatian pada berbagai kelompok sosial tidak saja menandai arah
baru dalam perkembangan historiografi Indonesia, juga menandai perubahan
radikal dalam penggunaan sumber-sumber lisan. Sejauhmana kajian subaltern history atau sejarah kelompok
bawah dari perspektif orang bawah diungkapkan dalam penulisan sejarah Indonesia, nampaknya masih jauh dari harapan,
apalagi dibandingkan dengan tetangga sesama Asia, India.[14]
Pertanyaan kini dapat diajukan adalah
seberapa jauh pendekatan metodologis memberikan dasar terhadap pelaksanaan dan
penggunaan sejarah lisan tersebut, belumlah diketahui. Bagian di bawah ini akan
melihat penggunaan sejarah lisan.
3. Penggunaan Sejarah Lisan: Antara Objek dan
Konteks
Sejarah lisan
adalah salah satu sumber informasi bagi para sejarawan atau bagi para ilmuwan
sosial lain yang menggunakan pendekatan sejarah untuk objek studinya. Pada saat ini sumber-sumber informasi lain selain sumber-sumber
tertulis semakin beragam, seperti foto, film, peninggalan budaya materi (material culture), dapat dijadikan
sumber informasi yang dapat melengkapi gambaran masa lalu lebih komprehensif.
Foto dan film juga akan membantu menggali sejarah lisan lebih kaya, karena
dapat membangkitkan memori individu, keluarga maupun komunitas dan mungkin
sekali memori mengenai tempat, peristiwa dan sebagainya.
Sebagaimana dijelaskan dalam uraian
terdahulu, bahwa perkembangan historiografi sejarah lisan pada skala
internasional dan nasional telah memungkinkan kita tidak lagi semata-mata bergantung
pada sumber-sumber tertulis. dapat
mengungkapkan pengalaman orang-orang yang disembunyikan dari sejarah. Pengalaman-pengalaman pribadi baik secara
individu maupun keluarga dan komunitas mereka. Perkembangan historiografi
Indonesia dan sekaligus perkembangan sejarah lisannya memang sudah mulai
menyintuh pengalaman orang-orang yang tanpa sejarah ini. Yang penting juga
adalah bahwa ada hubungan yang interaktif, tatap muka antara pewawancara dengan
yang diwawancarai, suatu kesempatan yang jarang dan susah dicari.
Kemajuan-kemajuan
teknologi telah memungkinkan orang merekam sejarah dari komunitas, dan kelompok
sosial manapun, baik kelompok elit maupun kalangan kelas bawah. Oleh karena
sumber-sumber sejarah kelompok sosial kelas bawah ini tersembunyi dari sejarah
ataupun kurang memiliki sumber-sumber tertulis, maka dengan sejarah lisan,
pengalaman-pengalaman mereka dapat direkam. Karena itu, dalam beberapa kasus
sejarah lisan bisa menjadi tulang punggung dari apa yang kita miliki sebagai
bahan sumber. Dari pengalaman penulis meneliti sejarah sektor informal, tukang
becak sekarang ini memperlihatkan bahwa sejarah lisan digunakan sebagai bahan
pokok untuk menulis sejarah becak. Hal yang sama misalnya juga terjadi dengan
kasus sejarah pembantu rumahtangga di Indonesia. Ranah domestik dalam sebuah
rumahtangga apakah itu keluarga Belanda, Belanda Indo, Cina, Arab dan Indonesia
baik periode kolonial, masa pendudukan Jepang dan kemerdekaan adalah ranah yang
rahasia.
Sejumlah
pertanyaan bisa diajukan, tidak hanya kepada pembantu atau tukang becak, akan
tetapi juga kepada majikan atau tauke mereka. Bagaimana pembantu atau tukang
becak direkrut, diatur ke dalam sebuah organisasi kerja, dan bagaimana pula
disiplin kerja mereka, hubungan antara penarik dan pemilik becak, antara
pembantu dengan majikan atau di kalangan pembantu atau penarik becak sendiri.
Bagaimana pandangan tukang becak terhadap tauke atau sebaliknya, dan bagaimana
pula pandangan mereka terhadap dirinya sendiri. Pendek kata, sejarawan bisa
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih detil mengenai pengalaman, sikap
dan pandangan kelompok kelas bawah ini. Sebuah gambaran yang lebih rinci mengenai
kelompok kelas bawah ini akan bisa diperoleh. Interaksi
tatap muka semacam itu betul-betul tidak ada dari sumber-sumber tertulis.
Karena itu, interaksi itu menawarkan kemungkinan untuk sejarawan lebih selektif
dalam pengumpulan sumber-sumber informasi.
Sekurang-kurangnya ada dua hal yang nampak
perlu dipertimbangkan sejarawan yang menggunakan sumber-sumber lisan ini.
Pertama adalah sikap kritis, seperti halnya juga menghadapi sumber-sumber
tertulis. Dalam beberapa kasus penggunaan sejarah lisan, nampak penyerapan
informasi tanpa hati-hati dari sumber-sumber lisan. Sejarawan semestinya harus
kritis menggunakan sumber-sumber lisan, mencek kebenaran sumber-sumber
informasi yang diterima dengan sumber-sumber lain, termasuk dengan informan
lain. Selanjutnyam sejarawan juga tahu
latar belakang pengkisah, fungsinya, atau tempatnya dalam sebuah famili,
keluarga, komunitas, etnisitas, agama, laki-laki-perempuan, status di tempat
kerja, organisasi sosial, organisasi politik, pemerintahan dan seterusnya,
karena reproduksi memori yang disampaikan tidak bisa lepas dari
latarbelakangnya.
Memori yang
dituangkan ke dalam rekaman adalah sebuah proses yang kompleks dan selektif. Memori
bukanlah sebuah proses tindakan mental yang sederhana dan bahkan kata-kata yang
digunakan untuk menguraikan tindakan (mengakui, mengingat, dan mengucapkan
kembali dan menjelaskan) memperlihatkan bahwa ‘memori’ dapat memasukkan apa
saja mulai dari yang bersifat pribadi (private life) sampai ke yang bersifat
publik. [15] Memori yang selektif bisa dilihat dari apa yang dikatakan dan yang tidak
dikatakan, apa yang senang diungkapkan dan apa yang tidak senang diungkapkan
atau disembunyikan, apa yang bisa diungkapkan hari ini, dan apa yang bisa
diungkapkan pada hari lain. Penyeleksian dalam pengungkapan memori masa lalu
itu juga memiliki politiknya sendiri, seperti dielaskan oleh Joanne Rappaport.[16]
Kondisi semacam ini akan terlihat selama wawancara berlangsung. Sejarawan
semestinya dapat membaca dengan kritis tentang hal ini. Biasanya tanda-tanda
pengungkapan senang dan tidak senang misalnya dibantu dengan bahasa tubuh,
dengan berbagai gerakan atau mimik dan tanda-tanda lain yang memperlihatkan
sikap yang diwawancarai. Karena itu rekaman video yang berlangsung selama
wawancara amat membantu menangkap suasana itu. Atau cara lain adalah dengan memberikan
laporan keadaan respon yang diwawancarai baik pada waktu kontak-kontak pertama
ataupun juga selama wawancara berlangsung, suasana rumah, keluarga dan
lain-lain. Boleh jadi hal ini akan mempengaruhi yang diwawancarai untuk
mengungkapkan pengalamannya dan pandangannya tentang sesuatu yang dialami.
, yakni
menempatkan objek dalam konteks yang lebih luas. Kedua, adalah masalah
pendekatan Ini juga merupakan permasalahan yang dihadapi sejarawan yang
menggunakan sumber-sumber lisan dalam kasus tim penelitian kami. Informasi
rinci yang diperoleh sejarawan bisa jadi merupakan kelemahan dan kekuatan.
Kekuatannya memang terletak pada informasi yang detil. Kelemahannya adalah bahwa
sejarawan akan terpuruk pada pengalaman individu yang detil, akan tetapi lupa
pada konteks. Kondisi ini diibaratkan seperti mengetahui dengan rinci pohon-pohon
dengan ranting, daun, bunga, buah dan seterusnya, akan tetapi lupa di hutan
mana pohon itu tumbuh, berkembang dan mati. Agar tidak hilang di hutan
belantara, maka jenis hutan harus diketahui. Interelasi dan interkoneksi antara
objek, orang yang diwawancarai dengan konteks sosial-politik dan ekonomi yang
lebih luas, baik dalam skop keluarga, tetangga, komunitas, lokal dan nasional,
sepatutnya diperhatikan. Dengan begitu makna penulisan sejarah dari
sumber-sumber lisan bisa dipetik.
4. Beberapa Catatan
Historiografi
Indonesia mengalami perkembangan dari segi tema, wilayah dan periodesasi dan
pendekatan. Mulai dari tema petani, pedesaan, lalu berkembang sejarah
intelektual, masyarakat maritim, perkotaan, hubungan kerja di berbagai sektor
ekonomi formal dan informal. Periodesasi tidak lagi semata-mata menitikberatkan
pada sejarah kolonial, akan tetapi mulai melakukan pendekatan studi yang longue
duree ala Braudel, dari periode kolonial sampai ke periode Orde Baru, dengan
wilayah yang tidak lagi terkonsentrasi pada Jawa, akan tetapi sudah mulai
merambah daerah luar Jawa.
Sementara itu,
historiografi sejarah lisan juga mulai mengalami perkembangan, mula-mula
dianggap marginal, kemudian setelah menerima berbagai kritik dari para
sejarawan konvensional, masuk ke dalam arena yang penting sambil memperbaiki
pendekatan dan sistem metodenya. Dalam kasus Indonesia, perkembangan historiografi
sejarah lisan secara institusional dimulai dari Arsip Nasional, mula-mula
dengan tema yang lebih elitis, dan kemudian tumbuh pusat-pusat kajian di luar
instansi resmi dengan tema yang lebih bervariasi. Sejarah lisan dapat dianggap
sebagai sejarah alternatif.
Penggunaan sejarah
lisan nampaknya berjalan sejajar dengan perkembangan historiografi Indonesia
dan historiografi sejarah lisan. Walaupun demikian,
cara-cara di dalam mana sejarawan menggunakan sumber-sumber lisan, membaca
memori yang sampai kepadanya masih menjadi problematis. Sikap kritis dan
menempatkan objek (memori) dalam konteks yang lebih luas semestinya
dipertimbangkan, agar sejarawan tidak terperosok ke dalam detil-detil yang tak
bermakna.
[1] Paper disampaikan dalam workshop Sejarah Sejarah, Makassar, …(nanti
Ibu cek lagi tgl dan tempatnya).
[2] Untuk sektor pertambangan, lihat Erwiza
Erman, Pengusaha, koelie dan Penguasa;
Sejarah Tambang Timah di Belitung, 185-1942. Jakarta:
Sinar Harapan, 1995; Idem, Membaranya
batubara; Konflik Kelas dan Etnik di tambang Batubara Ombilin, Sawahlunto,
1892-1996, Jakarta:Desantara,
2005.
[3] Ratna Saptari, “Sejarah Pembantu di Tiga Kota Indonesia
1930-1965”, Erwiza Erman, ‘Dinamika Politik Ekonomi Tukang Becak, 1930-1965”, paper-paper ini dipresentasikan dalam
workshop “Urban Workers, Change and Continuity in Indonesian History”, Jakarta,
Hotel Bumi Karsa, 23-24 Agustus 2005.
[4] Heather A, Sutherland, “Writing Indonesian History in the Netherlands;
Rethinking the Past”, dalam BKI, 150-IV (1994).
[5] Uraian yang rinci mengenai perkembangan
sejarah lisan dan debat-debat yang menyertainya, lihat Robert Perks and
Alistair Thomson, The Oral History Reader,
London and New York: Routledge, 1998:1-8.
[6] The Making of the English Working Class. London: Pelican Books/Penguin, 1963.
[7] M. Frisch, A Shared Authority; Essays on
the Craft and Meaning of Oral and Public History, Albany, State University
of New York Press, 1990: 188; Mengenai hubungan antara memori dan sejarah lihat
misalnya A. Thompson, M.Frisch and P. Hamilton, ‘The memory and history
debates: Some international Perspectives’ dalam Oral History, 1994, vol. 22 no.2, pp.33-43.
[8] Luisa Passerini, Fascism in Popular Memory: The Cultural Experience of the Turin Working
Class, Cambridge: Cambridge University
Press, 1987; ‘Work ideology and consensus under Italian fascism’ dalam Robert
Perks and Alistair Thomson, The Oral
History Reader, London
and New York:
Routledge, 1998:53-62.
[9] A. Portelli, The Death of Luigi Trastulli and Other Stories: Form and Meaning in
Oral History. Albany: State University of New York Press, 1991; ‘What makes
oral history different’ dalam Robert Perks and Alistair Thomson, The Oral History Reader, London and New York: Routledge, 1998: 63-75.
[10] Robert Perks and Alistair Thomson, The Oral History Reader, London and New York: Routledge,
1998:4.
[11] Robert Perks and Alistair Thomson, The Oral History….p.4.
[12] JR. Chaniago (ed.), Di bawah Pendudukan Jepang, Jakarta:
ARNAS-RI. 1985.
[13] E.R.Wolf, Europe and the
People without History. Berkeley/Los Angeles/London: University of California
Press, 1982.
[14] Subaltern
history pada awalnya dikembangkan oleh sejarawan India
pada penghujung tahun 1980an. Melalui fusi pendekatan Sejarah dan Antropologi,
disebut juga sebagai sejarah alternatif, sebagai reaksi terhadap sejarah
nasional India
yang standard an ‘neo-imperialis’Ada sebelas jilid buku sejarah subaltern yang telah
diterbitkan. Terlepas dari kritik yang diajukan terhadap pendekatan ini, yang
jelas bahwa pengaruh sejarah subaltern juga sudah meluas, misalnya ke Amerika
Latin. Untuk melihat uraian rinci mengenai fusi sejarah dan antropologi dalam
proyek studi subaltern. Esei di bawah ini menjajaki perubahan-perubahan
mertode, asumsi dan proposisi dalam studi Subaltern untuk mengidentifikasi
masalah-masalah dan kemungkinan dari sejarah antropologi ketika mode analisis
digunakan untuk pertanyaan-pertanyaan mengenai kolonialisme, resistensi dan
kekuasaan. Lihat K Sivaramakrishnan, “Schools and Scholars: Situating the
subaltern: History and Antropology in the Subaltern Studies Project”, dalam
jurnal Historical Sociology vol. 8
no.4, December 1995: 395-429.
[15] James Fenress and Chris Wickham, Social Memory: New Perspectives on the Past, Cambridge,
Massachusetts: Blackwell
Publishers, 1992: X-XI.
[16] Joanne Rappaport, The Politics of Memory;
Native Historical Interpretation in the Colombian Andes, Durham
dan London:
Duke University Press, 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar