Menurut William Kristol, Leo strauss telah melakukan “restorasi” terhadap ilmu politik dengan “menempatkan masalah rejim dalam garis depan analisis.”[i] Rejim, “the nature of internal ordering of political community”[ii], bagaimana tatanan komunitas politik dijalankan, memang sebaiknya menjadi juga titik tolak analisis kita terhadap realitas politik yang sekarang berjalan ini. Pergerakan Kebangsaan melihat, baik Orde Baru maupun “Orde Reformasi” masih ada dalam perahu rejim yang sama, yaitu rejim senyawa oligarki politik dan pemburu rente.
Bedanya
adalah, dalam masa Orde Baru, oligarki politik melahirkan pemburu rente
sedangkan dalam reformasi ini, pemburu rente melahirkan oligarki
politik.
Sebagai akibat dari oligarki politik (yang cenderung monopolar) melahirkan pemburu rente di masa Orde Baru maka otoritarianisme
kemudian muncul sebagai “rejim selimut” dari rejim yang sebenarnya,
yaitu senyawa oligarki politik-pemburu rente itu. Sedangkan di masa
reformasi di mana pemburu rente melahirkan oligarki politik (yang
cenderung multipolar), “rejim selimut” yang muncul adalah rejim poliarki elektoralisme.
“Rejim selimut” ternyata tidak hanya satu, baik dalam masa Orde Baru maupun reformasi. Selimut paling luar adalah sama, yaitu demokrasi.
Bahkan semasa Orde Baru demokrasi itu dilegitimasi oleh penguasa dengan
memakai istilah “demokrasi Pancasila”. Pancasila kemudian dipakai
sebagai legitimasi sekunder secara sewenang-wenang. Sedangkan di masa reformasi, demokrasi kemudian ditekankan atau dilegitimasi kepada aspek prosedural. Secara skematis dapat dibuat gambaran sebagai berikut:
|
Orde Baru
|
Reformasi
|
Rejim yang asli
|
Senyawa Oligarki Politik dan Pemburu Rente
(Oligarki politik yang cenderung monopolar kemudian melahirkan pemburu rente)
|
Senyawa Oligarki Politik dan Pemburu Rente
(Pemburu rente kemudian melahirkan oligarki politik yang cenderung multipolar)
|
“Rejim selimut” I
|
Otoritarianisme
|
Poliarki elektoralisme
|
“Rejim selimut” II (yang ‘disampaikan’ pada rakyat)
|
Demokrasi
|
Demokrasi
|
Dari skema di atas maka apa yang ditulis oleh Alvin Toffler dalam bukunya Power Shift
seakan menjadi semakin jelas. Toffler berpendapat ada tiga sumber
kekuasaan yang mengalami pergeseran. Tiga sumber kekuasaan itu adalah fisik, uang, dan pengetahuan.
Pada jaman dulu, kekuatan fisik akan mengintegrasikan uang dan
pengetahuan. Siapa kuat dia akan memimpin. Ini kemudian bergeser, uang
yang akan mengintegrasikan fisik dan pengetahuan. Menurut Alvin Toffler,
memasuki abad-21, pengetahuan akan mengintegrasikan uang dan fisik.
Masalahnya jika kita bicara dalam ranah politik, pengetahuan politik
yang macam mana yang akan mampu mengintegrasikan fisik dan uang itu?
Leo
Strauss memandang politik dalam masa modernitas ini telah mendorong
para pemimpinnya meletakkan dasar keputusan dan sikapnya pada sain atau
teori. Maka, menurut Strauss, pemimpin-pemimpin Amerika Serikat kemudian
melatih dirinya dengan ketrampilan-ketrampilan seperti kemampuan
analisis cost-benefit, game theory, teori tentang mengambil keputusan, dan macam-macam skema intelektual lainnya.[iii]
Sain
dan teori memang diperlukan dalam satu proses mengambil keputusan,
misalnya. Tetapi ada sisi yang harus kita waspadai, yaitu saintisme.
Contoh saintisme ini adalah, ketika sain dan teori berhasil membuat
sebuah sistem yang diyakini –katakanlah, paripurna, maka SBY selaku
presiden selalu mengulang-ulang kata “sistem sudah berjalan”. Jika
kerjaan seorang pemimpin politik kemudian diserahkan semata pada sistem,
di mana keringat yang semestinya keluar dari tubuh manusia itu akan
keluar?
Kemungkinan saintisme inilah yang kemudian bisa kita koreksi melalui fenomenologi. Melalui fenomenologi, masalah phronesis (practical wisdom / prudence),
atau kapasitas keutamaan moral manusia untuk memahami situasi-situasi
praktis dan bertindak dalam jalan yang bijaksana, bisa saja kita temukan
sebagai yang hilang dalam saintisme, dan ‘penemuan’ ini kemudian dapat
kita gunakan untuk mengkoreksinya. *** (28/03/2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar