Sabtu, 16 Juni 2012
KONFLIK DAN INTEGRASI DALAM AGAMA MASYARAKAT JAWA
Ruang lingkup data penelitian Clifford Geertz, dalam ‘The Religion of Java’ (1960), adalah meliputi masyarakat Jawa di Mojokuto yang dilihatnya sebagai suatu sistem sosial, dengan kebudayaan Jawanya yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik, yang terdiri dari atas tiga sub-kebudayaan Jawa. Menurutnya, masing-masing dari komponen masyarakat ini merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Dalam hal ini, Geertz mencatat bahwa; (1) ada dua instansi pemerintah yang penting di Mojokuto, karena kota itu tidak hanya merupakan kewedanaan [yang mencakup lima kecamatan dan berada di bawah pemerintah daerah kabupaten dengan ibukota Bragang], tetapi juga kecamatan [yang memiliki delapan belas desa dengan jarak lima belas kilometer dari kota]; (2) ada lima jenis mata pencaharian pokok yang dapat dikelompokkan berdasarkan kegiatan ekonomi, yaitu petani, pedagang kecil, pengrajin bebas, buruh kasar dan pegawai, guru atau karyawan administrasi, yang mewakili penduduk Jawa asli di Mojokuto. Tipologi pekerjaan yang telah berpola ini mencerminkan dasar organisasi sistem ekonomi kota yang menjadi sumber pembentukan tipologi tersebut; dan (3) ada tiga inti struktur sosial di Jawa sekarang ini; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah, yang masing-masing diambil dari pengertian yang lebih luas dari biasanya. Dewasa ini, sistem keagamaan desa biasanya terdiri dari suatu integrasi yang berimbang antara nsur-unsur Animisme, Hindu, dan Islam; suatu sinkretisme orang Jawa yang merupakan tradisi rakyat yang sebenarnya di pulau itu. Meskipun demikian, tidak banyak petani yang mengalami sinkretisme ini, tetapi banyak juga penduduk kota. Sebab, kebanyakan petani kelas rendah atau anak-anak petani tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori ini.
Geertz mendeskripsikan juga bahwa; (1) Desa di Jawa sama usianya dengan orang Jawa itu sendiri. Karena, ia mengasumsikan bahwa orang-orang Melayu Polynesia yang datang ke pulau ini sudah memiliki pengetahuan tentang pertanian. Evolusi desa di Jawa sampai kepada bentuknya sekarang dalam setiap tahapnya diatur dan diberi corak oleh sistem keagamaan yang kurang lebih diunifikasi, sedangkan sistem itu sendiri juga mengalami perkembangan. Tradisi keagamaan ‘abangan’ memiliki corak khas ritual yang disebut dengan selametan, kepercayaan yang kompleks mengenai mahluk halus (sihir dan ilmu ghaib), serta seperangkat teori dan praktek pengobatan. Sistem ini diasosiasikan secara luas dan umum dengan struktur desa orang Jawa; (2) pasar dipahami dalam pengertian yang luas sehingga meliputi seluruh hubungan dagang di pulau tersebut. Penekanan Islam yang lebih murni merupakan subtradisi di kalangan pedagang secara keseluruhan. Tradisi keagamaan ‘santri’ adalah subvarian kedua sistem keagamaan orang Jawa pada umumnya, yang tidak hanya terdiri dari pelaksanaan tertib rukun Islam, tetapi juga keseluruhan yang kompleks dari organisasi sosial, kedermawanan, dan Islam politik; dan (3) Kota di sini merupakan tempat elit pegawai yang berakar pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, yang memelihara dan mengembangkan etiket keraton yang halus, kesenian yang kompleks, dan mistisisme Hindu-Budha. Tradisi keagamaan ‘priyayi’ merupakan gaya hidup yang tetap mennjadi model tidak saja untuk kalangan elit, tetapi dengan berbagai cara juga menjadi model bagi seluruh masyarakat.
Struktur-struktur sosial—dengan perbedaan latar belakang sejarah kebudayaan dan perwujudan citra agama asing-masing—yang dimaksud oleh Geertz ini adalah: Pertama, Abangan; yang intinya berpusat di pedesaan, menekankan pentingnya aspek-aspek animistik, yang diwujudkan dalam pesta-pesta ritual yang berkaitan dengan saha-usaha untuk menghalau berbagai mahluk halus jahat yang dianggap sebagai penyebab dari ketidakaturan dan kesengsaraan dalam masyarakat, agar ekuilibrium dalam masyarakat dapat dicapai kembali. Kedua, Santri; yang intinya berpusat di tempat-tempat perdagangan atau pasar, menekankan aspek-aspek Islam, dan diwujudkan pada tindakan-tindakan keagamaan dan upacara-upacara sebagaimana digariskan dalam Islam. Ketiga, Priyayi; yang intinya berpusat di kantor-kantor pemerintahan atau perkotaan, menekankan aspek-aspek Hindu, dan diwujudkan dalam berbagai sistem simbol yang berkaitan dengan etika, tarian-tarian, serta berbagai bentuk pakaian, kesenian, dan bahasa.
II
Pendekatan yang digunakan oleh Geertz adalah pendekatan yang membangun suatu kerangka teori untuk menciptakan model analisa, yang menekankan pada dimensi struktur antara kota, pasar, dan pedesaan. Secara eksplisit, mengenai deskripsi dan analisa agama orang Jawa di Mojokuto ini, Geertz menyatakan caranya tersebut sebagai “suatu analisa mengenai sistem pengertian yang tercakup dalam simbol-simbol yang menjadikan agama sebagai agama, serta menghubungkan sistem-sistem ini dengan proses-proses struktur sosial dan kejiwaan”. Namun demikian, kelemahan-kelemahan yang nampak dalam penggolongan masyarakat Jawa di Mojokuto pada tiga kategori struktur sosial ini, merupakan perwujudan yang sebenarnya dari pendekatan yang telah dilakukan oleh Geertz. Hal ini disebabkan karena Geertz melihat agama sebagai suatu sistem kebudayaan dan sistem simbol. Kebudayaan, menurutnya, tidak didefinisikan sebagai pola ‘dari’ kelakuan, tetapi sebagai pola ‘bagi’ kelakuan; yaitu yang terdiri atas serangkaian aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana, dan petunjuk-petunjuk yang digunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya. Adapun peranan upacara (baik yang ritual maupun seremonial) adalah bukan hanya untuk selalu mengingatkan manusia berkenaan dengan eksistensi dan hubungannya dengan lingkungan mereka, tetapi juga membiasakan manusia untuk menggunakan simbo-simbol yang bersifat abstrak, yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial yang nyata dan yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Studi ini didasarkan pada dua tahun penelitian (1952-1954) yang dilakukan oleh Geertz di Mojokuto; sebuah daerah bentuk stagnasi yang meresahkan. Menurut deskripsinya, tempat ini adalah sebuah daerah kecil yang kumuh, tanahnya kasar, banyak pengangguran, sistem politiknya tidak stabil, dan kehidupannya jauh dari menyenangkan. Namun, di tengah pemandangan yang menyesakkan, terdapat vitalitas intelektual yang mencengangkan; yaitu adanya para petani dan lainnya yang secara terus-menerus terlibat dalam perdebatan filosofis dan wacana tentang doktrin dan praktek keagamaan. Dengan berlatar pada analisa deskriptif terhadap ketiga tradisi keagamaan tersebut, dalam konteks historis dan sosio-politis masyarakat Jawa, studi Geertz mengingatkan kita pada studi Weber tentang India dan Cina. Namun demikian, studi Geertz ini tidak mencakup seluruh perhatian Weber terhadap rasionalisme etis dan faktor-faktor ekonomi. Untuk itu, Geertz tidak hanya memaparkan sistem religi yang sederhana, melainkan juga tiga ‘pandangan dunia’ atau ‘tradisi yang khas’ mengenai religi tersebut.
III
Kesimpulan utama tesis Geertz adalah mengenai ‘konflik’ dan ‘integrasi’, yaitu bahwa meskipun agama dapat mengekspresikan nilai-nilai umum dan memiliki fungsi integratif (integrasi sosial), agama juga merupakan suatu cara untuk menyebarluaskan dan mengukuhkan konflik (pertentangan politik). Konflik politik, yang terdapat di Indonesia saat ini sering terjadi secara intens, cenderung ‘terfokus di sekitar persoalan yang seolah-olah merupakan persoalan keagamaan’. Di sisi lain, sebagaimana yang dilakukan oleh Weber, Geertz mengaitkan tradisi keagamaan tertentu dengan strata sosial tertentu pula. Namun, dalam hal ini, Geertz tidak membahas secara detil sifat dari ‘afinitas’ ini, dengan sekedar mengisyaratkan bahwa ‘petani yang lebih miskin dan proletariat secara tipikaldilihat sebagai Abangan, pedagang dan para petani yang kaya dilihat kurang lebih secara natural sebagai Santri, sementara pegawai negeri pada umumnya dipandang sebagai Priyayi’. The Religion of Java menyajikan pembahasan yang detil mengenai keyakinan dan praktek-praktek, yang menurut Geertz dapat diklasifikasikan menjadi tiga ‘tipe kultural’, yang dikaitkan dengan tiga institusi sosial Jawa; desa, pasar, dan birokrasi pemerintahan. Pertama, tradisi keagamaan ‘Abangan’ terfokus ada upacara-upacara ritual yang disebut dengan Slametan dan melibatkan banyak keyakinan yang berkaitan dengan rohdan sejumlah teori dan praktek yang berhubungan dengan pengobatan, ilmu sihir dan magis. Sistem yang terdapat di kalangan petani dan masyarakat urban miskin ini merupakan ‘gabungan yang berimbang dari elemen aimistik Hindu dan Islam, yaitu sebuah sinkretisme masyarakat Jawa yang mendasar dan merupakan tradisi masyarakat asli, serta dasar utama dari peradaban mereka. Kedua, tradisi keagamaan ‘Santri’ dihubungkan dengan pasar (kelas pedagang), yang merepresentasikan Islam dengan lebih lebih pantheistik dan lazim di Jawa. Disamping mencakup pelaksanaan ritual-ritual pokok Islam secara reguler, tradisi Santri juga mencakup seluruh institusi sosial dn politik yang kompleks. Meskipun pada dasarnya diasosiasikan dengan segmen pedagang Jawa, akan tetapi tradisi ini juga diadopsi oleh masyarakat petani-petani kaya. Ketiga, tradisi keagamaan ‘Priyayi’ secara original mengacu pada keturunan bangsawan yang berkuasa dan merupakan elit dominan di Jawa, tetapi telah dirubah oleh aturan penjajah Belanda kedalam pegawai sipil yang menerima gaji. Tradisi keagamaan kalangan bangsawan ini tidak menekankan pada elemen Hinduistik, dengan mengembangkan suatu jenis ‘Gnotisisme Timur jauh’ dengan bentuk-bentuk seni klasik dan mistisisme intuitif. Tradisi keagamaan ini sekarang dikaitkan dengan elit birokrasi.
Adanya tiga struktur sosial yang berlainan ini, Geertz menunjukkan bahwa di balik kesan yang didapat dari pernyataan bahwa penduduk Mojokuto itu sembilan puluh persen beragama Islam, sesungguhnya terdapat variasi dalam sistem kepercayaan, nilai, dan upacara yang berkaitan dengan masing-masing struktur sosial tersebut. Ketiga struktur sosial yang berlainan ini, masing-masing saling melengkapi satu sama lain dalam mewujudkan adanya sistem sosial Jawa yang berlaku umum di Mojokuto. Dalam hubungan ini, orang bisa saja menunjuk kepada beberapa faktor yang cenderung mempertajam konflik antara ketiga kelompok ini, dan beberapa faktor yang cenderung meredakannya. Di antara unsur-unsur yang mempertajam konflik adalah; (1) adanya ‘konflik ideologis’ (antara priyayi dan abangan), yaitu konflik mendasar yang disebabkan oleh rasa tidak senang terhadap nilai-nilai kelompok lain; (2) adanya ‘konflik kelas’ (antara priyayi dan abangan), yaitu sistem stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung memaksakan adanya kontak di antara individu-individu dan kelompok-kelompok sosial yang dulunya terpisah; (3) adanya ‘konflik politik’ (antara priyayi dan santri), yaitu perjuangan mencapai kekuasaan politik yang semakin tajam untuk mengisi kekosongan peninggalan pemerintah kolonial, yang cenderung mencampur-aduk perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik; dan (4) kebutuhan mencari ‘kambing hitam’ untuk memusatkan ketegangan akibat perubahan sosial yang cepat.
Dalam tesisnya, Geertz juga mengkaji unsur-unsur integrasi sosial yang menyatukan masyarakat Jawa, yang cenderung melindungi masyarakat tersebut dari unsur-unsur pemecah-belah, antara lain seperti; (1) adanya ‘kesadaran akan kesatuan kebudayaan’, yaitu perasaan memiliki satu kebudayaan, termasuk nasionalisme yang lebih menekankan pada kesamaan yang dimiliki oleh orang Jawa atau bangsa Indonesia, ketimbang mempermasalahkan perbedaannya; (2) munculnya berbagai individu dan kelompok ‘tipe campuran’ dan kelompok ‘marjinal’ sebagai faktor struktur sosial yang bisa berperan sebagai perantara. Hal ini lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak diungkapkan secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial, secara murni dan sederhana, melainkan melalui proses yang rumit, sehingga komitmen keagamaan dan komitmen lainnya [terhadap kelas, tetangga, dan sebagainya], cenderung seimbang; (3) adanya ‘toleransi dan integrasi sosial yang majemuk’, yaitu toleransi umum yang didasarkan atas suatu “relativisme kontekstual” yang menganggap nilai-nilai tertentu sesuai dengan konteksnya; sehingga dengan demikian akan berfungsi untuk memperkecil “misionisasi”; dan (4) adanya ‘hari-hari besar’ yang merupakan upacara-upacara integrasi sosial dan konflik, yaitu pertumbuhan ‘mekanisme sosial’ yang secara mantap menuju pada bentuk-bentuk integrasi sosial yang majemuk dan non-sinkretis. Hal ini berupa berbagai pandangan sosial dan nilai dasar yang berbeda secara radikal dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain untuk menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.
Atas dasar tesis ini, Geertz menegaskan bahwa di antara faktor-faktor di atas, faktor yang terpenting sebagai integrasi sosial dalam agama Jawa adalah; ‘kesadaran akan kesatuan kebudayaan’. Adapun dua bentuk utama dari kesadaran ini adalah: Pertama, “tradisionalisme dan warisan budaya bersama”, yaitu kesadaran yang menyatakan bahwa masa sekarang merosot dibandingkan dengan masa lalu, khususnya kritik terhadap praktek-praktek sekarang yang dilihat menurut ukuran tradisional, terutama sebagian praktek yang dipakai oleh kalangan tua. Kedua, “nasionalisme dan proyeksi kebudayaan bersama yang baru”, yaitu kesadaran yang semakin tumbuh ketika sebagian kalangan mencoba mengangkat harkat bangsa, solidaritas, dan keinginan menjalankan cara hidup yang lebih ‘modern’ untuk menghambat ketidakteraturan sosial, terutama di kalangan muda.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar