Rabu, 20 Juni 2012

Konsumerisme – Hedonisme Di Semua Lini ….


(ketika pemimpin di ruang publik tidak bermutu …. )
Di DPR saja berjajar mobil mewah diparkir. Nudirman Munir, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, bilang, ada pertimbangan keamanan dan kenyamanan ketika memilih mobil: “Jika naik Toyoya Alphard, kami dapat rapat di dalam mobil karena di dalam mobil itu ada meja. Kalau naik mobil (menyebut merek lain) yang jalan 80 kilometer per jam saja sudah goyang, akan banyak anggota DPR yang meninggal karena kecelakaan,” kata Nudirman….
(Dicuplik dari: Apa yang Dapat Diteladani dari Pejabat Publik? Kompas, Sabtu, 19 November, 2011, hkm. 2)
(dan …..)
Nafsu Memiliki Telepon Pintar
KOMPAS.com — Awalnya antrean berlangsung tertib di lobi selatan Pacific Place, Jakarta Selatan, Jumat (25/11/2011). Mereka yang antre adalah orang-orang yang hendak memiliki Blackberry Bold 9790 yang lazim dikenal dengan Bellagio. Terlebih lagi ada pemberian diskon 50 persen bagi 1.000 pembeli pertama telepon pintar ini. Harga Rp 4,6 juta cukup dibayar Rp 2,3 juta.
Warga yang datang berbaris rapi mendaftarkan diri kepada petugas. Kepada yang telah terdaftar, petugas memberikan gelang merah bukti telah lolos verifikasi. Syaratnya, pembeli memiliki kartu kredit dengan nama yang sesuai dengan kartu identitasnya. Syarat ini jelas tercantum dalam iklan di media cetak.
Namun, nafsu memiliki Blackberry membuat situasi antrean berubah kacau. Ribuan orang ikut mengantre. Pengantre yang berada di belakang mendorong barisan. Sembari berteriak, mereka merangsek maju untuk bisa segera terdaftar. Sebagian warga lain memilih ke pintu masuk penjualan. Menurut media televisi, 90 orang pingsan. Ada juga yang mengalami patah tulang.

“Saya tangani empat orang yang pingsan. Seorang lagi dibawa dengan ambulans, kemungkinan tulang lengan kanannya patah karena terdorong-dorong,” ujar Dedi Hidayat, salah seorang anggota tim medis dari Medic One yang berjaga sejak pukul 06.00.
“Kejadiannya sangat cepat. Antrean yang tadinya rapi menjadi kacau. Mereka berebut untuk ada di depan. Takut tidak kebagian,” ucap Susanto (30), warga Pamulang yang tiba di lokasi sekitar pukul 04.45. Padahal, Susanto berkeinginan memberikan Bellagio tersebut untuk kado ulang tahun istrinya.
Susanto akhirnya membatalkan niat itu. “Gila. Orangnya banyak banget. Aku pikir dengan berangkat pukul 04.00 bisa antre di depan,” ucapnya.
Bukan hanya warga Jakarta, ada juga yang datang dari Bandung. Renzi, seperti dikutipKompasTV, sudah berada di lokasi sejak pukul 00.00 hari Jumat. Renzi juga kecewa.
Antrean berlangsung sejak Kamis siang begitu iklan muncul di media cetak. Namun, gelang baru dibagikan pukul 18.00. Antrean sudah mengular sejak pukul 22.00. “Saya antre dari pukul 14.00 kemarin,” kata Malvin, yang dijumpai pada hari Jumat.
Massa yang terus datang membuat situasi kian sulit dikendalikan. Polisi dan panitia berusaha keras menertibkan pengantre. Menggunakan pengeras suara, polisi meminta mereka tertib dan rapi untuk antre.
Namun, warga bergeming dan bergerombol di depan pintu masuk. Beberapa kali polisi meminta warga duduk. Selain menghindari adanya dorongan, hal itu juga memudahkan panitia dan polisi mengevakuasi warga yang pingsan atau lemas.
“Penjualan sudah dihentikan. Sebagian besar pengantre yang pingsan sudah sehat dan dipulangkan. Yang cedera mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kami sedang menelusuri perizinan acara dan pengamanannya,” ujar Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Imam Sugiyanto.
Adiksi konsumsi
Ahli filsafat ekonomi dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, B Herry Priyono, mengatakan, fenomena ini timbul karena masyarakat tak mampu mengambil jarak terhadap konsumsi. Masyarakat tidak mampu membedakan apa yang sungguh dibutuhkan dan yang diinginkan. “Apakah saya sungguh membutuhkan atau menginginkan, itu campur aduk. Semua didikte iklan,” katanya. Seolah-olah semua berguna bagi dirinya.
Selain itu, ujar Herry, hal ini juga disebabkan terjadinya adiksi konsumsi. Masyarakat ketagihan barang-barang konsumtif. Keinginan untuk mengonsumsi sebuah produk itu tak ubahnya orang yang kecanduan narkoba.
Karena konsumsi sudah masuk tataran adiksi, orang tidak sanggup lagi menanyakan baik atau buruk. “Pokoknya secara kompulsif menginginkan itu. Seperti ketagihan heroin,” katanya.
Research In Motion, penghasil Blackberry yang berpusat di Kanada, pernah menjelaskan, pertumbuhan pelanggan Blackberry di Indonesia naik 10 kali lipat dalam waktu 24 bulan. Diprediksi ada 9,7 juta Blackberry yang bakal dijual di Indonesia pada 2015. Sayangnya, bangsa Indonesia hanya pemakai alias konsumen. (KUM/RYO/MAS/NEL/ppg/Kompas.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar