Minggu, 03 Juni 2012

KONSEP PENDIDIKAN MENURUT CONFUCIANISME DALAM KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI


•  PENGANTAR
Pendidikan adalah salah satu unsur paling penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan merupakan proses pendewasaan diri manusia itu sendiri serta selain itu pendidikan juga merupakan proses pembentukan pribadi dan karakter manusia. Kemudian, pada satu fokus yang lebih khusus yaitu pendidikan formal, manusia diberikan dasar-dasar pengetahuan sebagai pegangan dalam menjalani hidup dan menghadapi kenyataan hidup dimana didalam pendidikan formal dalam hal ini adalah sekolah menjadi suatu jenjang yang mungkin memang sudah selayaknya dilalui dalam proses kehidupan manusia. Kemudian dalam pendidikan sekolah itu, manusia juga selain melatih kedewasaan juga mengasah intelektualitasnya dan kompetensinya dalam tanggung jawab dan kesadaran.
Seperti telah dituliskan sebelumnya, pada dunia sekolah, manusia dilatih intelektualitasnya dengan pengetahuan dan ilmu-ilmu yang diajarkan dalam proses pendidikannya pada jenjang-jenjang yang telah ada dan diatur. Untuk itu, pada pendidikan sekolah sangat diperlukan adanya perencanaan dalam pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan tersebut. Perencanaan yang dimaksud adalah kurikulum pendidikan atau sekolah yang di dalamnya terdapat standar-standar pembelajaran dan pengembangan intelektualitas manusia.
Dua kebijakan pokok yang telah ditetapkan pemerintah untuk mendongkrak kualitas pendidikan yaitu melalui "Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan". Gerakan ini juga diharapkan bisa menumbuhkan kecakapan anak didik sesuai dengan kebutuhan lokal dalam perspektif global ( act locally think globally ). Pertama, hal yang menyangkut efisiensi pengelolaan pendidikan, pemerintah telah menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Kedua, untuk lebih memacu akselerasi peningkatan mutu, pemerintah juga telah merancang KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) ( www.pendidikanIndonesia.com ).
Pada tahun 2004 dimulai kurikulum baru yang biasa disebut dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Kurikulum ini bisa dikatakan menganut atau didasari pada pendidikan confucianis. Mengapa demikian? Hal tersebut dapat terlihat pada pola pengajaran antara sistem KBK dengan pendidikan Confucius bisa dikatakan sama yaitu mengajar harus sesuai dengan kecakapan para murid, mengajar hendaknya dianggap sebagai media hiburan, dan belajar hendaknya merupakan sesuatu yang lebih bermanfaat, serta mengajar hendaknya merupakan evaluasi dari beberapa kasus yang timbul. Untuk hal ini maka pada makalah ini sedikit dibahas mengenai sistem kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dalam pandangan kaum confucianisme.
Pada makalah ini akan dibahas kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan pandangan filosofisnya sebagai bentuk dari essensi pendidikan yang diselenggarakan. Tentunya bukan dengan tujuan menjatuhkan akan tetapi memandang KBK sebagai kurikulum dalam proses pendidikan secara kritis. Untuk menemukan esensi dan substansi pendidikan tersebut.
Bagaimanakah proses pembelajarannya, benarkah KBK sebagai bentuk pendidikan yang menganut atau didasari pada pendidikan confucianis, selain itu akan sedikit dibahas pula manusia sebagai peserta didik dan kedudukannya dalam pendidikan menurut KBK dan kesesuaian KBK dengan pendidikan pada confucianisme.
Secara teoritis, makalah ini bersandar pada teori pendidikan menurut aliran confucianisme yaitu pendidikan merupakan pembekalan kepada subjek didik agar dapat menyesuaikan pada kehidupan nyata, lebih dari itu ialah meningkatkan moral, perkembangan mental yang penuh, termasuk akal budi dengan kecerdasannya. Dalam hal ini pendidikan dipusatkan pada manusianya. Selain itu, peserta didik merupakan subjek didik. Bukan objek didik
•  PEMBAHASAN
•  Pengertian Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) adalah kurikulum yang seperti namanya didasari oleh kompetensi. Kompetensi sendiri adalah pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak secara terus-menerus dan konsisten (Dr. Nurhadi. 2004)
Kurikulum berbasis kompetensi sendiri adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa. Bisa dikatakan bahwa kurikulum ini mengharapkan hasil dimana para siswa dapat melakukan sesuatu dalam konteks tertentu dengan tindakan yang sesuai dengan konteks yang terjadi. Bisa dikatakan juga siswa dapat menyesuaikan diri pada suatu konteks nyata yang terjadi.
Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut ( www.kurikulumberbasiskompetensi.com ):
•  Keimanan, nilai dan budi pekerti luhur
•  Penguatan integritas nasional
•  Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika
•  Kesamaan memperoleh kesempatan
•  Abad pengetahuan dan teknologi informasi
•  Pengembangan keterampilan hidup
•  Belajar sepanjang hayat
•  Berpusat pada anak dan penilaian yang berkelanjutan dan komperhensif
•  Pendekatan menyeluruh dan kemitraan
Kurikulum berbasis kompetensi merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen yaitu kurikulum dan hasil, penilaian berbasis kelas, kegiatan belajar mengajar dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah ( www.kurikulumberbasiskompetensi.com ).
•  Kurikulum dan hasil belajar , memuat perencanaan pengembangan kompetensi peserta didik yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir hingga 18 tahun, kurikulum dan hasil belajar ini memuat kompetensi, hasil belajar, dan indikator dari TK dan RA sampai dengan kelas XII (TK dan RA – 12).
•  Penilaian berbasis kelas , memuat prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui identifikasi kompetensi/hasil belajar yang telah dicapai, pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai serta peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan .
•  Kegiataan belajar mengajar , memuat gagasan-gagasan pokok tentang pembelajaran dan pengajaran yang untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan serta gagasan-gagasan pedagogis dan androgogis yang mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik.
•  Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah , memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu belajar. Pola ini dilengkapi pula dengan gagasan pembentukan jaringan kurikulum ( curriculum council ) pengembangan perangkat kurikulum ( a.l. silabus ), pembinaan profesional tenaga kependidikan dan pengembangan sistem informasi kurikulum.
Kurikulum ini pada bentuknya bertujuan pada pencapaian siswa pada kompetensi tertentu setidaknya standar-standar akan kompetensi yang telah ditentukan dapat terpenuhi. Pembelajaran yang dilakukan tidak terpaku pada hasil pendidikan tetapi lebih kepada proses pembelajaran itu sendiri dimana siswa dapat bereksperimen dengan keadaan yang tersedia di depannya, demi untuk tercapainya pengetahuan karena memang pembelajaran tidak hanya bersumber dari guru saja melainkan dari non-guru, selama hal itu mendukung kompetensi siswa yang diharapkan.
Selain itu, mutu pendidikan yang diberikan tidak dipatok pada 1 tingkatan mutu atau keadaan saja melainkan diberikan secara demokratis yaitu bisa saja pendidikan dikembangkan lebih baik atau mungkin hanya sekedarnya. Hal ini didasarkan pada keadaan siswa yang ada. Bahkan mengenai demokrasi mutu ini, pada tahun 2005, J.Drost, SJ mengusulkan bahwa dengan pemberian mutu pengajaran yang demokratis seperti ini maka baginya, pengajarannya juga dipisahkan antara orang-orang yang cerdas dengan orang-orang yang tidak terlalu menonjol kecerdasannya. Akan tetapi di luar hal itu pendidikan yang diselenggarakan tidak sepenuhnya diberikan plot-plot pengajaran itu melainkan diatur sesuai keadaan yang ada pada siswa dengan catatan standarisasi kecakapan atau kompetensi siswa tetap dapat terpenuhi.
Pada bagian lain yaitu metode pembelajaran siswa adalah metode pembelajaran yang didasari oleh konteks sosial maka dibuat sedemikian rupa keadaan dimana siswa dapat diikutsertakan dalam rekonstruksi konteks sosial yang telah diberikan.
Untuk memperjelas keterangan di atas, saya akan memberikan contoh sekolah yang telah menggunakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) disekolahnya, yaitu ( www.kurikulumberbasiskompetensi.com ):
Dari “Green Apple” – Suara MBE, Kota Batu permainan domino untuk pembelajaran pecahan.
Mendengar kata domino, pikiran kita langsung tertuju pada kartu permainan dengan bulatan-bulatan merah berjumlah 1 - 6. Biasanya kita menggunakan domino untuk bermain sambil mengisi waktu luang. Tetapi tidak bagi bu Juliati, Guru kelas III dari SD Songgokerto III Batu.
Domino dimodifikasi dan digunakan sebagai media bagi pembelajaran pecahan pada siswa kelas III SD serta mengantarkan ibu Juli sebagai Juara I lomba Kreativitas Guru Sains dan Matematika tingkat Jawa Timur. Ibu Juli memodifikasi bulatan-bulatan domino, dan inilah contohnya:
Domino yang dimodifikasi
Aturan permainan dalam pembelajaran ini ada tiga macam, yaitu:
•  Pembelajaran pecahan-pecahan yang ekivalen. Siswa memasangkan gambar dengan angka atau angka dengan angka atau gambar dengan gambar yang senilai atau ekivalen.
•  Pembelajaran perbandingan dua pecahan yang nilainya berbeda lebih besar. Siswa memasangkan suatu gambar dengan angka atau angka dengan angka atau gambar dengan gambar yang nilainya lebih besar.
•  Pembelajaran perbandingan dua pecahan yang nilainya berbeda lebih kecil. Aturan permainannya siswa memasangkan suatu gambar dengan angka atau angka dengan angka atau gambar dengan gambar yang nilainya lebih kecil.
http://jurnalmahasiswa.filsafat.ugm.ac.id/cin-6_clip_image004.jpg
Dengan menggunakan media domino yang dimodifikasi puzzle ini ternyata murid-murid kelas III menjadi lebih mudah memahami konsep pecahan. Siswa-siswa juga merasa senang karena mereka dapat belajar melalui bermain.
•  Pendidikan menurut Confucianisme
Confucius berusaha menata secara baik terhadap situasi dan kondisi masyarakat Cina sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku pada waktu itu melalui sarana pendidikan dengan cara membenahi hal-hal yang dipandang tidak benar. Confucius berpendapat bahwa pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu (Widyastini, 2004: 7-8):
•  Khusus: membimbing dan mendidik agar senantiasa siap menjadi generasi-generasi penerus bangsa.
•  Umum: mewujudkan manusia-manusia yang bermoral, pandai, dan mempunyai rasa tanggung jawab kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Confucius mengatakan bahwa di dalam dunia pendidikan tidak mengenal tinggi dan rendahnya kedudukan seseorang: semua sama (Widyastini, 2004: 7-8).
Di dalam buku Analects, Confucius berkata bahwa (Confucius, 1991: 20-21):
•  Belajar lebih intensif
•  Mengajar tidak memandang keturunan
•  Mengajar harus sesuai dengan kecakapan para murid
•  Mengajar hendaknya dianggap sebagai media hiburan
•  Mengajar hendaknya menggunakan metode yang tepat
•  Mengajar hendaknya tanpa adanya rasa segan
•  Mengajar hendaknya merupakan evaluasi dari beberapa kasus yang timbul
•  Belajar hendaknya merupakan sesuatu yang lebih bermanfaat.
Kedelapan prinsip tersebut diatas, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Confucius, tidak hanya berpengaruh dalam pendidikan kuno saja, tetapi hal ini masih dan tetap digunakan dalam pendidikan modern saat ini.
Confucius dikenal sebagai filosof Cina, ciri khas pemikiran pragmatis dan melingkupi hal-hal yang sifatnya praktis; sehingga lebih banyak menjauhi masalah-masalah yang dogmatis (teoritis), dalam hal ini kebenaran dibuktikan melalui akal dan dibuktikan melalui empiris. Menurut Lasiyo sebagaimana dinyatakan oleh Confucius kepada murid-muridnya bahwa sebaiknya dalam menghadapi suatu permasalahan hendaknya diusahakan dengan berpikir secara mandiri, maka tidak mudah mengikuti pendapat orang lain dan harus dapat menganalisis secara benar, ia berkata (Widyastini, 2004: 18):
”Sang guru tidak boleh mendiktekan sesuatu kebenaran kepada murid-muridnya, murid-murid harus berpikir sendiri dan apabila kebenaran menurut mereka bertentangan dengan apa yang diajarkan gurunya mereka dapat mendebat gurunya” (Lasiyo, 1983: 26), maka seorang pendidik yang baik adalah pendidik yang memberi kebebasan berpikir kepada anak didiknya sehingga mereka dapat menghasilkan penemuan-penemuan baru, jika kebenaran yang didapatkan berlainan dengan yang diajarkan oleh sang pendidik, maka peserta didik diperbolehkan mengadu argumentasi, untuk lebih menumbuhkembangkan pemikiran dan penalaran mereka, maka dalam hal ini dibutuhkan kematangan dalam berpikir dan berperilaku (Lasiyo, 1997: 3).”
Salah satu konsep yang mendasar dalam pendidikan Confucius ialah konsep mengenai Tao. Tao sendiri mempunyai arti ”Jalan/cara” (the way) atau ”alur” (path). Tao adalah “Jalan”, dengan huruf besar J, artinya jalan diatas segenap jalan lain yang seharusnya diikuti manusia (Creel, 1990: 34-35). Tujuan yang hendak dicapainya ialah kebahagiaan, dalam hidup ini, disini dan kini, untuk segenap umat manusia.
•  KBK dalam Pendidikan Confucianisme, benarkah?
Kurikulum berbasis kompetensi, suatu perencanaan dengan dasar kompetensi. Seperti telah dijabarkan sebelumnya terlihat sangat mementingkan peran aktif siswa atau peserta didik hal ini diperlihatkan pada metode pelajaran yang disusun dalam KBK. Dalam metode ini seperti dituliskan sebelum ini yaitu dalam pembelajaran yang lebih kepada eksperimen, konstruksi masalah dan kompetensi.
Dalam tataran ini memang pada kurikulum berbasis kompetensi begitu jelasnya berusaha menggambarkan pendidikan yang diajarkan oleh confucius lebih jauh lagi dalam tujuan yang diambil dalam kurikulum berbasis kompetensi kurang lebih mirip dengan pengertian pendidikan confucianisme serta pola yang dibangun yaitu:
•  Belajar hendaknya merupakan sesuatu yang lebih bermanfaat
•  Mengajar hendaknya dianggap sebagai media hiburan
•  Mengajar hendaknya merupakan evaluasi dari beberapa kasus yang timbul, dll.
Selain itu, Confucius sendiri juga mengatakan bahwa pendidikan yang diterapkan pada masanya tidak hanya berpengaruh dalam pendidikan kuno saja, tetapi hal ini masih dan tetap digunakan dalam pendidikan modern saat ini. Akan tetapi kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa model pendidikan confucianisme sama dengan sistem pendidikan KBK. Karena jika kita teliti lebih dalam lagi, walaupun banyak kesamaan antara sistem KBK dengan pendidikan Confucianisme, namun sebenarnya antara keduanya sangat berbeda. Hal tersebut terlihat pada masih ada rasa segan diantara kedua belah pihak, baik dari pihak pengajar maupun peserta didik, serta masih ada otoritas dari pendidik.
Namun, bagaimanapun juga dengan metode baru serta pandangan filosofis yang bisa dikatakan baru dilaksanakan pada kurikulum pendidikan di Indonesia diharapkan bisa membangun sumber daya manusia menjadi lebih baik.
•  KESIMPULAN
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kurikulum berbasis kompetensi sebagai suatu kurikulum yang mendasari rencana pendidikan dan pembelajaran di Indonesia ini adalah suatu kemajuan sendiri dalam perjalanannya. Hal ini sudah barang tentu sebagai suatu usaha pembangunan manusia Indonesia kearah yang lebih baik lagi.
Hanya saja kurikulum di Indonesia kembali terjebak pada pola pendidikan yang tetap mempertahankan otoritas pendidik dalam kelas (pada pendidikan formal) walaupun dengan metode sekarang yang lebih variatif. Secara substansial, pendidikan dengan dasar KBK belum sampai kepada pendidikan yang dianut oleh Confucius. Akan tetapi, memang metode-metode pendidikan yang sudah dan sedang dijalankan sudah mendekati kepada tujuan pendidikan Confucianisme. Boleh dikatakan tinggal beberapa langkah lagi sampai kepada idealisme pendidikan Confucianisme.
•  DAFTAR PUSTAKA
Creel, H. G. 1990. Alam Pikiran Cina; Sejak Confucius sampai Mao Zedong . Yogyakarta : P. T. Tiara Wacana.
Drost. J. 2005. dari KBK (kurikulum berbasis kompetensi) sampai MBS (manajemen berbasis sekolah); esai-esai pendidikan . Jakarta: Kompas.
Nurhadi, Dr. 2004. Kurikulum 2004; pertanyaan dan jawaban . Jakarta: Grasindo
Widyastini. 2004. Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ga zali. Yogyakarta : Paradigma.
 
Pendahuluan
Indonesia sebagai negara berkembang tentu ingin produk-produk dalam negerinya bisa mengglobal dan membawa nama negeri ini dalam kancah ekonomi global. Seketika hal seperti ini adalah mimpi yang sangat sulit menjadi kenyataan. Fakta berbicara orang Indonesia sendiri lebih menyukai produk luar dari pada produk nasional, yang memang dari segi kuantitas maupun kualitas sangatlah sulit bagi produk nasional untuk bisa bersaing. Sebagai contoh ketika produk Cina menyerbu pasaran di Indonesia, misalnya produk otomotifnya yang harganya jauh dari pasaran yang sedang berlaku di Indonesia, kemudian merambahnya produk-produk sepatu Cina yang harganya jauh dibawah harga sepatu produk lokal, dengan kualitas sama. Membuat hancurnya pasaran produk lokal.
Sungguh sangat sulit untuk produk nasional apabila dihadapkan pada era global ini, dimana untuk mendapat tempat di dalam negeri saja sulit apalagi untuk go internasional, kemudian ditambah lagi belum familiarnya pengusaha lokal dengan teknologi informasi yang membuat akses untuk merambah pasar dunia semakin sulit. Serba kekurangan memang, dilema yang dihadapi bukan dari segi kualitas dan kuantitas saja namun yang harus dihadapi juga adalah mental dan juga kesadaran dari konsumen kita yaitu orang Indonesia . Mereka lebih suka memakai produk luar negeri karena prestise yang akan mereka sandang, sebuah contoh minimnya kesadaran orang Indonesia untuk memajukan bangsanya sendiri. Pemerintah pun lepas tangan dengan makin banyaknya produk luar berkeliaran di negeri kita. Kaitannya dengan kebijakan ekonomi pemerintah, seharusnya pemerintah bisa mengatur dan menyeleksi tentang produk luar negeri yang akan masuk ke Indonesia dan bisa memperkirakan apakah dengan masuknya produk tersebut akan menghancurkan pasaran produk lokal di dalam negeri. Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan yang tentu saja harus menguntungkan produk dalam negeri. Sebuah contoh ironis, Indonesia sebagai negara yang mempunyai garis pantai terpanjang dunia dalam satu tahunnya masih mengimpor garam sebesar satu juta ton dari Australia . Pertanyaannya adalah apakah anak negeri tidak mampu untuk hanya sekedar memproduksi garam.
Terlepas dari itu semua, patut diingat Indonesia adalah bagian dari tatanan global, dari sinilah berawal. Tekanan pasar global lewat kebijakan-kebijakan ekonomi negara-negara maju sungguh dirasakan imbasnya oleh para pengusaha di Indonesia. Hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa negara-negara dunia ketiga adalah pasar ekonomi bagi negara-negara maju. Tekanan ekonomi yang mengatasnamakan janji-janji kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan merupakan awal untuk kemudian menguasai negara-negara seperti Indonesia ini. penyedotan sumber daya alam negeri ini sejak lama merupakan contoh konkrit bagaimana negara maju menghisap negara-negara seperti Indonesia . Tidak tersisa memang apabila berkaca dari fenomena ini, semuanya telah di hisap habis oleh negara-negara maju.
Pengetahuan yang dimiliki masyarakat bukan tidak cukup untuk mengetahui bahwa produk nasional masih mampu bersaing, namun ketika dihadapkan pada dua pilihan, mereka akan berpikir kembali untuk memakai produk nasional. Sadar atau tidak sadar inilah fakta yang terjadi. Mereka lebih bangga jika memakai produk luar. Disatu sisi negara Indonesia dengan segala sumber dayanya yang ada tidak mampu menasionalkan sendiri sumber dayanya, berapa banyak perusahaan asing yang mendapat tempat di pulau-pulau besar untuk mengelola kekayaan alam kita, kemudian dijuak kepada kita dengan harga yang sangat tinggi.
Sebuah contoh sebenarnya telah terjadi di India pada abad 19, ketika Mahatma Gandhi berjuang melawan imperialisme Inggris dengan gerakan Swadesinya. Sangat relevan ketika kita berbicara tentang situasi ekonomi di Indonesia pada saat ini, dimana serangan deras arus global menggempur produk nasional yang mencoba berkembang. India berjuang dengan prinsip tidak ingin menggantungkan nasib perekenomiannya di bawah kendali Inggris. Apa yang terjadi di negara-negara dunia ketiga khususnya Indonesia adalah sama, imperialisme dalam bentuk intervensi ekonomi negara maju merupakan sebuah bentuk baru penjajahan. Disini terlihat jelas bahwa yang berubah hanyalah waktunya namun tujuannya adalah sama yaitu menjajah, tetapi dalam kerangka ekonomi.
Disini Penulis mencoba untuk menerjemahkan gerakan Swadesi India ketika waktu itu yang mempunyai semangat kelokalannya, yang kemudian dijadikan gambaran bagaimana India saja bisa melawan dan mempunyai sikap yang jelas dalam menolak produk-produk impor dari Inggris. Yang perlu saya tekankan disini adalah bahwa sebenarnya kita juga punya berdikarinya Soekarno, kemudian tirai bambunya Mao Zedong di Cina. Namun konsep Ghandi, yaitu Swadesi yang akan saya gunakan untuk pembahasan nantinya.
Sejarah Gerakan dan Pemikiran Swadesi Ghandi di India
Imperialisme Inggris ke India itu terutama sekali adalah imperialisme dagang. Handels-imperialisme. Membawa barang ke India untuk dijual ke India . Barang-barang seperti gunting, pisau, sepeda, mesin jahit dan bahan pakaian. Agar rakyat India bisa membeli, suka membeli, ingin membeli, maka politik dari imperialisme Inggris di India berbeda dengan Belanda di Indonesia. Inggris tidak mematikan India sama sekali, mereka menumbuhkan kemauan membeli dan kemampuan membeli rakyat India dengan membentuk pola pikir rakyat agar menjadi pintar. Maka dibuatlah sekolah-sekolah untuk mereka, seperti universitas Koopracht dan koopwil. Tetapi hal ini kemudian mendapat tentangan dari kelas pertengahan dan kelas borjuis yang hendak tumbuh dengan penjualan-penjualan produk mereka sendiri, jadi yang paling mendapat saingan dari handles-imperialisme Inggris itu, ialah justru kelas pertengahan dan kelas borjuis.
Oleh karena itu gerakan menentang imperialisme Inggris ini, mula­-mula terutama sekali keluarnya dari kelas pertengahan dan kelas borjuis. Yang kemudian membentuk Indian National Conggress tahun 1885. Pemimpin-pemimpinnya ialah kaum kapital. Kemudian penentangan tersebut mendapat dukungan dari rakyat India . Semboyan ekonomisnya ialah Swadesi yang diajarkan oleh Mahatma Gandhi. Gerakan Swadesi mempunyai harga moril yang tinggi sekali bagi bangsa India . Dianjurkan bagi kepada bangsa untuk membuat sendiri keperluan hidupnya. Swa artinya sendiri, desi dari perkataan desa, yaitu negeri sendiri. Swadesi artinya desa sendiri.
Pemikiran yang di kreasi oleh Ghandi ini bukan tidak ada kelemahannya sama sekali, menurut founding father kita yaitu Soekarno, Swadesi dianggap menghambat kemajuan negeri India dikarenakan gerakan ini sangat anti terhadap mesin yang mengganti pekerjaan manusia dan Ghandi menganggap kalau mesin tersebut sebagai setan. Kemudian yang terjadi adalah bangsa India tenggelam dalam euforia dalam menentang semua produk-produk Inggris dan mengabaikan pendapat Ghandi itu sendiri. Mungkin para pengusaha bangsa India dalam hal ini kaum menengah yang terkena dampak dari imperialisme Inggris berpikir keras bagaimana melawan gempuran yang dilakukan produk buatan Inggris kalau hanya mengandalkan tenaga manusia. Yang terjadi adalah kaum menengah di India dengan dukungan rakyat India menginginkan produk mereka sendiri yang harus menjadi tuan di negeri sendiri.
Pada hakekatnya gerakan Swadesi ini adalah satu penentangan terhadap imperialisme, di dalam praktiknya gerakan Swadesi langsung menyentuh sektor riil yaitu rakyat memulai dengan menanam kapas sendiri, memintal benang, menenun sendiri. Implikasinya adalah mereka sangat menghargai hasil karya sendiri, dengan tidak mau membeli produk-produk Inggris (boycot action) . Tidak boleh rakyat terutama sekali anggota-anggota dari Indian National Conggress ­membeli barang-barang buatan Inggris. Bahkan barang-­barang buatan Inggris kadang-kadang diserbu, dibawa ke luar, ditumpuk, ditimbun, dibakar. Seperti yang terjadi di Chouri Chora. Dengan gerakan swadesi ini maka handels-imperialisme Inggris menjadi lumpuh, karena seluruh rakyat tidak mau membeli barang-­barang buatan Inggris itu. Swadesi akhirnya berhasil. Pihak imperialisme Inggris kewalahan dan pada tahun 1947 India diberi kemerdekaan kemudian pada tanggal 26 Januari 1950 menjadi Republik India tetapi masih didalam Commonwealth.
Pola Pikir Masyarakat Indonesia tentang Produk Nasional
Kondisi produk-produk nasional dalam era global ini sungguh menyedihkan, perhatian masyarakat tentang produk nasional mungkin sekedar tahu, bahwa masih ada produk-produk nasional yang masih bisa bersaing dengan produk luar negeri. Setelah itu mereka terlena dengan hebatnya produk yang berbau kebarat-baratan. Sebuah masyarakat yang mempunyai pola pikir barat, tetapi dengan kapasitas kemampuan ekonomi negara dunia ketiga. Sungguh ironis dan sangat berlawanan jika kita melihat keadaan riil sebenarnya bangsa ini, bisa dikatakan masyarakat negara miskin tetapi ingin sekali diidentikkan dengan kemapanan, kaya dan modern. Inilah dampak dari dicekokinya bangsa ini oleh budaya konsumerisme barat dan tatanan global yang mengancam genius lokal yang salah satunya adalah produk nasional.
Masyarakat Indonesia sepertinya sudah mengesampingkan rasa nasionalismenya untuk bisa bangga dalam memakai produk sendiri. Seperti bait sebuah lagu lama yang berisi “Dari mobil jepang sampai sedan eropa yang harganya berkisar seratus juta”. Bait lagu tersebut dibuat oleh grup band anak muda yaitu Neo yang menunjukkan dan sedikit menggambarkan tidak adanya kebanggaan orang Indonesia memakai produknya sendiri. Dalam kerangka pikir orang Indonesia yang paling penting adalah prestise, bahkan harga tidak masalah asal bermerk luar negeri. Mungkin kasarannya seperti itu.
Pola pikir seperti ini kian deras menyerang, setelah prestise kemudian masyarakat berbicara tentang kualitas dan harga, jawabannya masyarakat tidak percaya kepada produk nasional dan lebih memilih produk luar, tidak ada keinginan untuk memakai dan mencoba berspekulasi untuk menggunakannya. Ini mungkin lahir dari pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah, dimana produk nasional selalu dan melulu mengecewakan konsumen yang kemudian imbasnya tidak dipercaya lagi oleh masyarakat.
Menggunakan Produk Nasional di Era Global (Konsep Swadesi Gandhi)
Bangsa India yang sudah terlebih dahulu menolak imperialisme dalam bidang ekonomi, dengan memegang kuat prinsip Swadesi mereka percaya dengan kekuatan yang mereka miliki yang kemudian digunakan untuk melawan segala bentuk penjajahan. Kesederhanaan yang ditunjukkan oleh Gandhi sangat mencerminkan bahwa bangsa India memiliki sebuah gaya hidup yang sesuai dengan kemampuannya pada waktu itu. Pemboikotan produk Inggris apabila diinterpretasikan dalam konteks Indonesia dalam tatanan global bisa diartikan, kita harus berani untuk mangkir dari produk luar untuk menghidupkan produk nasional. Sebuah tantangan bagi masyarakat Indonesia untuk melupakan segala keglamoran produk global dengan kembali dan mencoba kualitas lokal yang kita miliki bersama.
Indonesia dengan segala sumber daya yang dimilikinya merupakan aset yang sangat menunjang untuk menuju kemajuan dalam bidang ekonomi. Ketika Swadesi Gandhi menginginkan semua orang India memakai produknya sendiri, Indonesia mempunyai segala persyaratan untuk itu, kita dapat lihat sumber daya alam yang berlimpah, sumber daya manusia berjumlah ratusan juta dan sumber daya pendukung lainnya. tetapi yang menjadi pertanyaan apakah yang membuat produk nasional tetap kalah bersaing dalam percaturan perekonomian global.
Dalam contoh konkret kehidupan sehari-hari masyarakat, bisa dikatakan dari kebutuhan primer sampai tersier, tidak ada satupun kebutuhan yang lepas dari produk-produk luar negeri, bahkan konon, negara ini yang notabene adalah Negara yang mempunyai pantai terpanjang di dunia masih juga mengimpor garam sebanyak 1.000.000 ton pertahun dari Australia. Terlepas dari ada kepentingan-kepentingan tertentu didalamnya. Namun ini sungguh sangat ironis dan tidak bisa diterima dengan akal sehat. Sebuah citra yang menandakan hilangnya nilai-nilai kebangsaan untuk menuju kepada kemandirian bangsa.
Semakin kompleks memang ketika produk nasional kalah segala-galanya dari produk luar, dari segi kualitas, harga kemudian luasnya jaringan. Apabila terpaan globalisasi tidak diikuti kesiapan para pengusaha produk nasional untuk cepat beradaptasi, jangankan mendapat laba, gulung tikar akan menjadi alternatif pertama. Ini belum ditambah isu-isu global seperti teroris misalnya, yang imbasnya Indonesia mendapat status travel warning dari beberapa negara yang mengakibatkan investor kabur. Yang semakin mempersulit berkembangnya produk nasional.
Kesalahan bukan sepenuhnya dari strategi yang dipakai oleh pengusaha produk nasional, namun lebih kepada kesadaran masyarakat untuk memulai mencintai dan percaya kepada produk dalam negeri. Kembali kepada prinsip pemikiran Gandhi yakni Swadesi yang menekankan bangsa India harus bisa berdiri diatas kaki sendiri, yang dilatar belakangi keinginan Gandhi untuk melawan kolonialisme dan imperialisme inggris pada saat itu, sangat relevan dengan situasi dan kondisi bangsa saat ini yang tidak jauh berbeda dengan kondisi India saat itu. Sekarang, kolonialisme dalam bentuk produk luar dan dengan liar memasuki bangsa ini atas nama era global, membuat produk nasional seperti sulit bernapas. Prinsip Swadesi membuka wacana untuk melakukan sebuah gerakan cinta dalam memakai produk sendiri, tidak tergantung kepada barang-barang impor yang tidak terbendung masuk lewat pelabuhan-pelabuhan negara ini. Mandiri dalam artian yakin akan kemampuan sendiri dan berani menolak invasi produk luar. Jika semua mengacu dan selalu bermuara kepada kepentingan bangsa maka niscaya swadesi-swadesi lokal akan banyak bermunculan.
Asumsi dasar Gandhi ketika bergerak melawan imperialisme Inggris adalah untuk menghidupkan dan menanamkan betapa penting produk lokal untuk membangun ekonomi bangsanya, lewat sumber daya yang ada Gandhi berpikir tidak perlu masyarakat India harus mengimpor segala sesuatunya dari luar, mereka percaya dengan produknya sendiri. Gerakan swadesi memang pada awalnya adalah ketika para pengusaha-pengusaha India takut akan kedatangan produk-produk inggris yang bisa mengancam produk mereka. Kesadaran bahwa mereka yakin dengan produknya sendiri, kemudian yakin dan bangga merupakan modal untuk bisa bertarung dengan produk luar yang masuk.
Penutup
Keterpurukan produk lokal adalah bukan selalu salah dan menyalahkan globalisasi, dengan mengkambinghitamkan globalisasi menunjukkan bahwa kita memang lemah dan tidak punya daya saing. Riilnya sekarang masyarakat pintar menilai produk mana yang akan dipilihnya, lewat kualitas dan pengetahuannya mereka mampu untuk membedakan mana produk yang baik atau tidak. Tetapi berbicara tentang kesadaran masyarakat kita untuk memakai produk dalam negeri merupakan sesuatu hal yang sangat jauh dari harapan, ketika harga diri sudah berbicara, ketika gaya hidup kebarat-baratan sudah melekat, maka produk lokal tetap akan dipandang sebelah mata. Titik tolak dari tidak ada kesadaran masyarakat ini adalah seperti ini, mereka bukannya tidak bangga untuk memakai produk nasional, tetapi tidak percaya karena kualitas. Pekerjaan rumah yang harus dijawab oleh produk-produk nasional untuk menggugah rasa bangga masyarakat memakai produk buatan anak negeri.
Swadesi sebagai gerakan boikot, bukanlah sebuah kejahatan apabila kita melihat dari kacamata bagaimana kondisi negara Indonesia sekarang, terlepas dari tatanan global yang sangat membuat Indonesia semakin terpuruk. Jika tidak mulai dari dari kesadaran diri untuk bisa bangga memakai produk nasional maka bukan mustahil nanti kedepannya, tidak ada lagi produk nasional karena telah diambil alih oleh tangan-tangan global. Semakin nyata ketika kita melihat kondisi riil yang terjadi dimasyarakat. Tantangan bagi Indonesia kedepan dengan masyarakat yang cenderung kebarat-baratan dan gaya hidup konsumerisme yang masih tetap menomorduakan produk dalam negerinya sendiri.
Solusi yang seharusnya ada nantinya adalah bukan dengan membakar produk-produk luar atau dengan jalan memboikotnya dengan jalan tidak memasarkan ke masyarakat. Sebuah sudut pandang atau pola pikir baru yang harus tumbuh di masyarakat dalam melihat produk lokal, baik dari gaya hidup yang menjunjung tradisi tetapi tidak stagnan nilai kelokalannya saja tetapi tetap berpikir global untuk bisa tetap eksis dan tidak tertinggal di pasar global, kemudian masyarakatpun punya rasa bangga dan harga diri untuk memakai produk nasional.
Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat . Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Hadiwijono, Harun. 1971. Sari Falsafat India . Jakarta : Badan Penerbit Kristen
Wegig, Wahana. 1989. Dimensi Etis Ajaran Gandhi . Yogyakarta : Kanisius
Dari Internet
FNU Brawijaya Website dengan artikel Imperalisme...BK(2,
http://www.brawijaya.com , diakses pada tanggal19 Maret 2006
Kwik Kian Gie dalam Membangun Kekuatan Nasional Untuk Kemandirian Bangsa , karawang@polarhome.com , diakses pada tanggal 19 Maret 2006
Yuyus Suryana Sudarma dalam Perilaku Membeli Pengaruhi Pengangguran , http://www.pikiranrakyat.com , diakses pada tanggal 19 Maret 2006
Bisnis dan Investasi, Ekspor Turun, Indikasi Mulai Sulit Bersaing,
www.kompas.com , diakses pada tanggal 19 Maret 2006
Barry Burke dalam Mahatma Gandhi on Education , www.infed.com , diakses pada tanggal 30 Maret 2006
I Wayan Gede Suacana dalam segmen: Menyimak Alur pemikiran Tokoh-tokoh dunia Timur, www.balipost.com , diakses pada tanggal 30 Maret 2006
FNU Brawijaya Website dengan artikel Imperalisme...BK(2), http://www.brawijaya.com , diakses pada 19 maret 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar