• PENGANTAR
Pendidikan adalah salah satu unsur paling penting
dalam kehidupan manusia. Pendidikan merupakan proses pendewasaan diri manusia
itu sendiri serta selain itu pendidikan juga merupakan proses pembentukan
pribadi dan karakter manusia. Kemudian, pada satu fokus yang lebih khusus yaitu
pendidikan formal, manusia diberikan dasar-dasar pengetahuan sebagai pegangan
dalam menjalani hidup dan menghadapi kenyataan hidup dimana didalam pendidikan
formal dalam hal ini adalah sekolah menjadi suatu jenjang yang mungkin memang
sudah selayaknya dilalui dalam proses kehidupan manusia. Kemudian dalam
pendidikan sekolah itu, manusia juga selain melatih kedewasaan juga mengasah
intelektualitasnya dan kompetensinya dalam tanggung jawab dan kesadaran.
Seperti telah dituliskan sebelumnya, pada dunia
sekolah, manusia dilatih intelektualitasnya dengan pengetahuan dan ilmu-ilmu
yang diajarkan dalam proses pendidikannya pada jenjang-jenjang yang telah ada
dan diatur. Untuk itu, pada pendidikan sekolah sangat diperlukan adanya perencanaan
dalam pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan tersebut. Perencanaan yang
dimaksud adalah kurikulum pendidikan atau sekolah yang di dalamnya terdapat
standar-standar pembelajaran dan pengembangan intelektualitas manusia.
Dua kebijakan pokok yang telah ditetapkan pemerintah
untuk mendongkrak kualitas pendidikan yaitu melalui "Gerakan Peningkatan
Mutu Pendidikan". Gerakan ini juga diharapkan bisa menumbuhkan kecakapan
anak didik sesuai dengan kebutuhan lokal dalam perspektif global ( act
locally think globally ). Pertama, hal yang menyangkut efisiensi
pengelolaan pendidikan, pemerintah telah menerapkan MBS (Manajemen Berbasis
Sekolah). Kedua, untuk lebih memacu akselerasi peningkatan mutu, pemerintah
juga telah merancang KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) ( www.pendidikanIndonesia.com ).
Pada tahun 2004 dimulai kurikulum baru yang biasa
disebut dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Kurikulum ini bisa
dikatakan menganut atau didasari pada pendidikan confucianis. Mengapa demikian?
Hal tersebut dapat terlihat pada pola pengajaran antara sistem KBK dengan
pendidikan Confucius bisa dikatakan sama yaitu mengajar harus sesuai dengan
kecakapan para murid, mengajar hendaknya dianggap sebagai media hiburan, dan
belajar hendaknya merupakan sesuatu yang lebih bermanfaat, serta mengajar
hendaknya merupakan evaluasi dari beberapa kasus yang timbul. Untuk hal ini
maka pada makalah ini sedikit dibahas mengenai sistem kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) dalam pandangan kaum confucianisme.
Pada makalah ini akan dibahas kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) dan pandangan filosofisnya sebagai bentuk dari essensi
pendidikan yang diselenggarakan. Tentunya bukan dengan tujuan menjatuhkan akan
tetapi memandang KBK sebagai kurikulum dalam proses pendidikan secara kritis.
Untuk menemukan esensi dan substansi pendidikan tersebut.
Bagaimanakah proses pembelajarannya, benarkah KBK
sebagai bentuk pendidikan yang menganut atau didasari pada pendidikan
confucianis, selain itu akan sedikit dibahas pula manusia sebagai peserta didik
dan kedudukannya dalam pendidikan menurut KBK dan kesesuaian KBK dengan
pendidikan pada confucianisme.
Secara teoritis, makalah ini bersandar pada teori
pendidikan menurut aliran confucianisme yaitu pendidikan merupakan pembekalan
kepada subjek didik agar dapat menyesuaikan pada kehidupan nyata, lebih dari
itu ialah meningkatkan moral, perkembangan mental yang penuh, termasuk akal
budi dengan kecerdasannya. Dalam hal ini pendidikan dipusatkan pada manusianya.
Selain itu, peserta didik merupakan subjek didik. Bukan objek didik
• PEMBAHASAN
• Pengertian Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK)
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) adalah kurikulum
yang seperti namanya didasari oleh kompetensi. Kompetensi sendiri adalah
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam
kebiasaan berfikir dan bertindak secara terus-menerus dan konsisten (Dr.
Nurhadi. 2004)
Kurikulum berbasis kompetensi sendiri adalah
seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang
harus dicapai siswa. Bisa dikatakan bahwa kurikulum ini mengharapkan hasil
dimana para siswa dapat melakukan sesuatu dalam konteks tertentu dengan
tindakan yang sesuai dengan konteks yang terjadi. Bisa dikatakan juga siswa
dapat menyesuaikan diri pada suatu konteks nyata yang terjadi.
Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi
mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut ( www.kurikulumberbasiskompetensi.com ):
• Keimanan, nilai dan budi pekerti luhur
• Penguatan integritas nasional
• Keseimbangan etika, logika, estetika, dan
kinestetika
• Kesamaan memperoleh kesempatan
• Abad pengetahuan dan teknologi informasi
• Pengembangan keterampilan hidup
• Belajar sepanjang hayat
• Berpusat pada anak dan penilaian yang
berkelanjutan dan komperhensif
• Pendekatan menyeluruh dan kemitraan
Kurikulum berbasis kompetensi merupakan kerangka inti
yang memiliki empat komponen yaitu kurikulum dan hasil, penilaian berbasis
kelas, kegiatan belajar mengajar dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah ( www.kurikulumberbasiskompetensi.com ).
• Kurikulum dan hasil belajar , memuat
perencanaan pengembangan kompetensi peserta didik yang perlu dicapai secara
keseluruhan sejak lahir hingga 18 tahun, kurikulum dan hasil belajar ini memuat
kompetensi, hasil belajar, dan indikator dari TK dan RA sampai dengan kelas XII
(TK dan RA – 12).
• Penilaian berbasis kelas , memuat
prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan
konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui identifikasi kompetensi/hasil
belajar yang telah dicapai, pernyataan yang jelas tentang standar yang harus
dan telah dicapai serta peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan .
• Kegiataan belajar mengajar , memuat
gagasan-gagasan pokok tentang pembelajaran dan pengajaran yang untuk mencapai
kompetensi yang ditetapkan serta gagasan-gagasan pedagogis dan androgogis yang
mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik.
• Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah ,
memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain
untuk meningkatkan mutu belajar. Pola ini dilengkapi pula dengan gagasan
pembentukan jaringan kurikulum ( curriculum council ) pengembangan
perangkat kurikulum ( a.l. silabus ), pembinaan profesional tenaga
kependidikan dan pengembangan sistem informasi kurikulum.
Kurikulum ini pada bentuknya bertujuan pada pencapaian
siswa pada kompetensi tertentu setidaknya standar-standar akan kompetensi yang
telah ditentukan dapat terpenuhi. Pembelajaran yang dilakukan tidak terpaku
pada hasil pendidikan tetapi lebih kepada proses pembelajaran itu sendiri
dimana siswa dapat bereksperimen dengan keadaan yang tersedia di depannya, demi
untuk tercapainya pengetahuan karena memang pembelajaran tidak hanya bersumber
dari guru saja melainkan dari non-guru, selama hal itu mendukung kompetensi
siswa yang diharapkan.
Selain itu, mutu pendidikan yang diberikan tidak dipatok
pada 1 tingkatan mutu atau keadaan saja melainkan diberikan secara
demokratis yaitu bisa saja pendidikan dikembangkan lebih baik atau mungkin
hanya sekedarnya. Hal ini didasarkan pada keadaan siswa yang ada. Bahkan
mengenai demokrasi mutu ini, pada tahun 2005, J.Drost, SJ mengusulkan bahwa
dengan pemberian mutu pengajaran yang demokratis seperti ini maka baginya,
pengajarannya juga dipisahkan antara orang-orang yang cerdas dengan orang-orang
yang tidak terlalu menonjol kecerdasannya. Akan tetapi di luar hal itu
pendidikan yang diselenggarakan tidak sepenuhnya diberikan plot-plot pengajaran
itu melainkan diatur sesuai keadaan yang ada pada siswa dengan catatan
standarisasi kecakapan atau kompetensi siswa tetap dapat terpenuhi.
Pada bagian lain yaitu metode pembelajaran siswa
adalah metode pembelajaran yang didasari oleh konteks sosial maka dibuat
sedemikian rupa keadaan dimana siswa dapat diikutsertakan dalam rekonstruksi
konteks sosial yang telah diberikan.
Untuk memperjelas keterangan di atas, saya akan
memberikan contoh sekolah yang telah menggunakan kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) disekolahnya, yaitu ( www.kurikulumberbasiskompetensi.com ):
Dari “Green Apple” – Suara MBE, Kota Batu permainan
domino untuk pembelajaran pecahan.
Mendengar kata domino, pikiran kita langsung tertuju
pada kartu permainan dengan bulatan-bulatan merah berjumlah 1 - 6. Biasanya
kita menggunakan domino untuk bermain sambil mengisi waktu luang. Tetapi tidak
bagi bu Juliati, Guru kelas III dari SD Songgokerto III Batu.
Domino dimodifikasi dan digunakan sebagai media bagi
pembelajaran pecahan pada siswa kelas III SD serta mengantarkan ibu Juli
sebagai Juara I lomba Kreativitas Guru Sains dan Matematika tingkat Jawa Timur.
Ibu Juli memodifikasi bulatan-bulatan domino, dan inilah contohnya:
Aturan permainan dalam pembelajaran ini ada tiga
macam, yaitu:
• Pembelajaran pecahan-pecahan yang ekivalen.
Siswa memasangkan gambar dengan angka atau angka dengan angka atau gambar
dengan gambar yang senilai atau ekivalen.
• Pembelajaran perbandingan dua pecahan yang
nilainya berbeda lebih besar. Siswa memasangkan suatu gambar dengan angka atau
angka dengan angka atau gambar dengan gambar yang nilainya lebih besar.
• Pembelajaran perbandingan dua pecahan yang
nilainya berbeda lebih kecil. Aturan permainannya siswa memasangkan suatu
gambar dengan angka atau angka dengan angka atau gambar dengan gambar yang
nilainya lebih kecil.
Dengan menggunakan media domino yang dimodifikasi
puzzle ini ternyata murid-murid kelas III menjadi lebih mudah memahami konsep
pecahan. Siswa-siswa juga merasa senang karena mereka dapat belajar melalui
bermain.
• Pendidikan menurut Confucianisme
Confucius berusaha menata secara baik terhadap situasi
dan kondisi masyarakat Cina sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku pada waktu
itu melalui sarana pendidikan dengan cara membenahi hal-hal yang dipandang
tidak benar. Confucius berpendapat bahwa pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu
(Widyastini, 2004: 7-8):
• Khusus: membimbing dan mendidik agar
senantiasa siap menjadi generasi-generasi penerus bangsa.
• Umum: mewujudkan manusia-manusia yang
bermoral, pandai, dan mempunyai rasa tanggung jawab kepada masyarakat, bangsa
dan negara.
Confucius mengatakan bahwa di dalam dunia pendidikan
tidak mengenal tinggi dan rendahnya kedudukan seseorang: semua sama
(Widyastini, 2004: 7-8).
Di dalam buku Analects, Confucius berkata bahwa
(Confucius, 1991: 20-21):
• Belajar lebih intensif
• Mengajar tidak memandang keturunan
• Mengajar harus sesuai dengan kecakapan para
murid
• Mengajar hendaknya dianggap sebagai media
hiburan
• Mengajar hendaknya menggunakan metode yang
tepat
• Mengajar hendaknya tanpa adanya rasa segan
• Mengajar hendaknya merupakan evaluasi dari
beberapa kasus yang timbul
• Belajar hendaknya merupakan sesuatu yang lebih
bermanfaat.
Kedelapan prinsip tersebut diatas, sebagaimana yang
telah dikemukakan oleh Confucius, tidak hanya berpengaruh dalam pendidikan kuno
saja, tetapi hal ini masih dan tetap digunakan dalam pendidikan modern saat
ini.
Confucius dikenal sebagai filosof Cina, ciri khas
pemikiran pragmatis dan melingkupi hal-hal yang sifatnya praktis; sehingga
lebih banyak menjauhi masalah-masalah yang dogmatis (teoritis), dalam hal ini
kebenaran dibuktikan melalui akal dan dibuktikan melalui empiris. Menurut
Lasiyo sebagaimana dinyatakan oleh Confucius kepada murid-muridnya bahwa
sebaiknya dalam menghadapi suatu permasalahan hendaknya diusahakan dengan
berpikir secara mandiri, maka tidak mudah mengikuti pendapat orang lain dan
harus dapat menganalisis secara benar, ia berkata (Widyastini, 2004: 18):
”Sang guru tidak boleh mendiktekan sesuatu kebenaran
kepada murid-muridnya, murid-murid harus berpikir sendiri dan apabila kebenaran
menurut mereka bertentangan dengan apa yang diajarkan gurunya mereka dapat
mendebat gurunya” (Lasiyo, 1983: 26), maka seorang pendidik yang baik adalah
pendidik yang memberi kebebasan berpikir kepada anak didiknya sehingga mereka
dapat menghasilkan penemuan-penemuan baru, jika kebenaran yang didapatkan
berlainan dengan yang diajarkan oleh sang pendidik, maka peserta didik
diperbolehkan mengadu argumentasi, untuk lebih menumbuhkembangkan pemikiran dan
penalaran mereka, maka dalam hal ini dibutuhkan kematangan dalam berpikir dan
berperilaku (Lasiyo, 1997: 3).”
Salah satu konsep yang mendasar dalam pendidikan
Confucius ialah konsep mengenai Tao. Tao sendiri mempunyai arti ”Jalan/cara”
(the way) atau ”alur” (path). Tao adalah “Jalan”, dengan huruf besar J, artinya
jalan diatas segenap jalan lain yang seharusnya diikuti manusia (Creel, 1990:
34-35). Tujuan yang hendak dicapainya ialah kebahagiaan, dalam hidup ini,
disini dan kini, untuk segenap umat manusia.
• KBK dalam Pendidikan Confucianisme, benarkah?
Kurikulum berbasis kompetensi, suatu perencanaan
dengan dasar kompetensi. Seperti telah dijabarkan sebelumnya terlihat sangat
mementingkan peran aktif siswa atau peserta didik hal ini diperlihatkan pada
metode pelajaran yang disusun dalam KBK. Dalam metode ini seperti dituliskan
sebelum ini yaitu dalam pembelajaran yang lebih kepada eksperimen, konstruksi
masalah dan kompetensi.
Dalam tataran ini memang pada kurikulum berbasis
kompetensi begitu jelasnya berusaha menggambarkan pendidikan yang diajarkan
oleh confucius lebih jauh lagi dalam tujuan yang diambil dalam kurikulum
berbasis kompetensi kurang lebih mirip dengan pengertian pendidikan
confucianisme serta pola yang dibangun yaitu:
• Belajar hendaknya merupakan sesuatu yang lebih
bermanfaat
• Mengajar hendaknya dianggap sebagai media
hiburan
• Mengajar hendaknya merupakan evaluasi dari
beberapa kasus yang timbul, dll.
Selain itu, Confucius sendiri juga mengatakan bahwa
pendidikan yang diterapkan pada masanya tidak hanya berpengaruh dalam
pendidikan kuno saja, tetapi hal ini masih dan tetap digunakan dalam pendidikan
modern saat ini. Akan tetapi kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa model
pendidikan confucianisme sama dengan sistem pendidikan KBK. Karena jika kita
teliti lebih dalam lagi, walaupun banyak kesamaan antara sistem KBK dengan
pendidikan Confucianisme, namun sebenarnya antara keduanya sangat berbeda. Hal
tersebut terlihat pada masih ada rasa segan diantara kedua belah pihak, baik
dari pihak pengajar maupun peserta didik, serta masih ada otoritas dari
pendidik.
Namun, bagaimanapun juga dengan metode baru serta
pandangan filosofis yang bisa dikatakan baru dilaksanakan pada kurikulum
pendidikan di Indonesia diharapkan bisa membangun sumber daya manusia menjadi
lebih baik.
• KESIMPULAN
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kurikulum
berbasis kompetensi sebagai suatu kurikulum yang mendasari rencana pendidikan
dan pembelajaran di Indonesia ini adalah suatu kemajuan sendiri dalam
perjalanannya. Hal ini sudah barang tentu sebagai suatu usaha pembangunan
manusia Indonesia kearah yang lebih baik lagi.
Hanya saja kurikulum di Indonesia kembali terjebak
pada pola pendidikan yang tetap mempertahankan otoritas pendidik dalam kelas
(pada pendidikan formal) walaupun dengan metode sekarang yang lebih variatif.
Secara substansial, pendidikan dengan dasar KBK belum sampai kepada pendidikan
yang dianut oleh Confucius. Akan tetapi, memang metode-metode pendidikan yang
sudah dan sedang dijalankan sudah mendekati kepada tujuan pendidikan
Confucianisme. Boleh dikatakan tinggal beberapa langkah lagi sampai kepada
idealisme pendidikan Confucianisme.
• DAFTAR PUSTAKA
Creel, H. G. 1990. Alam Pikiran Cina; Sejak
Confucius sampai Mao Zedong . Yogyakarta : P. T. Tiara Wacana.
Drost. J. 2005. dari KBK (kurikulum berbasis
kompetensi) sampai MBS (manajemen berbasis sekolah); esai-esai pendidikan .
Jakarta: Kompas.
Nurhadi, Dr. 2004. Kurikulum 2004; pertanyaan dan
jawaban . Jakarta: Grasindo
Widyastini. 2004. Filsafat Manusia Menurut
Confucius dan Al Ga zali. Yogyakarta : Paradigma.
Pendahuluan
Indonesia sebagai negara berkembang tentu ingin
produk-produk dalam negerinya bisa mengglobal dan membawa nama negeri ini dalam
kancah ekonomi global. Seketika hal seperti ini adalah mimpi yang sangat sulit
menjadi kenyataan. Fakta berbicara orang Indonesia sendiri lebih menyukai
produk luar dari pada produk nasional, yang memang dari segi kuantitas maupun
kualitas sangatlah sulit bagi produk nasional untuk bisa bersaing. Sebagai
contoh ketika produk Cina menyerbu pasaran di Indonesia, misalnya produk otomotifnya
yang harganya jauh dari pasaran yang sedang berlaku di Indonesia, kemudian
merambahnya produk-produk sepatu Cina yang harganya jauh dibawah harga sepatu
produk lokal, dengan kualitas sama. Membuat hancurnya pasaran produk lokal.
Sungguh sangat sulit untuk produk nasional
apabila dihadapkan pada era global ini, dimana untuk mendapat tempat di dalam
negeri saja sulit apalagi untuk go internasional, kemudian ditambah lagi belum
familiarnya pengusaha lokal dengan teknologi informasi yang membuat akses untuk
merambah pasar dunia semakin sulit. Serba kekurangan memang, dilema yang
dihadapi bukan dari segi kualitas dan kuantitas saja namun yang harus dihadapi
juga adalah mental dan juga kesadaran dari konsumen kita yaitu orang Indonesia
. Mereka lebih suka memakai produk luar negeri karena prestise yang akan mereka
sandang, sebuah contoh minimnya kesadaran orang Indonesia untuk memajukan
bangsanya sendiri. Pemerintah pun lepas tangan dengan makin banyaknya produk
luar berkeliaran di negeri kita. Kaitannya dengan kebijakan ekonomi pemerintah,
seharusnya pemerintah bisa mengatur dan menyeleksi tentang produk luar negeri
yang akan masuk ke Indonesia dan bisa memperkirakan apakah dengan masuknya
produk tersebut akan menghancurkan pasaran produk lokal di dalam negeri.
Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan yang tentu saja harus
menguntungkan produk dalam negeri. Sebuah contoh ironis, Indonesia sebagai
negara yang mempunyai garis pantai terpanjang dunia dalam satu tahunnya masih
mengimpor garam sebesar satu juta ton dari Australia . Pertanyaannya adalah
apakah anak negeri tidak mampu untuk hanya sekedar memproduksi garam.
Terlepas dari itu semua, patut diingat Indonesia
adalah bagian dari tatanan global, dari sinilah berawal. Tekanan pasar global
lewat kebijakan-kebijakan ekonomi negara-negara maju sungguh dirasakan imbasnya
oleh para pengusaha di Indonesia. Hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa
negara-negara dunia ketiga adalah pasar ekonomi bagi negara-negara maju.
Tekanan ekonomi yang mengatasnamakan janji-janji kerjasama ekonomi yang saling
menguntungkan merupakan awal untuk kemudian menguasai negara-negara seperti
Indonesia ini. penyedotan sumber daya alam negeri ini sejak lama merupakan
contoh konkrit bagaimana negara maju menghisap negara-negara seperti Indonesia
. Tidak tersisa memang apabila berkaca dari fenomena ini, semuanya telah di
hisap habis oleh negara-negara maju.
Pengetahuan yang dimiliki masyarakat bukan tidak
cukup untuk mengetahui bahwa produk nasional masih mampu bersaing, namun ketika
dihadapkan pada dua pilihan, mereka akan berpikir kembali untuk memakai produk
nasional. Sadar atau tidak sadar inilah fakta yang terjadi. Mereka lebih bangga
jika memakai produk luar. Disatu sisi negara Indonesia dengan segala sumber
dayanya yang ada tidak mampu menasionalkan sendiri sumber dayanya, berapa
banyak perusahaan asing yang mendapat tempat di pulau-pulau besar untuk
mengelola kekayaan alam kita, kemudian dijuak kepada kita dengan harga yang
sangat tinggi.
Sebuah contoh sebenarnya telah terjadi di India
pada abad 19, ketika Mahatma Gandhi berjuang melawan imperialisme Inggris
dengan gerakan Swadesinya. Sangat relevan ketika kita berbicara tentang situasi
ekonomi di Indonesia pada saat ini, dimana serangan deras arus global
menggempur produk nasional yang mencoba berkembang. India berjuang dengan
prinsip tidak ingin menggantungkan nasib perekenomiannya di bawah kendali
Inggris. Apa yang terjadi di negara-negara dunia ketiga khususnya Indonesia
adalah sama, imperialisme dalam bentuk intervensi ekonomi negara maju merupakan
sebuah bentuk baru penjajahan. Disini terlihat jelas bahwa yang berubah
hanyalah waktunya namun tujuannya adalah sama yaitu menjajah, tetapi dalam
kerangka ekonomi.
Disini Penulis mencoba untuk menerjemahkan
gerakan Swadesi India ketika waktu itu yang mempunyai semangat kelokalannya,
yang kemudian dijadikan gambaran bagaimana India saja bisa melawan dan
mempunyai sikap yang jelas dalam menolak produk-produk impor dari Inggris. Yang
perlu saya tekankan disini adalah bahwa sebenarnya kita juga punya berdikarinya
Soekarno, kemudian tirai bambunya Mao Zedong di Cina. Namun konsep Ghandi,
yaitu Swadesi yang akan saya gunakan untuk pembahasan nantinya.
Sejarah Gerakan dan Pemikiran Swadesi
Ghandi di India
Imperialisme Inggris ke India itu terutama sekali
adalah imperialisme dagang. Handels-imperialisme. Membawa barang ke India untuk
dijual ke India . Barang-barang seperti gunting, pisau, sepeda, mesin jahit dan
bahan pakaian. Agar rakyat India bisa membeli, suka membeli, ingin membeli,
maka politik dari imperialisme Inggris di India berbeda dengan Belanda di
Indonesia. Inggris tidak mematikan India sama sekali, mereka menumbuhkan
kemauan membeli dan kemampuan membeli rakyat India dengan membentuk pola pikir
rakyat agar menjadi pintar. Maka dibuatlah sekolah-sekolah untuk mereka,
seperti universitas Koopracht dan koopwil. Tetapi hal ini kemudian mendapat
tentangan dari kelas pertengahan dan kelas borjuis yang hendak tumbuh dengan
penjualan-penjualan produk mereka sendiri, jadi yang paling mendapat saingan
dari handles-imperialisme Inggris itu, ialah justru kelas pertengahan dan kelas
borjuis.
Oleh karena itu gerakan menentang imperialisme
Inggris ini, mula-mula terutama sekali keluarnya dari kelas pertengahan dan
kelas borjuis. Yang kemudian membentuk Indian National Conggress tahun 1885.
Pemimpin-pemimpinnya ialah kaum kapital. Kemudian penentangan tersebut mendapat
dukungan dari rakyat India . Semboyan ekonomisnya ialah Swadesi yang diajarkan
oleh Mahatma Gandhi. Gerakan Swadesi mempunyai harga moril yang tinggi sekali
bagi bangsa India . Dianjurkan bagi kepada bangsa untuk membuat sendiri
keperluan hidupnya. Swa artinya sendiri, desi dari perkataan desa, yaitu negeri
sendiri. Swadesi artinya desa sendiri.
Pemikiran yang di kreasi oleh Ghandi ini bukan
tidak ada kelemahannya sama sekali, menurut founding father kita yaitu
Soekarno, Swadesi dianggap menghambat kemajuan negeri India dikarenakan gerakan
ini sangat anti terhadap mesin yang mengganti pekerjaan manusia dan Ghandi
menganggap kalau mesin tersebut sebagai setan. Kemudian yang terjadi adalah
bangsa India tenggelam dalam euforia dalam menentang semua produk-produk
Inggris dan mengabaikan pendapat Ghandi itu sendiri. Mungkin para pengusaha
bangsa India dalam hal ini kaum menengah yang terkena dampak dari imperialisme
Inggris berpikir keras bagaimana melawan gempuran yang dilakukan produk buatan
Inggris kalau hanya mengandalkan tenaga manusia. Yang terjadi adalah kaum
menengah di India dengan dukungan rakyat India menginginkan produk mereka sendiri
yang harus menjadi tuan di negeri sendiri.
Pada hakekatnya gerakan Swadesi ini adalah satu
penentangan terhadap imperialisme, di dalam praktiknya gerakan Swadesi langsung
menyentuh sektor riil yaitu rakyat memulai dengan menanam kapas sendiri, memintal
benang, menenun sendiri. Implikasinya adalah mereka sangat menghargai hasil
karya sendiri, dengan tidak mau membeli produk-produk Inggris (boycot
action) . Tidak boleh rakyat terutama sekali anggota-anggota dari Indian
National Conggress membeli barang-barang buatan Inggris. Bahkan barang-barang
buatan Inggris kadang-kadang diserbu, dibawa ke luar, ditumpuk, ditimbun,
dibakar. Seperti yang terjadi di Chouri Chora. Dengan gerakan swadesi ini maka
handels-imperialisme Inggris menjadi lumpuh, karena seluruh rakyat tidak mau
membeli barang-barang buatan Inggris itu. Swadesi akhirnya berhasil. Pihak
imperialisme Inggris kewalahan dan pada tahun 1947 India diberi kemerdekaan
kemudian pada tanggal 26 Januari 1950 menjadi Republik India tetapi masih
didalam Commonwealth.
Pola Pikir Masyarakat Indonesia tentang
Produk Nasional
Kondisi produk-produk nasional dalam era global
ini sungguh menyedihkan, perhatian masyarakat tentang produk nasional mungkin
sekedar tahu, bahwa masih ada produk-produk nasional yang masih bisa bersaing
dengan produk luar negeri. Setelah itu mereka terlena dengan hebatnya produk
yang berbau kebarat-baratan. Sebuah masyarakat yang mempunyai pola pikir barat,
tetapi dengan kapasitas kemampuan ekonomi negara dunia ketiga. Sungguh ironis dan
sangat berlawanan jika kita melihat keadaan riil sebenarnya bangsa ini, bisa
dikatakan masyarakat negara miskin tetapi ingin sekali diidentikkan dengan
kemapanan, kaya dan modern. Inilah dampak dari dicekokinya bangsa ini oleh
budaya konsumerisme barat dan tatanan global yang mengancam genius lokal yang
salah satunya adalah produk nasional.
Masyarakat Indonesia sepertinya sudah
mengesampingkan rasa nasionalismenya untuk bisa bangga dalam memakai produk
sendiri. Seperti bait sebuah lagu lama yang berisi “Dari mobil jepang sampai
sedan eropa yang harganya berkisar seratus juta”. Bait lagu tersebut dibuat
oleh grup band anak muda yaitu Neo yang menunjukkan dan sedikit menggambarkan
tidak adanya kebanggaan orang Indonesia memakai produknya sendiri. Dalam kerangka
pikir orang Indonesia yang paling penting adalah prestise, bahkan harga tidak
masalah asal bermerk luar negeri. Mungkin kasarannya seperti itu.
Pola pikir seperti ini kian deras menyerang,
setelah prestise kemudian masyarakat berbicara tentang kualitas dan harga,
jawabannya masyarakat tidak percaya kepada produk nasional dan lebih memilih
produk luar, tidak ada keinginan untuk memakai dan mencoba berspekulasi untuk
menggunakannya. Ini mungkin lahir dari pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah,
dimana produk nasional selalu dan melulu mengecewakan konsumen yang kemudian
imbasnya tidak dipercaya lagi oleh masyarakat.
Menggunakan Produk Nasional di Era Global
(Konsep Swadesi Gandhi)
Bangsa India yang sudah terlebih dahulu menolak
imperialisme dalam bidang ekonomi, dengan memegang kuat prinsip Swadesi mereka
percaya dengan kekuatan yang mereka miliki yang kemudian digunakan untuk
melawan segala bentuk penjajahan. Kesederhanaan yang ditunjukkan oleh Gandhi
sangat mencerminkan bahwa bangsa India memiliki sebuah gaya hidup yang sesuai
dengan kemampuannya pada waktu itu. Pemboikotan produk Inggris apabila
diinterpretasikan dalam konteks Indonesia dalam tatanan global bisa diartikan,
kita harus berani untuk mangkir dari produk luar untuk menghidupkan produk nasional.
Sebuah tantangan bagi masyarakat Indonesia untuk melupakan segala keglamoran
produk global dengan kembali dan mencoba kualitas lokal yang kita miliki
bersama.
Indonesia dengan segala sumber daya yang
dimilikinya merupakan aset yang sangat menunjang untuk menuju kemajuan dalam
bidang ekonomi. Ketika Swadesi Gandhi menginginkan semua orang India memakai
produknya sendiri, Indonesia mempunyai segala persyaratan untuk itu, kita dapat
lihat sumber daya alam yang berlimpah, sumber daya manusia berjumlah ratusan
juta dan sumber daya pendukung lainnya. tetapi yang menjadi pertanyaan apakah
yang membuat produk nasional tetap kalah bersaing dalam percaturan perekonomian
global.
Dalam contoh konkret kehidupan sehari-hari
masyarakat, bisa dikatakan dari kebutuhan primer sampai tersier, tidak ada
satupun kebutuhan yang lepas dari produk-produk luar negeri, bahkan konon,
negara ini yang notabene adalah Negara yang mempunyai pantai terpanjang di
dunia masih juga mengimpor garam sebanyak 1.000.000 ton pertahun dari Australia.
Terlepas dari ada kepentingan-kepentingan tertentu didalamnya. Namun ini
sungguh sangat ironis dan tidak bisa diterima dengan akal sehat. Sebuah citra
yang menandakan hilangnya nilai-nilai kebangsaan untuk menuju kepada
kemandirian bangsa.
Semakin kompleks memang ketika produk nasional
kalah segala-galanya dari produk luar, dari segi kualitas, harga kemudian
luasnya jaringan. Apabila terpaan globalisasi tidak diikuti kesiapan para
pengusaha produk nasional untuk cepat beradaptasi, jangankan mendapat laba,
gulung tikar akan menjadi alternatif pertama. Ini belum ditambah isu-isu global
seperti teroris misalnya, yang imbasnya Indonesia mendapat status travel
warning dari beberapa negara yang mengakibatkan investor kabur. Yang semakin
mempersulit berkembangnya produk nasional.
Kesalahan bukan sepenuhnya dari strategi yang
dipakai oleh pengusaha produk nasional, namun lebih kepada kesadaran masyarakat
untuk memulai mencintai dan percaya kepada produk dalam negeri. Kembali kepada
prinsip pemikiran Gandhi yakni Swadesi yang menekankan bangsa India harus bisa
berdiri diatas kaki sendiri, yang dilatar belakangi keinginan Gandhi untuk
melawan kolonialisme dan imperialisme inggris pada saat itu, sangat relevan
dengan situasi dan kondisi bangsa saat ini yang tidak jauh berbeda dengan
kondisi India saat itu. Sekarang, kolonialisme dalam bentuk produk luar dan
dengan liar memasuki bangsa ini atas nama era global, membuat produk nasional
seperti sulit bernapas. Prinsip Swadesi membuka wacana untuk melakukan sebuah
gerakan cinta dalam memakai produk sendiri, tidak tergantung kepada
barang-barang impor yang tidak terbendung masuk lewat pelabuhan-pelabuhan
negara ini. Mandiri dalam artian yakin akan kemampuan sendiri dan berani
menolak invasi produk luar. Jika semua mengacu dan selalu bermuara kepada
kepentingan bangsa maka niscaya swadesi-swadesi lokal akan banyak bermunculan.
Asumsi dasar Gandhi ketika bergerak melawan
imperialisme Inggris adalah untuk menghidupkan dan menanamkan betapa penting
produk lokal untuk membangun ekonomi bangsanya, lewat sumber daya yang ada
Gandhi berpikir tidak perlu masyarakat India harus mengimpor segala sesuatunya
dari luar, mereka percaya dengan produknya sendiri. Gerakan swadesi memang pada
awalnya adalah ketika para pengusaha-pengusaha India takut akan kedatangan
produk-produk inggris yang bisa mengancam produk mereka. Kesadaran bahwa mereka
yakin dengan produknya sendiri, kemudian yakin dan bangga merupakan modal untuk
bisa bertarung dengan produk luar yang masuk.
Penutup
Keterpurukan produk lokal adalah bukan selalu
salah dan menyalahkan globalisasi, dengan mengkambinghitamkan globalisasi
menunjukkan bahwa kita memang lemah dan tidak punya daya saing. Riilnya
sekarang masyarakat pintar menilai produk mana yang akan dipilihnya, lewat
kualitas dan pengetahuannya mereka mampu untuk membedakan mana produk yang baik
atau tidak. Tetapi berbicara tentang kesadaran masyarakat kita untuk memakai
produk dalam negeri merupakan sesuatu hal yang sangat jauh dari harapan, ketika
harga diri sudah berbicara, ketika gaya hidup kebarat-baratan sudah melekat,
maka produk lokal tetap akan dipandang sebelah mata. Titik tolak dari tidak ada
kesadaran masyarakat ini adalah seperti ini, mereka bukannya tidak bangga untuk
memakai produk nasional, tetapi tidak percaya karena kualitas. Pekerjaan rumah
yang harus dijawab oleh produk-produk nasional untuk menggugah rasa bangga
masyarakat memakai produk buatan anak negeri.
Swadesi sebagai gerakan boikot, bukanlah sebuah
kejahatan apabila kita melihat dari kacamata bagaimana kondisi negara Indonesia
sekarang, terlepas dari tatanan global yang sangat membuat Indonesia semakin
terpuruk. Jika tidak mulai dari dari kesadaran diri untuk bisa bangga memakai
produk nasional maka bukan mustahil nanti kedepannya, tidak ada lagi produk
nasional karena telah diambil alih oleh tangan-tangan global. Semakin nyata
ketika kita melihat kondisi riil yang terjadi dimasyarakat. Tantangan bagi
Indonesia kedepan dengan masyarakat yang cenderung kebarat-baratan dan gaya
hidup konsumerisme yang masih tetap menomorduakan produk dalam negerinya
sendiri.
Solusi yang seharusnya ada nantinya adalah bukan
dengan membakar produk-produk luar atau dengan jalan memboikotnya dengan jalan
tidak memasarkan ke masyarakat. Sebuah sudut pandang atau pola pikir baru yang
harus tumbuh di masyarakat dalam melihat produk lokal, baik dari gaya hidup
yang menjunjung tradisi tetapi tidak stagnan nilai kelokalannya saja tetapi
tetap berpikir global untuk bisa tetap eksis dan tidak tertinggal di pasar
global, kemudian masyarakatpun punya rasa bangga dan harga diri untuk memakai
produk nasional.
Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat .
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Hadiwijono, Harun. 1971. Sari Falsafat India .
Jakarta : Badan Penerbit Kristen
Wegig, Wahana. 1989. Dimensi Etis Ajaran
Gandhi . Yogyakarta : Kanisius
Dari Internet
FNU Brawijaya Website dengan artikel Imperalisme...BK(2,
http://www.brawijaya.com
, diakses pada tanggal19 Maret 2006
Kwik Kian Gie dalam Membangun Kekuatan
Nasional Untuk Kemandirian Bangsa , karawang@polarhome.com
, diakses pada tanggal 19 Maret 2006
Yuyus Suryana Sudarma dalam Perilaku Membeli
Pengaruhi Pengangguran , http://www.pikiranrakyat.com
, diakses pada tanggal 19 Maret 2006
Bisnis dan Investasi, Ekspor Turun, Indikasi
Mulai Sulit Bersaing,
www.kompas.com
, diakses pada tanggal 19 Maret 2006
Barry Burke dalam Mahatma Gandhi on Education
, www.infed.com , diakses pada
tanggal 30 Maret 2006
I Wayan Gede Suacana dalam segmen: Menyimak
Alur pemikiran Tokoh-tokoh dunia Timur, www.balipost.com
, diakses pada tanggal 30 Maret 2006
FNU Brawijaya Website dengan artikel Imperalisme...BK(2),
http://www.brawijaya.com , diakses
pada 19 maret 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar