Rabu, 27 Juni 2012

Bung Karno: Kolabolator Atau Pahlawan?



MALAM itu aku pergi ke rumah Hatta. Kami mengadakan pertemuan yang pertama guna membicarakan
taktik kami bekerja untuk masa yang akan datang. “Bung Hatta dan saya dimasa yang lalu telah
mengalarni pertentangan yang mendalam,” kataku. “Memang di satu waktu kita tidak berbaik satu sama
lain. Akan tetapi sekarang kita menghadapi suatu tugas yang jauh lebih besar daripada yang dapat
dilakukan oleh salah seorang dari kita. Perbedaan dalam hal partai atau strategi tidak ada lagi. Pada
waktu sekarang kita satu. Dan kita bersatu di dalam perjuangan bersama.”
“Saya setuju,” Hatta menjatakan.
Kami berjabat tangan dengan kesungguhan hati “inilah”, kataku berjanji, “janji kita sebagai Dwitunggal.
Inilah sumpah kita yang jantan untuk bekerja berdampingan dan tidak akan berpecah hingga negeri ini
mencapai kemerdekaan sepenuhnya.”
Bersama‐sama dengan Sjahrir, satu‐satunja orang yang turut hadir, rencana‐rencana gerakan untuk masa
yang akan datang kami susun dengan cepat. Telah disetudjui, bahwa kami akan bekerja dengan dua cara.
Di atas tanah secara terang‐terangan dan di bawah tanah secara rahasia. Yang satu memenuhi tugas yang
tidak dapat dilakukan oleh cara yang lain.
“Untuk memperoleh konsesi‐konsesi politik yang berkenaan dengan pendidikan militer dan jabatanjabatan
pemerintahan bagi orang‐orang kita, kita harus memperlihatkan diri dengan cara kollaborasi.”
kataku.
“Jelaslah, bahwa kekuatan Bung Karno adalah untuk menggerakkan massa,” Hatta menegaskan. “Jadi
Bung Karno harus bekerja secara terang‐terangan.” ,,Betul, Bung Hatta membantu saya. Karena Bung
Hatta terlalu terkenal untuk bisa bekerja di bawahtanah.”
“Biarlah saya,” Sjahrir menyarankan, “untuk mengadakan gerakan bawah tanah dan menyusun bagian
penyadap berita dan gerakan rahasia lainnya.”
Pembicaraan singkat itu, yang berlangsung selama satu jam, mengembangkan suatu landasan yang
begitu ringkas. Dan kelihatannya seolah‐olah dikerjakan dengan sangat saksama, setelah diteliti kembali
20 tahun kemudian. Sebenarnya strategi kami adalah satu‐satunya pilihan yang mungkin dijalankan
ketika itu. Jadi kami tidak mernpunyai pilihan lain. “Inilah kesempatan yang kita tunggu‐tunggu,” kataku
bersemangat. “Saya yakin akan hal ini. Pendudukan Jepang adalah kesempatan yang besar dan bagus
sekali untuk mendidik dan mempersiapkan rakyat kita. Semua pegawai Belanda masuk kamp tawanan.
Sebaliknya jumlah orang Jepang tidak akan mencukupi untuk melancarkan roda pemerintahan di seluruh
kepulauan kita. Tentu mereka sangat mernerlukan tenaga kita. Indonesia segera akan melihat, bahwa
majikannya tidak akan berhasil dengan baik tanpa bantuan kita.”
Aku berjalan hilir mudik ketika berpikir dengan keras, “Akan tetapi rakyat kita harus menderita, lebih dulu,
karena hanya dengan penderitaanlah ia dapat bangkit. Rakyat kita adalah bangsa yang suka damai, mau
senang dan mengalah dan perna’af. Sungguhpun rakyat Indonesia hampir mencapai jumlah 70 juta dan
diperintah oleh hanja 500.000 orang, akan tetapi darah rakyat tidak pernah bergolak sedernikian panas
sehingga sanggup bertempur melawan Belanda. Belanda menenteramkan penguasaannya dengan
memberikan kebaikan‐kebaikan palsu. Jepang tidak.
“Kita tahu, bahwa Jepang tidak segan‐segan memenggal kepala orang dengan sekali ayunan pedangnya.
Kita mengetahui muslihat mereka, memaksa si korban meminum berliter‐liter air dan kemudian
melompat keatas perutnya. Kita sudah mengenal jeritan di tengah malam yang menakutkan yang keluar
dari markas Kenpetai. Kita mendengar prajurit‐prajurit Kenpetai dengan sengaja dalam keadaan mabukmabukan
untuk menumpulkan perasaannya. “Orang Jepang memang keras. Kejam. Cepat melakukan
tindakan kurangajar. Dan ini akan membuka mata rakyat untuk mengadakan perlawanan.
“Mereka juga akan memberikan pada kita kepercayaan terhadap diri sendiri.” Hatta menguraikan.
“Bangsa Asia tidak lagi lebih rendah dari orang Barat.” ,,Kondisi‐kondisi inilah yang akan menciptakan
suatu kebulatan tekad. Kalau rakyat kita betul‐betul digencet, maka akan datanglah revolusi mental.
Setelah itu, revolusi fisik.”
Aku duduk. Melalui lubang sandal aku mengelupas kuku jari kakiku, suatu tanda yang pasti bahwa
pikiranku gelisah. Tanpa kusadari aku mengelupas kuku ibu jari kakiku terlalu dalarn hingga berdarah.
“Kita harus melancarkan gerakan kebangsaan,” kataku berbicara dalam mulut.
“Tidak mungkin,” Hatta membalas. “Mengadakan rapat umum dan berpolitik dalam bentuk apapun
dilarang.”
“Kita tidak bisa membangkitkan semangat rakyat kalau tidak ada pergerakan rakjat,” kunyatakan dengan
tegas. “Saya tidak bisa duduk‐duduk saja di belakang meja secara pasif. Kalau hanya sebagai pemberi
nasehat, itu tidak cukup bagi saya. Harus ada kegiatan. Kita tidak bisa menyuruh rakyat berjuang,
sekalipun dengan diam‐diam, tanpa bimbingan. Kalau saya tidak bisa Membentuk suatu gerakan sendiri,
saya akan mengadakan infiltrasi ke dalarn gerakan yang didukung oleh Jepang. Bagaimana dengan
Gerakan Tiga‐A?”
Gerakan Tiga‐A adalah suatu organisasi yang secara psichologis keliru. la bekerja dengan semboyannya
yang menusuk hati: “Dai Nippon Pemimpin Asia. Dai Nippon Pelindung Asia. Dai Nippon Cahaya Asia”
“Gerakan itu tidak betul,” Sjahrir menggerutu. “Tujuannja tadinya hendak mengumpulkan bahan
makanan dari kita, mengaut kekayaan alam kita dan bahkan juga mengumpulkan tenaga manusia.”
“Akan tetapi gerakan itu tidak memberikan apa‐apa sebagai balasannya,” Hatta menambahkan.
“Ditambah lagi dengan propagandanya yang sangat dibesar‐besarkan, tidak adanya pemimpin bangsa
Indonesia yang duduk dalam pucuk pimpinannya dan ketidaksenangan rakyat yang sernakin meningkat
menyebabkan gerakan itu segera menarik diri. Lebih baik Bung Karno menjauhkan diri dari Gerakan Tiga‐
A.”
“Tidak. Saya pikir, malah saya akan memasukinya.” Kenapa ?” ,,Ya. Untuk merombaknya.”
Di malam pertama aku di Jakarta aku pergi tidur dengan kepala yang pusing, oleh karena pikiranku
gelisah. Hitam putihnya baru diketahui di hari esok. Aku harus menghadap Letnan Jendral Imamura. la
menerimaku di kamar duduknya dalam istana yang putih dan besar itu, bekas istana Gubemur Jendral
Hindia Belanda. Kamar duduk itu sekarang menjadi kamar studiku. Jendral Imamura adalah seorang
Samurai sejati. Kurus, melebihi tinggi orang biasa, bersifat sopan, hormat dan berbudi luhur. Setelah
mempersilakanku duduk, iapun duduk. Sikapnya lurus seperti tongkat.
Aku berbicara dalam bahasa Indonesia. Dia dalam bahasa Jepang. Kami mempunyai juru bahasa. Aku
pergi sendirian tanpa pengikut. Jendral itu dengan ajudannya tentu. Jendral‐jendral selalu punya. Dialah
mula‐mula membuka pembicaraan “Saya memanggil tuan ke Jawa dengan maksud yang baik. Tuan tidak
akan dipaksakan bekerja bertentangan dengan kemauan tuan. Hasil dari pembicaraan kita ‐apakah tuan
bersedia untuk bekerjasama dengan kami atau tetap sebagai penonton saja —samasekali tergantung
kepada tuan sendiri.”
“Boleh saya bertanya, apakah rencana Dai Nippon Teikoku untuk Indonesia?” Menjawab Imamura, “Saya
hanya Panglima Tertinggi dari tentara ekspedisi. Tenno Heika sendirilah yang berhak menentukan,
apakah negeri tuan akan diberi otonomi dalam arti yang luas dibawah lindungan pemerintah‐Nya.
Ataukah akan memperoleh kemerdekaan sebagai negara‐bagian dalam suatu federasi dengan Dai
Nippon. Ataupun menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh. Saya tidak dapat memberikan janji yang
tepat tentang bentuk kemerdekaan yang akan diberikan kepada negeri tuan. Keputusan yang demikian
itu tidak dapat diambil sebelum peperangan ini selesai. Sungguhpun demikian, kami dapat memahami
cita‐cita dan syarat‐syarat tuan, dan ini sejalan dengan cita‐cita kami.” Kalimatku selanjutnya adalah,
“Terimakasih, Jendral. Terima kasih karena tuanlah orang yang mendupak Belanda yang terkutuk itu
keluar. Saya mencobanya selama bertahun‐tahun. Negeri saya mencba selama berabad‐abad. Akan
tetapi Imamura‐lah orang yang berhasil.” ,Boleh saya bercerita, Ir. Sukarno, bagaimana saya menaklukkan
orang Kulit putih yang kuat perkasa itu dari pantai daratan tuan. Dengan gertak. Itulah! Semata‐mata
gertak.”
Wajahku di waktu itu tentu mencerminkan kebingungan, karena Jendral itu berkenan untuk tersenyum
dan kemudian dengan riang menceriterakan kemenangan itu. “Pada waktu tentara saya mendarat di
Jawa, pasukan saya hanya tinggal beberapa batalyon dan saya harus memecah‐mecahnya lagi. Sebagian
mendarat di Jawa Barat, sebagian di Jawa Tengah, sebagian di Jakarta, beberapa lagi di Banten. Yang
langsung dibawah pimpinan saya mendarat di Kalijati. Dan pasukan ini compang‐camping. Orang‐orang
saya punya senapan, tapi tidak punya uniform. Sebelum pendaratan kami, Gubemur Jendral sudah
terbang ke Bandung.”
“Kota itu dilindungi oleh gunung‐gunung, tentu dia menganggap kota itu dapat dipertahankan.” “Betul,”
Imamura mengangguk. “Lalu saya mengadakan hubungan dengan Bandung dan memerintahkannya ke
Kalijati untuk suatu perundingan perdamaian. Dia datang. Dan segera lagi, Saya bemarkas di sebuah
kamar yang kecil. Dengan suara‐suara yang gaduh, tapi tanpa pasukan untuk menyokong keberanian
saya, saya menuntut, ‘Nah, apakah tuan sekarang akan menyerah? Kalau tidak, saya akan membom tuan
sampai lenyap dari permukaan bumi. Dengan demikian dia dengan stafnya segera terburu‐buru dan
menyerah.”
“Dengan sisa tentara yang terpecah‐pecah dan melarat,” kataku kepada penakluk yang menghadapiku,
tuan mengusir orang‐orang yang akan selalu dianggap sebagai penindas‐penindas sejati dari Indonesia.
Saya berterima‐kasih kepada tuan untuk selama‐lamanya.”
Drama yang kupertunjukkan ini mengingatkan daku kepada pahlawan Filipina, Jendral Aguinaldo. Dia
melawan Spanyol selama bertahun‐tahun, dan ketika Amerika menaklukkan bekas penakluk itu, yang
pertama‐tama diucapkan oleh Aguinaldo kepada orang Amerika adalah, “Terima‐kasih.” Kemudian ketika
Amerika Serikat bermaksud hendak tetap berkuasa di Filipina, Aguinaldo menyepakkannya keluar dengan
keras.
“Berapa lama menurut pikiran tuan tentara akan memegang ke kuasaan pemerintahan disini?” tanyaku.
“Terus‐terang saya tidak tahu. Saya tidak mempunyai rencana sampai ke situ.” Nah, dia belum. Tapi aku
sudah punya. Dan aku mulai dengan siasat yang pertama. “Untuk memimpin rakyat kami sesuai dengan
pemerintahan militer, saya memerlukan orang sebagai pembantu pimpinan. Urusan pemerintahan hanya
dapat dilancarkan, kalau orang‐orang Indonesia di tempatkan pada jabatan‐jabatan pemerintahan. Hanya
orang Indonesialah yang mengetahui daerah, bahasa‐bahasa daerah dan adat‐istiadat saudarasaudaranya.”
“Kalau ini pemecahan yang terbaik untuk memajukan kemakmuran dan kesejahteraan, maka orang
Indonesia akan diberi kesempatan untuk ikut dalam menyelesaikan urusan dalam negeri secara
meningkat. Jabatan‐jabatan dalam pemerintahan akan diberikan kepada bangsa Indonesia dengan
segera.”
Kalau dilihat dari konsesi‐konsesi yang diberikan kepadaku di bidang politik, maka kekuasaan berada di
tanganku. Sang Jendral adalah seorang pemimpin militer. la mengetahui tentang senjata. Aku seorang
pemimpin politik. Aku mengetahui tentang pembinaan bangsa. Di dalam tanganku ia seorang bayi.
Kugariskan rencanaku kepada Hatta malam itu juga. “Dengan biaya pemerintah Jepang akan kita didik
rakyat kita sebagai peyjelenggara pemerintahan. Mereka akan dididik untuk memberi perintah tidak
hanya menerima perintah. Rakyat dipersiapkan menjadi kepala. kepala dan administrator‐administrator.
Mereka dididik untuk memegang roda pemerintahan guna suatu hari yang akan datang, pada waktu
mana kita mengambil alih kekuasaan dan menyatakan kemerdekaan. Kalau tidak begitu bagaimana
mungkin kita melengkapkan susunan pemerintahan tanpa personil” Tanpa menunggu jawaban atas
keterangan itu aku melanjutkan, “Dulu setiap kepala adalah orang Belanda dimana‐mana Belanda….
Belanda …… pendeknya setiap satu jabatan diduduki oleh si Belanda buruk!” ,,Dan rakyat kita cukup jadi
pengantar surat saja atau pesuruh,” Hatta menambahkan, “Selalu dalam kedudukan menghambakan diri
Selalu patuh.” ,,Sekarang rakyat yang kurus kering, diinjak‐injak lagi bebal ini akan menjadi pejabatpejabat
dalam pemerintahan. Mereka akan belajar membuat keputusan, mereka akan mempelajari
bagaimana melancarkan tugas, mereka akan mempelajari bagaimana memberikan perintah. Saya sudah
menanamkan bibitnya dan Jepang akan memupuknya.
Aku meludah ke tanah. “Itulah sebabnya mengapa setiap orang yang cerdas membenci Belanda. Orang
Belanda mengharapkan kerjasama kita, akan tetapi tidak sedikitpun memberi kesempatan pada kita yang
menguntungkan dari kerjasama itu. Kalau saya mengingat‐ingat perangai Belarida yang munafik, saya
mau muntah. Apakah yang dikerjakan Belanda untuk kita? Nol besar! Saya menyadari, tentu ada orang
yang menentang saya, karena saya bekerjasama dengan Jepang. Tapi, apa salahnya? Memperalat apa
yang sudah diletakkan di depan saya adalah taktik yang paling baik. Dan itulah sebabnya mengapa saya
bersedia menerimanya.”
Bulan November Gerakan Tiga‐A dibekukan. Bulan Maret aku pertamakali memegang jabatan resmiku
dalam suatu badan baru yang bernama PUTERA. Tokyo menganggap “Pusat Tenaga Rakyat” ini sebagai
alat dari Sukarno untuk mengerahkan bantuan rakyat di garis belakang bagi kepentingan peperangan
mereka. Tapi Sukarno mengartikannya sebagai alat yang nomor dua paling baik untuk melengkapkan
suatu badan penggerak politik yang sempurna.
Sebagai Ketua dari PUTERA tugasku ialah meringankan kesulitan‐kesulitan yang timbul di dalam negeri.
Ambillah misalnya persoalan tekstil yang rumit. Oleh ketiadaan kain rakyat Marhaen memakai baju dari
karung atau bagor. Anak‐anak yang baru lahir dibungkus dengan taplak meja. Aku pergi berkeliling
menyampaikan seruan kepada rakyat desa. Kataku, “Di negeri kita tumbuh semacam tanaman yang
bernama rosella. Seratnya bisa ‐ditenun menjadi kain. Hayo kita tanami rosella. Mari kita tenun kain dari
rosella.”
Rakyat mendengarkan seruanku itu. Kalau rakyat terpaksa mencari akal untuk menutupi kekurangan,
mereka melakukannya. Akan tetapi sementara aku menjalankan gerakan itu, aku memilih patriot‐patriot
yang dipercaya dan memperkerjakannya pada pembesar‐pembesar setempat. Kataku, “Pekerjaan ini
akan lebih berhasil, kalau orang Indonesia ditugaskan untuk melaksanakannya. Ini orangnya, jadikanlah
dia sebagai kepala dari gerakan ini. Saya sendiri menjamin kesetiaannya.”
Kami tidak mempunyai sabun. Kusampaikanlah kepada tetangga kami, supaya membuat sabun dari
minyak kelapa dan abu daun kelapa yang dibakar. Abu itu mengandung bahan kimia yang berbuih jika
dicampur dengan minyak. Kemudian kupilih salah seorang pengikutku yang paling dipercaya, Ialu
kusampaikan kepada pejabat yang berhubungan dengan itu, “Saya mempunyai seorang kawan disini
yang mengetahui bagaimana melakukannya. Tariklah dia untuk mengatasi persoalan tuan.”
Kami tidak punya listrik. Untuk mengatasi ini keluar pulalah seruanku, “Hayo kita tanam jarak. Tanaman
ini mudah tumbuh seperti tanaman pagar. Dari bijinya kita dapat membuat minyak kastroli yang bisa
menyala dengan terang.” Apa sebabnya aku mengetahui hal ini? Oleh karena aku orang Jawa. Oleh
karena keluargaku melarat dan terpaksa memakainya. Oleh karena selama sebagian dari hidupku aku
harus membakar biji jarak karena tidak mampu membeli bola lampu.
Itulah sebabnya mengapa para penakluk memerlukan pimpinan dari daerah yang diduduki itu. Hanya
penduduk aslilah yang tahu, bagainiana memecahkan persoalan penduduk. Musuh tidak dapat
menduduki suatu negeri tanpa bantuan dari pemimpin negeri itu ‐ini selalu‐ dimana saja ‐bilamana saja.
Kami tidak mempunyai obat‐obatan. “Pakailah obat asli peninggalan nenek moyang kita,” aku
menganjurkan. “Untuk penyakit malaria pakailah daun ketepeng. Untuk demam panas buatlah teh dari
alang‐alang.” Rakyat Indonesia sampai sekarang masih menggunakan penemuan‐penemuan ini.
Kekurangan makanan merupakan kesulitan yang paling rumit untuk diatasi. Tentara Jepang merampas
setiap butir beras. Kalau bukan orang penting jangan diharap akan memperolehnya sekalipun satu kilo. Di
Bali orang mati karena kelaparan. Aku berhasil mengumpulkan sejumlah besar biji pepaya dan
membagikannya kepada setiap orang masing‐masing dua butir. Buah‐buahan yang enak ini kemudian
tumbuh di setiap penjuru pulau.
Untuk memerangi kelaparan, maka tentara Jepang membuat jaringan radio yang tetap dengan
menempatkan pengeras suara di setiap desa, sehingga setiap orang yang sebelum itu hanya mendengar
nama Sukarno sekarang dapat mendengar suara Sukarno. “Saudara‐saudara kaum wanita,” terdengar
suara Sukarno mendengung melalui tiap pengeras suara, “Dalam waktu saudara yang terluang,
kerjakanlah seperti yang dikerjakan oleh Ibu Inggit dan saya sendiri. Tanamlah jagung. Di halaman muka
saudara sendiri saudara dapat menanamnya cukup untuk menambah kebutuhan keluarga saudara.” Nah,
karena Sukarno yang mengatakan ini kepada mereka, mereka menanamnya. Dan di setiap halaman
bertunaslah buah jagung. Usaha ini ada ketolongannya.
Mau tidak mau aku harus membelokkan kebencian rakyat terhadap orang Jepang, karena kekurangan
makanan ini. Karena itu aku mengadakan pidato‐pidato seperti ini. “Agen‐agen musuh membisikkan di
telinga saudara, bahwa Dai Nippon yang menjadi sebab kesulitan kita. Itu tidak benar. Berbulan‐bulan
yang lalu dunia mengetahui, bahwa India diamuk oleh kelaparan. Negara‐negara Sekutupun menderita
kemelaratan dan setiap hari rakyat mereka berbaris untuk memperoleh sepotong roti. Jika mereka
mengatakan ‘Tidak’ itu adalah bohong besar. Dan kalau saudara‐saudara percaya kepada berita bohong
ini, maka saudara sama saja seperti katak di bawah tempurung.
Bertahun‐tahun yang lalu Winston Churchil sudah mengeluh tentang kekurangan bahan makanan di
Inggris. Jadi, saudara‐saudara, peperangan mengakibatkan kekurangan dimana‐mana.
“Dulu Belanda mengimpor beras dari Birma dan Muangthai. Akan tetapi kapal‐kapal pengangkut itu
sudah ditenggelamkan ke dasar laut. Kekurangan makanan adalah kejadian yang biasa dalam
peperangan. Akan tetapi siapakah yang bersalah, sehingga kita harus mengimpor beras selama ini?
Belanda. Bukan Dai Nippon Teikoku. Negeri Belanda dengan paksa merubah sawah‐sawah kita menjadi
kebun tebu, tembakau atau hasil lain uang bisa diekspor untuk menggendutkan dirinya sendiri. Maka dari
itu, sampai di hari kita berdiri sendiri bebas dari penghisapan imperialisme kita tergantung kepada impor
beras.”
Aku ditugaskan untuk menyerang Sekutu, memuji negara‐negara As ‐yaitu sekutu Jerman dan Jepang ‐
menimbulkan kebencian terhadap musuh‐musuh kita Inggris, Amerika dan Belanda, dan bantulah Dai
Nippon.” Akan tetapi, sekalipun pidato‐pidatoku diteliti terlebih dulu dengan kaca pembesar oleh Bagian
Propaganda, kalau dipeladjari sungguh‐sungguh ternyatalah bahwa 75% dari isi pidato itu semata‐mata
menanamkan kesadaran nasional.
Misalnya saja, sambil menunjuk kepada seorang prajurit Jepang yang sedang mengawal dengan senapan
dan sangkur, aku berkata, “Lihat, dia menjalankan tugasnya oleh karena dia cinta kepada tanah airnya.
Dia berperang untuk bangsanya. Dia bersedia mati demi kehormatan tanah airnya. Begitupun …. kita
……harus! Kemudian aku menanamkan kepada rakyat tentang kebesaran negeri kami sebelum
mengalami penjajahan. “Kerajaan Majapahit memperoleh kemenangan yang gilang‐gemilang setelah
digembleng dengan penderitaan dalam peperangan‐peperangan melawan Kublai Khan. Sultan Agung
Hanjokrokusumo membikin negara Mataram menjadi negara yang kuat setelah mengalami cobaancobaan
di dalam perang Senapati. Dan orang Islam di jaman. keemasannya barulah menjadi kuat setelah
mengalami Perang Salib. Tuhan Yang Maha Kuasa berfirman dalam Quran: “Ada masa‐masa dimana
kesukaranmu sangat berguna dan perlu.”
Aku pandai memilih kata‐kata sehingga orang‐asing, sekalipun bisa berbahasa Indonesia, tidak dapat
menangkap arti kiasan yang khas menurut daerah. Aku memetik cerita‐cerita dari Mahabharata, oleh
karena 80% dari bangsa Indonesia sudah biasa dengan cerita itu. Mereka tahu, bahwa Arjuna adalah
pahlawan dari Pandawa Lima, dimana kerajaan mereka telah direbut secara licik dalam suatu peperangan
besar. Pandawa Lima ini melambangkan kebaikan. Yang menaklukkan mereka adalah lambang
kejahatan.
Setiap nama mencerminkan watak manusia di dalam pikiran kami. Arjuna perlambang dari pengendalian
diri sendiri. Saudaranya, Werkudara, melambangkan seseorang yang kuat berpegang kepada kebenaran.
Sebutlah Gatutkaca, serta‐merta orang teringat kepada Sukarno. Mendengar Buta Cakil, orang tahu
bahwa itu raksasa yang jahat. Dalam pewayangan maka tokoh‐takoh yang baik selalu duduk di kanan,
yang jahat di sebelah kiri. Muka‐muka yang berwarna keemasan putih atau hitam menunjukkan orang
yang baik‐baik dan yang merah bandit‐banditnya. Dengan mudah sekali aku membawakan jalan
pikiranku dalam perumpamaan ini.
Cara yang lain ialah dengan perlambang hewan. Dari tulisan‐tulisanku yang dibuat sebelum perang rakyat
mengetahui, bahwa aku menganggap negeri Jepang sebagai imperialis modern di Asia. Jadi, dalam masa
inilah aku mencetak satu perumpamaan yang terkenal: “Di bawah Matahari Terbit, manakala Liong
Barongsai dari Tiongkok bekerjasama dengan Gajah Putih dari Muang Thai, dengan Karibu dari Filipina,
dengan Burung Merak dari Birma, dengan Lembu Mandi dari India, dengan Ular Hydra dari Vietnam, dan
sekarang, dengan Banteng dari Indonesia, maka Imperialisme akan hancur lebur dari permukaan benua
kita !”
Menurut cara berpikir orang Indonesia ini cukup jelas. Maksudnya ialah bahwa daerah‐daerah yang
diduduki bersatu dalam tekad untuk melenyapkan agressi. Aku tidak mengatakan kita bekerjasama
dengan Matahari Terbit. Aku mengatakan, kita bekerjasama DIBAWAH Matahari Terbit.
Imamura senang sekali dengan kepandaianku berpidato, yang dianggapnya semata‐mata sebagai alat
untuk dapat mempertahankan daerah takluknya. Ketika aku minta izin untuk “menulis dan berkeliling
guna meringankan kesulitan‐kesulitan di daerah yang tidak bisa didapai”, dia menyediakan surat‐surat
kabar dan pesawat terbang untuk itu. Dia mengizinkanku untuk mengadakan rapat‐rapat raksasa Aku
berpidato dihadapan 50.000 orang dalam suatu rapat, aku berpidato di hadapan 100.000 orang dalam
rapat yang lain. Tidak hanya nama Sukarno, melainkan juga wajah Sukarno telah menjalar ke seluruh
pelosok kepulauan Indonesia. Untuk ini aku harus berterima kasih kepada Jepang. Sekali lagi aku
menggelorakan hati rakyat. Aku membangkitkan semangat rakyat. Aku mengoyak‐oyak kesadaran
rakyat. Dan Dai Nippon semakin memerlukan bantuanku.
Sungguhpun demikian, janganlah orang mengira bahwa karena kedudukan itu keadaanku empuk dan
mewah selama peperangan. Tidak. Kalau rakyat lapar, Sukarnopun lapar. Kalau tidak ada makanan,
Sukarno juga tidak mempunyai makanan. Aku sendiri terpaksa mendari beras untuk memberi makan
keluargaku. Pemimpin dari suatu bangsa pergi ke kampung‐kampung untuk mengumpulkan lima kilo
beras, tak ubahnya dengan rakyat desa yang paling miskin.
Dan pada suatu kali aku tidak lekas memadamkan lampu pada waktu penggelapan. Secelah kecil cahaya
selama satu detik tampak bersinar dari luar yang gelap. Segera setelah aku mematikannya, terdengarlah
suara orang menggedor‐gedor pintu dengan keras. Dengan cepat Inggit menjawabnya dan ia berhadapan
dengan sekelompok Polisi Militer.
“Ada apa?” tanya Inggit gemetar. Kaptennya menggeram, “Siapa yang punya rumah ini?” ,,Saya,” jawab
Inggit. ,,Tidak,” teriaknya, “Kami maksud tuan rumah. Siapa suami nyonya?”
Aku sedang berada jauh di dalam, akan tetapi aku keluar juga Kapten itu membentak‐bentak kepadaku
karena cahaya lampu yang sedetik itu, kemudian tangannya melayang plang …. plang ….. plang ….plang,
kemplangannya dengan cepat melekat di mukaku. Melihat pemandangan itu Inggit berlutut dan menjerit,
“Aduh …. Aduh…. jangan tampar dia. Saya yang harus bertanggung jawab. Itu bukan salahnya. Oooo,
ma’afkanlah dia. Saya yang lalai …… !”
Orang‐orang itu tidak peduli. Mereka lebih mau menghukumku. Mukaku pecah‐pecah. Dari bibir dan
hidungku banyak mengalir darah. Akan tetapi tidaklah aku mengucapkan sepatah kata. Aku tidak
bertahan untuk diriku sendiri. Aku hanya menahankannya dengan tenang sambil berkata kepada diriku
sendiri, “Sukarno, kesakitan yang kaurasakan sekarang hanyalah merupakan kerikil di jalan raya menuju
kemerdekaan. Langkahilah dia. Kalau engkau jatuh karenanya, berdirilah engkau kembali dan terus
berjalan.”
Aku melaporkan kejadian ini kepada Kolonel Nakayama, Kepala Bagian Pemerintahan, dan tentu saja dia
minta maaf dan menyatakan, “Kapten itu tidak mengetahui siapa tuan” dan selanjutnya katanya, “segera
akan diambil tindakan terhadap orang itu”;, akan tetapi orang‐orang itu tetap mengawasiku setiap saat.
Pada suatu kesempatan Imamura berpidato di hadapan rakyat. Sambutan rakyat lembek. Aku
menterjemahkannya dengan semangat yang berkobar‐kobar dan dengan memberikan beberapa putar
balik kata‐kata gaya Sukarno. Rakyatku jadi gila karenanya. Pada setiap ucapan mereka bersorak dan
berteriak dan bertepuk. Hal ini membangkitkan kecurigaan Kenpeitai. Aku diiringkan ke markasnya,
dimana aku dibentak, disenggak dan diancam. Aku merasa yakin dalam diriku, bahwa aku akan
digantung. Tapi untunglah. Seorang juru bahasa yang mereka pakai dibawa masuk untuk menghadapiku.
Akan tetapi orang ini setia kepadaku dan dia menjamin ucapan‐ucapanku. Kemudian setelah mengalami
detik‐detik yang menakutkan selama berjam‐jam aku dibebaskan kembali.
Kemanapun aku pergi, aku diiringi oleh perwira‐perwira Jepang atau menelitiku secara diam‐diam.
Seringkali Kenpeitai datang di waktu yang tidak tertentu. Aku harus menjaga diriku setiap saat. Orang
Jepang tidaklah bodoh. Mereka tidak pernah mempercayaiku sepenuhnya. Kaki tangan kami dalam
gerakan bawah tanah mengabarkan, bahwa ada rencana Jepang untuk membunuh semua pemimpin
bangsa Indonesia. Pun orang mengatakan, bahwa Jepang masih memerlukan tenagaku guna mengambil
hati rakyat untuk kepentingan mereka. Akan tetapi di saat tugas ini selesai, gilirankupun akan datang
pula. Aku senantiasa dalam bahaya.
Berbahaya atau tidak, namun aku tetap mengadakan hubungan rahasia dengan gerakan bawah tanah.
Kadang kadang jauh tengah malam, pada waktu semua lampu sudah padam dan semua orang sudah
menutup pintunya, aku mengadakan pembicaraan di klinik Dr. Suharto. Adakalanya aku mengadakan
kontak dengan seorang penghubung di luar tempat terbuka secara beramah‐tamah, kelihatan tersenum
seolah‐olah kami berbicara dengan senang. Kemudian di hari berikutnya secara berbisik‐bisik tersebarlah
instruksi kepada anggota‐anggota bawah tanah, “Ini boleh kita kerjakan …. ini tidak.” Perintah‐perintah
ini datangnya dariku. Aku sendirilah yang memiliki fakta‐fakta tertentu. Aku merupakan saluran informasi
ke kedua jurusan. Akan tetapi Jepang mempunyai cara‐cara untuk melemahkan semangat seseorang.
Orang yang tertangkap karena memakai bahasa Belanda dipukuli. Perempuan‐perempuan ditarik dari
rumahnya dan diangkut dengan kapal, katanya ke “tempat pendidikan”, tapi kemudian mereka
dijerumuskan ke dalam rumah perzinaan. Laki‐laki dan perempuan yang tidak membungkukkan badan
pada waktu melewati seorang penjaga di jalanan mendapat tamparan. Dari cara hukuman yang demikian
karena kesalahan kecil‐kecil dapatlah orang membayangkan, bagaimana hukuman yang harus dihadapi
oleh orang‐orang yang kedapatan bergerak di bawah tanah. Dan kenyataan ini memaksa orang untuk
bertindak hati‐hati sekali.
Cucunguk ada di mana‐mana. Dengan menyamar sebagai tukang sate mereka berjalan sepanjang waktu,
sambil mendengar‐dengarkan suara titit ….. titit dari radio, yang berarti bahwa ada seseorang yang
sedang menerima ‘atau mengirim berita. Kemenakan Suharto ditangkap karena ketahuan mendengarkan
radio gelap. la dijatuhi hukuman mati. Dr. Suharto, seorang kawan seperjuanganku yang akrab dan kawan
sesungguhnya, tidak minta pertolonganku supaya berusaha melepaskannya, oleh karena dia
menganggap tuduhan itu terlalu berat dan jika aku turut membelanya dapat mendjerumuskan ku ke
dalam bahaya yang besar.
Akan tetapi aku mempunyai mata dan telinga dalam Kenpeitai. Mereka selalu mengetahui sebelumnya,
kalau ada kekeruhan tugas merekalah untuk menyalurkan berita itu kepadaku. Berita disampaikan secara
lisan. Tidak ada yang berani menyatakannya dengan tertulis. Berita itu diteruskannya kepada seorang
agen yang bekerja di Sendenbu, yang kemudian menghubungi pula seorang kawan di PUTERA.
Akhirnya sampailah kabar kepadaku, bahwa telah terjadi penggerebekan dan Dr. Darmasetyawan ini
ditahan dan disiksa. Aku mendengar, bahwa tanggal ia akan menjalani hukuman mati telah ditetapkan.
Dan pada suatu hari Suharto mendapati kemenakannya sudah kembali lagi dan sedang duduk di beranda
depan rumahnya. Semuanya terjadi dengan sangat cepat, tidak dengan ribut‐ribut.
Orang Indonesia mempunyai keluarga yang besar dan ratusan sanak saudara, sehingga berita dapat
berjalan dari desa ke desa ke seluruh pelosok pulau dalam waktu beberapa hari. Cara ini lebih baik
daripada telpon. Dengan cara berita dari mulut ke mulut ini datanglah pesan yang lain: “Pengacara Sujudi
ditahan. Sampaikan kepada Sukarno.” Sujudi telah mengorbankan reputasinya untukku. Di rumahnyalah
aku ditangkap dalam bulan Desember tahun 1929. Aku mengadakan hubungan dengan para pembesar
yang mengurus perkaranya, memberikan diriku sendiri sebagai jaminan untuk menyelamatkan Sujudi.
“Tidak mungkin dia mengadakan komplot menentang Dai Nippon,” aku mempertahankan. “Tuduhan ini
tentu keliru. Sujudi adalah nasionalis yang setia dan takkan mau melawan Dai Nippon yang kami hormati,
karena Nipponlah yang membantu kami untuk kemerdekaan.” Setelah itu ia bebas.
Sampai pula laporan kepadaku bahwa Amir Sjarifuddin, salah seorang pemimpin kami dari gerakan
bawah tanah, selama berminggu‐minggu telah digantung oleh Kenpetai dengan kakinya ke atas. Dia
disuruh meminum air kencingnya sendiri. Dia takkan dapat tahan lebih lama lagi. Aku merundingkan
pembebasannya dengan menegaskan kepada para pejabat yang bersangkutan, “Bebaskan dia atau kalau
tidak, jangan diharap lagi kerjasama dari saya.” Untuk dapat membuat pernyataan seperti itu, sungguhsungguh
diperlukan hati yang kuat. Akan tetapi untuk dapat memandangi keadaan Amir Sjarifuddin
ketika Jepang mengeluarkannya, memerlukan kekuatan hati yang lebih besar lagi. Badannya kurus seperti
lidi. Orang tidak dapat percaja, bahwa seseorang masih sanggup menahankan penderitaan seperti itu dan
masih mungkin keluar daIam keadaan bernyawa.
Aku telah banyak menyelesaikan persoalan‐persoalan demikian ini. Sampai sekarang ia terkubur jauh di
dalam hatiku. Tidaklah kusorak‐sorakkan jasa yang telah kuberikan kepada orang lain dari atas atap
rumah, betapapun juga banyaknya. Selama hidupku aku telah menjalankan amal jariah kepada semua
manusia, apabila aku sanggup melakukannya. Aku tahu. Dan Tuhan pun tahu. Itulah yang penting bagiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar