Sejarah dan masyarakat: lintasan
historis islam di Indonesia penyunting: taufik abdullah. Penerbit: pustaka
firdaus, jakarta, 1987, 156 menekankan mengenai sejarah, islam, dan Indonesia. Dalam buku ini berupa kumpulan tulisan
sejumlah penulis asing: Harry J. Benda (Bab II: Kontinuitas dan Perubahan dalam
Islam di Indonesia), W.F. Wertheim (Bab III: Gerakan-gerakan Pembaruan Agama di
Asia Selatan dan Asia Tenggara), Clifford Geertz (Bab IV: Konflik dan Integrasi
Agama dan Masyarakat di Mojokuto), A. Johns (Bab V: Tentang Kaum Mistik Islam
dan Penulisan Sejarah), dan James T. Siegel (Bab VII: Sembahyang dan Permainan
di Aceh: Suatu Ulasan tentang Dua Foto), ditambah dua tulisan Taufik Abdullah
(Bab VI: Adat dan Islam: Suatu Tinajuan tentang Konflik di Minangkabau), serta
Pengantar (Bab I).
Yang terakhir ini menjelaskan sifat
tulisan-tulisan yang dikemukakan: bahwa yang disorot adalah fenomena sosial,.bukan
isi ajaran. Sebab itu, kesenjangan dijumpai antara keduanya. Namun, menurut
Taufik, guna dan makna beragama bagi penganutnya tetap tinggi dan dalam,
sehingga dari sudut ini persoalan aiaran blsa tldak relevan sama sekali. Hanya
saja -- dan ini ulasan saya bagaimana hendak menekankan keterkaitan fenomena
dengan ajaran, kalau sekiranya yang bersangkutan tidak merasa concerned
dengannya? Tulisan ahli-ahli asing tersebut memang melihat guna dan makna agama
(Islam) bagi penganutnya sejauh yang dapat diamati dan ditanggapl oleh mereka
pada fenomena penganutnya. Ajaran dikemukakan sekadar ia tercermin pada
penganut, umumnya tanpa perlu melihat ajaran itu sendiri. Pandangan tekstual
memang tidak disebut-sebut, sekurang-kurangnya demikianlah yang dimaksud. Tetapi
apakah memang benar hal ini bisa dilakukan tentulah bisa dipertanyakan.
Penyunting sendiri, dalam Pengantar (Bab I kitab pertama) yang sudah direvisi,
berusaha menjelaskan masalah ini. Ia antara lain menjelajahi pendekatan
penulisan penulis-penulis tersebut, mencoba memahaminya, dan tiba pada
kelemahan dan kekuatan penulisan . Dalam hubungan dengan kaitan teks dan
fenomena tadi, Taufik melihat bahwa Geertz "cenderung untuk memasukkan
berbagai aktivitas kehidupan ke dalam kategori agama" (halaman 20). Ini
untuk menyebut satu contoh kelemahan saja. Tetapi pangkal tolak pandangan
barangkali memang terletak pada apa yang dimaksud dengan agama. Kalau rumusan
Berger dipakai, yaitu "usaha yang berani untuk menghayati alam semesta
sebagai sesuatu yang penting dari sudut kemanusiaan" (halaman 24) atau
rumusan Bellah, "suatu mekanisme yang paling umum untuk mengintegrasikan
makna dan motivasi dalam suatu sistem tindakan" (pada halaman yang sama),
dengan kata lain, seperti yang disimpulkan Taufik: "Agama dianggap sebagai
sistem yang seluruhnya terikat pada kemanusiaan" (halaman sama), maka kita
bisa tiba pada kemungkinan kesimpulan bahwa agama adalah buatan manusia, atau
Tuhan terikat pada gambaran yang ada pada manusia tentang diri-Nya. Maka,
terganggulah ajaran, sementara kesenjangan teks dan fenomena tak mungkin
ditutup. Untunglah, walau Taufik bagai mempersamakan cara segenap penulis itu,
ahnea akhir di atas lebih ditujukan pada Geertz, Siegel, dan Wertheim. Sedang
Harry J. Benda sekadar mencoba melihat apa yang "tetap" dan apa yang
"berubah" pada fenomena keagamaan. Sayang, dalam hubungan ini ia
tidak mempergunakan konsep fithrah hingga cenderung melihat yang
"tetap" dari zaman pra-Islam seakan berlawanan dengan Islam. Dan
hanya yang "berubah" karena Islamlah yang masuk kategori Islam. Kalau
ia ingat pula pada apa yang mubah, ia tidak perlu melihat apa yang berkembang
atau berubah dalam kategori hitam-putih. Walau tidak te~gas. tulisan Ta~fik
dalam Bab VI mengarah ke soal ini, namun ia sekadar mengetengahkan soal (adat
dan Islam) -- tidak menyelesaikannya. Dalam pada itu, Johns mencoba melihat
peranan orang sufi, tetapi ia lupa menyebut bahwa pada zaman yang ia gambarkan
itu (setelah kejatuhan Baghdad pada 1258) dunia Islam pada umumnya -- termasuk
negeri-negeri tanpa pengaruh India -- dibanjiri orang-orang sufi dan ajarannya.
Juga pada tulisan Johns kita mempertanyakan kehadiran "rohaniwan di
kapal-kapal yang datang ke Asia Tenggara untuk menyebarkan tasawuf (ia sebut
syekh-syekh, halaman 91?. Padahal, pedagang yang mungkin sa)a sufl ketika itu
-- malah pedagang biasa yang bukan sufi -- bisa saja turut menyebarkan Islam.
Bukankah dalam masa bangkitnya reformasi Islam di Indonesia, pedagang Muslim
biasa turut serta dalam penyebaran? Dan pegawai pemerintah yang beragama Islam,
tanpa berpretensi tahu banyak tentang Islam, di awal abad ini menjadi penyebar
Islam? Kitab ke~dua (Islam dan Masyarakat) merupakan kumpulan tulisan Taufik
Abdullah sendiri 1975 sampai1986, setelah direvisi. Dan karena revisi dilakukan
bertenang-tenang di negeri atas angin pula (Amerika dan Jepang), ketenangan itu
pun terpantul. Berbeda dengan tulisan Taufik yang lain, gaya dalam kitab ini
lebih lancar, tidak njlimet, mudah dipahami kecuali bab akhir (Bab IX). Ada
beberapa segi yang perlu dicatat dalam kumpulan ini bila hendak
membandingkannya dengan kitab pertama. Kitab Islam dan Masyarakat ini
menampilkan Taufik sendiri: pendekatannya, gayanya, pemikirannya,
kecenderungannya, dan dengan demikian, apa dan betapa ia. Sebab itu, ia
benar-benar memperoleh kesempatan menguraikan pandangannya tentang berbagai
segi dan sejarah dan penulisannya. Hanya saja, karena bersifat kumpulan,
tekanan yang sama bisa berulang ia kemukakan, tetapi bisa pula lebih memudahkan
pembaca memahaminya. Tetapi dengan ini ia kurang berhasil menjaga keutuhan
tulisan, karena sifat kumpulan tertonjolkan, dan rangkaian kesatuan
tertinggalkan. Walaupun ini biasa terjadi dalam suatu kumpulan tulisan, akan
lebih afdol rasanya kalau dipergunakan rujukan-silang (cross reference). Dengan
kitab ini, di samping bisa lebih mengenal Taufik, kita pun dibawa menjelajahi
masalah-masalah umat Islam yang cenderung bersifat kekinian. Misalnya Islam dan
Negara (Bab I) Pola Kepemimpinan Islam (Bab II) Tentang Pesantren (Bab IV)
Islam, Sejarah, dan Politik diAceh (Bab V) Islam dan Sejarah Nasional (Bab
VIII), dan Pembinaan Intern Umat Islam (Bab IX). Di samping itu, penafsiran
kembali sejarah dan penulisannya, seperti Citra dan Corak Reformasi Islam di
Indonesia (Bab III) Perkembangan Islam di S~matera Selatan pada Abad ke-19 (Bab
VI) Sarjana Asing tentang Islam di Minangkaba~u di Zaman Kolonial (Bab VII ).
Tentu saja bab kekinian tadi menempati kedudukan yang terpisah atau terasing
benar dari bab-bab mengenai sebagai sejarah masa silam dan penafsirannya. Tulisan-tulisan
Taufik ini kelihatannya mencerminkan dua keinginannya yang pokok. Pertama,
memahami sejarah dan bagaimana baiknya menulis sejarah itu kedua, memahami
penulisan atau penulisan sejarah karangan orang lain. Tentu, keduanya berkaitan
erat. Maka, Taufik melihat dua segi yang perlu diperhatikan. Pertama, peristiwa
sejarah merupakan peristiwa yang tidak berdiri sendiri, malah berhubungan erat
dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhinya. Sebab itu, ungkapan peristiw
a hendaklah mengikutsertakan faktor-faktor ini. Dalam rangka ini, ia sering
menyebut sudut pandangan sosiologis (dan antropologis) dari perkembangan dan
peristiwa. Agaknya, bagi Taufik, alat bantu sosiologi dan antropologi merupakan
disiplin utama suatu hal yang bisa dipahami -- karena sifat masyarakat yang
diteliti dan diamati. Dan agaknya tak kurang pentingnya ialah latihan disiplin
yang ia peroleh waktu belajar di Cornell. Pandangan sejarah seperti itu telah
berkembang di sini secara mapan, walaupun tidak tergambar secara tegas dalam
kitab Sejarah Nasional Indonesia, 7 Jilid, yang disunting oleh Nugroho
Notosusanto dan kawan-kawan. Segi kedua yang hendak ditampilkan Taufik adalah
pemberian makna bagi masa silam. Ia berdialog dengan masa itu, dan mencoba
memberi tafsiran "baru" tentang antara lain reformasi Islam di
Indonesia, pandangan sarjana asing mengenai Islam di Minangkabau di zaman
kolonial, juga tentang kedudukan dan peran Islam dalam sejarah nasional. Dalam
rangka ini ia mencoba pula menggapai masa depan. Masalah Islam dan negara, pola
kepemimpinan Islam, d~n masalah intern umat Islam, erat hubungannya dengan masa
depan ini. Dari segi lain, sebenarnya perlu harapan dikemukakan kepada
penyunting dan penulis kitab-kitab ini. Sebagai muslim yang taat, agaknya tidak
berlebihan bila berharap agar ia dengan Jelas mengaitkan fenomena soslal dengan
ajaran Islam. Ia tentu memahami ajaran lebih baik, daripada mereka yang tidak
menghayatinya. Kiranya tidaklah terlalu banyak menuntut kalau ini tercermin
pula dalam ulasannya. Ataukah ia terpaksa tidak menghubungkan ini sebagai yang
tercermin pada istilah mulk yang ia pinjam dari Ibnu Khaldun (halaman 123) yang
ia terapkan pada kerajaan (atau negara-negara) di Indonesia dahulu? Tetapi
sambil lalu perlu dikatakan bahwa dengan istilah itu Ibnu Khaldun tidak
mengemukakan modus vivendi antara negara bersyari'ah dan negara tanpa syari'ah
seperti yang dikatakan Taufik. Khaldun lebih melihat negara kekuasaan pada
mulk. Penampilan kaitan ajaran dengan penelaahan fenomena -- seperti kita
ketengahkan juga dalam bagian di atas mengenai kitab pertama -- akan lebih
menampilkan kemungkinan alternatif bagi masa depan, dalam pemikiran dan
penulisan yang lebih kaya. Wallahualam. Deliar Noe~r
Tidak ada komentar:
Posting Komentar