Sabtu, 16 Juni 2012

SEJARAH DAN MASYARAKAT Lintasan Historis Islam Di Indonesia




Sejarah dan masyarakat: lintasan historis islam di Indonesia penyunting: taufik abdullah. Penerbit: pustaka firdaus, jakarta, 1987, 156 menekankan mengenai sejarah, islam, dan Indonesia.  Dalam buku ini berupa kumpulan tulisan sejumlah penulis asing: Harry J. Benda (Bab II: Kontinuitas dan Perubahan dalam Islam di Indonesia), W.F. Wertheim (Bab III: Gerakan-gerakan Pembaruan Agama di Asia Selatan dan Asia Tenggara), Clifford Geertz (Bab IV: Konflik dan Integrasi Agama dan Masyarakat di Mojokuto), A. Johns (Bab V: Tentang Kaum Mistik Islam dan Penulisan Sejarah), dan James T. Siegel (Bab VII: Sembahyang dan Permainan di Aceh: Suatu Ulasan tentang Dua Foto), ditambah dua tulisan Taufik Abdullah (Bab VI: Adat dan Islam: Suatu Tinajuan tentang Konflik di Minangkabau), serta Pengantar (Bab I).

 Yang terakhir ini menjelaskan sifat tulisan-tulisan yang dikemukakan: bahwa yang disorot adalah fenomena sosial,.bukan isi ajaran. Sebab itu, kesenjangan dijumpai antara keduanya. Namun, menurut Taufik, guna dan makna beragama bagi penganutnya tetap tinggi dan dalam, sehingga dari sudut ini persoalan aiaran blsa tldak relevan sama sekali. Hanya saja -- dan ini ulasan saya bagaimana hendak menekankan keterkaitan fenomena dengan ajaran, kalau sekiranya yang bersangkutan tidak merasa concerned dengannya? Tulisan ahli-ahli asing tersebut memang melihat guna dan makna agama (Islam) bagi penganutnya sejauh yang dapat diamati dan ditanggapl oleh mereka pada fenomena penganutnya. Ajaran dikemukakan sekadar ia tercermin pada penganut, umumnya tanpa perlu melihat ajaran itu sendiri. Pandangan tekstual memang tidak disebut-sebut, sekurang-kurangnya demikianlah yang dimaksud. Tetapi apakah memang benar hal ini bisa dilakukan tentulah bisa dipertanyakan. Penyunting sendiri, dalam Pengantar (Bab I kitab pertama) yang sudah direvisi, berusaha menjelaskan masalah ini. Ia antara lain menjelajahi pendekatan penulisan penulis-penulis tersebut, mencoba memahaminya, dan tiba pada kelemahan dan kekuatan penulisan . Dalam hubungan dengan kaitan teks dan fenomena tadi, Taufik melihat bahwa Geertz "cenderung untuk memasukkan berbagai aktivitas kehidupan ke dalam kategori agama" (halaman 20). Ini untuk menyebut satu contoh kelemahan saja. Tetapi pangkal tolak pandangan barangkali memang terletak pada apa yang dimaksud dengan agama. Kalau rumusan Berger dipakai, yaitu "usaha yang berani untuk menghayati alam semesta sebagai sesuatu yang penting dari sudut kemanusiaan" (halaman 24) atau rumusan Bellah, "suatu mekanisme yang paling umum untuk mengintegrasikan makna dan motivasi dalam suatu sistem tindakan" (pada halaman yang sama), dengan kata lain, seperti yang disimpulkan Taufik: "Agama dianggap sebagai sistem yang seluruhnya terikat pada kemanusiaan" (halaman sama), maka kita bisa tiba pada kemungkinan kesimpulan bahwa agama adalah buatan manusia, atau Tuhan terikat pada gambaran yang ada pada manusia tentang diri-Nya. Maka, terganggulah ajaran, sementara kesenjangan teks dan fenomena tak mungkin ditutup. Untunglah, walau Taufik bagai mempersamakan cara segenap penulis itu, ahnea akhir di atas lebih ditujukan pada Geertz, Siegel, dan Wertheim. Sedang Harry J. Benda sekadar mencoba melihat apa yang "tetap" dan apa yang "berubah" pada fenomena keagamaan. Sayang, dalam hubungan ini ia tidak mempergunakan konsep fithrah hingga cenderung melihat yang "tetap" dari zaman pra-Islam seakan berlawanan dengan Islam. Dan hanya yang "berubah" karena Islamlah yang masuk kategori Islam. Kalau ia ingat pula pada apa yang mubah, ia tidak perlu melihat apa yang berkembang atau berubah dalam kategori hitam-putih. Walau tidak te~gas. tulisan Ta~fik dalam Bab VI mengarah ke soal ini, namun ia sekadar mengetengahkan soal (adat dan Islam) -- tidak menyelesaikannya. Dalam pada itu, Johns mencoba melihat peranan orang sufi, tetapi ia lupa menyebut bahwa pada zaman yang ia gambarkan itu (setelah kejatuhan Baghdad pada 1258) dunia Islam pada umumnya -- termasuk negeri-negeri tanpa pengaruh India -- dibanjiri orang-orang sufi dan ajarannya. Juga pada tulisan Johns kita mempertanyakan kehadiran "rohaniwan di kapal-kapal yang datang ke Asia Tenggara untuk menyebarkan tasawuf (ia sebut syekh-syekh, halaman 91?. Padahal, pedagang yang mungkin sa)a sufl ketika itu -- malah pedagang biasa yang bukan sufi -- bisa saja turut menyebarkan Islam. Bukankah dalam masa bangkitnya reformasi Islam di Indonesia, pedagang Muslim biasa turut serta dalam penyebaran? Dan pegawai pemerintah yang beragama Islam, tanpa berpretensi tahu banyak tentang Islam, di awal abad ini menjadi penyebar Islam? Kitab ke~dua (Islam dan Masyarakat) merupakan kumpulan tulisan Taufik Abdullah sendiri 1975 sampai1986, setelah direvisi. Dan karena revisi dilakukan bertenang-tenang di negeri atas angin pula (Amerika dan Jepang), ketenangan itu pun terpantul. Berbeda dengan tulisan Taufik yang lain, gaya dalam kitab ini lebih lancar, tidak njlimet, mudah dipahami kecuali bab akhir (Bab IX). Ada beberapa segi yang perlu dicatat dalam kumpulan ini bila hendak membandingkannya dengan kitab pertama. Kitab Islam dan Masyarakat ini menampilkan Taufik sendiri: pendekatannya, gayanya, pemikirannya, kecenderungannya, dan dengan demikian, apa dan betapa ia. Sebab itu, ia benar-benar memperoleh kesempatan menguraikan pandangannya tentang berbagai segi dan sejarah dan penulisannya. Hanya saja, karena bersifat kumpulan, tekanan yang sama bisa berulang ia kemukakan, tetapi bisa pula lebih memudahkan pembaca memahaminya. Tetapi dengan ini ia kurang berhasil menjaga keutuhan tulisan, karena sifat kumpulan tertonjolkan, dan rangkaian kesatuan tertinggalkan. Walaupun ini biasa terjadi dalam suatu kumpulan tulisan, akan lebih afdol rasanya kalau dipergunakan rujukan-silang (cross reference). Dengan kitab ini, di samping bisa lebih mengenal Taufik, kita pun dibawa menjelajahi masalah-masalah umat Islam yang cenderung bersifat kekinian. Misalnya Islam dan Negara (Bab I) Pola Kepemimpinan Islam (Bab II) Tentang Pesantren (Bab IV) Islam, Sejarah, dan Politik diAceh (Bab V) Islam dan Sejarah Nasional (Bab VIII), dan Pembinaan Intern Umat Islam (Bab IX). Di samping itu, penafsiran kembali sejarah dan penulisannya, seperti Citra dan Corak Reformasi Islam di Indonesia (Bab III) Perkembangan Islam di S~matera Selatan pada Abad ke-19 (Bab VI) Sarjana Asing tentang Islam di Minangkaba~u di Zaman Kolonial (Bab VII ). Tentu saja bab kekinian tadi menempati kedudukan yang terpisah atau terasing benar dari bab-bab mengenai sebagai sejarah masa silam dan penafsirannya. Tulisan-tulisan Taufik ini kelihatannya mencerminkan dua keinginannya yang pokok. Pertama, memahami sejarah dan bagaimana baiknya menulis sejarah itu kedua, memahami penulisan atau penulisan sejarah karangan orang lain. Tentu, keduanya berkaitan erat. Maka, Taufik melihat dua segi yang perlu diperhatikan. Pertama, peristiwa sejarah merupakan peristiwa yang tidak berdiri sendiri, malah berhubungan erat dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhinya. Sebab itu, ungkapan peristiw a hendaklah mengikutsertakan faktor-faktor ini. Dalam rangka ini, ia sering menyebut sudut pandangan sosiologis (dan antropologis) dari perkembangan dan peristiwa. Agaknya, bagi Taufik, alat bantu sosiologi dan antropologi merupakan disiplin utama suatu hal yang bisa dipahami -- karena sifat masyarakat yang diteliti dan diamati. Dan agaknya tak kurang pentingnya ialah latihan disiplin yang ia peroleh waktu belajar di Cornell. Pandangan sejarah seperti itu telah berkembang di sini secara mapan, walaupun tidak tergambar secara tegas dalam kitab Sejarah Nasional Indonesia, 7 Jilid, yang disunting oleh Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan. Segi kedua yang hendak ditampilkan Taufik adalah pemberian makna bagi masa silam. Ia berdialog dengan masa itu, dan mencoba memberi tafsiran "baru" tentang antara lain reformasi Islam di Indonesia, pandangan sarjana asing mengenai Islam di Minangkabau di zaman kolonial, juga tentang kedudukan dan peran Islam dalam sejarah nasional. Dalam rangka ini ia mencoba pula menggapai masa depan. Masalah Islam dan negara, pola kepemimpinan Islam, d~n masalah intern umat Islam, erat hubungannya dengan masa depan ini. Dari segi lain, sebenarnya perlu harapan dikemukakan kepada penyunting dan penulis kitab-kitab ini. Sebagai muslim yang taat, agaknya tidak berlebihan bila berharap agar ia dengan Jelas mengaitkan fenomena soslal dengan ajaran Islam. Ia tentu memahami ajaran lebih baik, daripada mereka yang tidak menghayatinya. Kiranya tidaklah terlalu banyak menuntut kalau ini tercermin pula dalam ulasannya. Ataukah ia terpaksa tidak menghubungkan ini sebagai yang tercermin pada istilah mulk yang ia pinjam dari Ibnu Khaldun (halaman 123) yang ia terapkan pada kerajaan (atau negara-negara) di Indonesia dahulu? Tetapi sambil lalu perlu dikatakan bahwa dengan istilah itu Ibnu Khaldun tidak mengemukakan modus vivendi antara negara bersyari'ah dan negara tanpa syari'ah seperti yang dikatakan Taufik. Khaldun lebih melihat negara kekuasaan pada mulk. Penampilan kaitan ajaran dengan penelaahan fenomena -- seperti kita ketengahkan juga dalam bagian di atas mengenai kitab pertama -- akan lebih menampilkan kemungkinan alternatif bagi masa depan, dalam pemikiran dan penulisan yang lebih kaya. Wallahualam. Deliar Noe~r

Tidak ada komentar:

Posting Komentar