PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN SEJARAH DAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DENGAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA BUDAYA LOKAL*
A. Pendahuluan
Tema
seminar dan judul tulisan ini secara implisit menyiratkan adanya dua
hal yang berbeda, tetapi dapat disinergikan untuk tujuan yang positif.
Di satu sisi, frasa “peningkatan kualitas pembelajaran sejarah dan Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS)” menyiratkan adanya persoalan dalam
pembelajaran sejarah dan IPS di sekolah, sehingga perlu ditingkatkan; di
sisi lain frasa “pemanfaatan sumberdaya budaya lokal” menyiratkan
adanya potensi pada sumberdaya budaya lokal untuk menyelesaikan
persoalan yang terjadi dalam pembelajaran sejarah dan IPS di sekolah.
Terlepas dari adanya persoalan dalam pembelajaran sejarah dan IPS di
sekolah (kalau memang ada), suatu hal yang masih dapat dirasakan adalah
adanya citra buruk yang tampaknya masih melekat pada mata pelajaran
sejarah dan IPS (karena di dalamnya juga terdapat substansi sejarah)
sampai sekarang. Sejarah dianggap sebagai mata pelajaran
yang membosankan dan tidak menarik, karena harus menghafalkan
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau yang antara lain
mencakup nama-nama raja, kerajaan, dan angka tahun, sementara IPS
dianggap sebagai mata pelajaran yang kurang penting (dinomorduakan),
(mungkin) karena di dalamnya terdapat materi sejarah. Pendek kata, suatu
hal yang pasti adalah minat siswa terhadap mata pelajaran sejarah lebih
kecil dibandingkan dengan minat siswa terhadap mata pelajaran yang
dianggap penting (Ilmu Alam dan Ilmu Pasti). Kondisi ini
diperparah dengan adanya anggapan bahwa sejarah dianggap sebagai mata
pelajaran yang tidak ada gunanyanya karena yang dipelajari adalah
peristiwa pada masa lampau, sehingga dianggap tidak dapat memberikan
sumbangan yang berarti dalam kehidupan kekinian dan apalagi masa depan.
Tulisan
ini bertujuan untuk membahas tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah dan IPS
dengan memanfaatkan sumberdaya budaya lokal. Untuk mencapai pembahasan
yang relatif utuh, secara berurutan tulisan ini akan menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu:
1. Mengapa perlu peningkatan kualitas pembelajaran sejarah dan IPS?
2. Apakah yang dimaksud dengan sumberdaya budaya lokal?
3. Mengapa dan bagaimana sumberdaya budaya lokal dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah dan IPS?
B. Arti Penting Peningkatan Kualitas Pembelajaran Sejarah dan IPS-Sejarah
Walaupun
sebagian dari kalangan awam mempertanyakan tentang adanya kegunaan
sejarah, para ahli telah menyatakan bahwa sejarah itu memiliki kegunaan.
Secara garis besar setidaknya terdapat tiga kegunaan sejarah, yaitu:
guna edukatif, guna inspiratif, dan guna rekreatif dan instruktif.
Sejarah
memiliki guna edukatif karena sejarah dapat memberikan kearifan bagi
yang mempelajarinya, yang secara singkat dirumuskan oleh Bacon: “histories make man wise”.
Sejarah yang memberikan perhatian pada masa lampau tidak dapat
dipisahkan dari kemasakinian, karena semangat dan tujuan untuk
mempelajari sejarah ialah nilai kemasakiniannya. Hal ini tersirat dari
kata-kata Croce bahwa “all history is contemporary history”, yang kemudian dikembangkan oleh Carr bahwa sejarah adalah “unending dialogue between the present and the past”
(Widja, 1988: 49-50). Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat
disimpulkan bahwa apabila kita dapat memproyeksikan masa lampau ke masa
kini, maka kita dapat menemukan makna edukattif dalam sejarah.
Sejarah
memiliki guna inspiratif karena sejarah dapat memberikan inspirasi
kepada kita tentang gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang dapat
digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan masa kini, khususnya yang
berkaitan dengan semangat untuk mewujudkan identitas sebagai suatu
bangsa dan pembangunan bangsa.
Sejarah
memiliki guna rekreatif karena dengan membaca tulisan sejarah kita
seakan-akan melakukan “perlawatan sejarah” karena menerobos batas waktu
dan tempat menuju zaman masa lampau untuk “mengikuti” peristiwa yang
terjadi. Sementara itu guna instruktif merupakan kegunaan sejarah untuk
menunjang bidang-bidang ketrampilan tertentu (Notosusanto, 1979: 2-3).
Dalam
hubungannya dengan guna edukatif dan inspiratif dari sejarah, dapat
dikemukakan bahwa sejarah memiliki kaitan yang sangat erat dengan
pendidikan pada umumnya dan pendidikan karakter bangsa pada khususnya.
Melalui sejarah dapat dilakukan pewarisan nilai-nilai dari generasi
terdahulu ke generasi masa kini. Dari pewarisan nilai-nilai itulah akan
menumbuhkan kesadaran sejarah, yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan
untuk pembangunan watak bangsa (nation character building) (Kartodirdjo, 1994a dan 1994b).
Atas
dasar nilai guna yang dimilikinya, tidak mengherankan apabila sejarah
perlu diberikan kepada seluruh siswa di sekolah (dari SD sampai SMA)
dalam bentuk mata pelajaran. Kedudukannya yang penting dan strategis
dalam pembangunan watak bangsa merupakan fungsi yang tidak bisa
digantikan oleh mata pelajaran lainnya. Namun demikian, tujuan
pembelajaran sejarah itu tidak sepenuhnya dapat tercapai yang disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain berkaitan dengan proses
pembelajarannya. Oleh karena itu, sepanjang seluruh eksponen dan
komponen bangsa masih menginginkan eksistensi sebuah bangsa dan
negaranya, upaya-upaya peningkatan kualitas pembelajaran sejarah sampai
kapan pun masih menemukan signifikansinya. Dalam hal ini guru menduduki
posisi yang penting dan strategis dalam peningkatan kualitas
pembelajaran sejarah. Sehubungan dengan hal itu, guru harus selalu
meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran sejarah, dengan memperhatikan empat pilar
pembelajaran sebagaimana telah dideklarasikan oleh Unesco (1988), yaitu:
1) learning to know (pembelajaran untuk tahu), learning to do (pembelajaran untuk berbuat), 3) learning to be (pembelajaran untuk membangun jati diri, dan 4) learning to live together (pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis) (Setiadi, 2007: 2).
Selain
itu, dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 40 Ayat 1 butir e disebutkan bahwa “pendidik dan tenaga
kependidikan berhak memperoleh ‘kesempatan menggunakan sarana,
prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran
pelaksanaan tugas’”. Pasal ini memberikan peluang bagi guru untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran dengan dukungan sarana, prasarana,
dan fasilitas yang memadai. Pasal ini dipertegas oleh kewajiban pendidik
dan tenaga kependidikan yang tertuang dalam pasal 40 Ayat 2 butir a
yang menyatakan bahwa pendidik berkewajiban “menciptakan suasana yang
bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis”, sehingga
interaksi belajar yang monolog dan komunikasi satu arah tidak lagi
menjadi satu-satunya model pembelajaran. Pendekatan pembelajaran yang
bersifat indoktrinatif dapat menghalangi aktivitas dan kreativitas
siswa, sehingga menjadikannya pribadi yang pasif (Setiadi, dkk., 2007;
3).
Berdasarkan
uraian di atas, maka guru dituntut untuk selalu mengembangkan diri agar
meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah kepada siswa, sehingga
tujuan pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah dapat tercapai.
C. Sumberdaya Budaya (Lokal): Sebuah Pengertian
Sebelum
membicarakan tentang pemanfaatan sumber daya budaya lokal untuk
peningkatan kualitas pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah, kita perlu
mendefinisikan istilah “sumberdaya budaya (lokal) terlebih
dahulu. Hal ini dimaksudkan agar kita memiliki pemahaman yang sama
tentang istilah tersebut yang bermanfaat untuk dijadikan landasan dalam
pembahasan lebih lanjut.
Istilah
“sumberdaya” mengacu kepada sesuatu yang memiliki potensi dan dapat
dimanfaatkan. Pemanfaatan sesuatu yang memiliki potensi itu biasanya
digunakan untuk pencapaian tujuan tertentu yang dapat diukur dari segi
“produktivitas”. Apabila di belakang istilah itu ditambahkan dengan kata
“budaya” (menjadi “sumberdaya budaya”), maka istilah itu memiliki arti
bahwa sesuatu yang digunakan atau dimanfaatkan itu adalah hal-hal yang
bersifat budaya (Sedyawati, 2006a: 169). Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah: apakah budaya dan budaya lokal itu?
Budaya
(sering juga disebut kebudayaan) adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1984: 9;
dan 1986: 180). J.J. Honigmann dalam The World of Man (1959) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities, dan artifacts. Sejalan dengan hal tersebut Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan dapat digolongkan dalam tiga wujud. Pertama,
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, dan peraturan. Wujud pertama merupakan wujud ideal dari
kebudayaan yang bersifat abstrak (tidak dapat diraba, dipegang, atau
difoto), berada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang
bersangkutan hidup. Kebudayaan ideal ini disebut pula tata kelakukan
yang berfungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada
tindakan, kelakuan, dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Para ahli
antropologi dan sosiologi menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini
dengan cultural system (sistem budaya) yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah adat atau adat istiadat (dalam bentuk jamak). Kedua,
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan tersebut
dinamakan sistem sosial (social system). Wujud kebudayaan ini
dapat diobservasi, difoto, dan didokumentasi karena dalam sistem sosial
ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi satu dengan
yang lain. Sistem sosial merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat
konkret dalam bentuk perilaku dan bahasa. Ketiga, wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia; bersifat paling
konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat dilihat, diraba,
dan difoto. Wujud kebudayaan yang ketiga ini disebut kebudayaan fisik (material culture).
Ketiga
wujud kebudayaan dalam realitas kehidupan masyarakat tentu tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal mengatur dan
memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Ide-ide dan tindakan
menghasilkan benda-benda yang merupakan kebudayaan fisik. Sebaliknya
kebudayaan fisik membentuk lingkungan hidup tertentu yang dapat
mempengaruhi tindakan dan cara berpikir masyarakat (Koentjaraningrat,
1984: 5-6; dan 1986: 186-188).
Sementara
itu, budaya lokal merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk
membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya
global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang
menempati lokalitas tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh
masyarakat yang berada di tempat yang lain. Di Indonesia istilah budaya
lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/ subetnik atau
budaya daerah. [1]
Sumberdaya
budaya mencakup tiga wujud kebudayaan tersebut. Dengan kata lain
sumberdaya budaya tidak hanya yang bersifat kebendaan saja, dan juga
tidak hanya yang berasal dari masa lampau. Dalam arti yang luas,
sumberdaya budaya meliputi hasil-hasil budaya baik yang kebendaan dan
dapat disentuh (tangible) (benda cagar budaya) maupun yang nonbenda (intangible)
seperti konsep-konsep dan ekspresi-ekspresi budaya melalui suaradan
atau gerak yang berlalu dalam waktu (Sedyawati, 2006a: 94).
D. Pemanfaatan Sumberdaya Budaya Lokal untuk Pembelajaran Sejarah dan IPS
1. Arti Penting Sumberdaya Budaya Lokal untuk Pembelajaran Sejarah dan IPS-Sejarah
Ada
satu pertanyaan penting mengapa sumberdaya budaya lokal perlu
dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah? Jawabannya
adalah karena pemanfaatan khasanah sumberdaya budaya lokal dalam
pembelajaran di sekolah dapat berfungsi sebagai titik tolak untuk upaya
pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadaran
budaya. Pada dasarnya kesadaran sejarah mempersyaratkan beberapa hal. Pertama,
pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah yang mewujudkan bangsa
Indonesia, kemudian membawa bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Kedua, pengetahuan tentang upaya-upaya kekuatan-kekuatan dari luar Indonesia untuk menguasai kekuasaan di Indonesia dengan usaha-usaha dominasi ekonomi dan militer. Ketiga,
pemihakan yang kuat untuk martabat dan kewibawaan bangsa dan negara
Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain, setelah menyimak sejarah
bangsa.
Sementara itu, kesadaran budaya ditandai oleh empat hal. Pertama, pengetahuan tentang adanya berbagai kebudayaan yang masing-masing mempunyai jati diri dan keunggulan-keunggulannya. Kedua, sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri. Ketiga, pengetahuan tentang adanya riwayat perkembangan budaya di berbagai tahap masa silam. Keempat,
pengertian bahwa di samping merawat dan mengembangkan unsur-unsur
warisan budaya, kita sebagai bangsa Indonesia yang bersatu juga sedang
memperkembangkan sebuah kebudayaan baru, kebudayaan nasional (Sedyawati, 2006b: 330-331).
Dengan
demikian dapat dikemukakan bahwa sumberdaya budaya (lokal) merupakan
sarana untuk pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan
kesadarajn budaya.
2. Pemanfaatan Sumberdaya Budaya Lokal
Ada
beberapa hal yang perlu mendapatkan penyimakan sehubungan dengan
pemanfaatan sumberdaya budaya. Sumber daya budaya dapat dilihat baik
dari aspek proses keberadaan maupun substansinya. Dalam hal ini dapat
diperbedakan lima golongan upaya berkaitan dengan sumber daya budaya,
sebagai berikut.
a. Upaya Pemerolehannya
Upaya
pemerolehan yang berkaitan dengan peninggalan kebendaan dari masa lalu
termasuk kajian arkeologi yang meliputi usaha-usaha pengumpulan data
baik melalui ekskavasi maupun penghimpunan temuan di atas tanah secara
sistematis.
b. Upaya Pemeliharaan dan Perawatannya
Upaya
perawatan dan pemeliharaan sumberdaya budaya dilakukan sesuai dengan
sifat-sifat substansinya. Perawatan dan pemeliharaan sumberdaya budaya
yang berupa benda mengikuti sifat bahan dasarnya.
Pemeliharaan pada dasarnya dilakukan tanpa intervensi ke dalam bendanya;
sedangkan perawatan dapat melibatkan intervensi dengan menggunakan
bahan-bahan alamiah atau sintetis. Berbagai uapaya yang disebut
konservasi, preservasi, dan restorasi adalah upaya-upaya yang bertujuan
untuk meningkatkan keterawatan atau keutuhan sumberdaya budaya (lokal).
c. Upaya Registrasinya
Registrasi
merupakan hal penting yang perlu dilakukan terhadap sumber daya budaya.
Registrasi pada dasarnya adalah pencatatan data dengan mengikuti suatu
sistem pendaftaran tertentu.
d. Upaya Perlindungannya melalui Sistem Hukum
Semua
sumberdaya budaya pada dasarnya juga memerlukan perlindungan hukum.
Terdapat sejumlah konvensi internasional yang mengamanatkan perlindungan
terhadap sumberdaya budaya. Sejumlah konvensi mengatur kaidah tindakan
terhadap sumberdaya budaya. Konvensi-konvensi internasional yang
diratifikasi oleh suatu negara memerlukan suatu peneguhan berupa
peraturan perundang-undangan di negara yang bersangkutan. Indonesia
telah memiliki undang-undang tentang benda cagar budaya beserta
peraturan-peraturan di bawahnya. Implementasi dari konvensi dan
peraturan perundang-undangan itu memperlukan penyimakan yang cermat.
e. Upaya Pemanfaatannya untuk Berbagai Pemenuhan Kebutuhan
Upaya
pemanfaatan sumber daya budaya dapat ditujukan untuk berbagai
kepentingan baik pendidikan, bina bangsa, industri maupun kepariwisataan
(Sedyawati, 2006a: 94-95).
Pendek kata, pemanfaatan sumberdaya budaya memerlukan manajemen sumberdaya budaya (cultural management resources) yang baik.
Dalam hal ini pemerintah melalui dinas-dinas terkait memiliki tanggung
jawab untuk dapat merealisasikannya. Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah: apa relevansi manajemen sumberdaya budaya dengan peningkatan
kualitas pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah?
Dalam
kaitan dengan pemanfaatan sumber daya budaya untuk peningkatan kualitas
pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah, para guru dapat memanfaatkan
hasil-hasil yang telah dicapai dalam pengelolaan sumberdaya budaya itu.
Ketika sumberdaya budaya telah dikelola dengan baik melalui manajemen
warisan budaya yang antara lain dalam bentuk museum dan situs
peninggalan sejarah/ budaya, para guru dapat memanfaatkan museum dan
situs peninggalan sejarah/ budaya sebagai sumber belajar. Buku-buku
pelajaran sejarah dan IPS (sejarah termasuk di dalamnya) yang tidak
selalu dilengkapi dengan gambar-gambar ilustrasi yang relevan dan
ketiadaan alat peraga sebagai media pembelajaran sejarah dan IPS di
sekolah mengakibatkan siswa kurang mendapatkan gambaran
yang jelas tentang materi yang dipelajari. Kunjungan ke museum dan situs
peninggalan sejarah/ budaya selain dapat membantu untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih gamblang tentang materi-materi pembelajaran di
sekolah, juga akan dapat menambah wawasan kesejarahan dan wawasan budaya
bagi siswa. Langkah ini perlu dilakukan agar proses pembelajaran
berlangsung tidak monoton atau lebih bervariasi. Selain itu, untuk
meningkatkan kualitas proses pembelajaran, siswa dapat diberikan tugas
untuk menuliskan salah satu aspek yang menjadi fokus perhatian atau
ketertarikannya ketika mengunjungi museum dan situs peninggalan sejarah/
budaya kemudian mendiskusikannya di kelas. Dengan demikian proses
pembelajaran di kelas yang dialogis dan komunikatif dapat tercipta.
Pemanfaatan
sumberdaya budaya lokal untuk pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah juga
dapat dilakukan melalui kegiatan inventarisasi. Inventarisasi dapat
dilakukan terhadap sumberdaya budaya lokal baik yang tangible maupun intangible.
Para guru sejarah dan IPS-Sejarah dapat memanfaatkan hasil
inventarisasi yang (mungkin) telah dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi atau Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten/Kota Apabila belum dilakukan, para guru sejarah dan IPS
melalui wadah Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Masyarakat
Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat dapat berinisiatif dan melakukan
kegiatan inventarisasi ini. Dari kegiatan inventarisasi itu akan
diperoleh data dan informasi yang memadai yang dapat dijadikan sebagai
tambahan bahan pembelajaran bagi guru sejarah dan IPS-Sejarah. Satu hal
yang perlu mendapatkan perhatian di sini adalah bahwa kegiatan
inventarisasi sumber daya budaya lokal dilakukan dengan menggunakan
kaidah-kaidah ilmiah. Sejumlah prinsip yang perlu mendapatkan perhatian
adalah sebagai berikut.
1). Pemfokusan Sumberdaya Budaya Lokal
Oleh
karena di dalam masyarakat banyak memiliki sumberdaya budaya lokal,
maka perlu penentuan fokus sumberdaya budaya yang akan diinventarisasi.
Hal ini perlu dilakukan agar kegiatan yang akan dilakukan tidak terlalu
luas. Pemfokusan dapat didasarkan atas jenis sumberdaya budaya lokal
dengan mempertimbangkan kemampuan, tenaga, waktu, dan dukungan finansial
dari peneliti.
2). Penetapan Jenis Data dan Informasi Sumberdaya Budaya Lokal
Peneliti
harus menetapkan jenis data dan informasi sumberdaya budaya lokal yang
diperlukan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak semua
informasi tentang sumberdaya budaya lokal tertentu akan disajikan dalam
laporan. Selain itu, penetapan jenis data dan informasi yang diperlukan
dapat memperlancar jalannya inventarisasi.
3). Pemilihan Metode Pengumpulan Data dan Informasi
Peneliti
harus memilih metode yang sesuai dengan jenis data dan informasi sumber
daya budaya lokal yang diinventarisasi. Pengumpulan data dan informasi
budaya lokal dapat dilakukan dengan menggunakan metode studi pustaka dan
dokumen, metode wawancara, dan observasi. Penggunaan berbagai macam
metode dapat membantu mempermudah pencarian data dan informasi yang
diperlukan.
4). Penentuan Bentuk dan Teknik Penyajian Hasil Inventarisasi
Setidaknya
ada dua bentuk penyajian hasil inventarisasi sumberdaya budaya lokal.
Pertama, hasil inventarisasi berupa laporan, semacam naskah akademis
yang berisi tentang berbagai macam sumberdaya budaya lokal berikut
dengan deskripsi, rincian, dan (mungkin) gambarnya apabila sumberdaya
budaya itu berupa benda atau aktivitas. Bentuk ini merupakan bentuk yang
sudah lazim dilakukan oleh berbagai lembaga yang berkompeten untuk
menangani masalah ini. Namun demikian, seiring dengan perkembangan
teknologi hasil inventarisasi dapat berupa rekaman audiovisual bergerak
tentang sumberdaya budaya lokal yang dilengkapi dengan narasi. Kedua
bentuk penyajian itu membutuhkan teknik dan ketrampilan tertentu yang
berbeda. Teknik penyajian untuk bentuk yang kedua membutuhkan
ketrampilan yang lebih rumit mencakup teknik pengambilan dan penyajian
gambar citra diam dan bergerak, pembuatan narasi sumberdaya budaya yang
divisualisasikan, dan penyuntingannya. Sehubungan dengan bentuk dan
teknik penyajian yang kedua, peneliti dapat meminta bantuan orang yang
memiliki kemampuan untuk melakukan pengambilan gambar dengan media
elektronik.
Setelah
inventarisasi tahap selanjutnya yang (mungkin) dapat dilakukan oleh
para guru sejarah dan IPS adalah melakukan pengkajian ilmiah dengan
memfokuskan pada sumber daya budaya lokal tertentu yang dipandang paling
relevan untuk menunjang materi pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah
sesuai dengan jenjang pendidikannya. Sejumlah prosedur penelitian ilmiah
harus ditempuh untuk melakukan hal tersebut, mulai dari
pemilihan topik sampai dengan penulisan laporan penelitian. Dalam hal
ini budaya lokal dapat diteliti sesuai dengan latar belakang keilmuan
para guru; misalnya arkeologi, sejarah, antropologi, atau sosilogi.
Sejumlah prosedur penelitian harus ditempuh mulai dari pemilihan topik
sampai dengan penulisan laporan penelitian, dengan tatap-tahap sebagai
berikut (Sevilla, dkk., 1993).
1). Penemuan Topik
Topik
penelitian dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: pengamatan
terhadap lingkungan, pembacaan secara cermat terhadap bahan pustaka, dan
bertanya pada orang yang memiliki kompetensi akademik dalam bidang yang
bersangkutan. Tidak semua gejala atau fenomena yang ditemukan merupakan
topik yang baik dan layak diangkat sebagai topik penelitian. Topik
penelitian yang baik memiliki karakteristik: menarik, orisinal,
bermanfaat, mengundang rancangan yang lebih kompleks, dan dapat
dikerjakan, serta tidak bertentangan dengan moral.
2). Perumusan Masalah Penelitian
Masalah
penelitian merupakan fokus kajian yang akan dilakukan oleh peneliti.
Masalah penelitian dapat berupa kalimat deklaratif (pernyataan) atau
pertanyaan. Apabila berupa pernyataan, sebaiknya diikuti dengan
pertanyaan-pertanyaan penelitian.
3). Penentuan Judul
Peneliti
perlu memformulasikan judul walaupun bersifat tentatif, yang berfungsi
sebagai: format simpulan, kerangka referensi, bukti kepemilikan
peneliti, dan referensi bagi peneliti lain. Judul disusun secara jelas,
spesifik, dan memikat pembaca. Oleh karena itu judul harus singkat,
padat, dan menunjukkan hal-hal baru.
4). Studi Pustaka
Studi
pustaka dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan kajian
yang telah dilakukan tentang topik yang dipilih, memperdalam pengetahuan
tentang masalah yang diteliti, menemukan konsep atau teori yang relevan
dengan topik penelitian, dan memilih metode yang cocok diterapkan dalam
penelitian. Untuk kepentingan itu, kita dapat memanfaatkan kepustakaan
konseptual dan kepustakaan hasil penelitian (substansial).
5. Penulisan Proposal Penelitian
Proposal
merupakan rancangan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Oleh
karena berfungsi untuk mengomunikasikan gagasan peneliti kepada pihak
lain, maka proposal sebagai “wakil peneliti” harus ditulis secara
bernas, komunikatif, dan jelas. Pendek kata, pembaca proposal harus
memiliki pemahaman yang sama dengan peneliti terhadap rancangan
penelitian yang akan dilakukan. Proposal ditulis dengan mengacu pada
format yang telah ditentukan oleh lembaga penyandang dana atau
penyelenggara. Unsur-unsur yang selalu ada dalam proposal penelitian
adalah: judul, bidang ilmu, pendahuluan (latar belakang masalah),
perumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan dan kontribusi penelitian,
metode penelitian, jadwal pelaksanaan, personalia penelitian, perkiraan
biaya (apabila diperlukan), dan lampiran (apabila diperlukan).
6. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan sesuai dengan rancangan yang telah tertulis dalam proposal.
7). Penulisan Laporan Penelitian
Penelitian
tidak akan ada artinya kalau tidak dituangkan dalam tulisan. Tujuan
utama penulisan laporan penelitian adalah untuk mengomunikasikan hal-hal
yang menarik dari masalah yang diteliti, metode-metode yang digunakan,
temuan yang diperoleh, penafsiran hasil, dan pengintegrasiannya dengan
teori. Laporan penelitian disusun berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku
pada disiplin tertentu. Laporan biasanya disusun dengan tata penulisan
yang telah disepakati untuk digunakan pada lembaga tertentu.
Tiap-tiap
jenis penelitian memerlukan metodologi yang berbeda-beda. Oleh karena
itu, penguasaan metodologi penelitian sosial budaya menjadi syarat
mutlak bagi para guru apabila ingin melakukan pengkajian ilmiah.
Sehubungan dengan hal ini para guru perlu mendapatkan pelatihan khusus
untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam bidang penelitian. Sekali lagi
MGMP dan MSI Komisariat dapat berinisiatif dan berperan sebagai
penyelenggara kegiatan-kegiatan untuk peningkatan kemampuan penelitian
para guru dalam bentuk lokakarya (workshop) penyusunan proposal penelitian, metodologi penelitian, dan penulisan laporan atau artikel ilmiah.
Dengan
menggunakan cara-cara seperti yang telah diuraikan di atas, maka
kualitas pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah di sekolah dapat
ditingkatkan, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan kesadaran sejarah
dan kesadaran kultural peserta didik (siswa).
E. Penutup
Penyair
Belanda Lucebert mengatakan bahwa semua yang berharga tidak mampu
bertahan (Smiers, 2008: 383). Pernyataan itu benar karena cocok untuk
menggambarkan eksistensi budaya lokal di Indonesia yang semakin lama
semakin tergerus oleh ekspansi budaya global. Namun demikian, bertolak
dari kalimat penyair itu bagaimana pun juga kita harus melakukan
berbagai hal dengan berbagai cara untuk mempertahankannya. Pemanfaatan
sumberdaya budaya lokal untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah
dan IPS-Sejarah merupakan salah satu strategi kebudayaan yang perlu dan
penting dilakukan. Pertama, melalui pengelolaan, inventarisasi, dan
penelitian sumberdaya budaya, kita setidaknya dapat melakukan
pelestarian statis terhadap sumberdaya budaya lokal itu, karena kita
telah melakukan upaya-upaya pemerolehan dan pencatatannya. Dengan
demikian eksistensinya dapat dipertahankan. Kedua, dengan pemanfaatan
sumberdaya budaya untuk materi penunjang dan media pembelajaran sejarah
dan IPS-Sejarah di sekolah, berarti secara simultan kita
juga telah melakukan pelestarian dinamis, karena nilai-nilai yang
terdapat dalam budaya lokal diinternalisasikan kepada siswa melalui
proses pembelajaran. Dari proses internalisasi ini pada gilirannya akan
membuahkan hasil, yaitu adanya kesadaran sejarah dan kesadaran kultural
pada para siswa. Dengan adanya kesadaran sejarah dan kesadaran kultural,
sumberdaya budaya lokal dapat dikembangkan untuk tujuan-tujuan positif
dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan adanya
pemahaman terhadap budaya lokal, para siswa akan dapat mengetahui dan
menghormati adanya keanekaragaman budaya dalam masyarakat Indonesia,
tidak terjebak pada etnosentrisme, sehingga kehidupan berbangsa dan
bernegara yang demokratis yang kita cita-citakan dapat terwujud. Di
akhir tulisan ini, saya ingin mengajak para guru untuk mulai mencoba
melakukan upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya budaya lokal untuk
peningkatan kualitas pembelajaran sejarah dan IPS di sekolah. Selamat
mencoba.
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, Sartono. 1994a. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1994b. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-11. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Aksara Baru.
Notosusanto, Nugroho. 1979. Sejarah Demi Masa Kini. Jakarta: UI press.
Sedyawati, Edi. 2006a. “Tentang Sumberdaya Budaya”, Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, Volume 1, Nomor 2, Desember 2006. Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.
Sedyawati, Edi. 2006b. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Rajawali Press.
Sedyawati, Edi. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan
dalam Budaya: Buku 2 Dialog Budaya Nasional dan Etnik, Peranan Industri
Budaya dan Media Massa, Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Setiadi, Elly M., Kama A. Hakam, Ridwan Effendi. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Cetakan ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sevilla, Consuelo, dkk..1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press.
Smiers, Joost. 2009. Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insistpress.
Widja, G.. 1988. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.
[1]Edi
Sedyawati (2007 dan 2008: vi) menyatakan bahwa penggunaan istilah
budaya daerah untuk menyebut budaya suku-suku bangsa di Indonesia adalah
tidak tepat, karena kata “daerah” mengesankan lawan dari “pusat”.
Padahal di sini yang diperbedakan adalah budaya bangsa (= nasional) dan
budaya suku bangsa.Budaya nasional tentunya tidak dapat
disamaartikan dengan budaya pusat, karena ia juga merupakan budaya
seluruh bangsa Indonesia, baik di pusat maupun di daerah. Lagi pula
suatu budaya suku bangsa tidak dapat dikaitkan secara mutlak dengan
satuan daerah administratif, karena ada sejumlah suku bangsa yang tinggal menyebar melintasi batas-batas administratif.
*Oleh Dhanang Respati Puguh. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional “Peningkatan Kualitas Pembelajaran
Sejarah dan Ilmu Pengetahuan Sosial Melalui Pengkajian dan Pemanfaatan
Sumberdaya Sejarah dan Budaya Lokal”. Kerja sama Masyarakat
Sejarawan Indonesia Komisariat Kabupaten Rembang, Program Studi
Magister Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, dan Masyarakat Sejarawan
Indonesia Cabang Jawa Tengah. Rembang, 16 April 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar