Minggu, 03 Juni 2012

BENCANA ALAM DAN KERUSAKAN EKOLOGIS DALAM PERSPEKTIF TAOISME



•  Pengantar
Bencana alam tentu sudah tidak asing lagi ditelinga kita, apalagi akhir- akhir ini di beberapa-beberapa negara berkembang di seputaran Asia pasifik, tidak terkecuali Indonesia dirundung bencana yang berkepanjangan. Kerusakan alam tak lain disebabkan karena kecerobohan manusia dalam pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan. Eksplorasi yang berlebihan terhadap alam menimbulkan kerusakan- kerusakan pada bumi yang jika diakumulasikan pasti bisa membaca gejala-gejala kefatalan apa yang akan terjadi kelak. Masih segar diingatan kita banyaknya bencana-bencana alam yang terjadi di Indonesia, sebut saja musibah longsor yang terjadi di Banjarnegara. Yang menelan puluhan jiwa dan 180 warga harus hidup di pengungsian dengan kondisi yang memprihatinkan. Kemudian bencana tanah longsor di Semarang yang mengakibatkan beberapa rumah hancur, walaupun tidak membawa korban jiwa. Baru- baru ini menurut salah satu media cetak lokal, SKH Kedaulatan Rakyat, terjadi banjir bandang yang menerjang kota Kudus. Puluhan rumah penduduk diwilayah kecamatan Dawe dan Gebog tergenang akibat banjir yang terjadi. Banjir juga menyebabkan sejumlah rumah rusak berat dan 3 jembatan hancur. Dengan kerugian material mencapai 80 juta rupiah, walaupun belum tercatat adanya korban jiwa.
Artikel bertajuk Mengapa Kami Memprotes Freeport ? Yang di muat di Kompas 30 mei 2001. menggambarkan adanya konflik vertikal dan horisontal yang disebabkan oleh ditandatanganinya kontrak karya 7 april 1997. yang berisikan dimulainya kegiatan penambangan tembaga semenjak tahun 1972 oleh PT Freeport Indonesia. PT freeport Indonesia telah melakukan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh tailling (limbah tambang). Limbah tersebut dibuang begitu saja kelembah Cartenz, lembah Wanagon, dan sungai Ajkwa. Hasil tersebut didapat dari pencitraan satelit Landsat TM pada tahun 2001. Pencitraan tersebut menunjukkan deposit tailling yang menutup dan merubah badan sungai, panjangnya mencapai 43km dan lebar 5km. Tailling tersebut bahkan telah mencapai laut Arafuru dan gradasi pencemaran laut yang ditunjukkan mencapai 10km dari garis pantai. Penampakan itu merupakan suatu kejadian dramatis terhadap kerusakan lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan perairan laut di papua barat. Kasus dramatis yang menimpa alam dan masyarakat Timika tersebut hanyalah salah satu kasus diantara banyak kasus kerusakan lingkungan yang terjadi di indonesia. Kasus diatas memberi sekelumit gambaran betapa modernisasi yang tengah berjalan beserta sistem industri yang kompleks baik dalam organisasi maupun teknologi tidak hanya menimbulkan decak kagum tetapi juga membawa berbagai persoalan serius menyangkut kerusakan ekologis.
Seiring dengan berjalannya waktu, kompleksitas persoalan ekologis menjadi kian berat. Dan dampaknya semakin terasa dalam kehidupan kita, mulai dari aspek kesehatan hingga terjadinya bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang terjadi pada waktu lalu. Perubahan iklim secara ekstrim menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor di beberapa wilayah Jawa dan beberapa daerah lain di luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatera Selatan, Kerinci atau Aceh lebih disebabkan karena kerusakan ekologis dibandingkan bencana alam.(Ginting: 2004)
Bagi penulis hal ini merupakan sesuatu yang menarik; bagaimana alam dan manusia saling berinteraksi dalam kehidupan. Taois menekankan kedekatan langsung dengan alam untuk mendorong kesederhanaan dan spontanitas di dalam individu – individu dan dalam hubungan manusia dan seberapa jauhkah alam dapat menyumbangkan sesuatu dalam keharmonisan dalam kehidupan peradaban manusia.
•  Pembahasan
Sejarah Singkat dan Garis Besar Ajaran Taoisme
Taoisme diprakarsai oleh Lao Tze (Laozi) atau dikenali sebagai guru Tua lahir pada tahun 604 S.M di Tiongkok . Dikatakan berada dalam perut ibunya selama 82 tahun dan dilahirkan dalam keadaan sudah tua. Nama aslinya Li Peh Yang, Lao Tze merupakan gelarnya sebagai orang tua yang bijaksana. Dikatakan beliau hidup hampir dua ratus tahun karena mengamalkan pemakanan raksa dan bahan campuran lain. Ajaran-ajarannya telah dikumpulkan di dalam sebuah kitab besar yang diberi tajuk I-Ching . Ajarannya :
•  Menekankan unsur-unsur primitif untuk mencapai kehidupan yang abadi. Penganut Taoisme perlu bertapa di gua-gua dan gunung-gunung untuk menghapuskan dosa.
•  Antimaterialisme yaitu penganut diajak meninggalkan hal-hal duniawi supaya mendapatkan tempat yang baik pada hari akhirat .
•  Banyak menggunakan pendekatan batin untuk mewujudkan perpaduan masyarakat. Setiap manusia mempunyai satu bentuk tenaga di dalam jiwanya. Tenaga itu hanya boleh dibangkitkan melalui amalan yoga dan meditasi apabila seseorang bisa mengosongkan pikirannya.
Taoisme lahir dalam kebudayaan-kebudayaan yang kurang berminat mengontrol dunia dimana gagasan dominasi alam semesta oleh manusia (ego yang sadar) dianggap absurd. Prinsip utama filsafat barat adalah pemisahan ego dengan dunia sehingga ego dapat menjadi pengontrol dunia. Kesadaran individual tidak tersusun dengan sendirinya dan tak pernah menjadi penduan kehidupan. Bagi filsafat timur pengetahuan bukanlah kontrol melainkan “sensasi” perwujudan yang hidup bahwa “aku” bukan kesadaran terindividualisasi semata. Melainkan rahim tempat kesadaran itu.
Tao , Te dan wu wei
Hal pertama yang harus dipahami dalam Tao adalah kata “Tao” itu sendiri. Segala sesuatu yang berwujud dan ragawi adalah yang dapat diberi nama. Sementara Tao sendiri adalah sesuatu yang tak bernama. Dan yang tak bernama ini adalah awal dari segala sesuatu. Menyebut Tao dengan sebutan Tao tidak sama dengan menyebut meja dengan sebutan meja. Meja beratribut sedangkan Tao tidak beratribut.
Tao adalah sesuatu yang menyebabkan menjadi adanya apa saja. Karena senantiasa terdapat barang sesuatu, maka Tao terus menerus ada dan nama Tao juga terus menerus ada. Ia dalah awal mula dari segala permulaan dan menyaksikan keadaan awal segala sesuatu. Selanjutnya Tao memberi Te pada barang sesuatu tadi. Te adalah ‘daya' baik dalam arti moral ataupun non-moral. Setelah diberi Te tindakan yang harus dilakukan oleh segala barang sesuatu tadi adalah wu wei . Wu wei adalah cara bertindak dengan sewajarnya atau bertindak secara tidak berlebihan. Tidak ada bencana yang lebih besar dibanding sikap tidak mengenal kepuasan atas apa yang dimiliki seseorang; tidak ada dosa yang lebih besar dibanding mempunyai keinginan untuk memperoleh milik.(Soejono Soemargono 1990:135)
Perspektif Pemikiran Barat Tentang Konsep ‘Aku'
Segala sesuatu yang kita ketahui tentang organisme hidup dari sudut pandang sains (seperti ekologi dan biologi) menunjukan pada kita bahwa kita tumbuh dari dunia ini dan kita adalah apa yang disebut sebagai gejala dari alam semesta secara keseluruhan.
Mengenai aku, terdapat kesepakatan tertentu mengenainya, terutama mereka yang hidup dalam peradaban barat, dan kita mempunyai apa yang biasa disebut sebagai konsepsi diri sebagai ego yang terbungkus kulit (skin – encapsulated ego). Kebanyakan dari kita merasa ”aku” , egoku diriku, sumber kesadaranku sebagai pusat kesadaran dan sumber tindakan yang berada dibagian tengah ”kantong kulit”. Dan ini merupakan persoalan yang fundamental dari perspektif Taoisme, seperti halnya belajar untuk tak hanya mencermati mangkuk , tetapi juga ruang kosong dalam mangkok itu. Bagi para Taois, agar dapat sesuai dengan Tao dalam alam seseorang harus menarik diri dalam keterlibatan aktif di dalam kegiatan – kegiatan sosial dan politik dan belajar bagaimana memelihara serta menghidupi alam dan kehidupan manusia.
Seperti yang telah dipaparkan diatas akhir- akhir ini sering terjadi bencana alam dan kerusakan ekologi. Pertama yang harus disadari adalah bahwa kerusakan tersebut jika dilihat dari paradigma pemikiran filsafat barat adalah manusia sebagai pusat kesadaran maka sesuatu yang ada diluar dirinya harus mendapat kontrol atau ditaklukkan. Dalam pola pikir ini ”aku” egoku, diriku, sumber kesadaranku itu sebagai pusat kesadaran dan sumber tindakan. Perbincangan sehari- hari pun telah biasa dengan menggunakan istilah ”aku adalah tubuhku” dan cenderung menunjukkan bahwa ”aku” mempunyai tubuh. Kita menganggap bahwa ”aku, diriku” sebagai sesuatu yang berada di dalam organisme fisik itu, dan sebagian besar orang barat menempatkan ego mereka di dalam pikiran. Dan itulah satu penyebab terbesar dari kesalahan manusia yang berdampak pada keseimbangan alam. Sifat serakah manusia yang muncul dari ego dan ke”aku”annya, telah menimbulkan bencana yang pada akhirnya merugikan manusia-manusia itu sendiri. Rasa kurang puas dengan dalih keuntungan dan globalisasi pun dijadikan alasan untuk menyerap sumber-sumber alam secara berlebihan. Yang tanpa mereka sadari, sebenarnya telah mengancam banyak habitat dan tak terkecuali manusia didalamnya.
Perspektif Pemikiran Timur (Taoisme) Tentang ‘Aku'
Pada kenyataannya persoalan ekologis bukanlah persoalan yang berdiri sendiri atau hanya sekedar muncul sebagai dampak dari industrialisasi semata, karena toh banyak kasus pencemaran dan pembabatan hutan tak terselesaikan dan semakin menjadi ancaman terhadap kondisi ekologis kita. Sementara, berbagai industri yang tidak ramah lingkungan masih tetap eksis, artinya ada faktor-faktor lain selain industrialisasi yang turut melestarikan perusakan alam. Apakah kebijakan yang buruk dan tidak tegas, ataukah karena banyaknya unsur kepentingan pribadi atau golongan yang turut memperparah keadaan tersebut? Atau mungkin ada yang salah dengan pola pikir manusianya?
Dewasa ini, masalah ekologi kian disadari sebagai persoalan komplek yang serius yang dihadapi umat manusia. Pesatnya pertumbuhan penduduk dunia dan terbatasnya sumber daya alam ditambah dengan kompleksitas serta perluasan sistem industri dan teknologi yang polutif dan eksploitatif telah berandil besar dalam menurunkan kualitas lingkungan hidup. Bumi makin panas, udara, sungai dan laut makin kotor serta teracuni, rusaknya lapisan ozon, erosi, penggurunan, perusakan sumber-sumber alam dan mineral, serta berbagai kasus perusakan dan pengotoran lingkungan yang menghasilkan ketidak seimbangan ekologis, merupakan persoalan serius yang sedang dan akan menyibukkan umat manusia.(Sudarminta, 1992:2)
Tentunya alam akan sangat peka dengan apa yang akan dan sedang kita lakukan padanya, dalam Tao pola hubungan alam dan manusia dijelaskan dengan gamblang tentang bagaimana cara kita memperlakukan bumi tempat kita berpijak ini hingga tercipta suatu harmoni. Yang biasanya kita sebut sebagai “ibu”, apakah benar layak memperlakukannya dengan sebegitu rupa.
Tao sendiri berarti ”gerak alam” dan Lao Tzu pun menyatakan ”bahwa tao yang dapat dibicarakan bukanlah tao yang abadi” . Dengan kata lain, kita tidak dapat melukiskannya. Prinsip tao adalah spontanitas , ”bahwa tao yang besar mengalir kemanapun”. Mencintai dan menyuburkan semuanya, namun tidak menguasainya. Tao memberikan manfaat namun tidak mengklaimnya. Tidak ada prinsip yang memaksa benda-benda untuk berlaku seperti yang dijalaninya , sehingga inilah teori mengenal alam yang sungguh-sungguh demokratis. Ketika manusia sadar bahwa alam adalah bagian dari tubuh manusia itu sendiri maka tidak seharusnya manusia mengeksploitasi alam secara berlebihan. Karena ketika manusia berusaha untuk mengeksploitasi alam berarti mengandung kerusakan pada alam. Dalam hal ini bencana alam yang terjadi bisa diartikan bahwa manusia telah mengeksploitasi alam secara berlebihan yang berakibat kerusakan terhadap tubuh manusia itu sendiri. Seperti kematian, kerusakan, dan kesakitan.
Kita perlu mengalami diri kita dengan cara yang sedemikian rupa sehingga dapat mengatakan bahwa tubuh kita yang sesungguhnya bukan sekedar apa yang ada di bawah kulit, melainkan mencakup segenap lingkungan eksternal. Jika kita tidak mengalami dengan cara seperti itu, kita cenderung memperlakukan lingkungan kita secara salah. Kita memperlakukan lingkungan sebagai musuh, kita berusaha menaklukannya. Jika kita melakukannya maka datanglah bencana.(Watt, 2003:18)
Tidak seharusnya kita memperlakukan alam seakan-akan bahwa alam adalah sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari kita. Karena sebenarnya ‘aku' kita dengan ‘aku' alam adalah satu. Alam dan manusia adalah satu organisme hidup. Yang tumbuh dan berkembang bersama-sama. Perlakuan baik atau buruk akan berpengaruh terhadap satu dengan yang lain.
•  Kesimpulan Dan Saran
Untuk hidup selaras dengan alam kita harus mempunyai keyakinan. Kita harus mempercayakan diri kita pada ”yang tak diketahui” dan pada alam yang tak mempunyai ”bos”. ”Bos” adalah bagian dari sebuah sistem ketidakpercayaan, dan itulah sebabnya mengapa Tao yang diajarkan Lao Tzu mengajarkan kita untuk mencintai dan menyuburkan segalanya namun tidak menguasainya.
Dari susut pandang Taois, penulis menyimpulkan cara yang lebih arif dan bijak dalam memperlakukan alam semesta. Seperti yang telah diulas diatas bahwa Tao mengajarkan pada penganutnya untuk lebih rasional, lembut, penuh kasih serta lebih bijak dalam berinteraksi dengan alam.
Penulis tidak bermaksud untuk mengajak atau men'Taois'kan masyarakat Indonesia. Tetapi penulis sekedar mencoba melihat permasalahan tentang kerusakan ekologi dan bencana alam dari sudut pandang Taoisme. Namun demikian tidak ada salahnya untuk memahami konsep pemikiran Tao sebagai pengayaan wacana pemikiran kritis. Dimana Tao diposisikan sebagai wacana pembanding terhadap konsep pemikiran filosofis yang menyoroti permasalahan ekologis.
 
•  Daftar Pustaka
•  Watts, Alan 2003, The Tao Of Philosophy, Jendela, Yogyakarta
•  Watts, Alan 2003, Jalan Pencerahan Zen, Jalasutra, Yogyakarta
•  Soemargono, Soejono 1990, Sejarah Ringkas Filsafat Cina, Liberty, Yogyakarta
•  Sudarminta, Dr J, Filsafat Organisme Whitehead Dan Etika Lingkungan Hidup, Dalam Drijakara, No 1, Tahun Xix 1992-1993:2-12
•  Ginting, Longgena, 2004, Rusaknya Penyebab Banjir Dan Tanah Longsor, Dalam Http//:Www.Mediaindonesia.Com//


Tidak ada komentar:

Posting Komentar