I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Berkembangnya
studi-studi sosial di Eropa abad ke-17 ditandai dengan munculnya berbagai
analisis terhadap fenomena kemanusiaan seperti sosial, ekonomi dan politik.
Keadaan ini menyadarkan para ilmuan bahwa kontribusi analisis-analisis sosial
itu telah menawarkan peluang dan jalan baru bagi sejarah untuk memasuki
kordinat disiplin ilmu yang nyaris setara dengan ilmu-ilmu lainnya. Pertemuan
antara ilmu sosial dan sejarah terletak pada realitas sosial yang menjadi obyek
pengamatannya dan, dalam beberapa bagian, studi-studi terhadap struktur sosial
dan ekonomi ternyata lebih memperlihatkan kecendrungan historis meski
menggunakan analisis-analisis struktural.
Hal yang kemudian menjadi perdebatan dikalangan sejarawan sosial
berkaitan dengan persoalan perubahan sosial ialah perbedaan ide tentang fungsi
atau struktur pada satu sisi dan ide tentang peranan manusia selaku aktor pada
sisi lainnya dan antara tinjauan kebudayaan sebagai supra struktur belaka dan
kebudayaan sebagai suatu kekuatan yang aktif dalam sejarah, demikian juga
perbedaan pandangan yang menyangkut analisis-analisis yang diperlukan untuk
menjelaskan perubahan sosial itu secara teoritis dan metodologis.
Dalam
perkembangannya,
metodologi sejarah, kita dapat menjumpai tiga aliran besar metodologi sejarah,
yaitu narativisme, strukturalisme, dan strukturisme. Maka dalam makalah sederhana ini akan mencoba
memaparkan mengenai pendekatan strukturis pada salah satu hasil karya dari
Clifford Geertz yang berjudul “NEGARA: The Theatre State in Nineteenth Century Bali”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah
yang cukup penting untuk dibahas lebih lanjut lagi, adapun rumusan masalah
tersebut, sebagai berikut.
a.
Bagaimanakah
latar belakang munculnya pendekatan strukturis dalam ilmu sejarah?
b.
Bagaimanakah
pendekatan strukturis dalam ilmu sejarah?
c.
Bagaimanakah isi dan unsur strukturis dalam karya clifford geertz: Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali?
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
a.
Untuk
mengetahui latar belakang munculnya pendekatan strukturis dalam ilmu sejarah.
b.
Untuk
mengetahui pendekatan strukturis dalam ilmu sejarah.
c.
Untuk
mengetahui isi dan unsur strukturis dalam karya clifford geertz: Negara: The Theatre State in
Nineteenth Century Bali.
II. Pembahasan
2.1. Latar Belakang Munculnya Pendekatan Strukturis dalam Ilmu Sejarah
Pada
era 1980-an muncul kritikan dari kalangan postmodernisme terhadap ilmu sejarah. Kritik itu pada
awalnya ditujukan pada
wacana-wacana moralistik yang menganggap pandangannya sendiri sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat
dibantah . Kritik Postmodernisme itu kemudian berkembang menjadi kritik terhadap pandangan
universialisme yang terkandung
dalam suatu sistem budaya tertentu
(Barat) dalam kritik sastra. Masalahnya
doktrin ini juga dianggap berlaku dalam wacana-wacana ilmu alam, ilmu-ilmu sosial maupun ilmu sejarah.
Perpaduan antara ilmu sosial dan ilmu sejarah telah menghasilkan
sejarah sosial dengan metodologi eksplanasi yang mengagumkan. Baik aliran
struktural yang holistik maupun aliran struktural-fungsional, telah mencoba
menunjukkan keandalan metodologinya dalam menghasilkan eksplanasi-eksplanasi
struktural. Analisis perubahan struktur sosial menurut kalangan holisme -
seperti juga analisis terhadap perubahan dalam struktur ilmu alam - dapat
ditunjukkan melalui hukum-hukum umum dengan prinsip-prinsip universalisme.
Sementara itu, aliran struktural fungsional menganggap bahwa analisis tentang
fungsi sebagai konsep kunci dalam teori sosial dan menekankan pada faktor
keseimbangan sebagai asumsi dasar yang melandasi analisisnya terhadap perubahan
struktur sosial. Kedua aliran di atas, seperti halnya juga aliran strukturis,
pada dasarnya bertolak dari pemahaman terhadap struktur sosial yang memiliki
kenyataan yang sebenarnya tidak dapat diamati (unobservable). Oleh karena itu,
dalam memberikan penjelasan (eksplanasi) biasanya hanya terbatas pada
kausalitas teoritis semata dan tidak mampu menunjukkan pembuktian yang
eksperimental. Pada bahagian inilah justru terlihat perbedaan mendasar antara
analisis ilmu alam dengan analisis ilmu sosial dan sejarah yang sekaligus menjadi
kendala teoritis yang sering menimbulkan kecurigaan akan kebenaran ilmiah dari
ilmu-ilmu sosial dan sejarah.
Munculnya pendekatan strukturis (metodologi strukturisme) ini
telah menawarkan metodologi alternatif bagi kendala dimaksud, dengan menerapkan
struktur penalaran (structure of reasoning) yang digunakan oleh ilmu alam
terhadap ilmu sosial dan sejarah. Menurut pendekatan ini, penalaran ilmu sosial
harus memiliki struktur yang mirip dengan ilmu alam (cf. Lloyd, 1993) sehingga
eksplanasi kausalitasnya juga dapat menghasilkan kebenaran yang
berkorespondensi dengan kenyataan yang diamati, meskipun untuk itu diperlukan
modifikasi terhadap beberapa aspek metodologi, karena adanya perbedaan mendasar
secara ontologis antara kedua ilmu dimaksud. Akses epistemologi yang membedakan
antara ilmu alam dengan ilmu sosial dan ilmu sejarah adalah terletak pada
penjelasan sebab akibat pada struktur-struktur umum dari struktur sosial yang
berkesinambungan dan struktur budaya serta prilaku-prilaku individu dalam
variasi ruang dan waktu yang harus mendapat pertimbangan dalam analisis ilmu
sosial dan sejarah. Analisis pada faktor-faktor yang disebutkan terakhir itulah
yang justru telah diabaikan oleh pendekatan sejarah struktural.
Disamping itu, pendekatan (metodologi) strukturisme yang
didasarkan pada filsafat realis ini mencoba untuk menempatkan agency, dalam kapasitasnya
sebagai akumulasi interaksi individu, struktur dan mentalitas--sebagai causal
factor dari perubahan sosial. Oleh karena sejarah meneliti masyarakat masa lampau,
maka causal factor itu tidak dapat dijelaskan dengan eksperimen seperti yang
berlaku dalam ilmu alam, akan tetapi melalui intensi yang terekspresikan dari
sumber-sumber sejarah yang sesungguhnya dapat diamati (observable). Untuk
menemukan agency dari suatu perubahan sosial menurut pendekatan strukturis,
mengharuskan tidak hanya analisis struktural akan tetapi juga mengandalkan
hermeneutika dalam memahami berbagai intensi dari pelaku sejarah. Dengan
demikian, munculnya strukturisme historis, telah menjembatani
perbedaan-perbedaan pendapat tentang bagaimana analisis terhadap perubahan
sosial yang selama ini telah berlangsung, namun pendekatan ini belum banyak
mendapat perhatian dari kalangan sejarawan, karena masih dominannya pengaruh
strukturalisme.
2.2. Pendekatan Strukturistik dalam Ilmu sejarah
Sejumlah ahli sejarah
mencoba mengatasi serangan dari postmodernisme itu dengan upaya
menegakkan kembali teori korespondensi dalam ilmu sejarah. Kelompok tersebut
berupaya untuk mencari cara-cara yang bisa menjamin realitas sepenuhnya
dalam ilmu sejarah, bukan sekedar kaitan atau korelasi saja. Kelompok tersebut
menamakan dirinya alitan
"strukturis". Sesungguhnya aliran strukturis tidak sama dengan
aliran struktural yang bersumber pada
aliran An'nals dari Prancis yang diilhami oleh
oleh Talcot Parson.
Aliran sejarah
strukturis samasekali meninggalkan pendekatan empiris dalam ilmu sejarah dengan
menekankan teori-teori sosiologi
tertentu, khususnya konsep-konsep "emergency" dan "agency".
Pendekatan ini mengacu pada cara kerja ("structure of reasoning")
dalam ilmu-ilmu alam, tetapi disesuaikan dengan ilmu sejarah dimana data hanya
dapat diperoleh dari sumber sejarah.
Dikatakan
mirip dengan ilmu-ilmu alam karena pertama-tama realitas yang dicari bukan keseluruhan
realitas (yang hanya diketahui oleh Tuhan), tetapi hanya apa yang dinamakan
"causal factors" atau "causal mechanism" yang tidak kasat
mata (unobservable). Seperti halnya dalam alam, fenomena dapat disaksikan oleh
panca indra manusia (observable), tetapi sebab-sebab terjadinya fenomena itu
tidak kasat mata (unobeservable). Di dunia ini benda-benda jatuh ke bawah
(fenomena, observable), tetapi causal mechanism-nya, yaitu grafitas, tidak
kasat mata (unobservable); suara dari radio dapat didengar, atau gambar pada
televisi dapat dilihat, tetapi medan magnetik yang menyebabkannya tidak
dapat ditangkap oleh
pancaindra (unobservable).
Demikian pula pendekatan strukturis bertujuan menampilkan realitas dalam
bentuk causal factors yang tidak tertangkap oleh pancaindra. Fenomena-fenomena
seperti pemberontakan, revolusi, perubahan sosial, dsb. dapat ditangkap melalui
pancaindra, karena terkandung dalam sumber sejarah yang dapat dibaca dan
dipelajari. Tetapi sebab-musababnya tidak muncul secara empiris dalam sumber
sejarah, karena tersembunyi dalam struktur sosial yang unobservable itu. Secara
teoritis terdapat interaksi antara manusia (individu atau kelompok) dan
struktur sosial dimana mereka' berasal. Maka untuk menampilkan causal factor
yang unobservable itu seorang sejarawan yang mendapat datanya dari sumber
sejarah harus menggunakannya untuk menganalisa struktur sosial agar dapat
menampilkan interaksi antara manusia yang konkrit (observable) dan struktur
sosial yang tidak kasat mata itu (unobservable).
Pengertian
struktur sosial yang unobservable
dalam pendekatan ini berasal dari sosiologi realis. Struktur sosial bukanlah
kumpulan manusia yang kongkret (agregasi), tetapi suatu unit yang memiliki
ciri-ciri umum yang bersifat "emergence" berupa peran-peran,
aturan-aturan, pola interaksi, dan pemikiran (mentalite). Tetapi berbeda dengan
sosiologi pada umumnya, menurut pendekatan strukturis, perubahan sosial tidak
disebabkan oleh struktur sosial lainnya (kriminalitas yang meningkat disebabkan
pengangguran yang meningkat), tetapi perubahan struktural justru disebabkan
tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau
kolektfitas) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, interaksi berdasarkan
pemikiran tertentu. Pendekatan strukturis bertujuan menjelaskan perubahan dari
masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang modern.
Untuk memahami agency dan mentalite
terlebih dahulu harus memahami dasar ontologi yang digunakan dalam melihat
masyarakat sebagai realitas sosial. Secara ontologis ada dua pengertian yang
berbeda tentang masyarakat. Pandangan dari teori holistik menyatakan bahwa
masyarakat adalah sekumpulan individu yang terintegrasi secara ketat (tightly
integreted), sedangkan menurut teori strukturis masyarakat adalah
sekumpulan individu yang terintegrasi secara longgar (lostly integrated).
Dalam pandangan pertama masyarakat itu bukan merupakan struktur berubah,
sedangkan dalam pandangan kedua masyarakat itu merupakan struktur yang berubah.
Untuk meneliti perubahan sosial dalam
suatu masyarakat maka pandangan ontologis yang kedualah yang kita pakai.
Pandangan tersebut sesuai dengan pendekatan strukturis. Perubahan sosial
terjadi dalam masyarakat karena adanya interaksi antar individu dengan kelompoknya
di dalam maupun dengan pihak luar. Interaksi ini terjadi karena
individu-individu melakukan aksi-aksi dalam mencapai interesnya. Apabila
terdapatnya interes yang sama maka akan terbentuklah komunitas.
“Agency”
adalah bagian mutlak dari struktur sosial dan tidak bisa berdiri sendiri tanpa
struktur sosial. Llyod mengemukakan, agency adalah kekuatan otonom dari suatu
struktur sosial. Agency juga adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
bertindak atas nama yang lain, sesuai dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
Agency adalah individu atau kumpulan individu yang kongkret yang dapat
ditangkap oleh pancaindera (“observable”) (Lloyd, 1993: 97).
Dalam ilmu sejarah
agaecy terutama terkandung dalam “sumber sejarah”.
“Mentalitie”
mirip dengan “popular culture” dalam masyarakat, yaitu bagaimana mereka
memahami diri mereka sendiri dan dunia mereka dan bagaimana mereka
mengekspresikan diri sendiri melalui agama, ritus-ritus, busana, musik dan
sebagainya (Lloyd, 1993: 97). Dengan dasar ontologi yang menyatakan struktur sosial yang
longgar, maka dalam pendekatan strukturis perubahan sosial tidak disebabkan
oleh struktur sosial lainnya, tetapi perubahan struktur justru disebabkan oleh
tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau kolektifitas)
yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, intreraksi berdasarkan pemikiran
tertentu (Larisa, 1990: 11-12).
Metodologi
structuris berdasarkan pada ontologi realisme ilmiah. Realitas yang dicari
dalam metodologi structuris bukanlah keseluruhan realitas (yang hanya diketahui oleh Tuhan), tetapi mencari
apa yang dinamakan “causal factors” atau “causal mechanism” yang tidak kasat
mata (unobservable).
Beberapa
konsep penting yang menyangkut ontologi dalam metodologi structuris adalah
struktur sosial yang longgar, “agency” dan mentality. Struktur sosial dikatakan
longgar karena determinisme struktur yang tidak mencakup seluruh masyarakat.
Dalam struktur yang demikian individu-individu tertentu ataupun keleompok
sosial tertentu dalam masyarakat bersangkutan dapat mengambil langkah-langkah
tertentu, baik untuk mempertahankan struktur sosial (“reproduksi”) ataupun
tindakan-tindakan yang mengubah masyarakat (“transformasi”).
Pendekatan
strukturis merupakan pendekatan yang seolah-olah menggabungkan antara hermenuetika
dan struktur. Dalam pandangan lama beranggapan bahwa antara pendekatan
hermenuetika dan struktural menunjukkan adanya dikhotomi. Hermenuetika tidak
menampilkan struktur dan struktural tidak menampilkan aspek hermenuetika.
Penggunaan
hermenuetika dalam metodolgi strukturis akan nampak manakala si peneliti ketika
membaca sumber atau masuk terlibat ke dalam objek yang ditelitinya. Dalam kerja
tersebut, peneliti akan melihat komponen “expressed intention” (pelaku dan
pemikirannya, peristiwa) yang merupakan fenomena yang kasat mata, dapat
ditangkap dengan pancaindera.Sedang struktur sosial merupakan “unobservable”,
tidak dapat ditangkap dengan panacaindera. Struktur sosial hanya dapat
ditemukan apabila si peneliti menggunakan teori. Si peneliti melakukan analisis,
ketika menampilkan hingga struktur sosial yang tidak kasat mata (ubobservable).
Dengan demikian aspek peristiwa dengan struktur sosial dalam metodologi
strukturis menunjukkan adanya hubungan dualisme simbiosis.
Pemikiran,
pandangan, wawasan manusia kongkret yang menjadi anggota suatu kelompok sosial
tertentu, seperti juga dikemukakan dalam pendekatan empiris, terkandung dalam
sumber sejarah, yang -dalam pendekatan strukturis disebut sebagai
"expressed intentions". Causal factors yang diperoleh melalui analisa
teoretis atas sumber sejarah itu dapat diuji kembali kebenarannya pada
"expressed intentions" lain. Dengan demikian, seperti halnya dalam
ilmu-ilmu alam, teori-teori sejarah memiliki kemampuan prediksi.
Sebab-musabab
dalam metodologi strukturis itu memiliki ciri-ciri universal yang dapat
dirumuskan dalam bentuk wacana. Namun hakekat ilmu sejarah sebagai "ilmu
yang mempelajari manusia dalam waktu", menyebabkan para ahli sejarah
menyadari betul bahwa unsur perubahan senantiasa menentukan penjelasannya
tentang peristiwa-peristiwa. Sebab itu perbedaan-perbedaan waktu dan tempat
juga membatasi rumusan causal factors. Inilah perbedaan lainnya antara ilmu
sejarah dan ilmu-ilmu alam.
Dalam metodologi strukturis , peristiwa dan struktur
sosial tidak bersifat dikotomik tetapi merupakan suatu dualisme simbiotik yang
berdialektika. Maksudnya, peristiwa mengandung kekuatan mengubah struktur
sosial, sedangkan struktur sosial mengandung hambatan atau dorongan bagi
tindakan perubahan itu. Pengertian Struktur sosial yang unobservable dalam
pendekatan ini bukanlah kumpulan manusia yang kongkret (agregasi), tetapi
suatu unit yang memiliki ciri-ciri umum yang bersifat “emergence” berupa
peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi dan pemikiran (mentalite). Menurut
pendekatan strukturis , perubahan sosial tidak disebabkan struktur sosial
lainnya tetapi perubahan struktural justru disebabkan tindakan-tindakan konkret
dan observable dari manusia (individu atau kolektifitas) disebut (agency) yang
dengan sengaja mengubah peran, aturan, interaksi berdasarkan pemikiran
tertentu. Manusia dilahirkan dalam struktur sosial tertentu dan memiliki
kemampuan untuk memproduksi atau mentransformasi struktur sosial dimana ia
berasal. (Llyod 1993; 38-40). Perubahan (struktur )sosial adalah tujuan
utama dari metodologi strukturis.
Perbedaan yang paling pokok antara strukturalisme dan
strukturisme terletak pada causal power (sebab-musabab) terjadinya perubahan.
Jika strukturalisme memandang perubahan terjadi karena dorongan dari unsur
asing yang masuk ke dalam struktur, maka strukturisme memandang perubahan
terjadi karena dorongan dari dalam struktur itu sendiri. Di dalam struktur
sendiri terdapat manusia. Apabila manusia menemukan ketidakcocokan dengan
strukturnya, mereka berkencenderungan mengubahnya. Dari titik inilah perubahan
terjadi. Oleh karena itulah dalam strukturisme, tindakan manusia sebagai agent
of change dipandang penting. Akibatnya, metodologi ini tidak lepas dari unsur
hermeneutika untuk memahami bahan-bahan sejarah yang menyangkut tindakan dan
pemikiran pelaku sejarah, dan ada unsur eksplanasi yang bertujuan menentukan
rumusan sebab-akibat. Maka, pemahaman atau deskripsi juga digunakan di samping
analisis (eksplanasi).
Contoh-contoh
dari pendekatan strukturis ini bisa kita temukan umpamanya dalam karya-karya
dari Max Weber dan Norbert Elias (sosiolog), Mandelbaum dan Le Roy Ladurie
(ahli sejarah) Cliffort Geertz (antropolog), dan masih banyak lagi.
2.3. Clifford Geertz: NEGARA: The Theatre State in Nineteenth Century Bali ;Sebuah Contoh
1. Analisis Tentang Karya Clifford Geertz
untuk menunjuk ke arah
tirani, konsentrasi yang
sistematis kekuasaan itu tidak kompeten untuk efek, dan bahkan tidak sangat sistematis terhadap pemerintah, yang
dikejar acuh tak acuh dan
ragu-ragu, tetapi lebih ke arah tontonan, menuju upacara,terhadap dramatisasi
publik dari obsesi memerintah dari Budaya
Bali: ketimpangan sosial dan kebanggaan status. Itu adalah teater keadaan di mana raja-raja dan pangeran
adalah impressarios, para imam direksi,
dan para petani pemain pembantu, kru panggung dan penonton.
Bab pertama dengan
prinsip-prinsip dasar yang terstruktur abad
ke-19 Bali negara. Pertama-tama ada "mitos tentang pusat teladan ". Di satu sisi ini melibatkan konsepsi yang "Pengadilan
dan modal sekaligus mikrokosmos dari supranatural ketertiban. . . dan perwujudan material
dari kekuasaan politik. . . itu adalah negara "(hal. 13). Di sisi lain
mengacu pada kebutuhan untuk legitimasi kerajaan
yang sebenarnya, yang didirikan
oleh mitos migrasi, mengatakan bagaimana
Bali ditaklukkan oleh alam Jawa Majapahit di 14 abad dan bagaimana sejak
penguasa dan raja-raja telah melacak keturunan mereka (Dan status) kembali
ke penyerbu pertama. Kedua konsepsi membentuk dasar negara teater dan
sistem peringkat internal. Misa ritual dimaksudkan
tidak hanya untuk mengekspresikan
negara sebagai teladan pusat
tetapi juga untuk mengkonfirmasi satu
kesatuan yang tidak ada. Untuk sementara upacara
terkonsentrasi pada kesatuan negara dan keilahian
dari pusat, "realitas politik" adalah salah satu yang terus menerus divisi dan segmentasi.
Paradoks yang sama berlaku untuk organisasi elit penguasa, tiga "kasta" (10% dari
populasi) yang "dimiliki" mereka yang tidak termasuk ke dalam "kasta". Mengacu pada analisis
sebelumnya dari Bali kekerabatan
(Geertz dan Geertz 1975), yang diidentifikasi dadia, atau kelompok keturunan, sebagai unsur yang
khas, Geertz membahas prinsip status
tenggelam. Setiap kelompok keturunan mulia meliputi suatu inti – sebuah teladan pusat - dengan status tinggi,
dan kelompok di sekitarnya yang lebih rendah dengan status rendah. Karakteristik penting dari sistem ini
adalah sebuah diferensiasi
internal yang rumit berdasarkan peringkat lahir. Itu lebih jauh satu telah dihapus dari baris inti, baik waktu dan
ruang, semakin orang hilang di
status. Meskipun prinsip ini diberikan keturunan kelompok dengan sistem peringkat internal, pada saat yang sama
disebabkan yang dadia, sebagai
unit organisasi negara, untuk bersaing dengan kekal paradoks: "Yang
lebih kuat dadia menjadi struktur yang lebih dibedakan internal yang ... (dan) lebih berat masalah
integrasi" (Hal. 28).
Dalam konteks kekerabatan dua hubungan politik ditambahkan clientship
dan aliansi. Dalam dan di antara dadias yang berbeda pangkat ada hubungan tidak teratur, bervariasi
dari permusuhan terhadap aliansi untuk clientship. Sekali lagi, status relatif seseorang
ditentukan tempatnya. Ini interaksi dari perbedaan status dan perjuangan untuk posisi yang lebih tinggi menemukan ekspresi dalam
ritualisme pengadilan budaya: pertunjukan di mana tampilan
seremonial status adalah lebih
penting daripada konsentrasi sebenarnya kekuasaan.
Dalam bab terpisah pada
"desa dan negara" sisa organisasi
negara yang ditangani. Argumen
utama di sini adalah bahwa negara
- sebagai lembaga kekuasaan -
tidak ikut campur dalam kehidupan sehari-hari dari populasi. Sebaliknya,
negara berfungsi sebagai payung ritual di
warna kehidupan desa yang terorganisir
itu sendiri. Berikut Geertz menarik yang penting perbedaan: perhatian negara
adalah tontonan sedangkan pemerintah
adalah urusan tingkat lokal. Ini pemerintah daerah memiliki karakter semacam "kolektivisme
pluralistik" (hal. 48), yang terdiri
satu set yang terpisah, diatur dengan baik, pemerintahan sendiri yang meliputi lembaga semua aspek kehidupan masyarakat lokal.
Ironisnya, fragmentasi kekuasaan menghasilkan pemerintahan yang efektif.
Dengan demikian negara
dan pemerintah, teater dan kekuasaan, adalah dua hal yang
berbeda. Kantor pusat antara
negara dan rakyat adalah perbekel yang (Pejabat
negara terendah), yang terkait individu, penduduk desa yang tersebar untuk tuhan individu. Geertz
berpendapat bahwa dalam masyarakat Bali "budaya hirarki "datang dari atas, sedangkan daya (yaitu rakyat) datang dari bawah (lihat hal. 85). Hal ini terutama
terjadi dalam hal irigasi. Berikut
negara memberikan kerangka ritual sedangkan organisasi yang sebenarnya
terjadi di tingkat lokal. Perdagangan
luar negeri - sebagai institusi yang terisolasi - bertindak sebagai sumber upeti atau "kemewahan untuk menghias negara teater".
Namun, juga menyebar "Roh
Commerce" di seluruh Bali (hal. 92).
Dalam dua bab terakhir
Geertz membawa kita, dengan cara diskusi simbol, kerajaan arsitektur dan kremasi, untuk
analisis akhir nya sifat dari
negara Bali. Agama diwakili
percandian yang sistem politik,
yang hasilnya, negara, terungkap melalui
upacara dan ritual merayakan gagasan bahwa sosial agar di bumi adalah refleksi
dari tatanan kosmik dan manusia kesejahteraan
hanya dicapai jika manusia
berhasil mirroring yang ilahi ketertiban.
Kerajaan adalah link penting antara
"surga" dan bumi. Sama
seperti Siwa, dewa tertinggi dan pusat bergerak dari kosmik ketertiban,
raja harus menjadi pusat teladan dari duniawi ketertiban. Jadi
"tujuan mendorong politik yang lebih tinggi adalah untuk membangun negara dengan membangun raja. Raja semakin
sempurna, semakin teladan pusat ..
. (Dan) lebih aktual dunia
"(hal. 124).
Ritual dan upacara
harus mempresentasikan ide ini, "dan dengan menghadirkan itu,
untuk mewujudkannya - membuatnya sebenarnya "(hal. 104). konsekuensi dari semua ini adalah bahwa
raja berubah menjadi "sebuah ikon, sebuah figurasi yang sakral itu
sendiri suci "(hal. 108), ritual murni
obyek, sebuah perwujudan dari kerajaan tanpa identitas manusia. Hal ini membawa Geertz untuk dinamika politik sentral dalam "klasik Bali ":" semakin dekat satu bergerak ke arah pencitraan
kekuasaan, lebih satu cenderung
untuk menjauhkan diri dari mesin mengendalikannya
"(hal. 132). Dengan cara ini pencarian manusia untuk keilahian menciptakan negara teater, tetapi meninggalkan pencarian kekuasaan politik dan kesatuan yang belum terpecahkan.
Di beberapa halaman
terakhir Geertz menghadapkan pembaca dengan
kekeliruan dari 400 tahun
pemikiran politik Barat. Sudah terlalu lama terlalu banyak kredibilitas
telah diberikan kepada pandangan sempit bahwa politik adalah secara eksklusif soal dominasi dan
penguasaan. Dalam konsepsi ini "Upacara" tidak lebih dari dekorasi atau
mistifikasi, di belakang yang "nyata"
mesin karya kekuasaan. Geertz
berakhir dengan tuduhan bahwa
ilmu-ilmu sosial secara filosofis
masih hidup di abad 19, di mana
ide-ide adalah "barang mental yang tak
teramati". Alih-alih bertentangan dari "realitas", Geertz ingin memperlakukan simbol sebagai "teks untuk dibaca". Untuk "Sebagai struktur tindakan ...
para negara juga, dan sebanyak, struktur pemikiran.
Untuk menggambarkannya
adalah untuk menjelaskan suatu konstelasi
ide diabadikan "(hal. 135). Ide-ide ini divisualisasikan dalam
teater negara, dan "untuk memvisualisasikan
adalah untuk melihat, melihat untuk meniru, dan meniru untuk mewujudkan "(hal. 130). Dalam pengantarnya Geertz mengklaim Negara menjadi sejarah,
"digambarkan sebagai suksesi
genera! Fase perkembangan sosial
budaya "(hal. 5). Apapun ini
mungkin tepat, kita tidak diberitahu
apa fasa ini. Geertz bahkan menunjukkan bahwa tidak ada perubahan struktural terjadi di Bali dari abad ke-15 sampai kedatangan Belanda di
Bali Selatan pada tahun 1906 -
'08. Apakah ini pernyataan ulang
dari ide didiskreditkan sekarang
yang hanya kolonialisme bisa
menyebabkan perubahan substansial? Yang lebih penting adalah titik
metodologis Geertz 'keberangkatan: nya lapangan pekerjaan materi dari tahun
1950. Hasilnya adalah banyak
informasi pada dekade terakhir
pemerintahan Bali independen, dilengkapi dengan
literatur Belanda kontemporer.
Para bangsawan Bali
selalu memiliki minat yang kuat dalam perdagangan. Mereka adalah orang-orang untuk menyerang ke arah yang baru
selama 19 abad dan mereka membutuhkan perdagangan luar
negeri tidak hanya sebagai sumber upeti untuk mereka "teater", tetapi
juga karena membentuk salah satu yang sangat besar unsur-unsur
kekuasaan politik mereka. Hal lain
menyentuh pada ketahanan dari
teori negara teater lebih
langsung. Dengan mengabaikan dampak dari kehadiran
kolonial di Bali, Geertz tampaknya
sengaja membiarkan dirinya dipengaruhi
oleh paradigma dari periode
kolonial sama: pembagian tajam dan buatan
antara "desa" dan
"negara". Melihat ke belakang melalui "kabut" dari kolonialisme, Geertz menyimpulkan bahwa
pada masa pra-kolonial Bali, pemerintah milik lingkup desa. Hanya dengan cara
ini bisa negara berkonsentrasi hampir
secara eksklusif pada "teater". Pembacaan yang berbeda dari bukti sejarah, bagaimanapun, mengarah pada kesimpulan bahwa apa Geertz cenderung melihat sebagai khas "klasik" Bali
ini, pada kenyataannya, hasil sangat Abad
ke-20 kolonial kebijakan dan
ideologi: penekanan pada desa setempat pemerintah
dan penolakan resmi dari campur tangan negara,
bersama dengan gagasan bahwa orang Bali mantan raja itu hanya sebuah berlebihan beban bagi penduduk. Jika kita melihat lebih dekat pada abad ke-19 sumber gambar lain Bali muncul yang dapat menyebabkan modifikasi dari teori Geertz. Salah satu unsur sama sekali diabaikan dalam Negara: interaksi nyata
dan pertukaran hubungan antara penguasa dan yang dikuasai. Ini memang
ada, namun, dan membuat negara
Bali menjadi sesuatu yang lebih dari
sekedar tahap dan pertunjukan
teater. Link ini hilang mungkin
diilustrasikan oleh metilas kata Bali, menandakan suatu konsep yang hampir menghilang pada masa kolonial dan yang tidak disebutkan sama sekali oleh Geertz.
2. Aspek Strukturis Dalam Karya Clifford Geertz
Salah satu contoh untuk melihat
bagaimana agency dan mentalite ditemukan dalam realitas sosial adalah karya
Clifford Geertz. Clifford Geertz adalah salah seorang yang lebih dikenal
sebagai seorang antropolog dan banyak mempelajari tentang perubahan sosial di
Indonesia. Dia dilahirkan di San Fransisco 1926, menyelesaikan studinya di
Antioch College dan Harvard University, dimana ia belajar pada Departement of
Social Relations di bawah bimbingan Talcot Parsons seorang ahli sosiolog
struktur fungsionalis. Karya-karya Geertz banyak menunjukkan pengaruh dari
berbagai aliran pemikiran sosial pada abad ke-20. Beberapa aliran pemikiran
yang mempengaruhinya ialah pertama sintesis idiosentric baru fungsionalis dari
Malinowski dan Parson dan sosiologi makro Weber. Kedua Sosiologi agama Weber.
Ketiga pemikiran etnografi yang dipengaruhi filsafat bahasa Wittgensteinian
sebagaimana didukung oleh Ryle, Winch dan Evans-Prichard. Keempat pengaruh yang
sangat kuat dari teori-teori semiotik Kenneth Burke dan Suzanne Langer. Kelima
pengaruh teori hermenuetik yang dikembangkan oleh Ricoeur dan yang lainnya.
Berbagai pengaruh aliran pemikiran sosial yang dipelajarinya membuat
Geezt sintesis baru dari ilmu-ilmu sosial. Geertz menggabungkan hermenuetika
dan realisme ilmiah.
Dalam metodologi strukturis Clifford Geertz termasuk ke dalam kelompok
realisme simbolik. Ontologi realisme simbolik adalah ide sentral Geertz. Hal
ini dapat kita dapat kita temukan dari metodologi yang digunakannya dalam
tulisan-tulisannya. Realisme simbolik mengandung dua arti, yaitu pertama bahasa
adalah struktur real yang simbolik yang ada secara independen di luar
kesadaran, pemikiran dan ucapan seseorang dan kedua bahasa sebagai realitas
yang simbolik mengandung berbagai strata yang otonom yang realistis. Realitas
sosial tidak seperti realitas alam, realitas sosial adalah reproduksi dan
transformasi produk dari interaksi sejarah sosial yang ada dalam konteks sosial
dengan pemahaman secara simbolik atau bahasa. Bentuk interaksi sosial timbul dari
sistem relasi sosial yang yang diorganisir melalui bentuk makna simbolik
seperti agama, ideologi, seni, ilmu pengetahuan dan hukum.
Untuk memahami bahwa bahasa mengandung realitas simbolik, Geertz
menggunakan pendekatan hermenuetik. Dia memberikan interpretasi yang bersifat
simbolik terhadap bahasa yang digunakan oleh penduduk. Interpretasi hermenuetik
ini yang ia jadikan sebagai data bagi analisis penelitiannya.
Salah satu karyanya yang mengandung dasar ontology realisme simbolik
adalah Negara, The Theater State in Nineteenth-Century Bali (Negara
Teater Kerajaan-kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas = terjemahan). Dalam buku ini Geertz membangun
kerangka studi sejarah sosial yang ecologis, etnografis, sosiologis dari bentuk
peradaban asli
Indonesia. Buku tersebut ditulis oleh Geertz dengan menggunakan pendekatan
strukturis. Penggunaan model pendekatan strkturis nampak dalam buku ini dapat
dilihat dalam hal-hal berikut :
Ontology realisme yang menyatakan bahwa
masyarakat terbentuk dalam sebuah struktur yang longgar (lostly integrated).
Dalam struktur yang longgar akan menunjukkan bahwa perubahan terjadi bukan
disebabkan oleh struktur luar, akan tetapi disebabkan oleh struktur dari dalam
yaitu tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau
kolektifitas) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, intreraksi
berdasarkan pemikiran tertentu.
Struktur yang longgar nampak sekali pada struktur masyarakat Bali
baik individu maupun kelompok yang masing-masing melakukan peran dan tindakan
kongkret. Peran dan tindakan ini akan nampak terutama pada upcara-upacara
keagamaan, yang masing-masing memerankan fungsinya. Seperti bagaimana peran
rakyat, para bangsawan, pendeta dan raja. Dari tindakan-tindakan dan
peran-peran tersebut maka akan terlihatlah apa arti dari negara teater, sebagai
sebuah pertunjukkan.
Geertz dengan pendekatan yang hermenuetik berhasil menemukan
struktur sosial pada masyarakat Bali. Struktur sosial ini bersifat “emergence”
akan nampak manakala dilakukan upacara ritual keagamaan. Pada upacara kegamaan
inilah peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi dan pemikiran mentalitie
dapat ditemukan. Dengan pendeketan hermenuetik yang simbolik Geertz dapat
menemukan pemahaman arti sebuah upacara keagamaan seperti yang ia contohkan
dalam upacara ngaben. Dalam pemikiran akal yang sehat, pembakaran mayat
adalah suatu tindakan yang tidak beradab. Akan tetapi, dengan memahami unsur mentalitie
yang ada pada masyarakat Bali, makna upacara ngaben ini dapat
dipahami secara simbolik.
Mentalitie dalam pengertian pendekatan strukturis adalah bagaimana
mereka memahami diri mereka sendiri dan dunia mereka dan bagaimana mereka
mengekspresikan diri sendiri melalui agama, ritus-ritus, busana, musik dan
sebagainya. Upacara keagamaan merupakan bentuk dari upacara negara. Upacara
negara bukanlah suatu kultus negara. Upacara itu merupakan suatu argumen, yang
dinyatakan berulang-ulang kali dalam kosakata ritual yang terus menerus, bahwa
status duniawi memiliki dasar kosmik, bahwa hierarki adalah asas yang mengatur
semesta alam, dan bahwa pengaturan-pengaturan kehidupan manusia hanyalah
tiruan-tiruan yang mendekati lebih atau kurang dekat kepada aturan-aturan
kehidupan dewata.
“Causal mechanism” dapat ditemukan dengan ditemukannya struktur sosial.
Dalam “causal mechanism” akan mempertanyakan mengapa orang Bali melakukan
upacara keagamaan seperti upacara ngaben tersebut. Maka jawabannya dapat
ditemukan dengan mengetahui unsur “mentalitie”nya. Unsur “agency” dalam karya
Geertz dapat ditemukan yaitu pada peran rakyat, pendeta, bangsawan, dan raja.
Raja dalam sebuah upacara keagamaan berperan sebagai sutradara dan sekaligus juga
pemainnya. Begitu juga rakyat dan kelompok sosial lainnya menjadi pemain dalam
pertunjukkan upacara keagamaan. Peran dan tindakan yang dimainkan oleh
masing-masing, menunjukkan adanya kekuatan dari masing-masing untuk mengubah
struktur.
Dalam memahami realitas sosial Geertz menggunakan pendekatan hermeneutik
yang simbolik. Dalam hal ini Geertz memahami bahasa. Sebagaimana telah
dikemukakan, dalam pandangan Geertz bahasa melambangkan struktur sosial.
Ritus-ritus keagamaan mengandung ungkapan bahasa. Upacara kegamaan merupakan
simbol terbentuknya apa yang dinamakan negara. Dalam upacara unsur-unsur
simbolik banyak diungkap oleh Clifford Geertz. Sebagai contoh dalam upacara ngaben,
seperti. bentuk-bentuk peti mati yang digunakan memiliki simbol strata sosial,.
Pendeta dibakar dalam peti mati kerbau, bendoro tinggi dalam singa bersayap,
bendoro rendah dalam kijang, rakyat jelata dalam binatang mitologis berkepala
gajah berbuntut ikan.
III. Penutup
3.1. Kesimpulan
Perkembangan ilmu
pengetahuan modern ternyata makin membuka peluang bagi terciptanya
terobosan-terobosan baru dalam metodologi ilmu pengetahuan. Sejarah, sebagai
ilmu tentang masyarakat, membutuhkan bantuan dari ilmu-ilmu sosial untuk
memperkuat metodologinya. Adanya kebutuhan untuk mulai menggunakan teori dan
metodologi ilmu sosial dalam sejarah terbukti dengan munculnya metodologi
struktural pada pertengahan abad ke-20. Akan tetapi, ternyata strukturalisme
punya sejumput kelemahan dan menuai tak sedikit kecaman karena dianggap terlalu
memberi tempat pada penjelasan mengenai struktur sosial, bukannya peristiwa,
yang memang menjadi sasaran ilmu sejarah. Dari sinilah metodologi strukturis
muncul sebagai jawaban atas kelemahan-kelemahan yang dikandung oleh metodologi
struktural: peristiwa dan struktur sosial diberi tempat yang proporsional dalam
historiografi.
Dalam metodologi
strukturis, peristiwa dan struktur tidak bersifat dikotomis dan dualistik,
tetapi merupakan suatu jalinan dialektika metodologi yang simbiotik, di antara
keduanya saling melengkapi sebagai satu kesatuan metodologi. Dalam arti bahwa
peristiwa mengandung kekuatan mengubah struktur sosial, sedangkan struktur
sosial mengandung hambatan atau dorongan bagi tindakan perubahan itu. Selain
itu dalam metodologi ini ada tahapan deskripsi, terutama yang menyangkut
fenomena atau peristiwa, dan ada tahapan analisis yang menyangkut struktur
sosial, serta penentuan mekanisme kausalitas yang menjelaskan perubahan itu.
Struktur sosial di sini bisa berupa norma-norma, peran-peran, interaksi-interaksi
yang muncul dari tindakan-tindakan dan pemikiran manusia. Manusia dilahirkan
dalam struktur sosial tertentu dan memiliki kemampuan untuk mengubah struktur
sosial di mana ia berasal. Di sinilah strukturisme meneguhkan peranan individu
sebagai faktor determinan dalam mentransformasi dan mereproduksi perubahan
struktur sosial. Individu (atau sekelompok individu) inilah yang kemudian
disebut sebagai ‘agent of change’.
3.2. Saran
Dengan adanya pendekatan yang
bersifat strukturis maka akan sangat membantu dan mempermudah sejarawan dalam
melakukan penelitian sejarah terutama terkait dengan sejarah sosial. Munculnya strukturisme historis, telah menjembatani
perbedaan-perbedaan pendapat tentang bagaimana analisis terhadap perubahan
sosial yang selama ini telah berlangsung, namun pendekatan ini belum banyak
mendapat perhatian dari kalangan sejarawan, karena masih dominannya pengaruh
strukturalisme. Sejalan dengan ini maka sudah seharusnya para sejarawan saat ini lebih
mengembangkan pendekatan ini dalam melakukan penulisan sejarah (khususnya
Sejarah Sosial).
DAFTAR PUSTAKA
Angkersmit. Refleksi
Tentang Sejarah . Pendapat-Pendapat Modern tentang Fisafat Sejarah. Terj.
Jakarta: Penerbit Gramedia. 1987
Bambang Purwanto & Asvi Warman
Adam. Menggugat Historiografi Indonesia.. Yogyakarta. Ombak.2005.
Bambang Purwanto., Gagalnya
Historiografi Indonesia Sentris
?! Yogyakarta: Ombak. 2006.
Christopher Lloyed (1993). The Structures of
History. London: Basil Blackwell, 1993
Geertz, Clifford. 1980. Negara The theatre State in Nineteenth Century
Bali. New Jersey: Princeton University Press.
Leirissa, RZ., (1999), Metodologi
Strikturis Dalam Ilmu Sejarah, Jakarta : Program Pascasarjana Universitas
Indonesia.
Nordholt, Henk Schulte. 1981. Negara: a theatre state. Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde 137 (1981), no: 4, Leiden, 470-476
Peter Buke . The French
Historical Revolution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar