Rabu, 06 Juni 2012

NEGARA: The Theatre State in Nineteenth Century Bali



 


I.  Pendahuluan
1.1.    Latar Belakang Masalah
Berkembangnya studi-studi sosial di Eropa abad ke-17 ditandai dengan munculnya berbagai analisis terhadap fenomena kemanusiaan seperti sosial, ekonomi dan politik. Keadaan ini menyadarkan para ilmuan bahwa kontribusi analisis-analisis sosial itu telah menawarkan peluang dan jalan baru bagi sejarah untuk memasuki kordinat disiplin ilmu yang nyaris setara dengan ilmu-ilmu lainnya. Pertemuan antara ilmu sosial dan sejarah terletak pada realitas sosial yang menjadi obyek pengamatannya dan, dalam beberapa bagian, studi-studi terhadap struktur sosial dan ekonomi ternyata lebih memperlihatkan kecendrungan historis meski menggunakan analisis-analisis struktural.
Hal yang kemudian menjadi perdebatan dikalangan sejarawan sosial berkaitan dengan persoalan perubahan sosial ialah perbedaan ide tentang fungsi atau struktur pada satu sisi dan ide tentang peranan manusia selaku aktor pada sisi lainnya dan antara tinjauan kebudayaan sebagai supra struktur belaka dan kebudayaan sebagai suatu kekuatan yang aktif dalam sejarah, demikian juga perbedaan pandangan yang menyangkut analisis-analisis yang diperlukan untuk menjelaskan perubahan sosial itu secara teoritis dan metodologis.

Dalam perkembangannya, metodologi sejarah, kita dapat menjumpai tiga aliran besar metodologi sejarah, yaitu narativisme, strukturalisme, dan strukturisme. Maka dalam makalah sederhana ini akan mencoba memaparkan mengenai pendekatan strukturis pada salah satu hasil karya dari Clifford Geertz yang berjudul “NEGARA: The Theatre State in Nineteenth Century Bali”.

1.2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang cukup penting untuk dibahas lebih lanjut lagi, adapun rumusan masalah tersebut, sebagai berikut.
a.       Bagaimanakah latar belakang munculnya pendekatan strukturis dalam ilmu sejarah?
b.      Bagaimanakah pendekatan strukturis dalam ilmu sejarah?
c.       Bagaimanakah isi dan unsur strukturis dalam karya clifford geertz: Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali?
1.3.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
a.       Untuk mengetahui latar belakang munculnya pendekatan strukturis dalam ilmu sejarah.
b.      Untuk mengetahui pendekatan strukturis dalam ilmu sejarah.
c.       Untuk mengetahui isi dan unsur strukturis dalam karya clifford geertz: Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali.

II.  Pembahasan
2.1. Latar Belakang Munculnya Pendekatan Strukturis dalam Ilmu Sejarah
Pada era 1980-an  muncul kritikan dari kalangan postmodernisme terhadap ilmu sejarah.  Kritik itu pada awalnya ditujukan pada wacana-wacana moralistik yang menganggap pandangannya sendiri sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat dibantah . Kritik Postmodernisme itu kemudian berkembang  menjadi kritik terhadap pandangan universialisme yang terkandung dalam suatu sistem budaya tertentu (Barat) dalam kritik sastra. Masalahnya doktrin ini juga dianggap berlaku dalam wacana-wacana ilmu alam, ilmu-ilmu sosial maupun ilmu sejarah.
Perpaduan antara ilmu sosial dan ilmu sejarah telah menghasilkan sejarah sosial dengan metodologi eksplanasi yang mengagumkan. Baik aliran struktural yang holistik maupun aliran struktural-fungsional, telah mencoba menunjukkan keandalan metodologinya dalam menghasilkan eksplanasi-eksplanasi struktural. Analisis perubahan struktur sosial menurut kalangan holisme - seperti juga analisis terhadap perubahan dalam struktur ilmu alam - dapat ditunjukkan melalui hukum-hukum umum dengan prinsip-prinsip universalisme. Sementara itu, aliran struktural fungsional menganggap bahwa analisis tentang fungsi sebagai konsep kunci dalam teori sosial dan menekankan pada faktor keseimbangan sebagai asumsi dasar yang melandasi analisisnya terhadap perubahan struktur sosial. Kedua aliran di atas, seperti halnya juga aliran strukturis, pada dasarnya bertolak dari pemahaman terhadap struktur sosial yang memiliki kenyataan yang sebenarnya tidak dapat diamati (unobservable). Oleh karena itu, dalam memberikan penjelasan (eksplanasi) biasanya hanya terbatas pada kausalitas teoritis semata dan tidak mampu menunjukkan pembuktian yang eksperimental. Pada bahagian inilah justru terlihat perbedaan mendasar antara analisis ilmu alam dengan analisis ilmu sosial dan sejarah yang sekaligus menjadi kendala teoritis yang sering menimbulkan kecurigaan akan kebenaran ilmiah dari ilmu-ilmu sosial dan sejarah.
Munculnya pendekatan strukturis (metodologi strukturisme) ini telah menawarkan metodologi alternatif bagi kendala dimaksud, dengan menerapkan struktur penalaran (structure of reasoning) yang digunakan oleh ilmu alam terhadap ilmu sosial dan sejarah. Menurut pendekatan ini, penalaran ilmu sosial harus memiliki struktur yang mirip dengan ilmu alam (cf. Lloyd, 1993) sehingga eksplanasi kausalitasnya juga dapat menghasilkan kebenaran yang berkorespondensi dengan kenyataan yang diamati, meskipun untuk itu diperlukan modifikasi terhadap beberapa aspek metodologi, karena adanya perbedaan mendasar secara ontologis antara kedua ilmu dimaksud. Akses epistemologi yang membedakan antara ilmu alam dengan ilmu sosial dan ilmu sejarah adalah terletak pada penjelasan sebab akibat pada struktur-struktur umum dari struktur sosial yang berkesinambungan dan struktur budaya serta prilaku-prilaku individu dalam variasi ruang dan waktu yang harus mendapat pertimbangan dalam analisis ilmu sosial dan sejarah. Analisis pada faktor-faktor yang disebutkan terakhir itulah yang justru telah diabaikan oleh pendekatan sejarah struktural.
Disamping itu, pendekatan (metodologi) strukturisme yang didasarkan pada filsafat realis ini mencoba untuk menempatkan agency, dalam kapasitasnya sebagai akumulasi interaksi individu, struktur dan mentalitas--sebagai causal factor dari perubahan sosial. Oleh karena sejarah meneliti masyarakat masa lampau, maka causal factor itu tidak dapat dijelaskan dengan eksperimen seperti yang berlaku dalam ilmu alam, akan tetapi melalui intensi yang terekspresikan dari sumber-sumber sejarah yang sesungguhnya dapat diamati (observable). Untuk menemukan agency dari suatu perubahan sosial menurut pendekatan strukturis, mengharuskan tidak hanya analisis struktural akan tetapi juga mengandalkan hermeneutika dalam memahami berbagai intensi dari pelaku sejarah. Dengan demikian, munculnya strukturisme historis, telah menjembatani perbedaan-perbedaan pendapat tentang bagaimana analisis terhadap perubahan sosial yang selama ini telah berlangsung, namun pendekatan ini belum banyak mendapat perhatian dari kalangan sejarawan, karena masih dominannya pengaruh strukturalisme.

2.2. Pendekatan Strukturistik dalam Ilmu sejarah
Sejumlah ahli sejarah  mencoba mengatasi serangan dari postmodernisme itu dengan upaya menegakkan kembali teori korespondensi dalam ilmu sejarah. Kelompok tersebut  berupaya untuk mencari cara-cara yang bisa menjamin realitas sepenuhnya dalam ilmu sejarah, bukan sekedar kaitan atau korelasi saja. Kelompok tersebut menamakan dirinya alitan  "strukturis". Sesungguhnya aliran strukturis tidak sama dengan aliran  struktural yang bersumber pada aliran An'nals dari Prancis yang diilhami oleh  oleh  Talcot Parson.
Aliran  sejarah strukturis samasekali meninggalkan pendekatan empiris dalam ilmu sejarah dengan menekankan  teori-teori sosiologi tertentu, khususnya konsep-konsep "emergency" dan "agency". Pendekatan ini mengacu pada cara kerja ("structure of reasoning") dalam ilmu-ilmu alam, tetapi disesuaikan dengan ilmu sejarah dimana data hanya dapat diperoleh dari sumber sejarah.
Dikatakan mirip dengan ilmu-ilmu alam karena pertama-tama realitas yang dicari bukan keseluruhan realitas (yang hanya diketahui oleh Tuhan), tetapi hanya apa yang dinamakan "causal factors" atau "causal mechanism" yang tidak kasat mata (unobservable). Seperti halnya dalam alam, fenomena dapat disaksikan oleh panca indra manusia (observable), tetapi sebab-sebab terjadinya fenomena itu tidak kasat mata (unobeservable). Di dunia ini benda-benda jatuh ke bawah (fenomena, observable), tetapi causal mechanism-nya, yaitu grafitas, tidak kasat mata (unobservable); suara dari radio dapat didengar, atau gambar pada televisi dapat dilihat, tetapi medan magnetik yang menyebabkannya    tidak    dapat    ditangkap    oleh     pancaindra (unobservable).
Demikian pula pendekatan strukturis bertujuan menampilkan realitas dalam bentuk causal factors yang tidak tertangkap oleh pancaindra. Fenomena-fenomena seperti pemberontakan, revolusi, perubahan sosial, dsb. dapat ditangkap melalui pancaindra, karena terkandung dalam sumber sejarah yang dapat dibaca dan dipelajari. Tetapi sebab-musababnya tidak muncul secara empiris dalam sumber sejarah, karena tersembunyi dalam struktur sosial yang unobservable itu. Secara teoritis terdapat interaksi antara manusia (individu atau kelompok) dan struktur sosial dimana mereka' berasal. Maka untuk menampilkan causal factor yang unobservable itu seorang sejarawan yang mendapat datanya dari sumber sejarah harus menggunakannya untuk menganalisa struktur sosial agar dapat menampilkan interaksi antara manusia yang konkrit (observable) dan struktur sosial yang tidak kasat mata itu (unobservable).
Pengertian struktur sosial yang unobservable dalam pendekatan ini berasal dari sosiologi realis. Struktur sosial bukanlah kumpulan manusia yang kongkret (agregasi), tetapi suatu unit yang memiliki ciri-ciri umum yang bersifat "emergence" berupa peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi, dan pemikiran (mentalite). Tetapi berbeda dengan sosiologi pada umumnya, menurut pendekatan strukturis, perubahan sosial tidak disebabkan oleh struktur sosial lainnya (kriminalitas yang meningkat disebabkan pengangguran yang meningkat), tetapi perubahan struktural justru disebabkan tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau kolektfitas) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, interaksi berdasarkan pemikiran tertentu. Pendekatan strukturis bertujuan menjelaskan perubahan dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang modern.
Untuk memahami agency dan mentalite terlebih dahulu harus memahami dasar ontologi yang digunakan dalam melihat masyarakat sebagai realitas sosial. Secara ontologis ada dua pengertian yang berbeda tentang masyarakat. Pandangan dari teori holistik menyatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang terintegrasi secara ketat (tightly integreted), sedangkan menurut teori strukturis masyarakat adalah sekumpulan individu yang terintegrasi secara longgar (lostly integrated). Dalam pandangan pertama masyarakat itu bukan merupakan struktur berubah, sedangkan dalam pandangan kedua masyarakat itu merupakan struktur yang berubah.
Untuk meneliti perubahan sosial dalam suatu masyarakat maka pandangan ontologis yang kedualah yang kita pakai. Pandangan tersebut sesuai dengan pendekatan strukturis. Perubahan sosial terjadi dalam masyarakat karena adanya interaksi antar individu dengan kelompoknya di dalam maupun dengan pihak luar. Interaksi ini terjadi karena individu-individu melakukan aksi-aksi dalam mencapai interesnya. Apabila terdapatnya interes yang sama maka akan terbentuklah komunitas.
“Agency” adalah bagian mutlak dari struktur sosial dan tidak bisa berdiri sendiri tanpa struktur sosial. Llyod mengemukakan, agency adalah kekuatan otonom dari suatu struktur sosial. Agency juga adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk bertindak atas nama yang lain, sesuai dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Agency adalah individu atau kumpulan individu yang kongkret yang dapat ditangkap oleh pancaindera (“observable”) (Lloyd, 1993: 97). Dalam ilmu sejarah agaecy terutama terkandung dalam “sumber sejarah”.
“Mentalitie” mirip dengan “popular culture” dalam masyarakat, yaitu bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri dan dunia mereka dan bagaimana mereka mengekspresikan diri sendiri melalui agama, ritus-ritus, busana, musik dan sebagainya (Lloyd, 1993: 97). Dengan dasar ontologi yang menyatakan struktur sosial yang longgar, maka dalam pendekatan strukturis perubahan sosial tidak disebabkan oleh struktur sosial lainnya, tetapi perubahan struktur justru disebabkan oleh tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau kolektifitas) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, intreraksi berdasarkan pemikiran tertentu (Larisa, 1990: 11-12).
Metodologi structuris berdasarkan pada ontologi realisme ilmiah. Realitas yang dicari dalam metodologi structuris bukanlah keseluruhan realitas (yang hanya diketahui oleh Tuhan), tetapi mencari apa yang dinamakan “causal factors” atau “causal mechanism” yang tidak kasat mata (unobservable).
Beberapa konsep penting yang menyangkut ontologi dalam metodologi structuris adalah struktur sosial yang longgar, “agency” dan mentality. Struktur sosial dikatakan longgar karena determinisme struktur yang tidak mencakup seluruh masyarakat. Dalam struktur yang demikian individu-individu tertentu ataupun keleompok sosial tertentu dalam masyarakat bersangkutan dapat mengambil langkah-langkah tertentu, baik untuk mempertahankan struktur sosial (“reproduksi”) ataupun tindakan-tindakan yang mengubah masyarakat (“transformasi”).
Pendekatan strukturis merupakan pendekatan yang seolah-olah menggabungkan antara hermenuetika dan struktur. Dalam pandangan lama beranggapan bahwa antara pendekatan hermenuetika dan struktural menunjukkan adanya dikhotomi. Hermenuetika tidak menampilkan struktur dan struktural tidak menampilkan aspek hermenuetika.
Penggunaan hermenuetika dalam metodolgi strukturis akan nampak manakala si peneliti ketika membaca sumber atau masuk terlibat ke dalam objek yang ditelitinya. Dalam kerja tersebut, peneliti akan melihat komponen “expressed intention” (pelaku dan pemikirannya, peristiwa) yang merupakan fenomena yang kasat mata, dapat ditangkap dengan pancaindera.Sedang struktur sosial merupakan “unobservable”, tidak dapat ditangkap dengan panacaindera. Struktur sosial hanya dapat ditemukan apabila si peneliti menggunakan teori. Si peneliti melakukan analisis, ketika menampilkan hingga struktur sosial yang tidak kasat mata (ubobservable). Dengan demikian aspek peristiwa dengan struktur sosial dalam metodologi strukturis menunjukkan adanya hubungan dualisme simbiosis.
Pemikiran, pandangan, wawasan manusia kongkret yang menjadi anggota suatu kelompok sosial tertentu, seperti juga dikemukakan dalam pendekatan empiris, terkandung dalam sumber sejarah, yang -dalam pendekatan strukturis disebut sebagai "expressed intentions". Causal factors yang diperoleh melalui analisa teoretis atas sumber sejarah itu dapat diuji kembali kebenarannya pada "expressed intentions" lain. Dengan demikian, seperti halnya dalam ilmu-ilmu alam, teori-teori sejarah memiliki kemampuan prediksi.
Sebab-musabab dalam metodologi strukturis itu memiliki ciri-ciri universal yang dapat dirumuskan dalam bentuk wacana. Namun hakekat ilmu sejarah sebagai "ilmu yang mempelajari manusia dalam waktu", menyebabkan para ahli sejarah menyadari betul bahwa unsur perubahan senantiasa menentukan penjelasannya tentang peristiwa-peristiwa. Sebab itu perbedaan-perbedaan waktu dan tempat juga membatasi rumusan causal factors. Inilah perbedaan lainnya antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu alam.
Dalam metodologi strukturis , peristiwa dan struktur sosial tidak bersifat dikotomik tetapi merupakan suatu dualisme simbiotik yang berdialektika. Maksudnya, peristiwa mengandung kekuatan mengubah struktur sosial, sedangkan struktur sosial mengandung hambatan atau dorongan bagi tindakan perubahan itu. Pengertian Struktur sosial yang unobservable dalam pendekatan ini  bukanlah kumpulan manusia yang kongkret (agregasi), tetapi suatu unit yang memiliki ciri-ciri umum yang bersifat “emergence” berupa peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi dan pemikiran (mentalite). Menurut pendekatan strukturis , perubahan sosial tidak disebabkan struktur sosial lainnya tetapi perubahan struktural justru disebabkan tindakan-tindakan konkret dan observable dari manusia (individu atau kolektifitas) disebut (agency) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, interaksi berdasarkan pemikiran tertentu. Manusia dilahirkan dalam struktur sosial tertentu dan memiliki kemampuan untuk memproduksi atau mentransformasi struktur sosial dimana ia berasal. (Llyod  1993; 38-40). Perubahan (struktur )sosial adalah tujuan utama dari metodologi strukturis.
Perbedaan yang paling pokok antara strukturalisme dan strukturisme terletak pada causal power (sebab-musabab) terjadinya perubahan. Jika strukturalisme memandang perubahan terjadi karena dorongan dari unsur asing yang masuk ke dalam struktur, maka strukturisme memandang perubahan terjadi karena dorongan dari dalam struktur itu sendiri. Di dalam struktur sendiri terdapat manusia. Apabila manusia menemukan ketidakcocokan dengan strukturnya, mereka berkencenderungan mengubahnya. Dari titik inilah perubahan terjadi. Oleh karena itulah dalam strukturisme, tindakan manusia sebagai agent of change dipandang penting. Akibatnya, metodologi ini tidak lepas dari unsur hermeneutika untuk memahami bahan-bahan sejarah yang menyangkut tindakan dan pemikiran pelaku sejarah, dan ada unsur eksplanasi yang bertujuan menentukan rumusan sebab-akibat. Maka, pemahaman atau deskripsi juga digunakan di samping analisis (eksplanasi).
Contoh-contoh dari pendekatan strukturis ini bisa kita temukan umpamanya dalam karya-karya dari Max Weber dan Norbert Elias (sosiolog), Mandelbaum dan Le Roy Ladurie (ahli sejarah) Cliffort Geertz (antropolog), dan masih banyak lagi.

2.3. Clifford Geertz: NEGARA: The Theatre State in Nineteenth Century Bali ;Sebuah Contoh
1.      Analisis  Tentang Karya Clifford Geertz
untuk menunjuk ke arah tirani, konsentrasi yang sistematis kekuasaan itu tidak kompeten untuk efek, dan bahkan tidak sangat sistematis terhadap pemerintah, yang dikejar acuh tak acuh dan ragu-ragu, tetapi lebih ke arah tontonan, menuju upacara,terhadap dramatisasi publik dari obsesi memerintah dari Budaya Bali: ketimpangan sosial dan kebanggaan status. Itu adalah teater keadaan di mana raja-raja dan pangeran adalah impressarios, para imam direksi, dan para petani pemain pembantu, kru panggung dan penonton.
Bab pertama dengan prinsip-prinsip dasar yang terstruktur abad ke-19 Bali negara. Pertama-tama ada "mitos tentang pusat teladan ". Di satu sisi ini melibatkan konsepsi yang "Pengadilan dan modal sekaligus mikrokosmos dari supranatural ketertiban. . . dan perwujudan material dari kekuasaan politik. . . itu adalah negara "(hal. 13). Di sisi lain mengacu pada kebutuhan untuk legitimasi kerajaan yang sebenarnya, yang didirikan oleh mitos migrasi, mengatakan bagaimana Bali ditaklukkan oleh alam Jawa Majapahit di 14 abad dan bagaimana sejak penguasa dan raja-raja telah melacak keturunan mereka (Dan status) kembali ke penyerbu pertama. Kedua konsepsi membentuk dasar negara teater dan sistem peringkat internal. Misa ritual dimaksudkan tidak hanya untuk mengekspresikan negara sebagai teladan pusat tetapi juga untuk mengkonfirmasi satu kesatuan yang tidak ada. Untuk sementara upacara terkonsentrasi pada kesatuan negara dan keilahian dari pusat, "realitas politik" adalah salah satu yang terus menerus divisi dan segmentasi.
Paradoks yang sama berlaku untuk organisasi elit penguasa, tiga "kasta" (10% dari populasi) yang "dimiliki" mereka yang tidak termasuk ke dalam "kasta". Mengacu pada analisis sebelumnya dari Bali kekerabatan (Geertz dan Geertz 1975), yang diidentifikasi dadia, atau kelompok keturunan, sebagai unsur yang khas, Geertz membahas prinsip status tenggelam. Setiap kelompok keturunan mulia meliputi suatu inti – sebuah teladan pusat - dengan status tinggi, dan kelompok di sekitarnya yang lebih rendah dengan status rendah. Karakteristik penting dari sistem ini adalah sebuah diferensiasi internal yang rumit berdasarkan peringkat lahir. Itu lebih jauh satu telah dihapus dari baris inti, baik waktu dan ruang, semakin orang hilang di status. Meskipun prinsip ini diberikan keturunan kelompok dengan sistem peringkat internal, pada saat yang sama disebabkan yang dadia, sebagai unit organisasi negara, untuk bersaing dengan kekal paradoks: "Yang lebih kuat dadia menjadi struktur yang lebih dibedakan internal yang ... (dan) lebih berat masalah integrasi" (Hal. 28).
Dalam konteks kekerabatan dua hubungan politik ditambahkan  clientship dan aliansi. Dalam dan di antara dadias yang berbeda pangkat ada hubungan tidak teratur, bervariasi dari permusuhan terhadap aliansi untuk clientship. Sekali lagi, status relatif seseorang ditentukan tempatnya. Ini interaksi dari perbedaan status dan perjuangan untuk posisi yang lebih tinggi menemukan ekspresi dalam ritualisme pengadilan budaya: pertunjukan di mana tampilan seremonial status adalah lebih penting daripada konsentrasi sebenarnya kekuasaan.
Dalam bab terpisah pada "desa dan negara" sisa organisasi negara yang ditangani. Argumen utama di sini adalah bahwa negara - sebagai lembaga kekuasaan - tidak ikut campur dalam kehidupan sehari-hari dari populasi. Sebaliknya, negara berfungsi sebagai payung ritual di warna kehidupan desa yang terorganisir itu sendiri. Berikut Geertz menarik yang penting perbedaan: perhatian negara adalah tontonan sedangkan pemerintah adalah urusan tingkat lokal. Ini pemerintah daerah memiliki karakter semacam "kolektivisme pluralistik" (hal. 48), yang terdiri satu set yang terpisah, diatur dengan baik, pemerintahan sendiri yang meliputi lembaga semua aspek kehidupan masyarakat lokal. Ironisnya, fragmentasi kekuasaan menghasilkan pemerintahan yang efektif.
Dengan demikian negara dan pemerintah, teater dan kekuasaan, adalah dua hal yang berbeda. Kantor pusat antara negara dan rakyat adalah perbekel yang (Pejabat negara terendah), yang terkait individu, penduduk desa yang tersebar untuk tuhan individu. Geertz berpendapat bahwa dalam masyarakat Bali "budaya hirarki "datang dari atas, sedangkan daya (yaitu rakyat) datang dari bawah (lihat hal. 85). Hal ini terutama terjadi dalam hal irigasi. Berikut negara memberikan kerangka ritual sedangkan organisasi yang sebenarnya terjadi di tingkat lokal. Perdagangan luar negeri - sebagai institusi yang terisolasi - bertindak sebagai sumber upeti atau "kemewahan untuk menghias negara teater". Namun, juga menyebar "Roh Commerce" di seluruh Bali (hal. 92).
Dalam dua bab terakhir Geertz membawa kita, dengan cara diskusi simbol, kerajaan arsitektur dan kremasi, untuk analisis akhir nya sifat dari negara Bali. Agama diwakili percandian yang sistem politik, yang hasilnya, negara, terungkap melalui upacara dan ritual merayakan gagasan bahwa sosial agar di bumi adalah refleksi dari tatanan kosmik dan manusia kesejahteraan hanya dicapai jika manusia berhasil mirroring yang ilahi ketertiban. Kerajaan adalah link penting antara "surga" dan bumi. Sama seperti Siwa, dewa tertinggi dan pusat bergerak dari kosmik ketertiban, raja harus menjadi pusat teladan dari duniawi ketertiban. Jadi "tujuan mendorong politik yang lebih tinggi adalah untuk membangun negara dengan membangun raja. Raja semakin sempurna, semakin teladan pusat .. . (Dan) lebih aktual dunia "(hal. 124).
Ritual dan upacara harus mempresentasikan ide ini, "dan dengan menghadirkan itu, untuk mewujudkannya - membuatnya sebenarnya "(hal. 104). konsekuensi dari semua ini adalah bahwa raja berubah menjadi "sebuah ikon, sebuah figurasi yang sakral itu sendiri suci "(hal. 108), ritual murni obyek, sebuah perwujudan dari kerajaan tanpa identitas manusia. Hal ini membawa Geertz untuk dinamika politik sentral dalam "klasik Bali ":" semakin dekat satu bergerak ke arah pencitraan kekuasaan, lebih satu cenderung untuk menjauhkan diri dari mesin mengendalikannya "(hal. 132). Dengan cara ini pencarian manusia untuk keilahian menciptakan negara teater, tetapi meninggalkan pencarian kekuasaan politik dan kesatuan yang belum terpecahkan.
Di beberapa halaman terakhir Geertz menghadapkan pembaca dengan kekeliruan dari 400 tahun pemikiran politik Barat. Sudah terlalu lama terlalu banyak kredibilitas telah diberikan kepada pandangan sempit bahwa politik adalah secara eksklusif soal dominasi dan penguasaan. Dalam konsepsi ini "Upacara" tidak lebih dari dekorasi atau mistifikasi, di belakang yang "nyata" mesin karya kekuasaan. Geertz berakhir dengan tuduhan bahwa ilmu-ilmu sosial secara filosofis masih hidup di abad 19, di mana ide-ide adalah "barang mental yang tak teramati". Alih-alih bertentangan dari "realitas", Geertz ingin memperlakukan simbol sebagai "teks untuk dibaca". Untuk "Sebagai struktur tindakan ... para negara juga, dan sebanyak, struktur pemikiran.
Untuk menggambarkannya adalah untuk menjelaskan suatu konstelasi ide diabadikan "(hal. 135). Ide-ide ini divisualisasikan dalam teater negara, dan "untuk memvisualisasikan adalah untuk melihat, melihat untuk meniru, dan meniru untuk mewujudkan "(hal. 130). Dalam pengantarnya Geertz mengklaim Negara menjadi sejarah, "digambarkan sebagai suksesi genera! Fase perkembangan sosial budaya "(hal. 5). Apapun ini mungkin tepat, kita tidak diberitahu apa fasa ini. Geertz bahkan menunjukkan bahwa tidak ada perubahan struktural terjadi di Bali dari abad ke-15 sampai kedatangan Belanda di Bali Selatan pada tahun 1906 - '08. Apakah ini pernyataan ulang dari ide didiskreditkan sekarang yang hanya kolonialisme bisa menyebabkan perubahan substansial? Yang lebih penting adalah titik metodologis Geertz 'keberangkatan: nya lapangan pekerjaan materi dari tahun 1950. Hasilnya adalah banyak informasi pada dekade terakhir pemerintahan Bali independen, dilengkapi dengan literatur Belanda kontemporer.
Para bangsawan Bali selalu memiliki minat yang kuat dalam perdagangan. Mereka adalah orang-orang untuk menyerang ke arah yang baru selama 19 abad dan mereka membutuhkan perdagangan luar negeri tidak hanya sebagai sumber upeti untuk mereka "teater", tetapi juga karena membentuk salah satu yang sangat besar unsur-unsur kekuasaan politik mereka. Hal lain menyentuh pada ketahanan dari teori negara teater lebih langsung. Dengan mengabaikan dampak dari kehadiran kolonial di Bali, Geertz tampaknya sengaja membiarkan dirinya dipengaruhi oleh paradigma dari periode kolonial sama: pembagian tajam dan buatan antara "desa" dan "negara". Melihat ke belakang melalui "kabut" dari kolonialisme, Geertz menyimpulkan bahwa pada masa pra-kolonial Bali, pemerintah milik lingkup desa. Hanya dengan cara ini bisa negara berkonsentrasi hampir secara eksklusif pada "teater". Pembacaan yang berbeda dari bukti sejarah, bagaimanapun, mengarah pada kesimpulan bahwa apa Geertz cenderung melihat sebagai khas "klasik" Bali ini, pada kenyataannya, hasil sangat Abad ke-20 kolonial kebijakan dan ideologi: penekanan pada desa setempat pemerintah dan penolakan resmi dari campur tangan negara, bersama dengan gagasan bahwa orang Bali mantan raja itu hanya sebuah berlebihan beban bagi penduduk. Jika kita melihat lebih dekat pada abad ke-19 sumber gambar lain Bali muncul yang dapat menyebabkan modifikasi dari teori Geertz. Salah satu unsur sama sekali diabaikan dalam Negara: interaksi nyata dan pertukaran hubungan antara penguasa dan yang dikuasai. Ini memang ada, namun, dan membuat negara Bali menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar tahap dan pertunjukan teater. Link ini hilang mungkin diilustrasikan oleh metilas kata Bali, menandakan suatu konsep yang hampir menghilang pada masa kolonial dan yang tidak disebutkan sama sekali oleh Geertz.
2.      Aspek Strukturis Dalam Karya Clifford Geertz
Salah satu contoh untuk melihat bagaimana agency dan mentalite ditemukan dalam realitas sosial adalah karya Clifford Geertz. Clifford Geertz adalah salah seorang yang lebih dikenal sebagai seorang antropolog dan banyak mempelajari tentang perubahan sosial di Indonesia. Dia dilahirkan di San Fransisco 1926, menyelesaikan studinya di Antioch College dan Harvard University, dimana ia belajar pada Departement of Social Relations di bawah bimbingan Talcot Parsons seorang ahli sosiolog struktur fungsionalis. Karya-karya Geertz banyak menunjukkan pengaruh dari berbagai aliran pemikiran sosial pada abad ke-20. Beberapa aliran pemikiran yang mempengaruhinya ialah pertama sintesis idiosentric baru fungsionalis dari Malinowski dan Parson dan sosiologi makro Weber. Kedua Sosiologi agama Weber. Ketiga pemikiran etnografi yang dipengaruhi filsafat bahasa Wittgensteinian sebagaimana didukung oleh Ryle, Winch dan Evans-Prichard. Keempat pengaruh yang sangat kuat dari teori-teori semiotik Kenneth Burke dan Suzanne Langer. Kelima pengaruh teori hermenuetik yang dikembangkan oleh Ricoeur dan yang lainnya.
Berbagai pengaruh aliran pemikiran sosial yang dipelajarinya membuat Geezt sintesis baru dari ilmu-ilmu sosial. Geertz menggabungkan hermenuetika dan realisme ilmiah.
Dalam metodologi strukturis Clifford Geertz termasuk ke dalam kelompok realisme simbolik. Ontologi realisme simbolik adalah ide sentral Geertz. Hal ini dapat kita dapat kita temukan dari metodologi yang digunakannya dalam tulisan-tulisannya. Realisme simbolik mengandung dua arti, yaitu pertama bahasa adalah struktur real yang simbolik yang ada secara independen di luar kesadaran, pemikiran dan ucapan seseorang dan kedua bahasa sebagai realitas yang simbolik mengandung berbagai strata yang otonom yang realistis. Realitas sosial tidak seperti realitas alam, realitas sosial adalah reproduksi dan transformasi produk dari interaksi sejarah sosial yang ada dalam konteks sosial dengan pemahaman secara simbolik atau bahasa. Bentuk interaksi sosial timbul dari sistem relasi sosial yang yang diorganisir melalui bentuk makna simbolik seperti agama, ideologi, seni, ilmu pengetahuan dan hukum.
Untuk memahami bahwa bahasa mengandung realitas simbolik, Geertz menggunakan pendekatan hermenuetik. Dia memberikan interpretasi yang bersifat simbolik terhadap bahasa yang digunakan oleh penduduk. Interpretasi hermenuetik ini yang ia jadikan sebagai data bagi analisis penelitiannya.
Salah satu karyanya yang mengandung dasar ontology realisme simbolik adalah Negara, The Theater State in Nineteenth-Century Bali (Negara Teater Kerajaan-kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas = terjemahan). Dalam buku ini Geertz membangun kerangka studi sejarah sosial yang ecologis, etnografis, sosiologis dari bentuk peradaban asli Indonesia. Buku tersebut ditulis oleh Geertz dengan menggunakan pendekatan strukturis. Penggunaan model pendekatan strkturis nampak dalam buku ini dapat dilihat dalam hal-hal berikut :
Ontology realisme yang menyatakan bahwa masyarakat terbentuk dalam sebuah struktur yang longgar (lostly integrated). Dalam struktur yang longgar akan menunjukkan bahwa perubahan terjadi bukan disebabkan oleh struktur luar, akan tetapi disebabkan oleh struktur dari dalam yaitu tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau kolektifitas) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, intreraksi berdasarkan pemikiran tertentu.
Struktur yang longgar nampak sekali pada struktur masyarakat Bali baik individu maupun kelompok yang masing-masing melakukan peran dan tindakan kongkret. Peran dan tindakan ini akan nampak terutama pada upcara-upacara keagamaan, yang masing-masing memerankan fungsinya. Seperti bagaimana peran rakyat, para bangsawan, pendeta dan raja. Dari tindakan-tindakan dan peran-peran tersebut maka akan terlihatlah apa arti dari negara teater, sebagai sebuah pertunjukkan.
Geertz dengan pendekatan yang hermenuetik berhasil menemukan struktur sosial pada masyarakat Bali. Struktur sosial ini bersifat “emergence” akan nampak manakala dilakukan upacara ritual keagamaan. Pada upacara kegamaan inilah peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi dan pemikiran mentalitie dapat ditemukan. Dengan pendeketan hermenuetik yang simbolik Geertz dapat menemukan pemahaman arti sebuah upacara keagamaan seperti yang ia contohkan dalam upacara ngaben. Dalam pemikiran akal yang sehat, pembakaran mayat adalah suatu tindakan yang tidak beradab. Akan tetapi, dengan memahami unsur mentalitie yang ada pada masyarakat Bali, makna upacara ngaben ini dapat dipahami secara simbolik.
Mentalitie dalam pengertian pendekatan strukturis adalah bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri dan dunia mereka dan bagaimana mereka mengekspresikan diri sendiri melalui agama, ritus-ritus, busana, musik dan sebagainya. Upacara keagamaan merupakan bentuk dari upacara negara. Upacara negara bukanlah suatu kultus negara. Upacara itu merupakan suatu argumen, yang dinyatakan berulang-ulang kali dalam kosakata ritual yang terus menerus, bahwa status duniawi memiliki dasar kosmik, bahwa hierarki adalah asas yang mengatur semesta alam, dan bahwa pengaturan-pengaturan kehidupan manusia hanyalah tiruan-tiruan yang mendekati lebih atau kurang dekat kepada aturan-aturan kehidupan dewata.
“Causal mechanism” dapat ditemukan dengan ditemukannya struktur sosial. Dalam “causal mechanism” akan mempertanyakan mengapa orang Bali melakukan upacara keagamaan seperti upacara ngaben tersebut. Maka jawabannya dapat ditemukan dengan mengetahui unsur “mentalitie”nya. Unsur “agency” dalam karya Geertz dapat ditemukan yaitu pada peran rakyat, pendeta, bangsawan, dan raja. Raja dalam sebuah upacara keagamaan berperan sebagai sutradara dan sekaligus juga pemainnya. Begitu juga rakyat dan kelompok sosial lainnya menjadi pemain dalam pertunjukkan upacara keagamaan. Peran dan tindakan yang dimainkan oleh masing-masing, menunjukkan adanya kekuatan dari masing-masing untuk mengubah struktur.
Dalam memahami realitas sosial Geertz menggunakan pendekatan hermeneutik yang simbolik. Dalam hal ini Geertz memahami bahasa. Sebagaimana telah dikemukakan, dalam pandangan Geertz bahasa melambangkan struktur sosial. Ritus-ritus keagamaan mengandung ungkapan bahasa. Upacara kegamaan merupakan simbol terbentuknya apa yang dinamakan negara. Dalam upacara unsur-unsur simbolik banyak diungkap oleh Clifford Geertz. Sebagai contoh dalam upacara ngaben, seperti. bentuk-bentuk peti mati yang digunakan memiliki simbol strata sosial,. Pendeta dibakar dalam peti mati kerbau, bendoro tinggi dalam singa bersayap, bendoro rendah dalam kijang, rakyat jelata dalam binatang mitologis berkepala gajah berbuntut ikan.

III.  Penutup
3.1. Kesimpulan
Perkembangan ilmu pengetahuan modern ternyata makin membuka peluang bagi terciptanya terobosan-terobosan baru dalam metodologi ilmu pengetahuan. Sejarah, sebagai ilmu tentang masyarakat, membutuhkan bantuan dari ilmu-ilmu sosial untuk memperkuat metodologinya. Adanya kebutuhan untuk mulai menggunakan teori dan metodologi ilmu sosial dalam sejarah terbukti dengan munculnya metodologi struktural pada pertengahan abad ke-20. Akan tetapi, ternyata strukturalisme punya sejumput kelemahan dan menuai tak sedikit kecaman karena dianggap terlalu memberi tempat pada penjelasan mengenai struktur sosial, bukannya peristiwa, yang memang menjadi sasaran ilmu sejarah. Dari sinilah metodologi strukturis muncul sebagai jawaban atas kelemahan-kelemahan yang dikandung oleh metodologi struktural: peristiwa dan struktur sosial diberi tempat yang proporsional dalam historiografi.
Dalam metodologi strukturis, peristiwa dan struktur tidak bersifat dikotomis dan dualistik, tetapi merupakan suatu jalinan dialektika metodologi yang simbiotik, di antara keduanya saling melengkapi sebagai satu kesatuan metodologi. Dalam arti bahwa peristiwa mengandung kekuatan mengubah struktur sosial, sedangkan struktur sosial mengandung hambatan atau dorongan bagi tindakan perubahan itu. Selain itu dalam metodologi ini ada tahapan deskripsi, terutama yang menyangkut fenomena atau peristiwa, dan ada tahapan analisis yang menyangkut struktur sosial, serta penentuan mekanisme kausalitas yang menjelaskan perubahan itu. Struktur sosial di sini bisa berupa norma-norma, peran-peran, interaksi-interaksi yang muncul dari tindakan-tindakan dan pemikiran manusia. Manusia dilahirkan dalam struktur sosial tertentu dan memiliki kemampuan untuk mengubah struktur sosial di mana ia berasal. Di sinilah strukturisme meneguhkan peranan individu sebagai faktor determinan dalam mentransformasi dan mereproduksi perubahan struktur sosial. Individu (atau sekelompok individu) inilah yang kemudian disebut sebagai ‘agent of change’.

3.2. Saran
Dengan adanya pendekatan yang bersifat strukturis maka akan sangat membantu dan mempermudah sejarawan dalam melakukan penelitian sejarah terutama terkait dengan sejarah sosial. Munculnya strukturisme historis, telah menjembatani perbedaan-perbedaan pendapat tentang bagaimana analisis terhadap perubahan sosial yang selama ini telah berlangsung, namun pendekatan ini belum banyak mendapat perhatian dari kalangan sejarawan, karena masih dominannya pengaruh strukturalisme. Sejalan dengan ini maka sudah seharusnya para sejarawan saat ini lebih mengembangkan pendekatan ini dalam melakukan penulisan sejarah (khususnya Sejarah Sosial).



DAFTAR PUSTAKA
Angkersmit.  Refleksi Tentang Sejarah . Pendapat-Pendapat Modern tentang Fisafat Sejarah. Terj. Jakarta: Penerbit Gramedia. 1987
Bambang Purwanto & Asvi Warman Adam. Menggugat Historiografi Indonesia.. Yogyakarta. Ombak.2005.
Bambang Purwanto., Gagalnya Historiografi  Indonesia Sentris ?!  Yogyakarta: Ombak. 2006.
Christopher Lloyed (1993).  The Structures    of    History.  London:  Basil Blackwell, 1993
Geertz, Clifford. 1980. Negara The theatre State in Nineteenth Century Bali. New Jersey: Princeton University Press.
Leirissa, RZ., (1999), Metodologi Strikturis Dalam Ilmu Sejarah, Jakarta : Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Nordholt, Henk Schulte. 1981. Negara: a theatre state. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 137 (1981), no: 4, Leiden, 470-476
Peter Buke . The    French Historical Revolution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar