(Dibacakan dalam Konferensi Studi Pergerakan Kebangsaan pada Sabtu 12 Mei 2012, di BSD)
Sejak dimulai oleh Edmund Husserl, fenomenologi sebagai gerakan pemikiran memulai
setidaknya empat bidang kajian filsafat yang khusus: 1) hermeneutika,
2) fenomenologi eksistensial dan eksistensialisme, 3) fenomenologi
kebudayaan dan agama, 4) fenomenologi politik. Pokok pertama sampai
ketiga telah diulas dan diperdalam melalui publikasi-publikasi ilmiah
yang begitu kaya bahkan membludak. Pokok keempat, mengenai fenomenologi
politik, hanya dapat kita jumpai dalam terbitan-terbitan yang terbatas
bahkan langka.[1]
Pemikir kontemporer yang secara khusus mengupayakan suatu telaah
fenomenologis atas politik tidaklah banyak. Beberapa di antara mereka
yang terkenal antara lain Hannah Arendt, Claude Lefort, Leo Strauss, Jan
Patočka dan khususnya Carl Schmitt.
Pertanyaannya,
bagaimana fenomenologi yang secara khusus membatasi kajiannya pada
bidang ontologi/metafisika dan epistemologi itu dapat memberikan dampak
mendalam dan meluas tidak saja pada refleksi filsafat politik tetapi
juga dalam praktik politik?
Melalui
sejarah Filsafat Barat Modern kita mengetahui bahwa daya jangkau
kesadaran/pengetahuan manusia selalu mencakup tiga aspek dasar: 1)
ontologi (refleksi mengenai pendasaran dari segala yang ada), 2) epistemologi (refleksi mengenai kebenaran pengetahuan manusia), 3) etika (refleksi mengenai kebaikan
serta ketepatan tindakan manusia). Rumusan modern atas pokok-pokok
filsafat ini utamanya kita peroleh dari filsuf Immanuel Kant ketika ia
dalam bagian Pengantar buku Critique of Pure Reason menyebutkan
tiga pertanyaan dasar yang melatarbelakangi seluruh refleksi filsafat:
1) apa yang dapat saya ketahui, 2) apa yang harus saya lakukan, 3) apa
yang dapat saya harapkan. Lewat
rumusan ini Immanuel Kant berhasil memampatkan seluruh problematika
filsafat ke dalam analisis atas kesadaran dan struktur-struktur objektif
yang membentuk kesadaran kita itu. Lewat Kant filsafat semacam
mengalami tikungan epistemologis, yaitu pengerucutan seluruh
problematika filsafat ke dalam ruang kajian epistemologi.
Lebih
dari tiga ratus tahun setelah Immanuel Kant, filsafat seolah-olah
sibuk-asyik sendiri dengan analisis atas kesadaran yang semata-mata
subjektif-individualistik, tenggelam dalam pengandaian-pengandaian
sistemik-epistemik yang dibuatnya sendiri, terkungkung dalam problem
epistemik-saintifik mengenai validitas/kesahihan kebenaran pengetahuan,
dan justru melupakan satu persoalan dasar yang niscaya, yaitu: persoalan
mengenai makna diri, makna adanya dunia, dan makna hidup manusia.
Fenomenologi, melalui Husserl, muncul sebagai gugatan sekaligus
terobosan atas filsafat modern yang terbatasi semata-mata pada persoalan
rasionalitas-validitas sistem pengetahuan dan ilmu-ilmu. Fenomenologi
menerobos batasan-batasan filsafat modern ini dengan kembali pada satu
hal dasar: problem makna adanya manusia. Karena sejak awal terfokuskan
pada problem makna adanya manusia, maka fenomenologi juga telah secara
khusus selalu bergerak dalam lingkup ontologi (tentang dasar dari segala
yang ada) dan filsafat manusia.
Sebagai
metode, fenomenologi bermaksud untuk menyingkapkan dan menyibak dasar
yang paling dalam dari adanya manusia sebagai fenomena, manusia sebagai
sesuatu yang telah selalu menampakkan dirinya melalui cara yang khas.
Cara yang khas yang melaluinya manusia memberikan-diri dan
menampakkan-diri itu juga ternyata meliputi berbagai dimensi, mulai dari
dimensi nilai, dimensi spiritual, dimensi ekonomis, dimensi kultural,
dimensi historis, dimensi estetis, dimensi temporal, dan dimensi
politik. Maka, membatasi manusia hanya pada salah satu dimensi saja
(misalnya dimensi ekonomis) jelas merupakan suatu kerancuan kategoris (kategorien Missdeutung) yang fatal dalam kacamata fenomenologi. Dalam bahasa fenomenologi, manusia secara mendasar bersifat eksistensial. Eksistensial (ex-sistere)
artinya manusia telah selalu terarah keluar dari dirinya sendiri,
terlibat di dalam dunia yang tidak terbatas dalam segala dimensinya, dan
untuk itu telah selalu dituntut pula untuk menegaskan diri melalui
keputusan-keputusannya. Keputusan (decision) adalah ungkapan primordial-fundamental dari cara-berada manusia yang khas. Keputusan
adalah titik interseksi yang menunjukkan gerak paradoksal manusia di
antara keterbatasan dan ketidakterbatasan, gerak tarik-menarik antara
keniscayaan situasi dan kebebasan diri, gerak tegang antara ruang dunia
dan ruang batin. Dalam bahasa Husserl, manusia telah selalu terhempas (Streben) di tengah derasnya terpaan arus waktu, namun pada saat yang sama ia juga telah selalu dituntut untuk berdiri tegak (Stand) dan menegaskan dasarnya yang terdalam (unten).[2] Inilah pengandaian paling pokok dari seluruh aliran eksistensialisme, hermeneutika, dan fenomenologi politik.
Untuk
menyingkapkan keberagaman cara-berada manusia ini, fenomenologi mengacu
pada dua prinsip dasar: 1) prinsip intensionalitas (manusia telah
selalu terarah pada sesuatu yang lain selain dirinya sendiri), 2)
prinsip reduksi fenomenologis: kembali kepada sesuatu itu sendiri yang
kepadanya manusia terarah (back to the things themselves / züruck zu den Sachen selbst).
Bagi fenomenologi, hanya melalui dua prinsip dasar ini saja kita mampu
melepaskan diri dari seluruh jerat kusutnya sistematisasi, mekanisasi,
proseduralisasi, dan manipulasi metodologis yang dibuat oleh manusia
sendiri. Dengan menangguhkan segala penilaian, asumsi, dan refleksi yang
ada dalam kesadaran kita, fenomenologi hendak kembali kepada dimensi pra-reflektif, dimensi pengalaman yang dihayati secara eksistensial (Erlebnis), dimensi paling dasar manusia yang selalu diandaikannya tetapi sering luput terlupakan.
Dalam perspektif fenomenologi, hanya dengan kembali kepada politik sebagai Erlebnis, yaitu
sebagai suatu bentuk pengalaman yang dihayati secara eksistensial
itulah maka politik dapat sungguh-sungguh bermakna sebagai politik.
Dalam perspektif fenomenologi, politik bukanlah pertama-tama berkenaan dengan konstruksi sistem prosedur yang mekanistis. Bagi fenomenologi politik dalam artinya yang mendasar berkenaan dengan pengalaman akan dunia, perjumpaan dengan diri sendiri dan orang lain, sekaligus konfrontasi
di antara manusia yang sama-sama bebas sejajar. Pengalaman,
perjumapaan, dan konfrontasi merupakan bentuk-bentuk mendasar dari
penghayatan akan cara berada manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk
yang ada-di-dalam-dunia (Being-in-the-world / in-der-Welt-sein). Politik
adalah sebuah bentuk penyingkapan cara berada manusia yang senantiasa
bergerak di antara keniscayaan dan kebebasan, bertahan di antara
kesia-siaan dan kebermaknaan, bergulat di tapal batas antara tatanan (Order) dan khaos/tanpa-tatanan (Chaos).
Politik dalam artinya yang paling mendasar, paling eksistensial, paling
purba, dan paling otentik inilah yang disebut sebagai „Yang Politis“ (The Political), yaitu syarat kemungkinan paling dasar yang memungkinkan politik disebut sebagai politik, syarat kemungkinan yang menggerakkan seluruh aktivitas politik, baik di tingkat teori maupun praktik.
Dalam khasanah filsafat politik dan filsafat hukum abad ke-20/21, Carl Schmitt
adalah pemikir yang untuk pertama kalinya memperdalam, memperluas,
memaksimalkan, dan menerapkan konsep-konsep dasar fenomenologi
sepenuhnya tanpa tedeng aling-aling secara jelas dan keras ke dalam ruang kajian politik. Kritik fenomenologi atas rasionalitas paham modernisme oleh Schmitt dijalankan sebagai kritik radikal atas paham liberalisme dan ekonomi pasar bebas. Gugatan fenomenologi atas logika manipulatif dalam teknologi modern oleh Schmitt dijalankan sebagai gugatan mendasar atas logika mekanistik-proseduralistik sistem demokrasi liberal yang dianggapnya teknologis-manipulatif. Konfrontasi fenomenologi terhadap dekadensi-dehumanisasi manusia modern yang hidupnya semakin tanpa-makna oleh Schmitt dijalankan sebagai konfrontasi
hidup-mati terhadap kecenderungan depolitisasi manusia dalam sistem
hukum/konstitusi demokrasi-liberal yang berjalan layaknya mesin tanpa
jiwa tanpa karakter.
Perlu
terlebih dulu ditekankan di sini bahwa Schmitt tidaklah menolak
demokrasi, tidak menolak konstitusi, tidak juga menolak teknologi,
sebagaimana fenomenologi juga tidak pernah menolak/membuang
mentah-mentah modernisme dan paham rasionalisme. Apa yang dilakukan
Schmitt bukanlah menolak atau menyingkirkan sesuatu, melainkan ia
menggugat, mengritik, dan mengkonfrontasi cara-pandang/pemahaman kita
mengenai sesuatu itu. Schmitt semacam mau membongkar cara-pandang dan
cara-pemahaman kita yang telah menjadi terpaku beku, demi menjernihkan
pandangan kita dari segala ruwet-sengkarutnya konstruksi sistem
artifisial yang kita bangun sendiri. Sebagaimana fenomenologi mau
kembali mengasalkan segala artifisialitas hidup modern ke dalam
dunia-kehidupan (Lebenswelt) yang paling mendasar, Schmitt mau kembali
mengasalkan segala artifisialitas sistem politik modern ke dalam Yang
Politis itu sendiri, kembali kepada dasar yang menopang seluruh bangunan
sistem politik apapun. Pada titik persimpangan antara fenomenologi dan politik inilah Schmitt tampil sebagai seorang Meister atau perwujudan par excellence dari fenomenologi politik dan hermeneutika eksistensial.
Schmitt
sesungguhnya memulai pemikirannya dari pengandaian yang cukup
sederhana. Pengandaian Schmitt ini sesungguhnya juga masih bertolak dari
asumsi ontologis dalam fenomenologi Husserl dan Heidegger bahwa seluruh
pengetahuan serta pengalaman diri kita mengandaikan adanya saling-keterkaitan yang tidak terbatas di antara segala sesuatu yang ada (Zusammenhang / Zusammengehörigkeit).[3] Saling keterkaitan ini memperlihatkan dua hal penting secara bersamaan: 1) bahwa manusia telah selalu tersituasikan di dalam ruang dan waktu yang terbatas, dan 2) bahwa manusia telah selalu terarah pada cakrawala/horizon kemungkinan yang tidak terbatas. Dua fakta ontologis inilah yang juga telah selalu membuat manusia dituntut untuk melakukan dua tindakan paling dasar dalam hidupnya: 1) manusia telah selalu dituntut untuk memaknai diri dan hidupnya, dan 2) manusia telah selalu dituntut untuk mengarahkan/mengorientasikan masa depannya.
Dua tindakan inilah yang menjadi dasar dari segala penegasan-diri dan
keputusan manusia. Manusia hanya dapat disebut sebagai manusia jika ia
mampu memaknai dan mengorientasikan dirinya yang bergerak terus menerus
di garis batas antara keterbatasan (imanensi) dan ketidakterbatasan
(transendensi).
Bertolak
dari pengandaian dasar inilah maka Schmitt memulai pemikirannya. Ia
memulai refleksinya dengan mengajukan suatu problem yang telah dilupakan
dalam diskursus politik modern. Problem itu pada pokoknya berkenaan
dengan fakta ontologis bahwa seluruh tatanan
politik, sejauh ia dibuat oleh dan untuk manusia, maka tatanan sistem
politik itu akan selalu bertolak dari situasi yang tertentu-terbatas
(1), dan akan selalu terarahkan terbuka pada cakrawala kemungkinan yang
tidak terbatas (2). Titik tolak atau titik awal seluruh politik tidak lain adalah bahwa manusia
dari dalam dirinya sendiri telah selalu
merindukan-menghasrati-mendambakan tatanan sosial-politik yang dapat
menjamin kelangsungan hidupnya. Titik akhir atau titik terjauh
dari seluruh politik adalah bahwa setiap tatanan yang telah dibangun
manusia akan selalu mungkin untuk terjungkal terjerembab kembali ke
dalam keadaan total chaos atau keadaan tanpa-tatanan yang fatalistik-apokaliptik. Pengandaian inilah yang menjadi Alfa dan Omega atau Awal dan Akhir dari seluruh aktivitas politik.
Untuk
memperlihatkan titik terjauh yang tidak terbatas itu maka marilah kita
berandai-andai. Misalnya bubuk kopi, rokok kretek atau sekantong gula
yang kita gunakan untuk minum mengandaikan adanya rantai
produksi dan jaringan penyedia (distribusi) mulai dari perkebunan di
Sumatera atau Jawa Tengah hingga truk pengangkut yang harus terus
mondar-mandir ke Jakarta untuk mengangkut bahan mentah. Rantai produksi
itu sendiri mengandaikan adanya “situasi normal” yang memungkinkan
segala kegiatan itu berjalan. “Situasi normal” itu sendiri dibakukan
dalam, dan didasarkan pada, serangkaian sistem hukum perundang-undangan
yang diandaikan memiliki otoritas legal dalam menjamin segala normalitas itu (Normalität).[4]
Seluruh keseharian masyarakat modern bertolak dari pengandaian normalitas
tersebut, bertolak dari pengandaian kepenuhan sistem hukum yang
otoritatif. Mulai dari penyediaan cabai di pasar, ketersediaan listrik
yang memadai, bahan bakar kendaraan, komunikasi lewat cellular phone dan internet, hingga ke persediaan senjata dan peluru bagi militer, seluruhnya mengandaikan bekerjanya sistem yang cukup-diri dan sistem itu diandaikan dapat menjamin normalitas.
Sekarang andaikanlah pada suatu hari tiba-tiba saja secara serentak
listrik padam total, air habis, suplai bahan bakar berhenti, seluruh
sistem komunikasi terputus, dan pada saat yang sama Kepala Negara
beserta seluruh hirarki penting di bawahnya mati tertembak, para pejabat
kunci militer semuanya menghilang tanpa jejak sementara gedung parlemen
diledakkan beserta seluruh anggotanya.
Pertanyaan
Schmitt, pada saat seperti itu ketika seluruh tatanan ambruk dan sistem
hukum terpasung, di manakah kesempurnaan sistem hukum dan politik
liberal-konstitusional yang sebelumnya diandaikan? Pada saat seperti itu
ketika semua kecukupan sistem yang sebelumnya diandaikan jatuh dalam
keadaan pure chaos, di manakah peran dan letak politik? Pada saat seperti itu, dalam keadaan pure disorder, apakah pembicaraan tentang politik masih relevan? Di manakan letak atau locus Kedaulatan dalam keadaan ekstrem seperti itu?[5]
Bagi Schmitt, justru keadaan pure chaos dan pure disorder seperti
itu dengan segala kemungkinan terjauhnya sudah seharusnya selalu
menjadi bagian tidak terpisahkan dari politik itu sendiri. Keadaan
seperti itu bukannya tidak mungkin, bukannya hanya dapat terjadi dalam
khayalan, dan hanya berfungsi sebagai hipotesis. Keadaan ekstrem seperti
akan selalu mungkin, keadaan ekstrem itu akan selalu mengintai di
kejauhan dan justru melatarbelakangi seluruh perdebatan tentang sistem
politik sejak Zaman Klasik. Kemungkinan paling jauh atau paling ekstrem
dari seluruh tatanan sosial-politik itulah yang disebut sebagai extremus necessitatis casus.[6] Extremus necessitatis casus adalah
suatu keadaan ekstrem yang niscaya diandaikan setiap tatanan
sosial-politik sebagai batas dari keberadaan suatu tatanan atau horizon
kemungkinan terjauh dalam pembentukan tatanan sosial-politik. Extremus necessitatis casus adalah
suatu keadaan ekstrem yang niscaya diandaikan setiap tatanan
sosial-politik agar dapat sungguh-sungguh disebut sebagai tatanan dalam
artinya yang paling mendasar. Sebab, bagi Schmitt, di bawah setiap
tatanan sosial-politik terdapat suatu jurang tanpa dasar (Abgrund / Abyss), suatu ketiadaan (nothingness / groundlessness) yang akan selalu diandaikan oleh setiap tatanan, suatu kegelapan yang senantiasa mengintai di batas terjauh tatanan politik.
Extremus Necessitatis Casus bagi
Schmitt mendefinisikan makna yang otentik dari seluruh aktivitas
politik sekaligus juga menetapkan garis batas bagi seluruh kemungkinan
terciptanya tatanan politik yang stabil. Extremus necessitatis casus secara bersamaan juga menyingkapkan tiga pengandaian paling dasar dari seluruh politik, yaitu: 1) dalam setiap kesempurnaan sistem selalu terdapat “kasus pengecualian” (State of Exception), 2) fakta bahwa politik akan selalu bergerak dalam pembedaan kategoris “KAWAN-LAWAN” (Freund und Feind / friend and enemy distinction), 3) seluruh efektivitas tatanan politik didasarkan pada konsep ‘Kedaulatan’ (Sovereignty) yang tidak lain merupakan momen pengambilan keputusan politis-eksistensial di tingkat negara.
Paham
liberalisme, khususnya demokrasi liberal, di sini menjadi target kritik
Schmitt. Sebagaimana paham filsafat Modernisme dan Naturalisme
mengidealkan tatanan kosmik yang sepenuhnya rasional, terukur, objektif,
mekanis, dan sistematis, maka Liberalisme dan demokrasi konstitusional
mengidealkan tatanan politik yang juga rasional, terukur, mekanis, dan
proseduralistik. Hukum, yang awalnya adalah instrumen/alat demi menjamin
stabilitas tatanan politik, kini justru menjadi tujuan akhir pada
dirinya sendiri. Setiap pasal perundang-undangan seolah-olah dianggap
hidup demi undang-undang itu sendiri, dan setiap pasal akan selalu
merujuk pada pasal lainnya dalam putaran siklis yang absurd. Sistem
hukum abstrak-legalistik yang telah menjelma menjadi kehidupan itu
sendiri, dan kemudian menindas melipat manusia-manusia konkret yang
diwakilinya, keadaan inilah yang disebut Schmitt sebagai legalisme.
Legalisme melupakan bahwa jalinan sistem hukum perundang-undangan tidak
lebih dari aspek legal yang bersifat komplementer terhadap tindakan
politik. Legalisme ini melupakan bahwa sebuah ketentuan hukum, agar
diterima validitasnya, ia selalu mensyaratkan adanya legitimasi politik.
Legitimasi politik tidak dihasilkan dari undang-undang itu sendiri
sebab hukum sekadar merupakan alat bantu manusia untuk memutuskan
berbagai perkara. Legitimasi politik hanya datang dari Kedaulatan yang
muncul melalui keputusan-keputusan politik-eksistensial. Bagi Schmitt,
perkara legitimasi merupakan perkara yang lebih mendasar dari legalitas.
Setiap legalitas mensyaratkan legitimasi yang akan selalu berkenaan
dengan aspek manusiawi dari setiap sistem. Cara pandang politik modern,
dalam pandangan Schmitt, berusaha untuk menjinakkan sisi manusiawi dari
politik (de-humanisasi dan de-politisasi) dengan selalu mengembalikan
persoalan politik kepada perkara sistem. Dalam cara pandang politik
modern, seluruh persoalan legitimasi politik secara absurd diasalkan
pada perkara legalitas prosedural sistem politik.[7]
Jika kita membaca teks-teks Schmitt, akan terlihat jelas bahwa Schmitt memang mengritik habis konsep netralitas dan anonimitas
dalam politik kenegaraan sebagaimana diandaikan oleh negara-negara
demokrasi liberal-konstitusional. Schmitt justru melihat bahwa politik
kenegaraan sesungguhnya tidak pernah netral dan anonim. Politik telah
selalu mengandaikan eksistensi ‚KARAKTER‘ dan KEBERPIHAKAN.
Politik juga telah selalu merujuk kepada manusia-manusia konkret yang
hidup dan mati di dalam suatu tatanan, politik akan selalu merujuk
kembali kepada pertanyaan tentang ‚Siapa‘ (manusia) yang bertanggung jawab dan memiliki otoritas (Kedaulatan) untuk mengambil dan menjalankan keputusan-keputusan yang telah ditegaskan.
Manusia
yang diandaikan dalam filsafat politik Schmitt bukanlah manusia yang
pada dirinya otonom, rasional, dan tercerahkan akal-budinya seperti
layaknya manusia Kantian. Manusia yang diandaikan dalam filsafat politik
Schmitt juga bukanlah manusia yang selalu bermusuhan dengan manusia
lain dan selalu mengejar kepentingan diri secara membabi-buta seperti
layaknya manusia Hobbesian. Manusia yang diandaikan oleh Schmitt adalah
manusia yang menyadari bahwa ia tidak akan pernah dapat menguasai
dirinya juga dunianya secara total, ia yang menyadari bahwa ia berdiri
di atas dasar yang rapuh dan tanpa-dasar, ia yang menyadari bahwa apapun
yang ia lakukan tidak akan bisa sepenuhnya mengatasi kerapuhan dan
kesementaraan itu. Manusia yang diandaikan oleh Schmitt adalah manusia
yang menyadari bahwa selalu terdapat hal lain di luar dirinya, sesuatu
yang lain di luar rasionalitas dan kebebasannya, sesuatu yang tidak akan
pernah dapat ia taklukkan tetapi sesuatu yang harus terus dihadapinya,
sesuatu yang hanya bisa ia hadapi lewat keputusan-keputusannya. Di atas
dasar pengandaian manusia yang eksistensial inilah maka Schmitt di awal
mula teks Politische Theologie dapat menegaskan bahwa: “Ia yang berdaulat adalah ia yang di atas segala pengecualian mampu mengambil keputusan” (Souverän ist, wer über den Ausnahmezustand entscheidet).[8]
Bagi
Schmitt, kesalahan mendasar sistem demokrasi liberal-konstitusional
bukanlah terletak pada kenyataan bahwa ia pada dirinya keliru dan oleh
karena itu harus ditolak. Schmitt tidaklah menolak demokrasi
liberal-konstitusional karena liberalisme dan demokrasi itu pada dirinya
terkutuk lalu harus ditolak. Apa yang ditolak Schmitt bukanlah
demokrasi atau liberalisme itu sendiri, melainkan
pengandaian-pengandaian dasar yang menjadi patokannya.[9]
Dalam pengandaian-pengandaiannya yang mendasar itu, bagi Schmitt,
terkandung adanya kecenderungan untuk memutlakkan sistem dan melupakan
persoalan tentang Kedaulatan atau tentang manusia macam apa yang
diandaikan dalam setiap politik. Pengandaian dasar paham modernisme
inilah yang bersembunyi di balik seluruh diskursus tatanan politik
modern. Dalam cirinya yang modern termuat suatu keyakinan naif atau
sikap naturalistik yang naif bahwa sistem (tatanan) selalu bersifat
cukup-diri. Padahal, pada kenyataannya tidak pernah ada sistem atau
tatanan yang sepenuhnya cukup-diri. Bagi Schmitt, dalam keyakinan
dan sikap naturalistik-mekanis yang naif ini “konsep kedaulatan
kehilangan unsur-unsur dasarnya yang bersifat personal-eksistensial.”[10]
Dalam
pengandaian politik modern sebenarnya termuat pengandaian-pengandaian
teologis-metafisik yang hendak memperTuhankan dirinya sendiri,
pengandaian teologis-metafisik yang cenderung memahakuasakan sistemnya
sendiri, namun yang semuanya itu bersembunyi di balik jargo-jargon
objektivitas ilmu pengetahuan yang mengklaim diri ilmiah dan oleh karena
dianggap selalu netral serta objektif.[11]
Pada kenyataannya, netralitas dan objektivitas yang dikedepankan
pandangan politik modern itu tidak lain dari upaya untuk menjinakkan
segala unsur personal-eksistensial dalam politik, upaya yang sebenarnya
telah jauh menyimpang dari tujuan politik itu sendiri. Kecenderungan
pandangan politik modern untuk memper-Tuhan-kan, memahakuasakan, dan
memutlakkan sistem yang terbatas inilah yang oleh Schmitt disebut
sebagai teologisasi atas politik atau teologi politik.[12] Konfrontasi
terhadap teologi politik atau tepatnya teologisasi atas politik yang
berujung pada depolitisasi atas manusia sebagai subjek (makhluk)
politik, inilah intisari dari seluruh buku Political Theology, sekaligus juga ruh yang menggerakkan pemikiran Schmitt.
Schmitt
sendiri pada 1927 mencoba untuk kembali merumuskan konfrontasinya ini
secara lebih ringkas dan definitif. Upaya untuk merumuskan secara
definitif-konseptual konfrontasinya yang konsisten dengan liberalisme
dan modernisme terwujudkan dalam teks pendek yang ringkas namun padat,
yaitu Der Begriff des Politischen (The Concept of the Political).
Dalam teks inilah Schmitt mencoba merumuskan secara eksplisit syarat
pengandaian paling mendasar dari seluruh bentuk politik dan tindakan
politik. Syarat pengandaian paling mendasar itu adalah apa yang disebut
Schmitt sebagai Yang Politis (Das Politische / The Political). Perumusan Schmitt tentang Yang Politis ini pula yang kemudian akan memberikan inspirasi terobosan bagi para pemikir post-marxis kontemporer seperti Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, dan Alain Badiou. Para pemikir post-marxis ini mencoba menghidupkan kembali pertanyaan tentang subjek politik radikal dalam masyarakat liberal-sekular-demokratis yang telah terlalu “tertata, terukur, teratur, dan mekanis”.
Dalam
banyak teksnya, Schmitt sering merujuk kembali pada praktik politik
kenegaraan di Zaman Kekaisaran Romawi Latin. Rujukan ini bukan untuk
menghidupkan kembali bentuk kekaisaran, bukan pula untuk mengidealkan
masa lalu, juga bukan demi legitimasinya atas kekuasaan Hitler di masa
rezim Nazi. Jika Schmitt merujuk ke masa Yunani dan Romawi, ini ia
lakukan tidak lain untuk memperlihatkan bagaimana konsep Kedaulatan dan
penghayatan eksistensial dalam politik dijalankan dalam bentuknya yang
paling purba.
Konsep kedaulatan dan penghayatan eksistensial (Erlebnis)
dalam politik menunjukkan bahwa tatanan politik beserta segala
kecanggihan sistemnya tidak akan pernah berjalan efektif tanpa ditopang
oleh dua hal paling dasar dari diri setiap manusia: 1) Keutamaan (Arete / Virtue), dan 2) Karakter.
Karakter manusia ditentukan oleh kemampuannya dalam membentuk dirinya, mengolah diri, melatih dirinya (askesesin)
sesuai dengan kapasitas/potensi yang telah ada dalam dirinya. Manusia
yang telah melatih diri sedemikian rupa dan membuktikan dirinya dapat
tetap hidup baik dan hidup lurus-rasional di tengah segala ekstremitas dunia adalah manusia yang utama.
Manusia yang utama adalah manusia yang berdiri tegak tak bergeming di
hadapan ekstremitas dan kontingensi dunia, manusia yang mampu
melampaui/mengatasi diri dan dunianya. Manusia yang berkeutamaan seperti
ini adalah manusia yang superior dalam arti ia mampu mengoptimalkan
dengan efektif segala daya rasional (perkara benar-salah) dan daya moral (perkara baik-buruk) yang ada dalam dirinya.
Dari
Zaman Platon sampai dengan masa para filsuf Stoa seperti Seneca,
Epictetus, dan Marcus Aurelius, pencapaian keutamaan dan karakter tidak
saja menjadi tujuan hidup pribadi manusia, melainkan juga menjadi ruh
yang menggerakkan seluruh keterlibatan politik. Di Zaman Klasik-Romawi
itu, di mana teori dan sistem politik belum secanggih saat ini, orang
menyadari betul bahwa tatanan sosial-politik tempat mereka bernaung
dapat hancur berantakan kapan saja oleh ancaman-ancaman yang datang baik
dari dalam maupun dari luar. Di zaman itu, di mana artifisialitas
perangkat teknologi dan mesin berperan sangat minimal, manusia memiliki
tingkat sensitivitas/kepekaan yang lebih kuat perkara kehidupan dan
kematian, makna dan kesia-siaan. Itulah juga sebabnya mengapa filsafat
klasik, khususnya Stoisisme lebih banyak memfokuskan filsafatnya ke
dalam internalitas batin diri manusia. Di hadapan ekstremitas hidup
politik, politik itu sendiri menjadi sebuah medan uji keutamaan diri
manusia, tempat di mana kualitas diri manusia diuji dan dibuktikan. Politik adalah sebuah sikap berkeutamaan dalam hidup publik dan sebuah laku hidup (way of life) yang melaluinya manusia mengolah serta melatih-diri (askesis). Sebagai sebuah laku hidup, politik didasarkan pada sebuah prinsip dasar: kesesuaian antara kata (logon) dan tindakan (ergon).
Prinsip ini sendiri bertolak dari Sokrates, namun di dalamnya termuat
pengandaian bahwa Kata-kata (bahasa) dan perilaku setiap orang tidak
saja menunjukkan kualitas karakter manusia, melainkan
juga bahwa kata-kata dan tindakan adalah modal utama setiap aktivitas
politik. Kata-kata dan tindakan merupakan dasar yang menggerakkan dan
melegitimasi seluruh aktivitas politik. Pada titik ini, diskursus
politik Schmitt seperti mau mencoba untuk menjangkau
kebijaksanaan-kebijaksanaan politik praktis di Zaman Klasik-Antik, untuk
kemudian diinjeksikan kembali ke dalam diskursus politik modern yang
telah terabstraksi sedemikian rupa menjadi praktik politik yang walupun
konstitutif dan demokratis, namun telah menjadi terlalu netral, steril, njlimet, dan
sistematis. Sejalan dengan fenomenologi, masa lalu adalah bagian dari
historisitas dan temporalitas manusia yang telah ter-sedimentasikan (sedimented). Sesuatu hanya dapat mengendap ter-sedimentasi jika sesuatu itu juga mampu untuk dihidupkan kembali (revived).
Apa yang telah mengendap terlupakan itu seringkali juga merupakan
sesuatu yang ternyata mendasar dan hakiki. Hanya dengan kembali
mengingat dan merefleksikan endapan masa lalu itulah masa depan membuka
dirinya sebagai horizon kemungkinan yang tidak terbatas dan melampaui
segala sistem. Pada titik ini, dapatlah dikatakan bahwa filsafat politik
Schmitt adalah filsafat politik dalam wajahnya yang paling
fundamental-radikal. Disebut radikal dan fundamental sebab filsafat
politik Schmitt mempertanyakan pengandaian paling dasar dari setiap
politik, dan kemudian menabrakkannya ke batasnya yang terjauh.
Radikalitas filsafat politik Schmitt adalah radikalitas yang bersumber
pada radikalitas fenomenologi. Persis dalam upayanya untuk menafsirkan,
menghidupkan, dan menjalankan fenomenologi di wilayah filsafat politik
inilah terletak kekuatan sekaligus kelemahan dari pemikiran Carl Schmitt.*** Oleh: Ito Prajna-Nugroho
[1] Dari
publikasi yang termasuk masih jarang ini, terdapat beberapa ulasan
tentang pemikiran Carl Schmitt yang tidak saja mendalam dan
non-partisan, tetapi juga kritis. Dua di antaranya yang menurut saya paling bagus dan menjadi sumber penulisan makalah ini adalah: 1) John P. McCormack, Carl Schmitt Critique of Liberalism – Against Politics as Technology (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 2) Michael Marder, Groundless Existence – The Political Ontology of Carl Schmitt (London: Continuum, 2010).
[2] Lanei Rodemeyer, “Developments in the Theory of Time-Consciousness,” in Donn Welton (ed.), the New Husserl (Bloomington: Indiana University Press. 2003), pp. 126-127.
[3] Edmund Husserl, Logical Investigations. Volume I, translated with an Introduction by J. N. Findlay (London and Henley: Routledge & Kegan Paul. 1970/1976), p. 245.
[7] Carl
Schmitt membicarakan tentang perbedaan mendasar antara “legalitas” dan
“legitimasi” di dalam buku yang ditulisnya pada 1932, yaitu Legalität und Legitimität.
Jika legalitas berkenaan dengan hukum dalam dirinya sendiri termasuk
segala perkara teknis-juridis yang terdapat di dalamnya, maka legitimasi
berkenaan dengan syarat kemungkinan paling mendasar yang harus
diandaikan oleh hukum agar dapat disebut sebagai hukum. Dari pembedaan
ini, maka bagi Schmitt persoalan legitimasi jauh lebih mendasar dari
persoalan prosedur legal. Dalam persoalan legitimasi inilah Kedaulatan
diandaikan. Saya sendiri sampai pada kesimpulan tersebut dengan bertolak
dari: John P. McCormick, Carl Schmitt’s Critique of Liberalism, Against Politics as Technology, pp. 206-248.
[8] Carl Schmitt, Political Theology, p. 5. Lihat Juga: John P. McCormick, Carl Schmitt’s Critique of Liberalism, Against Politics as Technology, p. 121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar