Minggu, 03 Juni 2012

AMBIGUITAS IMPLEMENTASI AJARAN KONFUSIUS DALAM MODERNISASI DI KOREA SELATAN





A. PENGANTAR
Korea Selatan merupakan salah satu negara juga semenanjung di kawasan Asia Timur Laut dan terletak di tengah negara besar yaitu Jepang, Cina, dan Rusia. Posisi tersebut memberikan keuntungan dan kerugian bagi Korea Selatan. Menguntungkan karena dilihat dari sudut strategi, negara ini merupakan semenanjung yang berfungsi sebagai jembatan penghubung ketiga negara besar tersebut dengan dunia luar. Merugikan karena Korea Selatan menjadi titik strategis dalam gelanggang pertarungan internasional terutama antara Jepang, Cina, dan Rusia. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya penjajahan Jepang di Korea Selatan pada tahun 1910.
Posisi yang menguntungkan Korea Selatan telah memberikan kemudahan dalam hal menyerap dan mempelajari hal-hal baru seperti seni dan budaya dari negara tetangganya. Sepanjang sejarah, Korea Selatan banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Salah satunya adalah ajaran Konfusius yang berasal dari Cina kemudian disampaikan ke Jepang melalui Semenanjung Korea Selatan. Tentu saja hal ini memberikan peluang bagi bangsa Korea Selatan untuk menyerap dan mempelajari ajaran yang dibawa dari Cina tersebut. Pada kenyataannya, nilai yang diserap dari Cina tersebut tidak berkembang di Cina tetapi malah berkembang dan mengakar kuat dalam setiap lapisan kehidupan bangsa Korea Selatan.
Ajaran Konfusius di Korea Selatan telah berkembang menjadi serangkaian prinsip moral dan etika. Ajaran Konfusius berupa perikemanusiaan (Jen), kelayakan (Yi), sopan santun (Li), kebijaksanaan (Chi'h), pendidikan, pembetulan nama (Cheng Ming), bakti kepada keluarga, dan harmoni sosial. Bermula dari serangkaian prinsip ini kemudian berubah ritual, kini ajaran Konfusius telah menjadi tuntunan tingkah laku dalam setiap lapisan kehidupan di Korea Selatan. Konfusianisme telah memberikan pengaruh yang begitu besar dalam proses modernisasi sosio-ekonomi dan politik yang begitu besar dengan melihat latar belakang historis Korea Selatan yang suram dan proses yang dialaminya. Korea Selatan mengalami masa sejarah yang sangat sulit karena dominasi kolonial dan kekacauan pasca kemerdekaan Korea Selatan. Tiga puluh tahun yang lalu, Korea Selatan adalah sebuah negara yang dijajah oleh pemerintah kolonial yang brutal, terjadi perang sipil, pemerintah diktator, dan kudeta militer. Hal ini menyebabkan Korea Selatan menjadi terbelakang dalam bidang ekonomi maupun politik. Ajaran konfusius secara tidak langsung dan tanpa disadari memegang tanggung jawab atas terjadinya pertumbuhan ekonomi dan sistem politik yang kuat dalam rangka modernisasi di Korea Selatan. Ajaran Konfusius telah memberikan arah filosofi dan karakter bagi bangsa Korea Selatan serta mendorong terjadinya perubahan politik, kebudayaan, dan ekonomi nasional yang penting.
Ajaran Konfusius yang begitu besar hingga mengakar di setiap lapisan kehidupan di Korea Selatan tidak hanya diterima secara baik tetapi juga secara kritis ditanggapi. Terdapat ambiguitas akan pengaruh ajaran Konfusius dalam proses modernisasi Korea Selatan. Ambiguitas ini timbul karena ajaran Konfusius memberikan pengaruh yang positif sekaligus negatif. Menurut Weber, Konfusianisme merupakan rintangan bagi pembangunan ekonomi dengan alasan bahwa kegagalan sebuah negara seperti Cina atau Korea Selatan untuk mencapai suatu terobosan ekonomi terjadi pada saat pengaruh Konfusius berada di titik puncak (Yang Seung-Yoon, 2005). Di sisi lain ekonomi Korea Selatan yang dahulu terbelakang mengalami pertumbuhan yang dinamis dan cepat karena penerapan ajaran Konfusius. Begitu pun ketika masuk ke dalam ranah lain seperti sosial maupun politik. Ajaran Konfusius dapat dikatakan sebagai sesuatu yang lebih bersifat ambigu bila tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang buruk.
Adanya hal yang ambigu ini mendorong penulis mengadakan penelitian pustaka untuk mengetahui dan mengadakan evaluasi kritis terhadap implementasi ajaran Konfusius dalam modernisasi di Korea Selatan. Modernisasi ini terkait dengan pertumbuhan aspek sosio-ekonomi dan sistem politik yang berjalan beriringan dalam prosesnya. Aspek inilah yang menjadi faktor penting modernisasi di Korea Selatan. Penulis akan memulai dengan memaparkan implementasi ajaran Konfusius pada faktor penunjang tersebut. Barulah kemudian penulis akan mengadakan evaluasi terhadap implementasi ajaran Konfusius terutama dalam hal ambiguitasnya.
PEMBAHASAN
1. Implementasi Ajaran Konfusius dalam Bidang Sosial di Korea Selatan
Implementasi ajaran konfusius dalam bidang sosial menekankan pada ajaran tentang kemanusiaan (Jen), prinsip hierarkis dan kedudukan dalam hubungan sosial yaitu lima hubungan. Ajaran seperti ini begitu mempengaruhi tata pergaulan sosial di Korea Selatan.
Konfusius ( Widyastini, 2004 : 9) mengatakan bahwa kemanusiaan adalah rasa cinta dan kasih sayang yang timbul dalam diri seseorang kepada orang lain maka kemanusiaan adalah sebuah konsep konotasi yang bertumpu dari “kebajikan” sebagai ide sentral yang mempengaruhi hidup dan kehidupan. Oleh karena itu harus menghargai kehidupan; hal inilah yang paling mulia agar dapat menciptakan suatu kedamaian dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat jelata”. Perikemanusiaan ini akan terealisasi dalam wujud saling mencintai dan mempunyai kewajiban-kewajiban sebagai anggota masyarakat. Manusia diharapkan mempunyai sifat-sifat perikemanusiaan yaitu mempunyai sikap yang ikhlas dan rasa solidaritas yang tinggi di antara sesama umat manusia. Lasiyo ( 1997 : 6) mengatakan bahwa Jen merupakan rasa kemanusiaan yang sebenarnya dipunyai oleh setiap manusia dan merupakan ciri khas mendasar dari keteraturan sesuatu yang maujud dan terwujud dalam sikap, perilaku, perbuatan manusia. Menurut Confusius ( Widyastini, 2004 : 9) kemanusiaan didasarkan kepada lima hal yaitu harga diri, rendah hati, ketaatan, kerajinan, dan kebaikan. Melakukan sesuatu perbuatan hendaknya tidak mengharapkan balasan demi tujuan kelayakan (Yi). Misalnya, seseorang menghormati orang lain karena hal itu memang layak dilakukan bukan karena pamrih.
Konfusius menekankan pada lima hubungan yaitu (1) ayah dan anak, (2) yang tua dan yang muda, (3) suami dan istri, (4) pertemanan, dan (5) penguasa dan masyarakat. Pola hubungan ini menghasilkan suatu hierarki sosial. Hierarki ini dapat berjalan harmonis dengan memegang teguh sikap sopan santun dalam bergaul dan saling menghormati. Seseorang seharusnya sadar akan kedudukannya di dalam masyarakat sehingga dapat menentukan sikapnya dalam pergaulan demi tercapainya harmoni sosial. Misalnya, bakti terhadap orang tua yang diwujudkan dalam bentuk menghormati orang tua. Begitu pun dalam pola hubungan yang lain seperti penguasa dan masyarakat. Sudah seharusnya masyarakat mentaati peraturan yang ditetapkan oleh penguasa (negara) demi tercapainya ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat. Ketika seseorang sudah sadar akan kedudukannya dalam sistem sosial maka akan terjadi keharmonisan dalam kehidupan.
Ajaran seperti itulah yang dipegang teguh sebagai prinsip moral dan etika dalam bersosialisasi dalam masyarakat Korea Selatan. Hal ini dapat dilihat ketika mencermati kebiasaan orang Korea Selatan. Orang Korea Selatan dikenal sebagai orang yang selalu bersikap ramah terhadap orang yang baru dikenalnya. Kebiasaan seperti ini pula yang menyebabkan orang Kenal terkenal dengan sebutan orang ramah dari Timur. Orang Korea Selatan selalu menempatkan orang lain sesuai umurnya sehingga selalu menghormati orang yang umurnya lebih tua. Hal ini terlihat dari kebiasaan orang Korea Selatan ketika berkenalan dengan seseorang selalu menanyakan tentang umur kepada orang yang berkenalan sehingga dapat menentukan sikap yang seharusnya. Hierarki sosial yang harmonis juga sangat tampak pada masyarakat Korea Selatan tradisional pra modernisasi. Terlihat dari keteraturan kelas sosial yang berkembang dalam masyarakat. Orang yang statusnya lebih rendah menghormati orang yang status sosialnya lebih tinggi. Saat itu orang yang paling tinggi kedudukannya adalah para aristokrat yang menguasai pemerintahan kemudian para birokrat yang membantunya dan berikutnya adalah kaum terpelajar sebagai pewaris aristokrasi. Kelas sosial yang lain seperti pedagang, seniman, dan rakyat jelata sebagai orang awam menempati kedudukan di bawahnya. Budak adalah kelas sosial paling bawah. Masyarakat Korea Selatan tradisional sangat tunduk pada aristokrat yang memerintah saat itu yaitu aristokrat Yangban. Keteraturan sosial di Korea Selatan bermula dari pemahaman bahwa negara merupakan agen moral yang aktif dalam pembangunan masyarakat.
2. Implementasi Ajaran Konfusius dalam Bidang Ekonomi di Korea Selatan
Implementasi ajaran Konfusius telah memberikan sumbangan positif bagi pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam rangka proses modernisasi di Korea Selatan. Secara garis besar, ajaran Konfusius yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial di Korea Selatan telah menopang terjadinya pertumbuhan ekonomi Korea Selatan yang cepat. Ajaran Konfusius yang dilihat sebagai faktor pertumbuhan ekonomi yang cepat di Korea Selatan adalah ajaran mengenai kepatuhan dan kesetiaan, pemahaman bahwa negara adalah agen moral yang aktif dalam pembangunan masyarakat, penghormatan atas status dan hierarki, penekanan pada pengembangan diri dan pendidikan, dan perhatian terhadap harmoni sosial.
Confusius ( Widyastini, 2004 : 8) berpendapat bahwa pendidikan memiliki dua tujuan yaitu tujuan secara khusus dan secara umum. Secara khusus untuk membimbing dan mendidik agar senantiasa siap menjadi generasi-generasi penerus bangsa dan secara umum untuk mewujudkan manusia-manusia yang bermoral, pandai, dan mempunyai rasa tanggung jawab kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Di Korea Selatan, pendidikan merupakan faktor penting untuk menentukan kedudukan seseorang dalam masyarakat. Seseorang yang ingin meningkatkan status sosial dan kehidupan ekonomi harus mempunyai gelar kesarjanaan dengan mengikuti ujian masuk menjadi pegawai pemerintahan. Ujian saringan dilakukan dengan ketat karena pegawai pemerintahan merupakan kedudukan yang tinggi dalam masyarakat Korea Selatan. Pendidikan berperan dalam peningkatan dan pengembangan diri seseorang menuju taraf hidup yang lebih baik. Pendidikan sangat berpengaruh besar dalam pertumbuhan ekonomi di Korea Selatan.
3. Implementasi Ajaran Konfusius dalam Bidang Politik di Korea Selatan
a. Konfusianisme sebagai ideologi politik
Ideologi adalah suatu sistem ritual dan kepercayaan yang sangat terartikulasi dan sadar akan dirinya, berkeinginan untuk menawarkan suatu jawaban yang menyatu bagi masalah-masalah tindakan sosial (Yang Seung-Yoon, 2005 : 8) . Ideologi dalam tahap ini dipandang sebagai sebuah tahap dalam pembangunan suatu sistem pengertian kebudayaan. Ajaran Konfusius Korea Selatan telah menjadi budaya tersendiri yang membentuk tindakan masyarakat.. Ajaran Konfusius adalah salah satu dari adat istiadat dan warisan yang membentuk strategi tindakan dalam masyarakat Korea Selatan kontemporer.
Konfusianisme sebagai perwujudan ajaran Konfusius menyajikan seni dan pengetahuan mengenai pemerintahan yang baik yang didasarkan pada prinsip-prinsip etika dan moral. Prinsip tersebut adalah bahwa pangeran dan raja harus belajar untuk menguasai dan memerintah wilayah serta mengatur rakyatnya. Dalam hal ini, ajaran Konfusius merupakan teori politik yang menawarkan saran-saran praktis kepada penguasa. Konfusianisme sebagai ideologi juga menggambarkan sebuah masyarakat yang hierarkis dimana di dalamnya kekuasaan diperkuat oleh kebajikan kelas atas terhadap kelas bawah dan kesetiaan yang saling timbal balik serta kepatuhan rakyat terhadap negara (Yang Seung-Yoon, 2005 : 10). .
Politik dalam teori Konfusianisme merupakan bagian pelengkap sebuah sistem sosial universal yang diatur oleh nilai-nilai tertentu dan diharmonisasikan oleh kepatuhan terhadap norma-norma yang ada. Menurut ideologi ini, sebuah negara yang terpusat harus diperintah oleh penguasa yang baik dibantu oleh menteri-menterinya yang setia dan peraturan-peraturan yang dibuatnya didukung oleh pandangan rasional etika mengenai keselarasan alam dan manusia. Dalam hal ini, ajaran Konfusius memberikan penekanan yang lebih besar pada tata politik yang mengagungkan prinsip moral. Dalam Konfusianisme moralitas dan politik tidak dapat dipisahkan karena terdapat hubungan yang penting antara diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara. Hal ini menjadi doktrin politik dalam hal pengembangan diri, pengaturan keluarga, keselarasan sosial, dan aturan politik (Yang Seung-Yoon, 2005 : 10).
b. Konfusianisme sebagai Pergerakan Politik
Negara yang berdasarkan ideologi Konfusius merupakan suatu contoh politik yang teratur dalam rangka mencapai tata etika dan moral yang lebih tinggi sepanjang kelas berkuasa masih tetap utuh dan bersatu. Kelas berkuasa yang dimaksud disini adalah kelas terdidik. Dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, Dinasti Chosun ( dinasti dimana konfusianisme menjadi titik puncak) mengalami pembersihan kelas terdidik dan perpecahan faksional antara elit penguasa. Isu yang diperdebatkan saat itu bukan pada substansi ajaran Konfusius, tetapi lebih pada ritual dan interpretasi dogma dan ajaran-ajaran (Yang Seung-Yoon, 2005 : 10).
Konfusianisme sebagai pergerakan politik lebih mengarah kepada suatu sistem praktis daripada suatu sistem ide. Sebagai sebuah sistem ide, Konfusianisme memperjuangkan tata politik dan moral yang manjadi landasan bagi terciptanya masyarakat yang stabil dan selaras. Sebagai sebuah sistem praktis karena lebih pada tindakan praktek ajaran Konfusius itu sendiri dalam kehidupan politik. Misalnya, dilakukannya reformasi praktis di bidang pertanian yang dilakukan oleh para sarjana di Korea Selatan pada abad 17-18 sebagai reaksi atas gerakan pembersihan kelas terdidik.
Yang Seung-Yoon ( 2005: 14) berpendapat bahwa doktrin politik pelaksanaan pemerintahan selama masa pemerintahan di bawah naungan ajaran Konfusian membagi dalam tiga tingkat yang masing-masing menekankan Kyongse (bagaimana untuk mengatur dunia), chemin ( bagaimana untuk menyelamatkan rakyat), ch'iguk (bagaimana untuk memerintah negara).
c. Konfusianisme sebagai Sistem Politik
Sistem politik Konfusianisme, menurut Robinson memimpikan sebuah negara yang harmonis dimana kekuasaan raja diartikulasikan melalui birokrat sipil yang memerintah masyarakat, mengesahkan kekuasaan seorang raja …(yang didasarkan pada) aturan orang bijak …(dan) memilih pegawai berdasarkan sifat baik mereka (Yang Seung-Yoon, 2005 : 14).
Konfusianisme sebagai sistem politik dapat diamati pada dinasti Chosun. Sistem politik yang digunakan saat itu adalah sistem kerajaan dan birokrasi. Korea Selatan adalah negara kerajaan tetapi rajanya diperkuat oleh keturunan aristokrasi Yangban. Pola timbal balik digunakan untuk menetapkan sifat hubungan yang terjalin antara kerajaan dan aristokrasi. Sejarawan James Palais mengemukakan hubungan timbal balik antaraa struktur pemerintahan kerajaan, birokratis, dan terpusat dengan sistem sosial aristokrasi dan hierarkis menghasilkan perdamaian dan stabilitas Dinasti Chosun bertahan cukup lama sampai 5 abad (Yang Seung-Yoon, 2005 : 14).
Keseluruhan formulasi ajaran Konfusius di atas mempengaruhi proses modernisasi Korea Selatan dan pembentukan identitas nasional Korea Selatan yang sedang mengalami perubahan.
4. Modernisasi di Korea Selatan
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat modern didorong oleh keinginan manusia untuk maju dan berkembang seiring dengan perubahan jaman. Perkembangan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern ditandai dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin mengarah pada kepentingan-kepentingan public atau masyarakat umum. Modernisasi adalah salah satu hasil dari tindakan manusia dewasa ini untuk mewujudkan cita-citanya yaitu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Modernisasi tidak akan pernah berhenti sebelum cita-citanya tercapai. Menurut Jacob, modernisasi adalah “pengenalan alat baru untuk meningkatkan hasil yang dapat dicapai masyarakat, tetapi dengan tujuan bahwa perubahan itu tidak akan menentang, dan dalam kenyataannya justru memperkuat beberapa tujuan berharga dan prosedur organisasional” (Yoon, Yang Seung : 21). Modernisasi di Korea Selatan terjadi pada abad 20 yang ditandai dengan adanya industrialisasi ekonomi yang dipimpin oleh negara. Korea Selatan termasuk sebuah negara yang terlambat menjalankan industrialisasi ekonominya karena kondisi geopolitik dan sejarah sebagai sebuah negara yang baru merdeka dan terbagi setelah Perang Dunia II. Melalui proses yang dialaminya, Korea Selatan telah mengejutkan dunia internasional dengan keberhasilannya menjadi salah satu negara di dunia yang memiliki tingkat perekonomian paling dinamis dan pada tahun 1980-an dengan mengubah dirinya menjadi negara demokratis. Keberhasilan yang diraih Korea Selatan merupakan hasil dari tindakan yang dilakukan oleh rezim otoriter serta model politik otoriterianisme. Otoriterianisme begitu berkembang di Korea Selatan sebagai akibat langsung dari implementasi ajaran Konfusius. Akan tetapi, ketika Korea Selatan telah mengubah dirinya menjadi negara demokratis, otoriterianisme menjadi terdesak oleh sistem baru yang secara prinsipiil bertentangan dengan ajaran Konfusius. Bagaimanakah keberhasilan modernisasi untuk tahap selanjutnya dengan sistem yang baru dapat tercapai apabila bertentangan dengan prinsip hidup masyarakat suatu negara yang sudah sangat melekat dalam dirinya?
5. Ambiguitas Implementasi Ajaran Konfusius dalam Modernisasi di Korea Selatan
Ajaran Konfusius memang telah memberikan begitu banyak sumbangan kemajuan dalam modernisasi di Korea Selatan. Dalam perkembangannya, ajaran Konfusius ini juga dapat dikatakan sebagai penghalang utama dalam modernisasi di Korea Selatan mengingat modernisasi tidak pernah berhenti sebelum cita-citanya tercapai.. Tentu saja pemikiran ini meninggalkan sesuatu yang ambigu. Di satu sisi Konfusianisme menjadi faktor pendorong kesuksesan modernisasi di Korea Selatan sebelum Korea Selatan mengalami transformasi politik. Tetapi di sisi lain malah menjadi faktor penghambat utama dalam modernisasi untuk tahap yang selanjutnya di Korea Selatan. Bagaimana bisa kedua hal yang ambigu ini berjalanan beriringan untuk mempengaruhi kesuksesan modernisasi di Korea Selatan? Bukannya sesuatu yang menghambat itu justru akan membuat suatu kegagalan.
Mencermati modernisasi yang terjadi Korea Selatan, tak dapat diabaikan bahwa Korea Selatan pada masa itu sedang mengalami transformasi politik yang begitu mendasar yaitu dengan mengubah dirinya menjadi negara demokratis. Prinsip yang digunakan dalam negara demokrasi ini secara substansial berbeda dengan prinsip ajaran Konfusius. Perbedaannya terletak pada pandangan mengenai kekuasaan dan ikatan keluarga. Prinsip negara demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Pemerintahan dalam hal ini tidak dikuasai secara otoriter dan terpusat. Selain itu juga menekankan persamaan kesempatan bagi semua status sosial. Sedangkan ajaran Konfusius begitu menekankan pada ikatan keluarga sehingga yang terjadi adalah pemerintahan yang otoriter dan terpusat. Secara tidak langsung kekuasaan pun akan diturunkan pada generasi yang mempunyai ikatan keluarga. Walaupun pemerintah Korea Selatan saat itu telah memberikan kesempatan untuk kalangan terpelajar untuk menempati posisi strategis dalam pemerintahan melalui sistem rekruitmen kompetitif, pada kenyataannya yang mendapatkan akses dan kesempatan hanyalah mereka yang masih mempunyai garis keturunan dengan penguasa. Perbedaan yang begitu mendasar ini menjadi penghalang utama bagi modernisasi khususnya demokrasi yang hendak dicapai. Dengan demikian, cara yang mungkin dilakukan adalah dengan melepaskan tradisi Konfusian yang telah mengakar kuat. Konklusi ini diperkuat oleh Weber dimana ia mendukung pandangan yang menyatakan bahwa “Konfusianisme merupakan rintangan bagi pembangunan ekonomi dengan alasan bahwa kegagalan sebuah negara seperti Cina atau Korea Selatan untuk mencapai suatu terobosan ekonomi terjadi pada saat pengaruh Konfusius dalam masyarakat sedang berada di titik puncak”. (Yang Seung-Yoon, 2005 : 4)
Weber (Yang Seung-Yoon, 2005 : 35) berpendapat bahwa pandangan dunia yang berorientasi pada keluarga tidak hanya menghalangi perkembangan kapitalisme, tetapi juga menghalagi pelembagaan politik modern. Ini disebabkan karena sistem kekeluargaan Konfusian menyandarkan dirinya pada pengembangan bentuk paling khusus yang disebut sebagai kekuasaan tradisional dan dinamakan patrialisme :
Patrialisme selama ini merupakan tipe legitimasi yang paling penting yang didasarkan pada tradisi. Patrialisme berarti kekuasaan seorang ayah, suami, orang tertua dalam rumah, saudara yang lebih tua daripada anggota keluarga dan saudara yang lain; penguasaan seorang majikan atau tuan tanah terhadap para budak dan petani; penguasaan seorang bangsawan terhadap pelayan-pelayan dan pegawai-pegawai rumah tangga; penguasaan seorang pangeran terhadap pegawai negeri maupun pengadilan, pejabat-pejabat pemerintahan, pedagang dan raja-raja kecil; penguasaan bangsawan patrimonial dan raja berdaulat terhadap “warga negaranya”.
Pendapat Weber ini merupakan kerangka acuan bagi kekuasaan otoriter. Konfusianisme yang berkembang di Korea Selatan adalah bentuk asli dari kekuasaan patriarkal, tradisional, dan irasional. Oleh sebab itu, Weber menyatakan bahwa Konfusianisme harus disingkirkan dalam rangka membangun lembaga-lembaga modern, rasional, dan legal.
Tradisi otoriter mengarah kepada penyalahgunaan kekuasaan dimana penguasa menggunakan kekuasaan tersebut untuk kepentingan pribadi dan tidak mengatasnamakan kepentingan rakyat. Hal ini akan berdampak pada semua bidang dalam masyarakat. Misalnya, di Korea Selatan pembedaan kelas begitu tajam sehingga terjadi kesenjangan ekonomi yang begitu jelas karena tradisi otoriter yang tidak memberikan persamaan derajat yang sama dalam setiap lapisan kehidupan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Melihat Konfusianisme sebagai sistem sosial bagi keberadaan aristokrasi yang sangat berkuasa misalnya dalam kasus kepemilikan tanah menjadi bukti nyata adanya ketimpangan sosial-ekonomi. Rezim otoriter di Korea Selatan melakukan tindakan-tindakan untuk menindas dan menyingkirkan sektor umum khusus yang ada dalam masyarakat sipil dan menolak peran aktif serta partisipasi mereka dalam politik.
Berpijak dari fenomena di atas, tampaknya ajaran Konfusius justru menghambat dan menjadi penghalang utama modernisasi melalui sistem yang baru di Korea Selatan. Akan tetapi, faktor penghambat ini justru telah mengantarkan Korea Selatan kepada pertumbuhan sosio-ekonomi politik yang cepat dan kuat serta tranformasi politik. Menganalisa ambiguitas ini dapat dikatakan bahwa dampak Konfusianisme bagi modernisasi Korea Selatan pra demokratisasi merupakan suatu akibat yang tidak disengaja bahkan suatu keajaiban. Untuk tahap modernisasi pasca demokratisasi, Konfusianisme yang sangat melekat dalam masyarakat Korea Selatan hendaknya menemukan penyesuaian modernnya dengan menampilkan serangkaian cita-cita dan nilai-nilai modernisasi seperti keseimbangan ekonomi dan keadilan sosial, demokrasi politik sipil, keterbukaan dan toleransi, struktur sosial yang beraneka ragam ditunjang dengan alat untuk mencapai cita-cita tersebut pada tingkat individu, masyarakat, dan negara. Ajaran Konfusius yang bertentangan dengan nilai modernisasi seperti inilah yang perlu dilakukan penyesuaian agar tidak menghambat proses modernisasi selanjutnya.
C. KESIMPULAN
Ajaran Konfusius memberikan pengaruh yang begitu besar menuju modernisasi di Korea Selatan. Hal ini dapat dilihat dari implementasi ajaran tersebut pada bidang yang menjadi faktor penting dalam proses modernisasi. Implementasi pada bidang sosial, ekonomi, politik telah memberikan sumbangan positif bagi kesuksesan modernisasi Korea Selatan yang ditandai dengan adanya pertumbuhan sosio-ekonomi politik yang cepat dan kuat serta tranformasi politik menjadi negara demokrasi. Konfusianisme yang bermula sebagai serangkaian prinsip dan ritual yang ditujukan untuk menyelaraskan hubungan antar manusia, kini telah menjadi tuntunan tingkah laku sosial tetapi justru menjadi penghalang utama dalam kesuksesan modernisasi tahap selanjutnya di Korea Selatan. Pernyataan ini tampak menjadi sesuatu yang bersifat ambigu mengingat Konfusianisme merupakan hal yang menjadi penyebab kesuksesan modernisasi juga. Masyarakat Korea Selatan harus menemukan gaya dan pola penyesuaian modern ajaran Konfusius melalui sistem yang baru agar tidak menghambat kesuksesan modernisasi tahap selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA  
Widyastini, Dra. Hj. M.Hum. 2004. Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali. “Paradigma” Yogyakarta: Yogyakarta .
Yoon, Yang Seung dan Mohtar Mas'oed. 2005. Memahami Politik Korea Selatan. Gadjah
MadaUniversity Press: Yogyakarta .
Yang, Seung-Yoon. 1995. Seputar Kebudayaan Korea Selatan . Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta .
Yoon, Yang Seung dan Nur Aini Setiawati. 2003. Sejarah Korea Selatan. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta .
www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar