• Pengantar
Bencana alam tentu sudah tidak asing lagi
ditelinga kita, apalagi akhir- akhir ini di beberapa-beberapa negara berkembang
di seputaran Asia pasifik, tidak terkecuali Indonesia dirundung bencana yang
berkepanjangan. Kerusakan alam tak lain disebabkan karena kecerobohan manusia
dalam pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan. Eksplorasi yang berlebihan
terhadap alam menimbulkan kerusakan- kerusakan pada bumi yang jika
diakumulasikan pasti bisa membaca gejala-gejala kefatalan apa yang akan terjadi
kelak. Masih segar diingatan kita banyaknya bencana-bencana alam yang terjadi
di Indonesia, sebut saja musibah longsor yang terjadi di Banjarnegara. Yang
menelan puluhan jiwa dan 180 warga harus hidup di pengungsian dengan kondisi
yang memprihatinkan. Kemudian bencana tanah longsor di Semarang yang
mengakibatkan beberapa rumah hancur, walaupun tidak membawa korban jiwa. Baru-
baru ini menurut salah satu media cetak lokal, SKH Kedaulatan Rakyat, terjadi
banjir bandang yang menerjang kota Kudus. Puluhan rumah penduduk diwilayah
kecamatan Dawe dan Gebog tergenang akibat banjir yang terjadi. Banjir juga
menyebabkan sejumlah rumah rusak berat dan 3 jembatan hancur. Dengan kerugian
material mencapai 80 juta rupiah, walaupun belum tercatat adanya korban jiwa.
Artikel bertajuk Mengapa Kami Memprotes
Freeport ? Yang di muat di Kompas 30 mei 2001. menggambarkan adanya
konflik vertikal dan horisontal yang disebabkan oleh ditandatanganinya kontrak
karya 7 april 1997. yang berisikan dimulainya kegiatan penambangan tembaga
semenjak tahun 1972 oleh PT Freeport Indonesia. PT freeport Indonesia telah
melakukan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh tailling (limbah
tambang). Limbah tersebut dibuang begitu saja kelembah Cartenz, lembah Wanagon,
dan sungai Ajkwa. Hasil tersebut didapat dari pencitraan satelit Landsat TM
pada tahun 2001. Pencitraan tersebut menunjukkan deposit tailling yang
menutup dan merubah badan sungai, panjangnya mencapai 43km dan lebar 5km. Tailling
tersebut bahkan telah mencapai laut Arafuru dan gradasi pencemaran laut
yang ditunjukkan mencapai 10km dari garis pantai. Penampakan itu merupakan
suatu kejadian dramatis terhadap kerusakan lingkungan fisik, lingkungan sosial
dan lingkungan perairan laut di papua barat. Kasus dramatis yang menimpa alam
dan masyarakat Timika tersebut hanyalah salah satu kasus diantara banyak kasus
kerusakan lingkungan yang terjadi di indonesia. Kasus diatas memberi sekelumit
gambaran betapa modernisasi yang tengah berjalan beserta sistem industri yang
kompleks baik dalam organisasi maupun teknologi tidak hanya menimbulkan decak
kagum tetapi juga membawa berbagai persoalan serius menyangkut kerusakan
ekologis.
Seiring dengan berjalannya waktu, kompleksitas
persoalan ekologis menjadi kian berat. Dan dampaknya semakin terasa dalam
kehidupan kita, mulai dari aspek kesehatan hingga terjadinya bencana alam
seperti banjir dan tanah longsor yang terjadi pada waktu lalu. Perubahan iklim
secara ekstrim menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor di beberapa wilayah
Jawa dan beberapa daerah lain di luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatera
Selatan, Kerinci atau Aceh lebih disebabkan karena kerusakan ekologis
dibandingkan bencana alam.(Ginting: 2004)
Bagi penulis hal ini merupakan sesuatu yang
menarik; bagaimana alam dan manusia saling berinteraksi dalam kehidupan. Taois
menekankan kedekatan langsung dengan alam untuk mendorong kesederhanaan dan
spontanitas di dalam individu – individu dan dalam hubungan manusia dan
seberapa jauhkah alam dapat menyumbangkan sesuatu dalam keharmonisan dalam
kehidupan peradaban manusia.
• Pembahasan
Sejarah Singkat dan Garis Besar Ajaran
Taoisme
Taoisme diprakarsai oleh Lao Tze (Laozi) atau
dikenali sebagai guru Tua lahir pada tahun 604 S.M di Tiongkok . Dikatakan berada
dalam perut ibunya selama 82 tahun dan dilahirkan dalam keadaan sudah tua. Nama
aslinya Li Peh Yang, Lao Tze merupakan gelarnya sebagai orang tua yang
bijaksana. Dikatakan beliau hidup hampir dua ratus tahun karena mengamalkan
pemakanan raksa dan bahan campuran lain. Ajaran-ajarannya telah dikumpulkan di
dalam sebuah kitab besar yang diberi tajuk I-Ching . Ajarannya
:
• Menekankan unsur-unsur primitif untuk
mencapai kehidupan yang abadi. Penganut Taoisme perlu bertapa di gua-gua dan gunung-gunung untuk menghapuskan
dosa.
• Antimaterialisme yaitu penganut diajak
meninggalkan hal-hal duniawi supaya mendapatkan tempat yang baik pada hari akhirat .
• Banyak menggunakan pendekatan batin untuk
mewujudkan perpaduan masyarakat. Setiap manusia mempunyai satu bentuk tenaga di
dalam jiwanya. Tenaga itu hanya boleh dibangkitkan melalui amalan yoga dan meditasi apabila seseorang
bisa mengosongkan pikirannya.
Taoisme lahir dalam kebudayaan-kebudayaan yang
kurang berminat mengontrol dunia dimana gagasan dominasi alam semesta oleh
manusia (ego yang sadar) dianggap absurd. Prinsip utama filsafat barat adalah
pemisahan ego dengan dunia sehingga ego dapat menjadi pengontrol dunia.
Kesadaran individual tidak tersusun dengan sendirinya dan tak pernah menjadi
penduan kehidupan. Bagi filsafat timur pengetahuan bukanlah kontrol melainkan
“sensasi” perwujudan yang hidup bahwa “aku” bukan kesadaran terindividualisasi
semata. Melainkan rahim tempat kesadaran itu.
Tao , Te dan
wu wei
Hal pertama yang harus dipahami dalam Tao adalah
kata “Tao” itu sendiri. Segala sesuatu yang berwujud dan ragawi adalah yang
dapat diberi nama. Sementara Tao sendiri adalah sesuatu yang tak bernama. Dan
yang tak bernama ini adalah awal dari segala sesuatu. Menyebut Tao dengan
sebutan Tao tidak sama dengan menyebut meja dengan sebutan meja. Meja
beratribut sedangkan Tao tidak beratribut.
Tao adalah sesuatu yang menyebabkan menjadi
adanya apa saja. Karena senantiasa terdapat barang sesuatu, maka Tao terus
menerus ada dan nama Tao juga terus menerus ada. Ia dalah awal mula dari segala
permulaan dan menyaksikan keadaan awal segala sesuatu. Selanjutnya Tao memberi Te
pada barang sesuatu tadi. Te adalah ‘daya' baik dalam arti moral
ataupun non-moral. Setelah diberi Te tindakan yang harus dilakukan oleh segala barang
sesuatu tadi adalah wu wei . Wu wei adalah cara bertindak
dengan sewajarnya atau bertindak secara tidak berlebihan. Tidak ada bencana
yang lebih besar dibanding sikap tidak mengenal kepuasan atas apa yang dimiliki
seseorang; tidak ada dosa yang lebih besar dibanding mempunyai keinginan untuk
memperoleh milik.(Soejono Soemargono 1990:135)
Perspektif Pemikiran Barat Tentang Konsep
‘Aku'
Segala sesuatu yang kita ketahui tentang
organisme hidup dari sudut pandang sains (seperti ekologi dan biologi) menunjukan
pada kita bahwa kita tumbuh dari dunia ini dan kita adalah apa yang disebut
sebagai gejala dari alam semesta secara keseluruhan.
Mengenai aku, terdapat kesepakatan tertentu
mengenainya, terutama mereka yang hidup dalam peradaban barat, dan kita mempunyai
apa yang biasa disebut sebagai konsepsi diri sebagai ego yang terbungkus kulit
(skin – encapsulated ego). Kebanyakan dari kita merasa ”aku” , egoku diriku,
sumber kesadaranku sebagai pusat kesadaran dan sumber tindakan yang berada
dibagian tengah ”kantong kulit”. Dan ini merupakan persoalan yang fundamental
dari perspektif Taoisme, seperti halnya belajar untuk tak hanya mencermati
mangkuk , tetapi juga ruang kosong dalam mangkok itu. Bagi para Taois, agar
dapat sesuai dengan Tao dalam alam seseorang harus menarik diri dalam
keterlibatan aktif di dalam kegiatan – kegiatan sosial dan politik dan belajar
bagaimana memelihara serta menghidupi alam dan kehidupan manusia.
Seperti yang telah dipaparkan diatas akhir- akhir
ini sering terjadi bencana alam dan kerusakan ekologi. Pertama yang harus
disadari adalah bahwa kerusakan tersebut jika dilihat dari paradigma pemikiran
filsafat barat adalah manusia sebagai pusat kesadaran maka sesuatu yang ada
diluar dirinya harus mendapat kontrol atau ditaklukkan. Dalam pola pikir ini
”aku” egoku, diriku, sumber kesadaranku itu sebagai pusat kesadaran dan sumber
tindakan. Perbincangan sehari- hari pun telah biasa dengan menggunakan istilah
”aku adalah tubuhku” dan cenderung menunjukkan bahwa ”aku” mempunyai tubuh.
Kita menganggap bahwa ”aku, diriku” sebagai sesuatu yang berada di dalam
organisme fisik itu, dan sebagian besar orang barat menempatkan ego mereka di
dalam pikiran. Dan itulah satu penyebab terbesar dari kesalahan manusia yang
berdampak pada keseimbangan alam. Sifat serakah manusia yang muncul dari ego
dan ke”aku”annya, telah menimbulkan bencana yang pada akhirnya merugikan
manusia-manusia itu sendiri. Rasa kurang puas dengan dalih keuntungan dan
globalisasi pun dijadikan alasan untuk menyerap sumber-sumber alam secara
berlebihan. Yang tanpa mereka sadari, sebenarnya telah mengancam banyak habitat
dan tak terkecuali manusia didalamnya.
Perspektif Pemikiran Timur (Taoisme)
Tentang ‘Aku'
Pada kenyataannya persoalan ekologis bukanlah
persoalan yang berdiri sendiri atau hanya sekedar muncul sebagai dampak dari
industrialisasi semata, karena toh banyak kasus pencemaran dan pembabatan hutan
tak terselesaikan dan semakin menjadi ancaman terhadap kondisi ekologis kita.
Sementara, berbagai industri yang tidak ramah lingkungan masih tetap eksis,
artinya ada faktor-faktor lain selain industrialisasi yang turut melestarikan
perusakan alam. Apakah kebijakan yang buruk dan tidak tegas, ataukah karena
banyaknya unsur kepentingan pribadi atau golongan yang turut memperparah keadaan
tersebut? Atau mungkin ada yang salah dengan pola pikir manusianya?
Dewasa ini, masalah ekologi kian disadari sebagai
persoalan komplek yang serius yang dihadapi umat manusia. Pesatnya pertumbuhan
penduduk dunia dan terbatasnya sumber daya alam ditambah dengan kompleksitas
serta perluasan sistem industri dan teknologi yang polutif dan eksploitatif
telah berandil besar dalam menurunkan kualitas lingkungan hidup. Bumi makin
panas, udara, sungai dan laut makin kotor serta teracuni, rusaknya lapisan ozon,
erosi, penggurunan, perusakan sumber-sumber alam dan mineral, serta berbagai
kasus perusakan dan pengotoran lingkungan yang menghasilkan ketidak seimbangan
ekologis, merupakan persoalan serius yang sedang dan akan menyibukkan umat
manusia.(Sudarminta, 1992:2)
Tentunya alam akan sangat peka dengan apa yang
akan dan sedang kita lakukan padanya, dalam Tao pola hubungan alam dan manusia
dijelaskan dengan gamblang tentang bagaimana cara kita memperlakukan bumi
tempat kita berpijak ini hingga tercipta suatu harmoni. Yang biasanya kita
sebut sebagai “ibu”, apakah benar layak memperlakukannya dengan sebegitu rupa.
Tao sendiri berarti ”gerak alam” dan Lao Tzu pun
menyatakan ”bahwa tao yang dapat dibicarakan bukanlah tao yang abadi” . Dengan
kata lain, kita tidak dapat melukiskannya. Prinsip tao adalah spontanitas ,
”bahwa tao yang besar mengalir kemanapun”. Mencintai dan menyuburkan semuanya,
namun tidak menguasainya. Tao memberikan manfaat namun tidak mengklaimnya.
Tidak ada prinsip yang memaksa benda-benda untuk berlaku seperti yang
dijalaninya , sehingga inilah teori mengenal alam yang sungguh-sungguh
demokratis. Ketika manusia sadar bahwa alam adalah bagian dari tubuh manusia
itu sendiri maka tidak seharusnya manusia mengeksploitasi alam secara
berlebihan. Karena ketika manusia berusaha untuk mengeksploitasi alam berarti
mengandung kerusakan pada alam. Dalam hal ini bencana alam yang terjadi bisa
diartikan bahwa manusia telah mengeksploitasi alam secara berlebihan yang
berakibat kerusakan terhadap tubuh manusia itu sendiri. Seperti kematian,
kerusakan, dan kesakitan.
Kita perlu mengalami diri kita dengan cara yang
sedemikian rupa sehingga dapat mengatakan bahwa tubuh kita yang sesungguhnya
bukan sekedar apa yang ada di bawah kulit, melainkan mencakup segenap lingkungan
eksternal. Jika kita tidak mengalami dengan cara seperti itu, kita cenderung
memperlakukan lingkungan kita secara salah. Kita memperlakukan lingkungan
sebagai musuh, kita berusaha menaklukannya. Jika kita melakukannya maka
datanglah bencana.(Watt, 2003:18)
Tidak seharusnya kita memperlakukan alam
seakan-akan bahwa alam adalah sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari kita.
Karena sebenarnya ‘aku' kita dengan ‘aku' alam adalah satu. Alam dan manusia
adalah satu organisme hidup. Yang tumbuh dan berkembang bersama-sama. Perlakuan
baik atau buruk akan berpengaruh terhadap satu dengan yang lain.
• Kesimpulan Dan Saran
Untuk hidup selaras dengan alam kita harus
mempunyai keyakinan. Kita harus mempercayakan diri kita pada ”yang tak
diketahui” dan pada alam yang tak mempunyai ”bos”. ”Bos” adalah bagian dari
sebuah sistem ketidakpercayaan, dan itulah sebabnya mengapa Tao yang diajarkan
Lao Tzu mengajarkan kita untuk mencintai dan menyuburkan segalanya namun tidak
menguasainya.
Dari susut pandang Taois, penulis menyimpulkan
cara yang lebih arif dan bijak dalam memperlakukan alam semesta. Seperti yang
telah diulas diatas bahwa Tao mengajarkan pada penganutnya untuk lebih
rasional, lembut, penuh kasih serta lebih bijak dalam berinteraksi dengan alam.
Penulis tidak bermaksud untuk mengajak atau
men'Taois'kan masyarakat Indonesia. Tetapi penulis sekedar mencoba melihat
permasalahan tentang kerusakan ekologi dan bencana alam dari sudut pandang
Taoisme. Namun demikian tidak ada salahnya untuk memahami konsep pemikiran Tao
sebagai pengayaan wacana pemikiran kritis. Dimana Tao diposisikan sebagai
wacana pembanding terhadap konsep pemikiran filosofis yang menyoroti
permasalahan ekologis.
• Daftar Pustaka
• Watts, Alan 2003, The Tao Of Philosophy,
Jendela, Yogyakarta
• Watts, Alan 2003, Jalan Pencerahan Zen,
Jalasutra, Yogyakarta
• Soemargono, Soejono 1990, Sejarah Ringkas
Filsafat Cina, Liberty, Yogyakarta
• Sudarminta, Dr J, Filsafat Organisme
Whitehead Dan Etika Lingkungan Hidup, Dalam Drijakara, No 1, Tahun Xix
1992-1993:2-12
• Ginting, Longgena, 2004, Rusaknya
Penyebab Banjir Dan Tanah Longsor, Dalam Http//:Www.Mediaindonesia.Com//
Tidak ada komentar:
Posting Komentar