BAB X:
Penjara Banceuy
BANCEUY adalah penjara tingkat rendah. Didirikan di abad kesembilanbelas, keadaannya kotor, bobrok
dan tua. Disana ada dua macam sel. Yang satu untuk tahanan politik, satu lagi untuk tahanan pepetek.
Pepetek —sebangsa ikan yang murah dan menjadi makanan orang yang paling miskin— adalah nama
julukan untuk rakyat jelata. Pepetek tidur diatas lantai. Kami tahanan tingkat atas tidur di atas pelbed besi
yang dialas dengan tikar rumput setebal karton. Makanannya makanan pepetek nasi merah dengan
sambal. Segera setelah aku masuk, rambutku dipotong pendek sampai hampir botak dan aku disuruh
memakai pakaian tahanan berwarna biru pakai nomor dibelakangnya.
Rumahku adalah Blok F. Suatu petak yang terdiri dari 36 sel menghadap ke pekarangan yang kotor. 32
buah masih tetap kosong. Mulai cari ujung maka empat buah nomor yang berturut‐turut telah terisi. Aku
tinggal di nomor lima. Gatot tujuh. Esok paginya Maksum dan Supriadinata, dua orang wakil P.N.I.
lainnya, dimasukkan berturut‐turut ke nomor sembilan dan sebelas. Penahanan kami bukanlah keputusan
yang mendadak. Ia telah dipersiapkan dengan baik—sampai kepada sel‐selnya. Berbulan‐bulan sebelum
kami ditangkap, kawan‐kawan di Negeri Belanda telah menulis, “Hati‐hatilah. Pemerintah Belanda lebih
mengetahui tentang kegiatanmu daripada yang kau ketahui sendiri. Tidak lama lagi engkau akan
ditangkap.”
Sebagaimana kuketahui dari Maskun dan Supriadinata, yang ditangkap di Bandung pada saat yang
bersamaan denganku, di minggu pagi itu telah diadakan penggeledahan di seluruh Jawa. Ribuan orang
telah ditahan, termasuk 40 orang tokoh P.N.I., dengan dalih bahwa Pemerintah telah mengetahui tentang
rencana pemberontakan bersenjata yang katanya akan diadakan pada permulaan tabun 1930. Ini bohong.
Ini adalah tipu‐muslihat, agar dapat mengeluarkan perintah segera untuk menangkap Sukarno. Malam itu
kereta api dijaga, stasiun‐stasiun bis dikepung, milik perseorangan disita dan diadakan penyergapan
secara menyeluruh dan serentak di rumah‐rumah dan kantor‐kantor kami di seluruh Jawa dan Sumatra.
Usaha untuk memperingatkanku gagal. Polisi menyelidiki dimana aku berada. “Dimana Sukarno?” tanya
mereka ketika datang memeriksa rumah Ali Sastroamidjoo di Solo dimana aku bermalam dihari
sebelumna. Ali meneruskan berita ini, akan tetapi pada waktu ia mengadakan hubungan dengan Jogya,
kepadanya telah disampaikan, “Terimakasih atas peringatan itu. Mereka telah membawa Bung Karno
sepuluh menit yang lalu.”
Gatot, Maskun, Supriadinata dan aku dipisahkan sama sekali dari masyarakat luar. Tidak boleh menerima
tamu. Tidak ada hubungan. Tak seorangpun yang dapat kami lihat, termasuk tahanan yang lain. Tak
seorangpun yang dapat mendekati kami. Setelah beberapa hari datang seorang penyelidik khusus dan
berlangsunglah pemeriksaan. Ia menanyaku minggu demi minggu selama tiga bulan. Aku tidak mengerti,
mengapa dia begitu susah‐susah. Persoalannya sudah cukup jelas. Ini bukan perkara perampokan, dalam
hal mana mereka harus menyiasati dimana barang‐barang rampokan itu disembunyikan. Ini bukan
perkara kejahatan, dimana mereka harus mengetahui sebab‐sebabnya. Mereka tahu apa yang kami
lakukan dan mengapa kami melakukannya.
Selku lebarnya satu setengah meter —separuhnya sudah terpakai untuk tidur— dan panjangnya betulbetul
sepanjang peti mayat. Ia tidak berjendela tempat menjenguk dan tidak berjeruji supaya bisa
mengintip keluar. Tiga buah dinding dari kuburanku adalah semen mulai dari lantai sampai ke loteng.
Penjara Belanda di jaman kami tidak dapat disamakan dengan penjara yang bisa disaksikan di layar putih
dimana penjahat dijebloskan ke dalam sel yang luas berjeruji besi, pakai lampu dan masuk udara dari
segala penjuru. Pintu kami terbuat dari besi hitam padat dengan sebuah lobang kecil. Lobang ini ditutup
dari luar. Penjaga dapat melihat ke dalam, akan tetapi ia tertutup buat kami. Tepat setinggi mata ada
sebuah celah tempat mengintip lurus keluar. Dari celah itu aku tidak mungkin melihat arah kebawah, ke
atas ataupun ke samping. Pun tidak mungkin melihat daerah sekitar itu seluruhnya ataupun melihat mata
lain yang mengerdip kepadamu dari balik pintu besi di seberangnya. Sesungguhnya tiada yang terlihat
selain tembok dan kotoran.
Tempat itu gelap, lembab dan melemaskan. Memang, aku telah lebih seribu kali menghadapi hal ini
semua dengan diam‐diam jauh dalam kalbuku sebelum ini akan tetapi ketika pintu yang berat itu tertutup
rapat di hadapanku untuk pertama kali, aku rasanya hendak mati. Pengalaman yang meremukkan. Aku
adalah seorang yang biasa rapi dan pemilih. Aku adalah seorang yang suka memuaskan perasaan. Aku
menyukai pakaian bagus, makanan enak, mencintai sesuatu dan tak dapat menahankan pengasingan,
kekotoran, kekakuan, penghinaan‐penghinaan keji yang tak terhitung banyaknya dari kehidupan
tawanan. Aku berjingkat di udung jari kaki mengintip melalui celah itu dan berbisik, “Engkau terkurung,
Sukarno. Engkau terkurung.”
Hanya cicaklah yang menjadi kawanku selama berada di Banceuy. Binatang kecil yang abu‐abu
kehidjauan itu dapat berubah warna menurut keadaan sekitarnya. Ia sering terlihat merangkak di
sepanjang loteng dan dinding kalau hari sudah mulai gelap. Di daerah beriklim panas binatang‐binatang
ini merupakan penangkis nyamuk ciptaan alam. Mungkin orang lain tidak menyukai binatang ini dan tidak
menganggapnya lucu, tapi bagiku ia adalah ciptaan Tuhan yang paling mengagumkan selama aku berada
dalam tahanan.
Makanan kami diantarkan ke sel. Jadi apabila cicak‐cicakku berkumpul, akupun memberinya makan.
Kuulurkan sebutir nasi dan menantikan seekor cicak kecil merangkak dari atas loteng. Tentu ia akan
merangkak turun di dinding, mengintip kepadaku dengan mata seperti butiran mutiara, kemudian
melompat dan memungut nasi itu, lalu lari lagi. Aku tetap duduk disana menantikannya dengan tenang
tanpa bergerak dan, lima menit kemudian ia datang lagi dan aku memberikan butiran nasi yang lain. Ya,
aku menyambutnya dengan senang hati dan menjadi sangat terpikat kepada binatang ini. Dan aku sangat
bersukur, karena masih ada makhluk hidup yang turut merasakan pengasinganku ini bersama‐sama. Yang
paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu adalah pengurungan. Seringkali jauh tengah
malam aku merasa seperti dilak rapat dalam kotak kecil berdinding batu yang begitu sempit, sehingga
kalau aku merentangkan tangan, aku dapat menyentuh kedua belah dindingnya. Dan aku tidak dapat
menahankannya. Rasanya aku tidak dapat bernapas. Kupikir lebih baik aku mati.
Ketika keadaan ini semakin terasa menekan, suatu perasaan ganjil menyusupi diriku. Ada saat‐saat
dimana badanku terasa membesar melebihi daripada biasa. Suatu perasaan mencekam diriku, jauh sama
sekali daripada keadaan normal. Aku berbaring diatas tempat tidurku yang keras dan memejamkan mata.
Tapi keras, tertutup keras. Dengan pelahan, karena bayangan pikiran yang kuat, aku merasa tangan
kananku membesar. Ia semakin besar …. besar ….. besar …. besar …… besar ….. lebih besar dari pada
selku sendiri. Ia mengembang dan mengembang, dan membinasakan dinding sel. Tangan kanan adalah
lambang kekuatan, namun apakah ini sebagai pertanda daripada hari depanku atau tidak, aku tidak
mengerti. Aku hanya tahu, bahwa hal ini datang menguasai diriku disaat aku berada dalam keadaan
sangat tertekan. Dan kemudian ia menyusut lagi secara pelahan ….. pelahan ….. pelahan sekali sampai ia
mencapai ukuran yang biasa lagi. Kadang‐kadang di malam itu juga ia muncul kembali. Aku tak pernah
melihat, akan tetapi aku merasakannya.
Aku mengalami suatu bayangan yang lain. Penjara Banceuy terletak di pusat kota, tidak di luar di tengahtengah
tempat yang lapang. Di sana tidak ada burung. Sekalipun demikian, jauh di tengah malam, bila
semua sudah senyap kecuali pikiranku, dan di saat Gatot, Maskun dan Supriadinata sudah tidur nyenjak
semua, aku mendengar burung perkutut diatas atap kamarku. Kudengar burung‐burung itu bersiul dan
rnenyanyi, begitu jelas seakan ia hinggap di pangkuanku. Tak seorangpun pernah mendengarnya, keuali
aku. Dan aku sering mendengarnya.
Setelah empatpuluh hari, aku diizinkan untuk pertama kali bertemu dengan Inggit. Sampai saat itu tiada
hubungan apapun juga. Bahkan suratpun tidak. Kami bertemu di ruang tamu. Jaring kawat memisahkan
kami. Penjaga‐penjaga berdiri di sekeliling menuliskan segala yang kami ucapkan. Kami boleh berbahasa
Indonesia atau Belanda, dan tidak boleh dalam bahasa daerah. Kami tidak boleh saling berpelukan. Itu
terlarang. Dan yang kedua, bukanlah menjadi kebiasaan orang Timur. Isteriku hanya memandang ke
dalam mataku dan dengan seluruh kasih yang dapat dicurahkannya ia berkata, “Apa kabar ?”
Aku tersenyum dan berkata, “Baik, terimakasih.”
Apa lagi yang dapat kuucapkan? Demikian banyak yang harus dicurahkan, sehingga apa lagi yang dapat
kuucapkan? Dalam lima menit yang diberikan kepada kami, kami membicarakan bayangan gaib yang
diperolehnya. lnggit senantiasa menjadi jimat bagiku. Kemana saja aku pergi, dia turut. Akan tetapi kali ini
adalah yang pertama kali ia tidak ikut denganku.
Baru sekarang setelah dalam tawanan ia menerangkan, “Aku tinggal di minggu itu karena aku kuatir,
kalau‐kalau polisi‐polisi yang kulihat dalam bayangan itu betul‐betul datang dan menggerebek rumah.
Memang itulah yang terdjadi. Persis seperti yang kulihat dalam bayanganku itu.”
Penjaga memberi isyarat supaya berbicara lebih keras. “Apakah hidupmu terjamin?” tanyaku.
“P.N.I. memberiku uang dan kawan‐kawanmu juga mengirimi uang dan oleh‐oleh kalau mereka datang
menjengukku. Jangan susahkan tentang diriku.
Bagaimana keadaanmu?” Bagaimana keadaanku? Dari mana aku akan mulai berceritera kepadanya. Kami
terlalu saling menxintai satu sama lain untuk bisa rnemikul bersama‐sama beban yang berat dalam hati
kami. Aku tidak ingin dia turut merasakan detik‐detik yang berat dalam siksaan dan ia pun tidak ingin aku
turut merasakan kesusahannya. Kami berbicara bagai dua orang asing di tengah jalan. Aku ingin
menahannya. Aku ingin meneriakkan bahwa aku mencintainya dan perlakuan terhadap kami tidak adil
sama sekali. Akan tetapi dengan nada yang hambar tiada bergaya hidup aku bersungut, “Semua baik. Aku
tidak mengeluh.”
Pengawas penjara di Banceuy orang Belanda semua. Di tingkat yang lebih rendah, yaitu mereka yang
sebenarnya memegang kunci, adalah orang‐orang Indonesia. Blok dari sel kami yang terpisah dijaga
khusus oleh seorang sipir yang tugasnya semata‐mata mengawasi kami. Bung Sariko baik sekali
terhadapku. Ia mengakui tawanan yang istimewa ini sebagai pemimpin politiknya. Ia adalah penjagaku,
akan tetapi dalam hatinya ia mengakui bahwa aku pelindungnya.
Secara diam‐diam semua petugas penjara berpihak kepadaku. Selalu mereka berbuat sesuatu untukku.
Sarikolah yang pertama‐tama membuka jalan dengan memberiku rokok, buku‐buku dan membawa
berita bahwa Iskaq, bendahara kami, telah ditahan. Setelah memperlihatkan kesungguhannya, di suatu
pagi ia berbisik, “Bung, kalau hendak menyampaikan pesan ke dalam atau keluar, katakanlah. Saya akan
bertindak sebagai perantara. Inilah cara saya untuk menyumbangkan tenaga.”
Surat kabar tidak dibolehkan sama sekali. Di saat itu keinginanku untuk memperolehnya melebihi
daripada segala sesuatu di dunia ini, “Surat kabar, Bung,” aku berbisik kembali. “Carikanlah saya surat
kabar.”
Di hari berikutnya aku berada di kamar‐mandi mencuci di bak. Pada waktu mengambil handuk aku dapat
merasakan ada surat kabar dilipatkan kedalamnya. Di hari selanjutnya ketika makananku diantarkan ke
dalam, sebuah surat kabar diselipkan di bawah piring.
Aku memikirkan suatu akal, sehingga kami semua dapat membacanya. Aku berhasil memperoleh benang
jahit dan pada jam enam, sebelum dikurung untuk malam hari, aku merentangkan benang halus itu di
tanah sepanjang empat sel, sehingga ia merentang dari pintuku ke pintu Supriadinata. Kalau aku sudah
selesai membaca surat kabar itu, kuikatkan ia ke ujung benang, mengintai keluar, ragu‐ragu sebentar
untuk melihat apakah ada orang yang datang, kemudian berteriak, “Vrij.” Ini sebagai tanda bahwa blok
kami tertutup dan tidak ada penjaga berdiri di posnya saat itu. Kemudian aku memanggil “Gatot !”
sebagai tanda untuk Gatot supaya menarik benangnya. Dengan menariknya secara hati‐hati surat kabar
itu sampai ke pintunya dan kemudian menariknya melalui bawah pintu. Begitupun caranya untuk Maskun
dan Supriadinata. Kalau sekiranya penjaga kami melihat benang itu di cahaya senja, ia melengah.
Sariko pun memberitahu kepadaku kapan akan diadakan pemeriksaan. Kalau sel kami kotor pada waktu
pengawas kami lewat untuk memeriksa, kami menjadi sasaran hukuman. Jam lima tigapuluh setiap pagi
tugas kami yang pertama ialah membersihkan sel dan mengosongkan kaleng tempat buang air. Aku
selalu kuatir terhadap Maskun, karena dia yang paling muda dan agak serampangan. Kuperingatkan dia.
“Maskun, kau harus melatih diri untuk kebersihan, karena engkau bisa jadi korban percuma karena ini.”
Ia menyeringai, “Bung terlalu hati‐hati dengan segala sesuatu dan ini disebabkan karena Bung orang tua.
Bung sudah 28 tahun. Alasanku bersifat lebih serampangan karena aku baru 21. Masih muda !”,,Baiklah,
anakmuda pengacau,” jawabku kepadanya. “Baik kita lihat siapa yang dapat hukuman siapa yang tidak.”
Pada pemeriksaan selanjutnya tidak lama setelah itu Maskun dihukum tiga hari di tempat. Ini berarti,
bahwa dia tidak dapat membaca buku dan rekreasi. Ia terpaksa tinggal terasing dalam kamarnya. Untuk
mencegah hal ini jangan terjadi lagi aku memikirkan satu tanda. Perhubungan hanya dapat dilakukan
dengan bunyi, karena kami tidak dapat saling melihat. Kami menggunakan tanda‐tanda ketokan.
Misalkan aku mendapat berita, bahwa esok paginya akan diadakan pemeriksaan mendadak. Aku
mengetok pada daun pintu besi yang menggetar tok …. tok. Dua ketokan berat berarti, “Besok pengawas
datang, jadi bersihkan selmu.”
Ada di antara petugas bangsa Belanda yang merasa, bahwa kami tidak patut dipersalahkan melakukan
kejahatan, karena mencintai kemerdekaan. Merekapun bersikap rarnah kepada kami. Disamping itu, ia
mau melakukan sesuatu asal diberi uang. Apa saja. Bahkan tidak perlu diberi banyak‐banyak. Mula‐mula
aku menyangka, bahwa mereka sangat takut pada jabatannya untuk mau menerima suap, tapi ternyata
mereka ini termasuk dalam jenis yang rendah, yang mau mengkhianati prinsip‐prinsip mereka dengan
sangat murah. Seharga sebotol bir.
Ketika aku berhadapan dengan seorang yang baik hati, aku menerangkan, “Saudara, saya bekerja untuk
rakyatku. Itulah satu‐satunya kejahatanku. Mengapa saudara menjaga saya begitu teliti ? Cobalah
melengah sedikit.” Terkadang ini berhasil, terkadang tidak. Tapi kebanyakan ada hasilnya. Itulah
sebabnya mengapa aku berkawan dengan pengawas bui bernama Bos. Tuan Bos adalah seorang Belanda
yang baik tapi goblok. Aku tak pernah mencoba mempengaruhi pikirannya dalam pandangan politik. Aku
sudah cukup bersyukur dapat mempergunakannya kadang‐kadang untuk suatu kesenangan. Pada suatu
hari Bos datang dengan menyeret‐nyeretkan kakinya ke tempatku yang gelap dan aku dapat melihat
sebelah matanya bengkak seperti balon. “Hee, Bos,” aku berteriak, “Kenapa matamu ? Bengkak dan biru
!”
Ia berdiri di sana terhuyung‐huyung dan memegang mata yang sakit itu. ,,Oooohhh,” ia mengeluh
kesakitan, “Pernah kau lihat yang keterlaluan begini. Oooohhhh, aku sakit sekali. Rasanya sakit sekali.”
Orang yang malang itu betul‐betul sangat menderita. “Katakanlah, Bos.” kataku. “Kenapa kau?” Ia
mengintip kepadaku dengan matanya jang satu lagi dan mengeluh, “Ooohh, ooohh, Sukarno, kenapa aku!
Tiga hari yang lalu aku bercintaan dengan seorang pelacur. Dan pada waktu aku selesai aku menghapus
badanku dengan saputangan.”
“Apa hubungannja dengan matamu ?”
“Ya, tentu saja ada hubungannya, kumasukkan saputanganku kembali ke dalam kantong sewaktu sudah
selesai sewaktu sudah selesai. Beberapa jam kemudian, tanpa berpikir, aku mengeluarkan saputanganku
lagi dan menggosok mataku dengan itu. Nah, inilah hasilnya. Gadis itu tentu tidak bersih dan mataku
infeksi, yang berasal dari gadis itu. Dan sekarang……sekarang……kaulihat aku ini ! !”
“Aah, kasihan. Bos, kasihan, kasihan,” kataku seperti ayam berkotek. “Aku merasa kasihan padamu.” Dan
memang sesungguhnya aku kasihan kepadanya. Aku tawanannya. Dia berkeluyuran di luar, telah
melepaskan hawa nafsunya pada seorang perempuan lacur, sedang aku dikurung dalam sel yang dingin
dan tak pernah diberi kesennpatan sekalipun memegang tangan isteriku …. dan aku…. kasihan
kepadanya.
Ketika Bos menyusup pergi sambil mengeluh dan merintih, aku gembira, karena Bos tidak mengatakan
padaku bahwa gadis itu adalah salah seorang anggota partaiku. Hal yang demikian dapat meruntuhkan
persahabatan kami. Ketika aku tak dapat lebih lama lagi menelan kesepian, kegelapan dan keadaan kotor,
maka aku mulai bermain dengan Gatot. Aku berhasil mendapat buku wayang. Wayang ini adalah bentuk
seni yang paling populer di Indonesia. Dengan menggunakan bentuk‐bentuk dari kulit yang memberikan
bayangan pada layar putih maka dalang menggambarkan kisah‐kisah Mahabharata dan Ramayana, kisahkisah
Hindu klasik dari masa lampau. Ini adalah drama keramat dari Indonesia.
Gatot kusuruh membaca buku ini. Aku sudah hafal semua kisah‐kisah itu. Semenjak kecil aku mengagumi
cerita wayang. Sewaktu masih di Mojokerto aku menggambar‐gambar wayang di batu tulisku. Di
Surabaya aku tidak tidur semalam suntuk sampai jam enam esok paginya mendengarkan dalang
menceritakan kisah‐kisah yang mengandung pelajaran dan sedikit bersamaan dengan dongeng kuno di
Eropa. Setelah Gatot dengan tekun mempelajari buku itu, aku menyuruhnya, “Sekarang letakkan buku itu
dan ceritakan kembali dengan suara keras apa yang sudah kau baca tanpa melihat ke buku.”
“Jadi Bung meminta aku memerankan bagian‐bagiannya ?”
“Ya,” aku berteriak kembali. “Jjadi dalang.” Percakapan kami dilakukan dengan suara keras sekali, karena
sel kami terpisah empat meter jauhnja dan setiap satu meter dibatasi oleh dinding‐batu yang padat.
Gatot mulai. Aku mendengarkan sambil menahan napas, sehingga ia sampai pada bagian yang
mengisahkan pahlawan kegemaranku, Gatotkaca. “Gatotkaca lalu berhadapan dengan Buta,” teriak
Gatot. “Dia kalah dalam pertarungan dan dia jatuh. Gatotkaca dikalahkan sementara.”
“Ya,” aku berteriak yakin. “Tapi itu hanya untuk sekali. Dia akan bangkit lagi. Dia akan menang sekali lagi.
Engkau tidak bisa membiarkan pahlawan jatuh. Tunggulah saatnya.”
Gatot Mangkupraja melanjutkan, menguraikan pertempuran. Akhirnya ia sampai pada: “Gatutkaca sudah
bangkit lagi. Gatutkaca sudah berdiri. Dia membunuh Buta itu.”
Oooo! Aku gembira! Aku berteriak tak terkendalikan. “Haa! Aku tahu itu. Bukankah sudah kukatakan?
Seorang pahlawan yang hanya mau mengerjakan yang baik tidak pernah kalah untuk selama‐lamanya.”
Kelakuan kami dengan melakonkan wayang ini tidak hanya menyenangkan dan menghiburku, akan tetapi
ia juga meringankan perasaan dan memberi kekuatan pada diriku. Bayangan‐bayangan hitam di kepalaku
melebur bagai kabut dan aku bisa tidur pulas dengan rasa puas akan keyakinanku, bahwa yang baik akan
mengungguli yang jahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar