(Sebuah Refleksi 50 Tahun Undang-Undang Pokok Agraria)
Adapun yang terjadi saat ini, berupa pemaksaan dari pihak-pihak tertentu (pengusaha, developer, investor, dll.) untuk menggusur tanah milik rakyat dengan menggunakan tangan kekuasaan, maka itu adalah jelas-jelas sebuah kedzaliman
(As-Syafi’I As-Shaghir)
Kemiskinan
tidak identik hanya dengan persoalan jaminan keberlangsungan kehidupan
sebagai akibat dari kultur miskin. Lebih jauh dari itu kemiskinan yang
terjadi di wilayah sengketa agraria merupakan kemiskinan yang
berlangsung secara struktural. Di sana tidak saja masalah kemiskinan
dalam arti pemenuhan basic need, tapi juga persoalan ekonomi makro. Ini
akibat dari pilihan ideologi dan orientasi pembangunan yang dikembangkan
oleh negara atas pengelolaan sumber-sumber agraria oleh rezim politik
yang berkuasa.
Istilah pembaharuan agraria adalah merupakan terjemahan dari agrarian reform (sering disebut pula sebagai Reforma Agraria), dalam pengertian yang terbatas dikenal sebagai Land Reform, dimana salah satu programnya yang banyak dikenal adalah dalam hal redistribusi/pembagian tanah..adapun acuan hukum dari program agrarian reform ini adalah pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyebutkan bahwa Bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dimana hal ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat terutama tentang peredistribusian tanah hal ini dipertegas dengan landasan kebijakan politik pertanahan Indonesia yaitu disahkannya UU Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960 yang mengamanatkan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan tertinggi diberi wewenang untuk mengelola pertanahan bagi kesejahteraan bangsa Indonesia, hal ini dimaksudkan agar tanah dapat memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur).
UUPA sendiri dimaksudkan untuk menggantikan Peraturan dan UU Agraria Kolonial, yaitu:
1.Agrarische Wet (S. 1870-55)
2. Domeinverklaring (S. 1870-118)
3. Algemene Domeinverklaring (S.1875-119a)
4. Domeinverklaring untuk Sumatra (S.1874-94F0
5. Domeinverklaring untuk Karesidenan MAnado (S.1877-55)
6. Domeinverklaring untuk wilayah Selatan dan TImur Borneo (S. 18888-58)
7. Koninkijk Besluit 16 April 1872 No 29 (S.1872-117) dan peraturan pelaksanaannya
8.
Buku ke II Kitab UU Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai bumi,
air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai Hipotek yang masih berlaku.
Tanah
sendiri didalam hubungannya dengan kehidupan manusia mempunyai peranan
yang sangat penting. Oleh karenanya, dalam kehidupan sehari-hari
hubungan keterdekatan manusia dengan tanah sangat sulit untuk
dipisahkan. Apalagi, kalau hal tersebut kita kuatkan dengan keberadaan
masyarakat Indonesia yang bercorak agraris, dimana secara mayoritas
masih tergantung di bidang pertanian. Bagi masyarakat agraris, tanah
merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting sebagai sumber kehidupan
sehari-hari bahkan bisa dikatakan tanah merupakan faktor yang paling
penting dibanding sumber kehidupan yang lain.
Tetapi
dalam tataran realita, konflik tanah di Indonesia sepertinya tak pernah
berakhir. Kasus Tanjungmorawa, Cianjur, Jember, Bulukumba, Atang
Senjaya, Meruya Selatan, dan Pasuruan hanyalah beberapa contoh konflik
pertanahan yang terjadi. Pada kenyataannya hampir di seluruh penjuru
Tanah Air, konflik semacam ini masih menjadi persoalan. Dan, jika
ditelisik, semua kasus sengketa tanah yang terjadi menunjukkan pola
sengketa yang sebangun. Berbagai kasus pertanahan yang menyangkut nasib
ribuan warga itu pun dikenal memakan waktu lama dan terasa menggetirkan
dalam proses penyelesaiannya.
Sengketa
tanah (dan sumber-sumber agraria pada umumnya) sepertinya merupakan
konflik laten yang setiap saat siap mengancam sebagai bom waktu. Dari
berbagai kasus yang terjadi, bangkit dan menajamnya sengketa tanah
tidaklah terjadi seketika, namun tumbuh dan terbentuk dari benih-benih
yang sekian lama memang telah terendap. Benih-benih inilah entah apakah
“dipelihara” atau sebelumnya memang tidak terbaca yang seterusnya
potensial untuk meledak setiap saat, tanpa bisa diprediksi.
Pihak-pihak
yang bersengketa pun sebagian besar―kalaupun tidak bisa disebut, hampir
seluruhnya―bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal.
Keterlibatan secara komunal inilah yang memungkinkan sengketa tanah
merebak menjadi kerusuhan massal yang menelan banyak korban. Tatkala
kerusuhan meledak, rakyat lah yang kerap menanggung akibat yang paling
berat.
Memang
tidak ada harapan yang baik jika kita menggantungkan pada pengelola
negara ditengah tingginya kebebalan mereka pada kebenaran. sebagai
rakyat tentunya kita juga mempunyai jalan keluar bagi masalah ini.
Pertama, pemerintah pusat dan daerah harus segera mengaktifkan badan
otorita pertanahan. kedua, menjalankan amanat PP 11 tahun 2010 tentang
tanah terlantar. ketiga, menolak RUU pengadaan tanah untuk pembangunan
yang berpihak pada kepentingan investor. Mungkin untuk sementara itulah
solusi rasional terhadap permasalahan agraria di Republik ini, tetapi
mungkin permasalahan yang paling mendasar adalah tinggal masalah kemauan
dan keberanian dari para pemimpin negeri ini untuk konsisten dengan
cita-cita UUPA ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar