Rabu, 20 Juni 2012

UNDANG-UNDANG AGRARIA UNTUK APA DAN SIAPA


(Sebuah Refleksi 50 Tahun Undang-Undang Pokok Agraria)


 Adapun yang terjadi saat ini, berupa pemaksaan dari pihak-pihak tertentu (pengusaha, developer, investor, dll.) untuk menggusur tanah milik rakyat dengan menggunakan tangan kekuasaan, maka itu adalah jelas-jelas sebuah kedzaliman
(As-Syafi’I As-Shaghir)
 Kemiskinan tidak identik hanya dengan persoalan jaminan keberlangsungan kehidupan sebagai akibat dari kultur miskin. Lebih jauh dari itu kemiskinan yang terjadi di wilayah sengketa agraria merupakan kemiskinan yang berlangsung secara struktural. Di sana tidak saja masalah kemiskinan dalam arti pemenuhan basic need, tapi juga persoalan ekonomi makro. Ini akibat dari pilihan ideologi dan orientasi pembangunan yang dikembangkan oleh negara atas pengelolaan sumber-sumber agraria oleh rezim politik yang berkuasa.

Istilah pembaharuan agraria adalah merupakan terjemahan dari agrarian reform (sering disebut pula sebagai Reforma Agraria), dalam pengertian yang terbatas dikenal sebagai Land Reform, dimana salah satu programnya yang banyak dikenal adalah dalam hal redistribusi/pembagian tanah..adapun acuan hukum dari program agrarian reform ini adalah pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyebutkan bahwa Bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dimana hal ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat terutama tentang peredistribusian tanah hal ini dipertegas dengan landasan kebijakan politik pertanahan Indonesia yaitu disahkannya UU Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960 yang mengamanatkan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan tertinggi diberi wewenang untuk mengelola pertanahan bagi kesejahteraan bangsa Indonesia, hal ini dimaksudkan agar tanah dapat memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur).

UUPA sendiri dimaksudkan untuk menggantikan Peraturan dan UU Agraria Kolonial, yaitu:

1.Agrarische Wet (S. 1870-55)
2. Domeinverklaring (S. 1870-118)
3. Algemene Domeinverklaring (S.1875-119a)
4. Domeinverklaring untuk Sumatra (S.1874-94F0
5. Domeinverklaring untuk Karesidenan MAnado (S.1877-55)
6. Domeinverklaring untuk wilayah Selatan dan TImur Borneo (S. 18888-58)
7. Koninkijk Besluit 16 April 1872 No 29 (S.1872-117) dan peraturan pelaksanaannya
8. Buku ke II Kitab UU Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai Hipotek yang masih berlaku.
Pembaharuan agraria sendiri menjadi salah satu jawaban penting dalam upaya mencari akar kemiskinan di Indonesia. Selain itu pembaharuan agraria merupakan konsep pemenuhan hak dasar negara terhadap warga negaranya. Konstitusi di Indonesia menyatakan hal yang demikian, Hak memperoleh kesejahteraan, hak memperoleh pekerjaan, hak memperoleh jaminan hidup, hak memperoleh pendidikan dan lain sebagainya.
Tanah sendiri didalam hubungannya dengan kehidupan manusia mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karenanya, dalam kehidupan sehari-hari hubungan keterdekatan manusia dengan tanah sangat sulit untuk dipisahkan. Apalagi, kalau hal tersebut kita kuatkan dengan keberadaan masyarakat Indonesia yang bercorak agraris, dimana secara mayoritas masih tergantung di bidang pertanian. Bagi masyarakat agraris, tanah merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting sebagai sumber kehidupan sehari-hari bahkan bisa dikatakan tanah merupakan faktor yang paling penting dibanding sumber kehidupan yang lain.
Tetapi dalam tataran realita, konflik tanah di Indonesia sepertinya tak pernah berakhir. Kasus Tanjungmorawa, Cianjur, Jember, Bulukumba, Atang Senjaya, Meruya Selatan, dan Pasuruan hanyalah beberapa contoh konflik pertanahan yang terjadi. Pada kenyataannya hampir di seluruh penjuru Tanah Air, konflik semacam ini masih menjadi persoalan. Dan, jika ditelisik, semua kasus sengketa tanah yang terjadi menunjukkan pola sengketa yang sebangun. Berbagai kasus pertanahan yang menyangkut nasib ribuan warga itu pun dikenal memakan waktu lama dan terasa menggetirkan dalam proses penyelesaiannya.
Sengketa tanah (dan sumber-sumber agraria pada umumnya) sepertinya merupakan konflik laten yang setiap saat siap mengancam sebagai bom waktu. Dari berbagai kasus yang terjadi, bangkit dan menajamnya sengketa tanah tidaklah terjadi seketika, namun tumbuh dan terbentuk dari benih-benih yang sekian lama memang telah terendap. Benih-benih inilah entah apakah “dipelihara” atau sebelumnya memang tidak terbaca yang seterusnya potensial untuk meledak setiap saat, tanpa bisa diprediksi.
Pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar―kalaupun tidak bisa disebut, hampir seluruhnya―bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal. Keterlibatan secara komunal inilah yang memungkinkan sengketa tanah merebak menjadi kerusuhan massal yang menelan banyak korban. Tatkala kerusuhan meledak, rakyat lah yang kerap menanggung akibat yang paling berat.
Memang tidak ada harapan yang baik jika kita menggantungkan pada pengelola negara ditengah tingginya kebebalan mereka pada kebenaran. sebagai rakyat tentunya kita juga mempunyai jalan keluar bagi masalah ini. Pertama, pemerintah pusat dan daerah harus segera mengaktifkan badan otorita pertanahan. kedua, menjalankan amanat PP 11 tahun 2010 tentang tanah terlantar. ketiga, menolak RUU pengadaan tanah untuk pembangunan yang berpihak pada kepentingan investor. Mungkin untuk sementara itulah solusi rasional terhadap permasalahan agraria di Republik ini, tetapi mungkin permasalahan yang paling mendasar adalah tinggal masalah kemauan dan keberanian dari para pemimpin negeri ini untuk konsisten dengan cita-cita UUPA ***

*di tulis oleh Sapto raharjo sebagai  Pemerhati masalah Agraria tinggal di Jember, aktif di Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat Indonesia (Syarikat Indonesia), alamat: Jalan Jawa VI No 23 Jember 68121 Tlp: 081336103916

Tidak ada komentar:

Posting Komentar