Rabu, 27 Juni 2012

Bung Karno: Mojokerto: Kesedihan Di Masa Muda



BAB III Mojokerto: Kesedihan Di Masa Muda
MASA kanak‐kanakku tidak berbeda dengan David Copperfield. Aku dilahirkan di tengah‐tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan. Aku tidak mempunyai sepatu. Aku mandi tidak dalam air yang keluar dari kran. Aku tidak mengenal sendok dan garpu. Ketiadaan yang keterlaluan demikian ini dapat menyebabkan hati kecil di dalam menjadi sedih. Dengan kakakku perempuan Sukarmini, yang dua tahun lebih tua daripadaku, kami merupakan suatu keluarga yang terdiri dari empat orang. Gaji bapak $25 sebulan. Dikurangi sewa rumah kami di Jalan Pahlawan 88, neraca menjadi $ 15 dan dengan perbandingan kurs pemerintah $ 3,60 untuk satu dolar dapatlah dikira‐kira betapa rendahnya tingkat penghidupan keluarga kami. Ketika aku berumur enam tahun kami pindah ke Mojokerto. Kami tinggal di daerah yang melarat dan keadaan tetangga‐tetangga kami tidak berbeda dengan keadaan sekitar itu sendiri, akan tetapi mereka selalu mempunyai sisa uang sedikit untuk membeli pepaya atau jajan lainnya. Tapi aku tidak. Tidak pernah. Lebaran adalah hari besar bagi umat Islam, hari penutup dari bulan puasa, pada bulan mana para penganutnya menahan diri dari makan dan minum ataupun tidak melewatkan sesuatu melalui mulut mulai dari terbitnya matahari sampai ia terbenam lagi. Kegembiraan di hari Lebaran sama dengan hari Natal. Hari untuk berpesta dan berfitrah. Akan tetapi kami tak pernah berpesta maupun mengeluarkan fitrah. Karena kami tidak punya uang untuk itu. Di malam sebelum Lebaran sudah menjadi kebiasaan bagi kanak‐kanak untuk main petasan. Semua anak‐anak melakukannya dan di waktu itupun mereka melakukannya. Semua, kecuali aku. Di hari Lebaran lebih setengah abad yang lalu aku berbaring seorang diri dalam kamar‐ idurku yang kecil yang hanya cukup untuk satu tempat tidur. Dengan hati yang gundah aku mengintip keluar arah ke langit melalui tiga buah lubang udara yang kecil‐kecil pada dinding bambu. Lubang udara itu besarnya kira‐kira sebesar batu bata. Aku merasa diriku sangat malang. Hatiku serasa akan pecah. Di sekeliling terdengar bunyi petasan berletusan disela oleh sorak‐sorai kawan‐kawanku karena kegirangan. Betapa hancur luluh rasa hatiku yang kecil itu memikirkan, mengapa semua kawan‐kawanku dengan jalan bagaimanapun dapat membeli petasan yang harganya satu sen itu — dan aku tidak!. Alangkah dahsyatnya perasaan itu. Mau mati aku rasanya. Satu‐satunya jalan bagi seorang anak untuk mempertahankan diri ialah dengan melepaskan sedu‐sedan yang tak terkendalikan dan meratap diatas tempat tidurnya. Aku teringat ketika aku menangis kepada ibu dan mengumpat, “Dari tahun ke tahun aku selalu berharap‐harap, tapi tak sekalipun aku bisa melepaskan mercon.” Aku sungguh menyesali diriku sendiri. Kemudian di malam harinya datang seorang tamu menemui bapak. Dia memegang bungkusan kecil ditangannya. “Ini,” katanya sambil mengulurkan bingkisan itu kepadaku. Aku sangat gemetar karena terharu mendapat hadiah itu, sehingga hampir tidak sanggup membukanya. Isinya petasan. Tak ada harta, lukisan ataupun istana di dunia ini yang dapat memberikan kegembiraan kepadaku seperti pemberian itu. Dan kejadian ini tak dapat kulupakan untuk selama‐lamanya. Kami sangat melarat sehingga hampir tidak bisa makan satu kali dalam sehari. Yang terbanyak kami makan ialah ubi kayu, jagung tumbuk dengan makanan lain. Bahkan ibu tidak mampu membeli beras murah yang biasa dibeli oleh para petani. Ia hanya bisa membeli padi. Setiap pagi ibu mengambil lesung dan menumbuk, menumbuk, tak henti‐hentinya menumbuk butiran‐butiran berkulit itu sampai menjadi beras seperti yang dijual orang di pasar. “Dengan melakukan ini aku menghemat uang satu sen,” katanya kepadaku pada suatu hari ketika sedang bekerja dalam teriknya panas matahari sampai telapak tangannya merah dan melepuh. “Dan dengan uang satu sen kita dapat membeli sayuran, nak.” Semenjak hari itu dan seterusnya selama beberapa tahun kemudian, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah aku menumbuk padi untuk ibuku. Kemelaratan seperti yang kami derita menyebabkan orang menjadi akrab. Apabila tidak ada barang mainan atau untuk dimakan, apabila nampaknya aku tidak punya apa‐apa di dunia ini selain daripada ibu, aku melekat kepadanya karena ia adalah satu‐satunya sumber pelepas kepuasan hatiku. Ia adalah ganti gula‐gula yang tak dapat kumiliki dan ia adalah semua milikku yang ada di dunia ini. Yah, ibu mempunyai hati yang begitu besar dan mulia. Dalam pada itu bapakku seorang guru yang keras. Sekalipun sudah berjam‐jam, ia masih tega menyuruhku belajar membaca dan menulis. “Hayo, Karno, hafal ini luar kepala. Ha Na—Ca—Ra— Ka Hayo, Karno, hafal ini; A‐B‐C‐D‐E” dan terusmenerus sampai kepalaku yang malang ini merasa sakit. Lagi‐lagi kemudian, “Hayo Karno, ulangi abjad Hayo, Karno, baca ini Karno, tulis itu” Tapi ayahku mempunyai keyakinan, bahwa anaknya yang lahir di saat fajar menyingsing itu kelak akan menjadi orang. Kalau aku berbuat nakal —ini jarang terjadi— dia menghukumku dengan kasar. Seperti di pagi itu aku memanjat pohon jambu di pekarangan rumah kami dan aku menjatuhkan sarang burung. Ayah menjadi pucat karena marah. “Kalau tidak salah aku sudah mengatakan padamu supaya menyayangi binatang,” ia menghardik. Aku bergoncang ketakutan. “Ya, Pak.” “Engkau dapat menerangkan arti kata‐kata: ‘Tat Twan Asi, Tat Twam Asi’ ?”, “Artinya ‘Dia adalah Aku dan Aku adalah dia; engkau adalah Aku dan Aku adalah engkau.’ “Dan apakah tidak kuajarkan kepadamu bahwa ini mempunyai arti yang penting?” Ya, Pak. Maksudnya, Tuhan berada dalam kita semua,” kataku dengan patuh. Dia memandang marah kepada pesakitannya yang masih berumur tujuh tahun. “Bukankah engkau sudah ditunjuki untuk melindungi makhluk Tuhan?”, “Ya, Pak.”,”Engkau dapat mengatakan apa burung dan telor itu ?”,”Ciptaan Tuhan,” jawabku dengan gemetar, “tapi dia jatuh karena tidak disengaja. Tidak saja sengaja. “Sekalipun dengan permintaan ma’af demikian, bapak memukul pantatku dengan rotan. Aku seorang yang baik laku, akan tetapi bapak menghendaki disiplin yang keras dan cepat marah kalau aturannya tidak dituruti. Aku segera mencari permainan yang tidak usah mengeluarkan uang untuk memperolehnya. Dekat rumah kami tumbuh sebatang pohon dengan daunnya yang lebar. Daun itu ujungnya kecil, lalu mengernbang lebar di pangkalnya dan tangkainya panjang seperti dayung. Adalah suatu hari yang gembira bagi anak‐anak, kalau setangkai daun gugur, karena ini berarti bahwa kami mempunyai permainan. Seorang lalu duduk di bagian daun yang lebar, sedang yang lain menariknya pada tangkai yang panjang itu dan permainan ini tak ubahnya seperti eretan. Kadangkadang aku menjadi kudanya, tapi biasanya menjadi kusir. Watakku mulai berbentuk sekalipun sebagai kanak‐kanak. Aku menjadikan sungai sebagai kawanku, karena ia menjadi tempat dimana anak‐anak yang tidak punya dapat bermain dengan cuma‐cuma. Dan iapun menjadi sumber makanan. Aku senantiasa berusaha keras untuk menggembirakan hati ibu dengan beberapa ekor ikan kecil untuk dimasak. Alasan yang tidak mementingkan diri sendiri demikian itu pada suatu kali menyebabkan aku kena ganjaran cambuk. Hari sudah mulai senja. Ketika bapakku melihat bahwa hari mulai gelap dan bocah Sukarno tidak ada dirumah, dia menuntut ibu dengan keras: “Kenapa dia bersenang‐senang tak keruan begitu lama? Apa dia tidak punya pikiran terhadap ibunya? Apa dia tidak tahu bahwa ibunya akan susah kalau terjadi kecelakaan?”,”Negeri begini kecil, Pak, tidak mungkin kita tidak mengetahui kalau terjadi ketjelakaan,” ibu menerangkan. Sekalipun demikian, bapak yang agak keras kepala marah dan ketika aku sejam kemudian melonjak‐lonjak gembira pulang dengan membawa ikan kakap untuk ibu, bapak menangkapku, merampas ikan dan semua yang ada padaku, lalu aku dirotan sejadi‐jadinya. Tetapi ibu selalu mengimbangi tindakan disiplin itu dengan kebaikan hatinya. Oh, aku sangat mencintai ibu. Aku berlari berlindung ke pangkuan ibu dan dia membujukku. Sekalipun rumput‐rumput kemelaratan mencekik kami, namun bunga‐bunga cinta tetap mengelilingiku selalu. Aku segera menyadari bahwa kasih sayang menghapus segala yang buruk. Keinginan akan cinta kasih telah menjadi suatu kekuatan pendorong dalam hidupku. Disamping ibu ada Sarinah, gadis pembantu kami yang membesarkanku. Bagi kami pembantu rumah tangga bukanlah pelayan menurut pengertian orang barat. Di kepulauan kami, kami hidup berdasarkan azas gotong royong. Kerjasama. Tolong menolong, Gotong royong sudah mendarah daging dalam jiwa kami bangsa lndonesia. Dalam masyarakat yang asli kami tidak mengenal kerja dengan upah. Manakala harus dilakukan pekerjaan yang berat, setiap orang turut membantu engkau perlu mendirikan rumah? Baik, akan kubawakan batu tembok; kawanku membawa semen. Kami berdua membantumu mendirikannya. ltulah gotong royong. Setiap orang turun tangan. Ada tamu di rumahmu akhir‐akhir ini? Baik, jangan kuatir, akan kuantarkan kue ke rumahmu secara diam‐diam melalui jalan belakang. Atau beras. Atau nasi goreng. ltulah gotong royong. Bantu‐membantu. Sarinah adalah bagian dari rumah tangga kami. Tidak kawin. Bagi kami dia seorang anggota keluarga kami. Dia tidur dengan kami, tinggal dengan kami, memakan apa yang kami makan, akan tetapi ia tidak mendapat gaji sepeserpun. Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta‐kasih. Aku tidak menyinggung pengertian jasmaniahnya bila aku menyebut itu. Sarinah mengajarku untuk mencintai rakyat. Massa rakyat, rakyat jelata. Selagi ia memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku duduk disampingnya dan kemudian ia berpidato, “Karno, yang terutama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai pula rakjat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.” Sarinah adalah nama yang biasa. Akan tetapi Sarinah yang ini bukanlah wanita yang biasa. Ia adalah satu kekuasaan yang paling besar dalam hidupku. Di masa mudaku aku tidur dengan dia. Maksudku bukan sebagai suami‐isteri. Kami berdua tidur di tempat tidur yang kecil. Ketika aku sudah mulai besar, Sarinah sudah tidak ada lagi. Aku mengisi kekosongan ini dengan tidur bersama‐sama kakakku Sukarmini di tempat tidur itu juga. Kemudian aku tidur dengan Kiar, suatu campuran dari fox terrier dengan anjing jenis Indenesia. Aku tidak tahu pasti, akan tetapi dia bukan jenis yang murni. Orang lslam agaknya tidak menyukai anjing, akan tetapi aku mengaguminya. Dengan caranya sendiri bapakku mencurahkan kasih sayangnya kepadaku. Ketika aku berumur sebelas tahun aku diserang penjakit tipus. Dua setengah bulan lamanya aku berada diambang pintu kematian. Aku hanya bersandar pada kekuatan bapak yang mendorongku untuk hidup. Selama dua setengah bulan penuh bapak tidur di bawah tempat tidur bambuku. Ia berbaring di atas lantai semen yang lembab, dialas dengan tikar pandan yang tipis dan lusuh, tepat di bawah bilah‐bilah tempat tidurku. Sepanjang hari dan sepanjang malam selama dua setengah bulan bapak berbaring di bawahku. Bukan karena ia tidak dapat memperoleh tempat barang setumpak untuk menyelip dalam kamarku yang sempit itu. Tidak. Ini dilakukannya karena kepercayaan mistik bapak. Ia hendak mendoa terus, memohon siang malam agar aku diselamatkan dan memohon agar aku mendapat kekuatan‐kekuatan dari Yang Maha Kuasa. Akan tetapi supaya kekuatan mistiknya dapat memberikan manfa’at secara penuh, yang dicurahkannya langsung dari badannya ke seluruh tubuhku, maka ia harus berbaring di bawahku. Tempat ayah berbaring itu hanya beberapa kaki, gelap, lembab dengan udaranya yang tidak enak dan menyesakkan, siang dan malam sama saja dan disanalah ia selama itu menelentang hingga aku sehat sama sekali. Sewa rumah kami sangat murah, karena letaknya kerendahan, dekat sebuah kali. Kalau musim hujan kali itu meluap, membanjiri rumah dan menggenangi pekarangan kami. Dan dari bulan Desember sampai April kami selalu basah. Air menggenang yang mengandung sampah dan lumpur inilah yang menjangkitkan penyakit tipesku. Setelah aku sehat kembali kami pindah ke jalan Residen Pamudji. Rumah ini tidak lebih baik keadaannya, akan tetapi setidak‐tidaknya ia kering. Kamar‐kamarnya melalui ruangan gelap yang panjang. Yang paling kecil adalah kamarku, yang mempunyai jendela atap sebagai ganti lobang udara. Untuk memperoleh uang tambahan beberapa sen kami menerima orang bayar makan; tiga orang guru bantu dari sekolah bapak dan dua orang kemenakan seumurku. Nama kelahiranku adalah Kusno. Aku memulai hidup ini sebagai anak yang penyakitan. Aku mendapat malaria, disenteri, semua penyakit dan setiap penyakit. Bapak menerangkan, “Namanya tidak cocok. Kita harus memberinya nama lain supaya tidak sakit‐sakit lagi. “Bapak adalah seorang yang sangat gandrung pada Mahabharata, cerita klasik orang Hindu jaman dahulu kala. Aku belum mencapai masa pemuda ketika bapak menyampaikan kepadaku, “Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata.”, “Kalau begitu tentu Karna seorang yang sangat kuat dan sangat besar,” aku berteriak kegirangan.,”Oh, ya, nak,” jawab bapak setuju. ,”Juga setia pada kawan‐kawannya dan keyakinannya, dengan tidak mempedulikan akibatnya. Tersohor karena keberanian dan kesaktiannya. Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang saleh.” Bukankah Karna berarti juga ‘telinga?” aku bertanya agak kebingungan,”Ya, pahlawan perang ini diberi nama itu disebabkan kelahirannya. Dahulu kala, sebagaimana dikisahkan oleh Mahabharata, ada seorang puteri yang cantik. Pada suatu hari, selagi bermain‐main dalam taman, puteri Kunti terlihat oleh Surya, Dewa Matahari. Batara Surya hendak bercinta‐cintaan dengan puteri itu, oleh sebab itu dia memeluk dan membujuknya dengan keberanian dan cahaya panasnya. Dengan kekuatan sinar cintanya, puteri itupun mengandung sekalipun masih perawan. Sudah tentu perbuatan Dewa Matahari terhadap perawan yang masih suci itu diluar perikemanusiaan dan menimbulkan persoalan besar baginya. Bagaimana caranya mengeluarkan bayi tanpa merusak tanda keperawanan puteri itu. Dia tidak berani memetik gadis itu dengan memberikan kelahiran secara biasa. Apa akal ……… Apa akal Ah, persoalan yang sangat besar bagi Batara Surya. Akhirnya dapat dipecahkannya, dengan melahirkan bayi itu melalui telinga sang puteri. Jadi, karena itulah pahlawan Mahabharata itu dinamai Karna atau ‘telinga’.” Sambil memegang bahuku dengan kuat bapak memandang jauh kedalam mataku. “Aku selalu berdo’a,” dia menyatakan, “agar engkaupun menjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakyatnya. Semoga engkau menjadi Karna yang kedua.” Nama Karna dan Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa huruf “A” mendjadi “O”. Awalan “Su” pada kebanyakan nama kami berarti baik, paling baik. Jadi Sukarno berarti pahlawan yang paling baik. Karena itulah maka Sukarno menjadi namaku yang sebenarnya dan satu‐satunya. Sekali ada seorang wartawan goblok yang menulis, bahwa nama awalku adalah Ahmad. Sungguh menggelikan. Namaku hanya Sukarno saja. Memang dalam masyarakat kami tidak luar biasa untuk memakai satu nama saja. Waktu di sekolah tanda tanganku dieja Soekarno — menurut ejaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka aku memerintahkan supaya segala ejaan “OE” kembali ke “U”. Edjaan dari perkataan Soekarno sekarang menjadi Sukarno. Akan tetapi, tidak mudah untuk merubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun jadi kalau aku sendiri menulis tanda tanganku, aku masih menulis S‐O‐E. Memang aku penyakitan di waktu kecil. Dan sekalipun umpamanya tidak ada penyakit yang diderita oleh bayi Kusno‐Karno, beban untuk memberi makan dua orang anak masih terlalu berat bagi bapak. Seringkali kami harus bergantung kepada kebaikan dan keramahan dari tetangga kami. Keluarga Munandar menempati rumah yang serangkai dengan kami. Menurut cara Jawa yang sebenarnya, kalau kami tidak punya beras, kami makan punya mereka. Kalau kami tidak ada pakaian, kami pakai mereka punya. Sewaktu aku berumur sekitar empat, lima tahun nenekku dari pihak bapak hendak membawaku ke tempatnya. “Berikanlah anak itu kepadaku untuk sementara,” katanya. “Aku akan menjaganya.” Dan begitulah aku tinggal di Tulungagung yang letaknya tidak jauh dari Mojokerto. Nenekku tidak kaya. Siapa diantara kami yang kaya di waktu itu? Tapi memang ada juga yang sedikit berada. Nenek berdagang batik, jadi setidaktidaknya dia sanggup memberiku makan. Kakek dan nenek kedua‐duanya mengatakan bahwa aku mempunyai kekuatan‐kekuatan gaib. Bilamana ada orang sakit di kampung itu atau mendapat luka yang terasa sakit, nenek selalu memanggilku dan dengan lidah aku menjilat bagian dimana terasa sakit. Anehnya, si sakit menjadi sembuh. Nenekpun menduga bahwa aku dapat melihat apa‐apa yang gaib, akan tetapi lintasan‐lintasan penglihatan qalb (hati) itu menghilang ketika aku mulai menemukan kekuatan pidatoku terhadap rakyat. Nampaknya, apa yang disebut kekuatan ini kemudian tersalur ke arah lain, Pendeknya, sesudah berumur 17 tahun aku tak pernah lagi memperoleh penglihatan secara ilmu kebatinan. Watakku tidak berubah sedikitpun selama hampir enam dasawarsa. Dalam umur tujuh tahun aku sudah menjadi seorang pemuja seni. Aku memuja Mary Pickford, Tom Mix, Eddie Polo, Fatty Arbuckle, Beverly Bayne dan Francis X. Bushman. Setiap bungkus rokok Westminster keluaran Inggris berisi gambar dari seorang bintang sebagai hadiah. Aku mengumpulkan bungkus‐bungkus rokok yang sudah terbuang dan menempelkan pahlawan‐pahlawan yang kupuja itu di dinding. Aku menjaga
kumpulan ini dengan nyawaku. Ini adalah harta milikku sendiri yang pertama. Pada waktu berumur 10 tahun jagoan Karno sudah ternyata mempunyai kemauan yang keras. Dengan kekuatan pribadiku aku menjadi tokoh yang berkuasa setiap kali berkumpul. Bahkan keluargaku sendiri berkumpul mengelilingiku dan aku menjadi pusat perhatian. Pada hari ulang tahunku yang ke‐duabelas,
aku sudah mempunyai pasukan. Dan aku memimpin pasukan ini. Kalau Karno bermain jangirik dalam
debu di lapangan Mojokerto, yang lain‐lain pun turut main. Kalau Karno mengumpulkan perangko,
mereka juga mengumpulkan. Mereka menamakanku seorang “jago” Aku mempunyai sebuah sumpitan
yang kuperoleh dari seorang kawan. Kami menempatkan bambu yang panjang dan berlobang kecil ini ke
mulut dan menembakkan kacang ke arah sasaran. Tentunya si Karno menjadi jago penyumpit. Kalau kami memanjat pohon, aku memanjat lebih tinggi dari yang lain. Dan akupun jatuh paling keras pula daripada
anak‐anak lain. Akupun lebih sering melukai kepalaku dari yang lain.
Tapi setidak‐tidaknya tak ada orang yang dapat mengatakan, bahwa aku tidak mencobanya. Nasibku
adalah untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan, sekalipun pada waktu kecilku. Dalam permainan
adu gasing ada sebuah gasing kepunyaan kawan yang berputar lebih cepat daripada kepunyaanku.
Kupecahkan situasi itu dengan berpikir cepat ala Sukarno kulemparkan gasing itu ke dalam kali.
Bagaimanapun juga, ada permainan dimana seorang anak bangsa Indonesia dari jamanku tidak dapat
menunjukkan keahliannya. Misalnya, Perkumpulan Sepakbola. Aku bukan hanya tidak bisa menjadi
ketuanya, bahkan aku tidak dapat lama menjadi anggotanya. Anggota yang lain adalah anak‐anak
Belanda yang terus terang tidak senang padaku. Anak Belanda tidak pernah bermain dengan anak
Bumiputera. Ini tidak bisa. Mereka orang Barat yang putih seperti salju, yang asli, yang baik dan mereka
memandang rendah kepadaku karena aku anak Bumiputera atau “inlander”. Bagiku Perkumpulan
Sepakbola itu merupakan pengalaman pahit yang membikin hati luka didalam. Anak‐anak yang berambut
jagung menjaga kedua sisi dari pintu masuk sambil berteriak, “Hei… kauuuu Bruine Hei, anak kulit coklat
goblok yang malang … Bumiputera ….. inlander ….. anak kampung Hei, kamu lupa memakai sepatu….”
Sedangkan bayi‐bayi pirang sudah tahu meludah kepada kami. Begitu mereka keluar dari kain bedung
orok, inilah pengajaran pertama yang diajarkan orangtuanya kepada mereka. Di pagi hari aku bergembira,
karena aku bersekolah di sekolah Bumiputera, dirnana kami semua sama.
Kami semua tigapuluh orang murid di Inlandsche School kelas dua. Bapakku menjadi Mantri Guru yang
berarti kepala sekolah. Orang Bumiputera dilarang memakai pangkat Kepala Sekolah. Di waktu itu belum
ada bahasa Indonesia persatuan. Sampai kelas tiga setiap murid berbicara dalam bahasa Jawa sebagai
bahasa daerah. Dari kelas tiga sampai kelas lima guru memakai bahasa Melayu, bahasa Melayu asli yang
telah tersebar ke seluruh bagian dari Hindia Belanda dan akhirnya menjadi dasar bagi bahasa nasional
kami, bahasa Indonesia. Dua kali seminggu kami diajar bahasa Belanda. Ketika aku naik ke kelas lima,
bapak menerangkan maksudnya. “Cita‐citaku hendak mengirim kau ke sekolah tinggi Belanda, ” katanya.
“Karena itu, usaha kita yang pertama ialah memasukkan engkau ke sekolah rendah Belanda. “Karena
teringat kembali akan pengalamanku di Perkumpulan Sepakbola aku bertanya, “Apakah saya tidak dapat
meneruskan sekolah Bumiputera?”,”Pendidikan Bumiputera hanya sampai kelas lima.
Tidak ada lanjutannya buat kita. Kita tidak boleh masuk Sekolah Menengah Belanda kalau tidak keluaran
Sekolah Rendah Belanda dan tanpa ijazah ini orang tidak bisa masuk Sekolah Tinggi Belanda.”,”Apakah
saya bisa masuk kesana berdasarkan kepandaian?” aku bertanya dengan perasaan kuatir. “Kau masuk
dengan hak istimewa. Pegawai Gubernemen dan orang kelahiran bangsawan diberi kesempatan untuk
menikmati pendidikan Belanda. Yang lain tidak. “Mengingat keadaan kami aku bertanya, “Apakah cumacuma?”,”
Mana bisa. Kita mesti membayar uang sekolah.”,”Belanda juga?”,”Tidak, mereka bebas. Akan
tetapi dalam penjajahan tak seorangpun dapat mencapai suatu kedudukan tanpa pendidikan Belanda.
Kita harus maju. Aku akan menemui Kepala Sekolah Rendah Belanda untuk mengajukan permohonan.”
Gedung itu bagus terbuat dari kayu, bukan bambu seperti sekolah kami dan dinding luarnya berwarna biru
muda. Di situ terdapat tujuh kelas. Berlainan dengan meja kami di Sekolah Bumiputera, maka bangkubangku
disini mempunyai tempat tinta dan laci untuk buku.
Setelah aku menempuh ujian, Kepala Sekolah memberitahukan kepada bapak, “Anak tuan sangat pintar,
akan tetapi bahasa Belandanya belum cukup baik untuk kelas enam Europeesche Lagere School. Kami
terpaksa mendudukkannya satu kelas lebih rendah. “Ketika kami pergi kami merasa sangat tertekan.
Bapak mengeluh. “Ini suatu pukulan yang hebat bagi kita. Tapi walaupun bagaimana, tidak ada jalan lain
lagi.” “Umur saya sudah empatbelas,” aku memprotes. “Terlalu tua untuk kelas lima. Tentu orang mengira
saya tinggal kelas karena bodoh. Saya tentu diberi malu.” “Baiklah,” bapak memutuskan disaat itu juga,
“Kalau perlu kita membohong. Akan kita kurangi umurmu satu tahun. Kalau sudah mulai tahun pelajaran baru engkau didaftarkan dengan umur tiga belas. “Masih ada satu persoalan mengenai bahasa Belandaku.
Sekalipun kami orang yang tidak mampu, bapak mengambil seorang guru yang mengajar bahasa Belanda
di Europeesche Lagere School ini untuk memberikan pelajaran khusus kepadaku sejam setiap hari. Aku
ingat betul namanya. Juffrouw M.P. De La Riviere. M.P. kependekan dari Maria Paulina. Katakanlah,
bahwa ia orang yang paling tidak menarik di dunia ini dibandingkan dengan perempuan lain dan karena
itu ia tetap melekat dalam pikiranku. Cara yang paling baik untuk menerangkan arti daripada pendidikan
barat —dan bagaimana bapak telah bersusah payah mengorbankan uang, prinsip dan segala sesuatu
untuk itu— ialah dengan menghubungkannya dengan kisah percintaanku yang pertamakali. Aku berumur
empatbelas tahun dan tidak ragu lagi hatiku yang muda ini telah tertambat pada Rika Meelhuysen,
seorang gadis Belanda. Rika adalah gadis pertama yang kucium. Dan harus kuakui, bahwa aku sangat
gugup waktu itu. Sejak itu aku lebih ahli dalam hal itu. Tapi, aduh, aku mencintai gadis itu mati‐matian
dan kuikuti turun naiknya gelombang irama dari seluruh kehidupan anak sekolah. Aku membawakan
buku‐bukunya, aku dengan sengaja berjalan melalui rumahnya, karena mengharapkan sekilas pandang
dari dia. Dan nampaknya aku selalu secara kebetulan berada dimana dia ada. Cintaku ini kusimpan dalam
kalbuku sendiri. Aku takut mengucapkan sepatah kata, karena takut ketahuan oleh orangtuaku. Aku
yakin, bahwa bapak akan sangat marah kepadaku kalau sekiranya ia mendengarku bergaul dengan anak
gadis kulit putih. Sungguhpun aku sangat ingin menyampaikan sesuatu tentang hal itu kepadanya,
ketakutan terhadap kemarahannya menyebabkan kata‐kataku membeku di kerongkongan. Karena itu,
keinginan yang menyala‐nyala ini hanya kupercayakan kepada diriku yang sedang dimabuk kepayang.
Pada suatu sore aku berjalan‐jalan naik sepeda dengan Rika Meelbuysen dan ketika membelok di ujung
jalan gang kami tepat menubruk bapak. Aku mulai menggigil karena takut. Dia bersikap hormat, tapi aku
sangat kuatir akan apa yang akan menyusul nanti kalau aku sudah sampai di rumah. Inilah aku, putera
bapak satu‐satunya, yang bercinta‐cintaan dengan orang Belanda yang dibenci. Sejam kemudian aku
menyusup masuk rumah dalam keadaan masih tergoncang. Bapak segera mendekatiku dan berkata,
“Nak, jangan kau takut tentang perasaanku terhadap teman perempuanmu itu. Itu baik sekali.
Pendeknya, hanya dengan jalan itu engkau dapat memperbaiki bahasa Belandarnu!” Ketika datang
waktunya untuk masuk sekolah menengah, bapak sudah tahu apa yang harus dikerjakannya. Ia
menggunakan pengaruh kawan‐kawannya untuk memasukkanku ke sekolah menengah yang tertinggi di
Jawa Timur, yaitu Hogere Burger School di Surabaya. “Nak,” katanya, ” Maksud ini sudah ada dalam
pikiranku semenjak kau dilahirkan ke dunia.” Semua telah diaturnya dan aku akan tinggal dirumah H.O.S.
Tjokroaminoto, ialah orang yang kemudian merubah seluruh kehidupanku.”Tjokro,” ia menerangkan
padaku, “Adalah kawanku di Surabaya sejak sebelum kau ada.”0,” kataku gembira, “Saya kira dia keluarga
kita.” “Tidak,” jawab bapak., “Oo, barangkali mungkin keluarga yang sangat jauh, tapi tidak serapat
seorang kemenakan atau paman.” Kemudian bapak memandang kepadaku sesaat. “Kau tahu siapa
Tjokro?”, “Saya hanya tahu, dia berkeliling untuk mempropagandakan keyakinan politiknya. Saya ingat
dia datang ke kampung kita untuk mengadakan pidato dan menginap, bapak dengan dia mengobrol
sampai waktu subuh.” “Tjokro adalah pemimpin politik dari orang Jawa.
Sungguhpun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin darah dagingku menjadi
kebarat‐baratan. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang yang dijuluki oieh Belanda sebagai ‘Radja
Jawa yang tidak dinobatkan. Aku ingin supaya kau tidak melupakan, bahwa warisanmu adalah untuk
menjadi Karna kedua.” Aku tidak membawa apa‐apa ketika berangkat ke Surabaya. Tak ada barang untuk
dibawa. Satu‐satunya yang mengikuti kepergianku adalah sebuah tas kecil dengan pakaian sedikit. Bapak
menunjuk salah seorang guru untuk mengiringi perjalananku di kereta api yang lamanya enam jam itu.
Tidak dirayakan, tidak dipestakan kepergianku itu. Yang kuingat hanya bahwa aku menangis getir. Aku
meninggalkan rumah. Aku meninggalkan ibu. Aku baru seorang anak 15 tahun yang masih takut‐takut. Di pagi itu, di hari keberangkatanku ibu melepasku dengan peringatan bahwa aku tidak lagi akan kembali
untuk tinggal bersama‐sama dengan mereka. Di depan rumah kami dia memerintahkan, “Berbaringlah di
tanah, nak!. Berbaring saja biarpun kotor.” Kemudian ibu melangkahi badanku pulang balik sampai tiga
kali. lni sesuai dengan kepercayaan menurut ilmu kebatinan. Dengan melangkahi anaknya dengan
tubuhnya sendiri darimana si anak dilahirkan dan yang mengandung kekuatan‐kekuatan sakti dari
kehidupan, berarti bahwa si anak mendapat restu dari ibunya untuk selama‐lamanya. Seakan‐akan ia
berkata setiap kali, “Anak ini berasal dari kandunganku dan kuberkati dia. “Kemudian dia menyuruhku
bangkit. Sekali lagi ia memutar badanku arah ke Timur dan berkata dengan sungguh‐sungguh, “Jangan
sekali‐kali kaulupakan, anakku, bahwa engkau adalah putera sang fajar.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar