UDARANYA panas malam itu, akan tetapi aku berbaring di sana dengan badan gemetar. Aku melihat
sambaran petir ini sebagai gemuruhnya pukulan genderang kebangkitan. Ia adalah tanda berakhirnya
suatu jaman.
Esok paginya aku bangun di waktu subuh dan berjalan dengan tenang sepanjang jalanan kota. Jepang
membuka toko‐toko dengan paksa tanpa ada yang menjaga. Perbuatan ini menggerakkan hati rakyat
untuk menyerbu isi toko‐toko itu. Kesempatan pertama bagi rakyat yang miskin untuk menikmati
kemewahan. Dalam pada itu Jepang dengan cerdik memerintahkan polisi Belanda untuk menertibkan
keadaan di jalan‐jalan, dengan demikian menambah kebencian terhadap kekuasaan kulit putih.
Di setiap jalanan Jepang disambut dengan sorak‐sorai kemenangan.
“Apa sebabnya ini!” tanya Waworuntu.
“Rakyat benci kepada Belanda. Lebih‐lebih lagi karena Belanda lari terbirit‐birit dan membiarkan kita
tidak berdaya. Tidak ada satu orang Belanda yang berusaha untuk melindungi kita atau melindungi negeri
ini. Mereka bersumpah akan bertempur sampai tetesan darah yang penghabisan, tapi nyatanya lari
ketakutan.”
“Coba pikir,” kataku ketika kami melangkah pelahan. “Faktor pertama yang menyebabkan penyambutan
yang spontan ini adalah adanya perasaan dendam terhadap tuan‐tuan Belanda, yang telah dikalahkan
oleh penakluk baru. Kalau engkau membenci seseorang tentu engkau akan mencintai orang yang
mendupaknya keluar. Disamping itu, tuan‐tuan kulit putih kita yang sombong dan maha kuat itu
bertekuk‐lutut secara tidak bermalu kepada suatu bangsa Asia. Tidak heran, kalau rakyat menyambut
Jepang sebagai pembebas mereka.”
Waworuntu, kawan baik dan kawanku yang sesungguhnya, yang sekarang sudah tidak ada lagi, melihat
tenang kepadaku.
“Dan apakah Bung juga menyambutnya sebagai pembebas?
“Tidak! Saya tahu siapa mereka. Saya sudah melihat perbuatan mereka di masa yang lalu. Saya tahu
bahwa mereka orang Fasis. Akan tetapi sayapun tahu, bahwa inilah saat berakhirnya Imperialisme
Belanda. Pun seperti yang saya ramalkan, kita akan mengalami satu periode pendudukan Jepang, disusul
kemudian dengan menyingsingnya fadjar kemerdekaan, dimana kita bebas dari segala dominasi asing
untuk selama‐lamanya.”
Di seberang jalan kami lihat serdadu Jepang memukul kepala seorang Indonesia dengan popor senapan.
“Lalu maksud Bung akan memperalat Jepang” tanya Waworuntu dengan cepat.
Kami terus berjalan. Kami tidak dapat berbuat apa‐apa. “Sudah tentu,” jawabku dengan suara redup.
“Saya mengetahui semua tentang kekurangajaran mereka. Saya mengetahui tentang kelakuan orang
Nippon di daerah pendudukannja — tapi baiklah. Saya sudah siap sepenuhnya untuk menjalani masa ini
selarna beberapa tahun. Saya harus mempertimbangkan dengan akal kebijaksanaan, apa yang dapat
dilakukan oleh Jepang untuk rakyat kita.”
Kita harus berterimakasih kepada Jepang. Kita dapat memperalat mereka. Kalau manusia berada dalam
lobang Kolonialisme dan tidak mempunyai kekuatan yang radikal supaya bebas dari lobang itu atau untuk
mengusir penjajahan, sukar untuk mengobarkan suatu revolusi.
Waworuntu memandangku, matanja terbuka lebar. Kebenaran kata‐kata itu nampak meresap dalam
hatinya. “Coba pikir, Bung,” kataku, “Keadaan chaos, suasana kebingungan dan perasaan yang menyalanyala
ini, ataupun perubahan ini sendiri — perlu sekali guna mencapai tujuan, untuk mana saya
membaktikan seluruh hidupku.” Kami terus berjalan, bungkem. Masing‐masing sibuk dengan pikiran
sendiri. Kemudian kawanku memberikan pendapat, “Mungkin rakyat kita akan selalu memandangnya
sebagai pembebas dan tetap tinggal pro‐Jepang, dan oleh sebab itu akan mempersulit usaha untuk
melepaskan negeri kita dari cengkeramannya.” Tidak mungkin,” jawabku menerangkan. “Pandirlah suatu
bangsa penjajah kalau mereka mengimpikan akan dicintai terus atau mengkhayalkan bahwa masyarakat
yang terjajah akan tetap puas dibawah telapak dominasinya. Tidak pandang betapa lemah, mundur atau
lalimnya penjajah yang lama dan tidak pandang betapa baiknya penjajah yang baru dalam tingkah laku
atau kecerdasannya, maka rakyat yang sekali sudah terjajah selalu menganggap hilangnya dominasi asing
sebagai pembebasan. Inipun akan terjadi disini.”
“Kapan ini akan terjadi ?”
“Kalau kita sudah siap,” kataku ringkas.
Aku tidak mengadakan gerakan. Aku hanya menunggu. Sehari kemudian, Kapten Sakaguchi, Komandan
dari daerah Padang datang ke rumah Waworuntu dan memperkenalkan dirinya. Berbicara dalam bahasa
Perancis, ia berkata, ,,Est‐ce vous pouves parler Francais “
“Oui,” jawabku. ,,Je sais Francais.”
“Je suis Sakaguchi,” katanya.
“Bon,” kataku.
Bungkem sesaat, lalu, ,,Vous etes Ingenieur Sukarno, n’est‐ce pas?”
,,Oui. Vous avez raison.”
Menunjukkan tanda pengenal resminya ia menerangkan, ,,Saya anggota dari Sendenbu, Departemen
Propaganda.”
“Apakah yang tuan kehendaki dari saya?” aku bertanya dengan hati‐hati.
“Tidak apa‐apa. Saya mengetahui bahwa saya perlu berkenalan dengan tuan dan begitulah saya datang.
Hanya itu. Saya datang bukan menyampaikan perintah kepada tuan.” Sakaguchi tersenyum lebar.
Agaknya tidak perlu bagi seorang penakluk untuk bersikap begitu menarik hati karena itu aku bertanya,
“Mengapa tuan justru datang kepada saya?”
“Menemui tuan Sukarno yang sudah terkenal adalah tugas saya yang pertama. Kami mengetahui semua
mengenai tuan. Kami tahu tuan adalah pemimpin bangsa Indonesia dan orang yang berpengaruh.”
“Itukah sebabnya tuan menemui saya disini, dan bukan meminta saya datang ke kantor tuan ?” Betul,” ia
membungkuk. ,,Suatu kehormatan bagi kami untuk menghargai tuan sebagaimana mestinya. Tuan
Sukarno terkenal di seluruh kepulauan ini.”
“Boleh saya bertanya dari mana tuan mendapat keterangan ini ?”
“Tuan lupa, tuan Sukarno, sebelum perang banyak orang Jepang tinggal disini dan banyak yang kembali
kesini dalam tentara Jepang.”
,,Oo.”
“Kami mempunyai jaring mata‐mata yang paling rapi. Kami mengetahui segala‐galanya mengenai semua
orang, begitu pula tempat‐tempatnya. Segera setelah menduduki Bengkulu kami menyelidiki dimana
tuan berada. Tindakan kami, yang pertama‐tama ialah untuk datang kepada tuan.”
“Dan tindakan yang kedua?”
“Menjaga tuan.”
Ketika tentara Jepang datang, Padang mengibarkan bendera Merah Putih. Rakyat menyangka mereka
“dibebaskan”. Setelah berabad‐abad larangan, sungguh menggetarkan hati menyaksikan bendera kami
Sang Merah‐Putih yang suci itu melambai‐lambai dengan megahnya. Akan tetapi tidak lama, segera
keluar pengumuman yang ditempelkan di pohon‐pohon dan di depan toko‐toko, bahwa hanyalah
bendera Matahari Terbit yang boleh dikibarkan. Serentak dengan kejadian ini, yang terasa sebagai suatu
tamparan, Jepang menguasai surat‐surat kabar. “Pembebasan” kota Padang tidak lama umurnya.
Aku pergi ke kantor Sakaguchi dan minta agar perintah penurunan bendera itu diundurkan. “Perintah ini
sangat berat untuk kami terima dan akan mempersulit keadaan,” kataku. “Kalau tidak dilakukan secara
sebijaksana mungkin hal ini dapat memberi akibat yang serius untuk kedua belah pihak.”
Sakaguchi menunjukkan bahwa ia mengerti persoalan itu, akan tetapi memperingatkan. “Barangkali, tuan
Sukarno, hendaknya jangan terlalu menunda‐nunda hal ini.”
Ini adalah hari yang gelap bagi rakyat dan bagi Sukarno. Mula‐mula aku pergi ke mesdjid dan aku
sembahyang. Kemudian dalam suatu rapat aku menginstruksikan kepada saudara‐saudaraku untuk
menurunkan bendera sampai “datang waktunya dimana kita dapat mengibarkan bendera kita sendiri,
bebas dari segala dominasi asing.”
Setiap bendera turun ke bawah. Aku benci kepada Hitler, akan tetapi kejadian ini dengan tidak sadar
mengingatkan daku pada salah satu ucapannya: Gross sein heisst es Massen bewegen k.nnen” Besarlah
seseorang yang mampu menggerakkan massa untuk bertindak. Kalau bukan Sukarno yang berbicara,
mungkin mereka akan berontak, karena terlalu tiba‐tiba seperti tersentak dari tidur mereka menyadari,
bahwa putera‐putera dari negara Matahari‐Terbit bukanlah pahlawan‐pahlawan sebagaimana mereka
bayangkan. Dan aku kuatir akan terjadinya pemberontakan. Kami adalah rakyat yang tidak
berpengalaman untuk pada saat itu biasa menendang kekuatan yang terlatih baik seperti tentara Jepang.
Tiga hari kemudian Sakaguchi datang lagi. Sekali lagi kami berbicara dalam bahasa Perancis. Berbulanbulan
kemudian aku baru mengetahui, bahwa Sakaguchi pandai berbahasa Indonesia. “Monsicur
Sukarno,” katanya
“Saya membawa pesan. Le Commandant de Bukittinggi memohon kehadiran tuan.”
“Memohon?” aku mengulangi.
“Oui, Monsieur. Memohon.”
Dari sikap kapten Sakaguchi yang merendah jelaslah, bahwa ketakutan Belanda akan menjadi kenyataan.
Jepang akan mengusulkan agar supaya aku bekerja dengan mereka. Komandan dari divisi yang kuat itu
yang memasuki kota Padang di malam pendaratan adalah Kolonel Fujiyama, Komandan Militer kota
Bukittinggi. Dialah yang minta disampaikan supaja “memohon” tuan Sukamo untuk datang.
Tuan Sukarnopun datang.
Kami berangkat dengan kereta api dan dengan cepat tersiar kabar, bahwa Sukarno ada dalam kereta api.
Mereka yang berada dalam gerbong kami menyampaikan kepada gerbong‐gerbong yang lain. Ketika
berhenti di Padang panjang setiap orang di pelataran stasiun mulai bersorak memanggil Sukarno.
Gerbong kami diserbu orang, sehingga aku terpaksa mengeluarkan kepalaku di jendela dan berpidato
dengan singkat untuk menenangkan rakyat. Tak satupun dari ini yang tidak berkesan pada Sakaguchi.
Jauhnya satu setengah jam perjalanan ke kota pegunungan yang sejuk itu. Pusat dari Minangkabau ini
terkenal dengan bendinya yang riang menyenangkan dan digunakan sebagai alat angkutan di jalanan
yang mendaki. Dan ia terkenal dengan rumah adat bergonjong bewarna‐warni, simbolik daripada seni
bangunan Minangkabau.
Bukittinggi adalah kota yang sangat penting. Letaknya strategis, dan hanya dapat dicapai dari tiga
jurusan, dan letaknya di daerah pegunungan itu sedemikian, sehingga penduduknya menguasai semua
lalu lintas keluar masuk. Markas Kolonel Fujiyama, gedung besar bekas kepunyaan seorang Belanda yang
kaya, pun terletak secara strategis. Letaknya ketinggian di atas puncak Lembah Ngarai, sebuah lembah
yang dalam dengan bukitnya yang tinggi pada kedua belah sisinya berbentuk dinding batu terjal dan
gundul menjulang kea tas. Di bawah, di dalam lembah itu merentang seperti pita sebuah sungai yang
dengan seenaknya mencari jalannya sendiri. Di sekeliling Ngarai itu tumbuh pepohonan dan tumbuhan
menghijau dengan lebat. Kalau orang memandang keluar, dari jendela rumah Fujiyama, beribu‐ribu kaki
jauhnya ke bawah terlihatlah suatu pemandangan indah yang sangat mengagumkan.
Disanalah aku mengadakan pertemuan yang sampai sekarang tidak banyak orang mengetahuinya, akan
tetapi sesungguhnya merupakan pertemuan yang maha penting. Pertemuan yang sangat besar artinya.
Pertemuan yang menentukan strategiku selanjutnya selama peperangan. Pertemuan yang sampai
sekarang memberikan cap kepadaku sebagai “Kollaborator Jepang”
Komandan Fujiyama berbicara dalam bahasanya. Di dalam ruangan itupun hadir seorang juru bahasa
berkebangsaan Amerika yang dibawa mereka ke Singapura. “Tuan Sukarno,” kata Fujiyama sambil
menyilakanku duduk. “Peperangan ini bertujuan untuk membebaskan Asia dari penaklukan kolonialisme
Barat.”
Aku menyadari, bahwa mereka sedang menduga isi hatiku dan aku memilih kata‐kataku dengan hati‐hati
sekali. Setiap patah kata yang keluar dari mulutku akan mereka saring, mereka timbang‐timbang dan
mereka uji. Aku mengetahuinya. “Orang Jepang mempunyai satu semboyan yang berbunyi, ‘Asia. Bebas’.
Benarkah ini?” tanjaku setelah beberapa saat.
“Ya, tuan Sukarno,” sahutnya sambil menyodorkan rokok kepadaku. “Itu benar.”
Dengan lamban kuisap rokok itu dan kemudian berkata seperti tidak acuh, “Dan apakah tuan bermaksud
hendak berpegang pada semboyan itu?”
“Ya, tuan Sukarno, kami akan berpegang pada semboyan itu,” katanya memandang kepadaku dengan
teliti.
“Yah, kalau begitu, apakah tuan berpendapat bahwa Indonesia adalah satu bagian dari Asia?”
“Tentu, tuan Sukarno.”
Aku menarik napas panjang. “Kalau demikian, saya dapat menarik kesimpulan bahwa tujuan tuan juga
hendak membebaskan Indonesia, betulkah itu?”
Belum sampai satu debaran jantung antaranya, “Ya, tuan Sukarno. Tepat sekali.”
Sementara berlangsung pembicaraan tingkat tinggi ini seorang pradjurit Jepang berperawakan kecil
beringsut menyuguhkan air teh. Syarafku sangat tegang dan aku mencarik‐carik kuku jariku, suatu
kebiasaanku kalau sedang gelisah. Kami menunggu sampai bunyi mangkok teh yang gemerinting tidak
terdengar lagi. Bahkan setelah pradjurit itu pergi, bunyi gemerincing seolah‐olah masih saja mengapung
di udara yang hening. Setidak‐tidaknya, dalam diriku. Gigiku dan tulang‐belulangku semua gemerincing.
Hidup atau matinya tanah airku tergantung kepada sukses atau tidaknya pembicaraan ini.
Setelah dia pergi, Fujiyama kemudian melanjutkan. “Di dalam rangka pengertian inilah kami ingin
mengetahui, apakah tuan mempunyai keinginan untuk memberikan bantuan kepada tentara Dai Nippon.”
“Dengan cara bagaimana ?”
“Dalam memelihara ketenteraman.”
“Bolehkah saya bertanya, bagaimana caranya saya seorang diri dapat memelihara ketenteraman untuk
tentara Jepang?”
Panglima Tentara ke 25 dari Angkatan Darat Keradjaan Jepang ini tersenjum. Pada tingkatannya mereka
banyak melakukan seperti ini. “Kami mengetahui, bahwa Sukarno sendirilah yang menguasai massa
rakyat.
Karena itu, cara yang paling mudah untuk mendekati rakyat adalah mendekati Sukarno. Tugas kami
bukanlah untuk mendekati rakyat Indonesia yang berjuta‐juta. Tugas kami adalah untuk memenangkan
satu orang Indonesia. Yaitu, tuan sendiri. Harapan kami agar tuan mendekati rakyat yang jutaan itu untuk
kami.”
Sikapnya memperlihatkan dengan jelas, bahwa dia harus memenangkan Sukarno. Di luar, di jalanan
rakyat kami tidak lagi bersorak‐sorai begitu keras menyambut rakyatnya. Kegembiraan yang pertama
sudah mulai luntur. Dia tahu, kalau dia berbalik menentangku dan melukaiku dengan salah satu jalan,
kalau dia mendoba‐doba memaksaku, seluruh rakyat akan bangkit melawannya. Jepang memerlukan
tenagaku dan ini kuketahui. Akan tetapi akupun memerlukan mereka guna mempersiapkan negeriku
untuk suatu revolusi.
Ini tidak ubahnya seperti permainan volley. Hanya yang dipertarungkan itu adalah kemerdekaan. Kolonel
Fujiyama pertama memukul bola. Sekarang giliranku. Tuhan, aku mendo’a dalam hati, tunjukkanlah
kepadaku, jalan yang benar.
“Nah,” kataku. “Sekarang saya mengetahui apa yang tuan inginkan, saya kira tuan mengetahui keinginan
saya.”
“Tidak, tuan Sukarno, saya tidak tahu. Apakah sesungguhnya yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia.?”
“Merdeka.”
“Sebagai seorang patriot yang mencintai rakyatnya dan menginginkan kemerdekaan mereka, tuan harus
menyadari bahwa Indonesia Merdeka hanya dapat dibangun dengan bekerja sama dengan Jepang,” ia
membalas.
“Ya,” aku mengangguk. “Sekarang sudah jelas dan terang bagi saya bahwa tali hidup kami berada di
Jepang …… Maukah pemerintah tuan membantu saya untuk kemerdekaan Indonesia?”
“Kalau tuan menjanjikan kerjasama yang mulak selama masa pendudukan kami, kami akan berikan janji
yang tidak bersyarat untuk membina kemerdekaan tanah air tuan.”
“Dapatkah tuan menjamin bahwa, selama saya bekerja untuk kepentingan tuan, saya juga diberi
kebebasan bekerja untuk rakyat saya dengan pengertian, bahwa tujuan saya jang terakhir adalah di satu
waktu ……. dengan salah‐satu jalan …….. membebaskan rakyat dari kekuasaan Belanda —
maupun Jepang?”
“Kami menjamin. Pemerintah Jepang tidak akan menghalang‐halangi tuan.”
Aku memandang kepadanya. Kami saling berpandangan. Saling menakar isi‐hati satu sama lain.
“Jadi, tuan Sukarno,” ia melanjutkan menyatakan pengakuannya dengan hati‐hati. “Saya seorang
penguasa pemerintahan. Negeri tuan adalah suatu bangsa dengan latar kebudayaan, keturunan, agama
dan berbagai adat kebiasaan Jawa, Bali, Hindu, Islam, Buddha, Belanda, Melayu, Polynesia, Tiongkok,
Filipina, Arab dan lain‐lain. Negeri tuan terbentang luas. Perhubungan dari satu ke tempat lain sukar.
Tugas saya adalah untuk mengendalikan daerah ini dalam keadaan tertib dan lancar dengan segera. Cara
yang paling tepat ialah dengan memelihara ketenteraman rakyat dan menjalankan segala sesuatu dengan
harmonis. Untuk mencapai tujuan ini, kepada saya disampaikan bahwa saya harus bekerja dengan
Sukarno. Sebaliknya saya menjanjikan kerjasama yang resmi dan aktif di dalam bidang politik.”
Mau tidak mau aku harus mempercayai orang yang berperawakan kecil ini, oleh karena aku melihat kunci
persoalan ada di tangannya. “Baiklah,” kataku. “Kalau ini yang tuan janjikan, saya setuju. Saya akan
berikan bantuan saya sepenuhnya. Saya akan menjalankan propaganda untuk tuan. Tapi hanya kalau ia
berlangsung menurut garis menuju pembebasan Indonesia dan hanya dengan pengertian, bahwa sambil
bekerjasama dengan tuan sayapun berusaha untuk memperoleh kemerdekaan bagi rakyat saya.”
“Setuju,” katanja.
“Jjuga dengan pengertian bahwa janji, dalam mana saya tetap tidak dikekang dalam usaha saya yang
tidak henti‐hentinya untuk nasionalisme, tidak hanya diketahui oleh tuan sendiri melainkan juga oleh
seluruh Komando Atasan.”
“Pemerintah saya tentu akan diberitahu mengenai hal itu. Di atas dasar inilah kita bekerjasama, saling
bantu‐membantu satu sama lain.”
Sebagai kelanjutan dari pertemuan yang bersejarah ini yang berlangsung selama dua jam, mereka
menjajikan sukiyaki. Inilah pertama kali aku mencobanya. Dan rasanya enak sekali, kukira.
Keinginan mereka untuk bersikap ramah‐tamah tidak berakhir sampai disini saja. Aku tidak disuruh pergi,
melainkan ditanyai kapan bermaksud hendak pulang. “Setelah menunjukkan bahwa aku sudah siap, aku
diiringkan sampai di luar. Disana Sakaguchi memandangku dengan muka berseri, “Izinkan kami untuk
menyediakan kendaraan untuk tuan,” dan menunjuk ke arah sebuah mobil Buick hitam berkilat.
Kendaraan seperti ini tidak banyak terdapat di Bukittinggi, jadi ini sudah pasti diambil dari seorang
saudagar kaya dan dimanapun ia berada disaat ini, tentu ia tidak dapat melakukan perjalanan pakai
kendaraan.
“Buick ini adalah untuk tuan,” Sakaguchi membungkuk dengan hormat, “Diserahkan kepada tuan selama
tuan menghendakinya.”
Kusampaikan padamu, kawan, aku sungguh‐sungguh bangga. Inilah aku, baru saja lepas dari
pembuangan, sebuah Buick yang cantik menantikanku. Sudah tentu ia tidak ada bensin. Isinya hampir
tidak cukup untuk dilarikan ke Padang. Mereka telah memberikan kehormatan kepadaku, mereka
memberiku makan dan mereka telah memberiku kendaraan —akan tetapi tidak ada bensin.
Kawan‐kawan — dan mereka yang bukan kawanku, akan tetapi yang kuharapkan dapat memahami
Sukarno lebih baik setelah membaca buku ini — ini adalah pertamakali aku menceritakan kisahku tentang
bagaimana, bilamana dan dimana, dan mengapa aku mengambil keputusan untuk menyeret diriku
berdampingan dengan Jepang. Boneka ….. pengkhianat ….. aku tahu semua kata‐kata itu. Akan tetapi
jika tidak dengan syarat, bahwa mereka turut membantu dalam usaha mencapai kebebasan negeriku, aku
pasti takkan melakukannya. Sampai kepada detik ini hal ini tak pernah diterangkan sebagaimana
mestinya. Dunia luar tidak mengerti. Mereka hanya tahu Sukarno seorang collaborator. Bagiku untuk
menuntut lebih banyak lagi kebebasan‐kebebasan politik, aku terpaksa mengerjakan berbagai hal yang
merobek‐robek jantungku. Dengan hati yang berat aku melakukannya. Kalau aku tidak menepati janjiku,
mereka tidak akan menepati janji mereka pula.
Di suatu pagi Sakaguchi datang kepadaku. Dia menyenangkan, akan tetapi keras. “Kami menghadapi
persoalan beras yang rumit,” katanya dengan berkerut. “Nampaknya beras di Padang susah. Sebenarnya
hampir tidak ada. Saya memberi peringatan kepada tuan, kalau orang Jepang tidak dapat beras, orang
Indonesia tidak akan dapat apa‐apa. Bukanlah keinginan kami untuk mengambil dengan kekerasan dari
orang‐orang yang mengendalikannya, oleh karena tindakan ini akan menimbulkan kekacauan dan
bertentangan dengan cara kerjasama yang kita usahakan. Setidak‐tidaknya cara yang baik, yang sampai
sekarang telah kita coba untuk melakukannya. Tentu ada jalan lain, tuan Sukarno, karena saya yakin tuan
mengetahui. Saya menyarankan, supaya tuan mendesak rakyat kepala batu agar berpikir sedikit.”
Aku segera minta bantuan saudagar‐saudagar beras. Kuterangkan, bahwa aku memerlukan sekian ton
dan segera! Yah, selama masih Sukarno yang memintanya, aku memperolehnya. Sebanyak yang kuminta
dan secepat yang kuingini. Memenuhi permintaanku berarti memecahkan persoalan setiap orang. Jepang
terhindar dari kelaparan. Bangsa Indonesia terhindar dari siksaan.
Suatu krisis yang lain ialah mengenai kehidupan seks dari para prajurit Jepang. Rupanya mereka tidak
memperoleh apa‐apa selama beberapa waktu. Ini adalah semata‐mata persoalan mereka, akan tetapi
mereka berada di tanah airku. Perempuan yang mereka inginkan untuk dirusak adalah perempuanperempuan
bangsaku. Suku Minangkabau orang yang ta’at beragama. Perempuannya dididik dan
dibesarkan dengan hati‐hati sekali. Kuperingatkan kepada Fujiyama, “Kalau anak buah tuan mencobacoba
berbuat sesuatu dengan anak‐anak gadis kami, rakyat akan berontak. Tuan akan menghadapi
pemberontakan besar di Sumatra.”
Aku menginsyafi, bahwa aku tidak dapat membiarkan tentara Jepang bermain‐main dengan gadis
Minang. Dan akupun menginsyafi, bagaimana sikap Jepang kalau persoalan ini tidak dipecahkan, dan aku
akan dihadapkan pada persoalan yang lebih besar lagi.
Kuminta pendapat seorang kiai. “Menurut agama Islam,” kataku memulai, “Laki‐laki tidak boleh
bercintaan dengan gadis, kalau dia tidak bermaksud mengawininya. Ini adalah perbuatan dosa.”
“Itu benar,” katanya.
Aku tidak seratus persen pasti bagaimana harus mengucapkan maksudku, karena itu aku berpikir
sebentar, lalu berkata, “Mungkinkah aturan ini dikesampingkan dalam keadaan keadaan tertentu?”
“Tidak. Tidak mungkin. Untuk Bung Karno sendiripun tidak mungkin,” protes orang alim itu dengan kaget.
Kemudian kubentangkan rencana itu. “Semata‐mata sebagai tindakan darurat, demi nama baik anakanak
gadis kita dan demi nama baik negeri kita, saya bermaksud hendak menggunakan layanan dari para
pelacur di daerah ini. Dengan demikian orang‐orang asing itu dapat memuaskan hatinya dan tidak akan
menoleh untuk merusak anak gadis kita.”
“Dalam keadaan‐keadaan yang demikian,” kata orang alim itu dengan ramah, “sekalipun seseorang harus
membunuh, perbuatannya tidak dianggap sebagai dosa.”
Dengan berpegang kepada jaminan ini, bahwa rencanaku tidak akan ditafsirkan sebagai dosa yang besar,
maka aku mendatangi para pelacur. “Saya tidak akan menyarankan saudara‐saudara untuk melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaanmu,” aku menegaskan, “akan tetapi rencana ini sejalan
dengan pekerjaan saudara‐saudara sendiri.” “Saya dengar, Jepang kaya‐kaya dan royal dengan uang,”
salah seorang tertawa gembira, nampaknya senang dengan usulku ini. “Benar,” aku menyetujui. ,,Mereka
juga punya jam tangan dan perhiasan lainnya.”
“Saya menganggap rencana ini saling menguntungkan dalam segala segi,” ulas perempuan yang jadi juru
bicara. “Tidak hanya kami akan menjadi patriot besar, tapi ini juga suatu perjanjian yang
menguntungkan.”
Kukumpulkanlah 120 orang di satu daerah yang terpencil dan menempatkan mereka dalam kamp yang
dipagar tinggi sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi
tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam setiap kunjungan kartunya dilubangi. Barangkali cerita ini tidak
begitu baik untuk dikisahkan. Maksudku, mungkin nampaknya tidak baik bagi seorang pemimpin dari
suatu bangsa untuk menyerahkan perempuan. Memang, aku mengetahui satu perkataan untuk memberi
nama jenis manusia seperti itu. Akan tetapi persoalannya sungguh‐sungguh gawat ketika itu, yang dapat
membangkitkan bencana yang hebat. Karena itu aku mengobatinya dengan cara yang kutahu paling baik.
Hasilnyapun sangat baik, kutambahkan keterangan ini dengan senang hati. Setiap orang senang sekali
dengan rencana itu.
Oleh karena Jepang memerlukan tenagaku untuk memecahkan setiap persoalan pemerintahan, mereka
senantiasa berusaha supaya aku tidak kekurangan apa‐apa. Fujiyama menawarkan apa saja. Semua
tawaran kutolak. Aku menerima hanya yang perlu‐perlu saja.
Tugasku dalam menghubungi rakyat menghendaki untuk berkeliling mendatangi masyarakat yang jauhjauh.
Dalam mengadakan perjalanan keliling ini sudah tentu aku memercikkan harapan‐harapan kepada
kepala‐kepala setempat. Dan kepada rakyat. Dan menghidupkan kesadaran nasional mereka untuk hari
depan. Perjalanan ini memerlukan bensin.
Fujiyama dalam waktu‐waktu tertentu membekaliku dengan satu drum isi 200 liter. Diapun memberikan
kartu panjang yang dicoret‐coret dalam bahasa Jepang dengan memberikan keterangan, kalau pergi ke
tempat ini‐ini dan dijalan ini‐ini, aku akan diberi persediaan bensin. Sungguhpun demikian aku menjaga,
agar meminta tidak lebih daripada yang diperlukan. Seringkali orang‐orangku masuk duapuluh kilometer
ke daerah pedalaman untuk mencari gudang bensin yang disembunyikan oleh Belanda. Aku mencoba
setiap sesuatu dan segala sesuatu supaya tidak bergantung lebih banyak kepada Jepang. Tidak lupa
Fujiyama setiap kali bertanya, “Apakah tuan Sukarno memerlukan uang?”
Dan kujawab dengan, “Tidak, terimakasih. Rakyat memberikan segala‐galanya kepada saya. Ketika saya
sakit baru‐baru ini, tersebarlah berita kepada rakyat. Di jalan‐jalan terdengarlah rakyat meneruskan berita
dari yang satu kepada yang lain, ‘Hee, tablet calcium Bung Karno sudah habis. Dia memerlukan lagi. Coba
carikan.’ Dan dalam waktu satu jam diantarkanlah satu botol lagi kerumahku.
“Darimana diperolehnya?” dia bertanja tak acuh.
“Saya tidak tahu,” jawabku tak acuh pula. Yang tidak kusampaikan kepadanya ialah, bahwa di Padang
banyak orang Tionghoa punya toko yang bisa mencarikan apa saja kalau mereka mau. Dan kalau untuk
Sukarno mereka mau.
“Baiklah, apakah tuan Sukarno perlu rumah tempat tinggal yang lain?”
Dan aku menjawab, “Tidak, terimakasih. Saya tinggal di rumah Waworuntu tidak membayar. Rumah itu
cukup buat kami. Saya tidak memerlukan perlakuan yang istimewa.”
“Bolehkah saya membantu tuan dengan ajudan sebagai pembantu tuan?”.
“Tidak usah, terimakasih. Bangsa lain tidak dapat memahami cara bantuan kami yang diberikan dengan
sukarela, namun itulah cara kami. Saya mempunyai lebih dari cukup tenaga pembantu.” Seorang
wartawan setempat menjadi supirku. Namanya Suska. Suska, ketika buku ini ditulis, adalah Dutabesar
Indonesia di India. Seorang lagi yang pernah menjadi ketua Partindo dari daerah berdekatan bersedia
secara sukarela untuk memberikan tenaga tanpa bayaran. Gunadi, orang dari Bengkulu, bekerja sebagai
sekretaris penuh tanpa gaji.
Karena ia tidak dapat membujukku kecuali dengan bensin, maka Kolonel Fujiyama kemudian,
menanyakan kepada yang lain‐lain apa yang kuperlukan. Mereka selalu kuberitahu supaya menjawab,
“Terimakasih, Bung Karno tidak memerlukan apa‐apa. Rakyat memberikan apa saja yang diperlukannya.”
Aku tidak banyak minta, jadi kalau menuntut sesuatu biasanya aku memperolehnya. Dan tidak lama
kemudian aku mau tidak mau memulai dengan tuntutan. Tanggal 1 Maret Jepang menyerbu pulau Jawa
dengan cara yang sama seperti Sumatra: Belanda lari puntang‐panting. Jepang sekarang berkuasa atas
seluruh kepulauan Indonesia. Segera terasa kesombongan mereka.
Sebagai balasannya mulailah timbul kegiatan gerakan bawah tanah dari para nasionalis yang sangat anti
Jepang. Beberapa orang yang terlibat dalam sabotase dan permusuhan secara terang‐terangan ditangkap
oleh Polisi Rahasia yang sangat ditakuti. Salah satu dari yang malang ini kukenal baik. Namanya Anwar.
Orang ini disiksa. Kenpeitai ingin menjadikannya sebagai contoh perbuatan jahat, oleh karena dialah
orang subversif yang pertama‐tama ditangkap, Jepang mencabut kuku jarinya.
Aku cepat‐cepat pergi ke Bukittinggi dan menyimpan tasku di rumah Munadji seorang kawan, dan pergi
menemui para pembesar. Sementara itu pencuri memasuki rumah Munadji dan melarikan barangku yang
sedikit itu, karena aku tidak pernah punya barang banyak. Melayanglah tasku itu, di dalamnya kalung
emas kepunyaan Inggit dengan liontin pakai berlian.
Di Bukittinggi, kalau Sukarno mengagumi sesuatu maka pemilik toko memaksanya untuk menerima
barang itu tanpa bayaran. Di Bukittinggi, mereka hanya mau memberikan dan tidak mau menerima
sesuatu dariku. Jadi polisi menduga, pencuri itu tentu orang pendatang. Menjalarlah dari mulut ke mulut
bahwa Bung Karno menjadi korban pencurian dan dua hari kemudian harta itu kembali secara ajaib.
Untuk menghindari hukuman, si pencuri seorang Tionghoa bernama Lian, mengatur dengan seorang alim
untuk menyembunyikan barang itu di sudut sebidang sawah, setelah mana orang alim itu harus pergi
kesana untuk mendo’a dan …… lihat! dia menemukan milik Bung Karno. Begitulah kejadiannya .
Dua hari telah berjalan aku kembali memperjuangkan persoalan Anwar kepada Jepang. Kataku, “Saya
kenal baik kepadanya. Selama tuan menepati janji untuk kerjasama dengan aspirasi nasional Indonesia,
dia dan orang‐orang nasionalis yang lain tidak akan berkomplot menentang tuan. Dia hanya salah terima
mengenai penurunan bendera Merah Putih dan peristiwa‐peristiwa lain yang terjadi sebagai pertanda dari
pemutusan janji tuan. Dia tidak bermaksud apa‐apa terhadap tuan pribadi. Kalau tuan mengeluarkannya,
saja yakin saya dapat menggunakan tenaganya dengan baik. Saya sendiri memberikan jaminan akan jiwa
patriotismenya.”
Dua jam setelah kunjungan yang kedua ini mereka melepaskannya.